Bagaimana syubuhat HTI yang mengatakan Salafy mengingkari demokrasi
tetapi menerima hasilnya, yaitu taat kepada presiden hasil demokrasi.
[ Jawaban ]
oleh: Al-Ustadz Abu Mu'awiyah Askari bin Jamal hafizhahullah
Ahlussunah mengingkari demokrasi karena DEMOKRASI BUKAN DARI ISLAM.
Dalam prinsip demokrasi suara rakyat adalah suara Tuhan, pasti benar.
Suara mayoritas suara yang pasti benar. ISLAM TIDAK DEMIKIAN.
Bahkan penyebutan mayoritas dalam al-Quranul Karim sering diidentikkan dengan hal-hal yang negatif.
{ وَاِنْ تُطِعْ اَكْثَرَ مَنْ فِى الْاَرْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ... }
“Engkau mengikuti mayoritas orang di muka bumi, niscaya mereka akan
menyesatkan engkau dari jalan Allah subhanahu wa ta'ala.” [QS. Al-An'am:
Ayat 116]
Satu orang dan dia bersama dalil dan dia punya hujjah, dalil yang sahih
maka UCAPANNYA BENAR meskipun menyelisihi mayoritas manusia yang tidak
berpegang pada dalil.
Oleh karena itu dalam Tarjihaat Fiqhiyah, ketika terjadi khilaf
dikalangan ulama maka tidak dilihat dari banyaknya jumlah ulama yang
memegang suatu pendapat. Kadang-kadang ada pendapat satu dua orang dari
kalangan para ulama menyelisihi pendapat jumhur mayoritas ulama, setelah
diteliti, ternyata yang benar pendapat yang sedikit. Karena Islam tidak
mengenal suara terbanyak itu harus dibenarkan.
MAKA ISLAM MENGINGKARI DEMOKRASI SEBAGAIMANA ISLAM JUGA MENGINGKARI
PEMBERONTAKAN / KUDETA TERHADAP PEMERINTAH YANG SAH, PEMIMPIN YANG
MUSLIM YANG SAH. ISLAM MELARANG.
Tapi kalau berhasil, dan terjadi, kudeta berhasil, lalu kemudian yang
melakukan kudeta itu menjadi seorang pemimpin dan punya kekuatan MAKA
WAJIB DITAATI.
Jadi masalah prinsip demokrasinya, dan cara untuk meraih sebuah
kekuasaan, itu pembahasan yang berbeda dengan pembahasan ketika
seseorang menjadi pemimpin/penguasa, apapun namanya, dengan cara apapun
dia menguasai.
Oleh karena itu Nabi (ﷺ) mengatakan:
{ أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة وإن تأمر عليكم عبد حبشي }
“Aku perintahkan / aku wasiatkan kepada kalian bertaqwa kepada Allah,
mendengar dan taat kepada penguasa meskipun yang memerintah kalian
adalah seorang budak (asalnya keturunan budak, pen) dari Habasyah
(etiopia, pen).” [HR. Ahmad 4/126, At-Tirmidzi no. 2676, Abu Dawud no.
4607, Ibnu Majah no. 42, dari ‘Irbadh bin Sariyah, pen]
Budak, bukan termasuk syarat untuk menjadi pemerintah / penguasa...
🔸Kata Nabi (ﷺ):
“Imam / Pemimpin itu dari Quraisy.”
Tapi kalau dia sudah menjadi Sulthan mutakhallid ( berhasil menguasai
dan melengserkan pemimpin sebelumnya ) dan dia punya kekuatan, dan dia
punya tentara MAKA WAJIB DITAATI MESKIPUN DIA ZHALIM.
Maka demikian pula demokrasi, kita ingkari. Pemilu bukan cara untuk
memilih seorang pemimpin yang benar, tapi kalau sudah terjadi, dia harus
menjadi seorang pemimpin, dan diakui, KITA WAJIB UNTUK TAAT.
Jadi, ini dua pembahasan yang berbeda ....
[ Video ] https://youtu.be/3VPDrxuHDMI
URL ] http://www.alfawaaid.net/2016/07/video-penjelasan-syubhat-khawarij-hti.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar