Bagaiamana hukum Arisan dalam islam?
Oleh : Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini hafizhahullaah
Arisan dikenal oleh sebagian orang Arab dengan istilah
jam’iyyah (kumpulan peserta arisan). Ini termasuk masalah kontemporer
yang tengah marak ditekuni oleh banyak kaum muslimin mengingat manfaat
yang mereka rasakan darinya. Masalah ini diperselisihkan oleh ulama ahli
fatwa masa kini.
1. Ada yang berpendapat haram.
Al-‘Allamah
Shalih al-Fauzan hafizhahullah berfatwa, “Ini dinamakan pengutangan di
antara sekumpulan orang (arisan) dan perkara ini kehalalannya diragukan.
Sebab, arisan adalah piutang dengan syarat adanya timbal balik dengan
diutangi pula dan termasuk piutang yang menarik manfaat. Karena dua
alasan tersebut, arisan haram.
Di antara ulama ada yang berfatwa boleh dengan
alasan manfaat yang ditarik karena pengutangan itu tidak khusus pada
salah satu pihak (pemiutang) melainkan pada kedua belah pihak. Menurut
saya, yang rajih (terkuat) adalah pendapat pertama (yang mengharamkan).
Dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا.
“Setiap
piutang yang menarik suatu manfaat, hal itu adalah riba.”1 (Lihat kitab
Asna al-Mathalib hlm. 240, al- Ghammaz ‘ala al-Lammaz hlm. 173, dan
Tamyiz al-Khabits min ath-Thayyib hlm. 124)
Seluruh ulama telah
sepakat atas makna yang terkandung pada hadits ini, sementara itu arisan
termasuk dalam makna ini. Selain itu, arisan termasuk pengutangan yang
mengandung syarat diutangi pula sebagai timbal baliknya, padahal Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang adanya dua akad dalam satu
akad.Wallahu a’lam.”2
2. Ada yang berpendapat boleh.
Ini
adalah fatwa Ibnu Baz—bersama Haiat Kibar al-‘Ulama (Dewan Ulama Besar
Kerajaan Arab Saudi) yang dipimpinnya—dan Ibnu ‘Utsaimin. Berikut
kutipan fatwa mereka.
• Al-Imam Ibnu Baz rahimahumullah ditanya
mengenai hukum arisan. Gambarannya, sekelompok pengajar mengumpulkan
sejumlah uang di akhir bulan dari gaji mereka, lalu mereka memberikannya
kepada salah seorang dari mereka, lalu diberikan kepada orang
berikutnya di akhir bulan berikutnya, demikian seterusnya sampai seluruh
peserta mengambil uang yang telah dikumpulkannya selama ini. Beliau t
menjawab, “Hal itu tidak mengapa. Arisan adalah piutang yang tidak
mengandung syarat memberi tambahan manfaat kepada siapa pun. Majelis
Haiat Kibar al-‘Ulama telah mempelajari masalah ini dan mayoritas
mereka membolehkannya mengingat adanya maslahat untuk seluruh peserta
arisan tanpa mengandung mudarat. Hanya Allah Subhaanahu wa ta’ala yang
memberi taufik.”
• Al-Imam Ibnu ‘Utsaimin berfatwa dalam syarah
Bulughul Maram, “Terjadi masalah di kalangan para pegawai yang gajinya
dipotong setiap bulan (untuk dikumpulkan) senilai tertentu menurut
kesepakatan mereka. Uang itu lantas diberikan kepada salah seorang dari
mereka di bulan pertama, lalu kepada orang kedua di bulan kedua, dan
seterusnya hingga uang itu bergilir kepada seluruh peserta (arisan).
Apakah masalah ini tergolong piutang yang menarik manfaat/riba?
Jawabannya,
tidak. Hal itu bukan piutang yang menarik manfaat/ riba, karena tidak
ada peserta yang mendapatkan uang lebih dari jumlah yang telah
diberikannya. Ada yang berkata, ‘Bukankah disyaratkan piutang itu
dibayar sepenuhnya kepadanya, yang berarti syarat pada piutang (yang
menarik manfaat/riba)?’
Kami jawab bahwa hal itu bukan syarat
adanya akad lain, tetapi semata-mata syarat agar utang itu dilunasi.
Artinya, peserta memberikannya kepada peserta lainnya dengan syarat ia
mengembalikannya kepadanya senilai itu juga, tidak lebih dari itu.
Berdasarkan
keterangan ini, pendapat bahwa arisan termasuk piutang yang menarik
manfaat/riba adalah anggapan yang keliru. Sebab, arisan adalah piutang
yang tidak mengandung penarikan manfaat/riba sama sekali. Seandainya
peserta memiutangi uang senilai seribu dengan syarat dikembalikan dua
ribu, tentu saja hal itu tidak boleh, karena tergolong piutang yang
menarik manfaat/riba.”
Alhasil, yang benar menurut kami
adalah pendapat yang membolehkan. Adapun kedua alasan yang dikemukakan
oleh al-‘Allamah al-Fauzan sebagai dasar untuk menghukumi haramnya
arisan telah terbantah pada kedua fatwa ini. Arisan bukan piutang yang
menarik manfaat/riba, karena setiap peserta arisan tidak mengambil uang
lebih dari uangnya sendiri yang dikumpulkannya selama berjalannya
arisan.
Arisan bukan pengutangan yang mengandung syarat diutangi
pula sebagai timbal baliknya. Sebab, setiap peserta yang mendapat undian
(giliran) untuk mendapatkan sejumlah uang arisan yang terkumpul berarti
dia diutangi oleh peserta arisan berikutnya (yang belum dapat giliran).
Adapun
peserta yang telah dapat giliran, setorannya untuk membayar utangnya
kepada peserta-peserta yang belum dapat giliran. Demikianlah seterusnya
hingga berakhir.
Jadi, tidak ada sama sekali persyaratan akad lain yang membonceng padanya untuk memetik riba.
Wallahu a’lam.
Namun,
pada perkembangannya ada model-model arisan yang diboncengi dengan
lelang motor atau semacamnya yang perlu diwaspadai. Sebab, boleh jadi
itu tergolong pengutangan yang menarik manfaat/riba sehingga haram. Hal
itu apabila peserta arisan yang mendapat giliran di putaran-putaran
berikutnya atau putaran terakhir diuntungkan oleh peserta-peserta
sebelumnya dengan mendapat kelebihan dari nilai uang yang dikumpulkannya
selama arisan berlangsung. Wallahul musta’an.
Sumber: http://asysyariah.com/problem-anda-hukum-arisan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar