Senin, 03 Juni 2013

Seputar Wali Nikah

DALIL-DALIL TENTANG WALI DALAM PERNIKAHAN

Dalil-dalil yang berkaitan tentang wali bagi wanita di dalam akad Nikah.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ بَاطِلٌ بَاطِلٌ فَإِنِ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
Dari ‘Aisyah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang wanita yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahannya adalah batiil, batil, batil. Dan apabila mereka bersengketa maka pemerintah adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali”. (HR. Abu Daud no. 2083, Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879 dan Ahmad 6: 66. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan. Dishohihkan oleh Al-Albani dalam Shohihul Jami’ 2709 )

عَنْ أَبِيْ مُوْسَى الأَشْعَرِيِّ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
Dari Abu Musa Al Asy’ari berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali”. (HR. Abu Daud no. 2085, Tirmidzi no. 1101, Ibnu Majah no. 1880 dan Ahmad 4: 418. Dishohihkan oleh Al-Albani dalam Shohihul Jami’ 7555)

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ لاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا وَالزَّانِيَةُ الَّتِى تُنْكِحُ نَفْسَهَا بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Wanita tidak bisa menjadi wali wanita. Dan tidak bisa pula wanita menikahkan dirinya sendiri. Wanita pezina-lah yang menikahkan dirinya sendiri.” (HR. Ad Daruquthni, 3: 227. Dishohihkan oleh Al-Albani dalam Shohihul Jami’ 7298)

BEBERAPA PERMASALAHAN YANG TERKAIT DENGAN WALI DALAM AKAD NIKAH

Permasalahan Pertama : Apakah disyaratkan di dalam akad nikah adanya wali bagi seorang wanita , baik wanita tersebut belum pernah menikah atau sudah pernah menikah, Masih kecil atau sudah dewasa ??
Mayoritas Ulama mengatakan wali adalah syarat dalam pernikahan, berdalil dengan hadits Aisyah dan Abu Musya Radhiyallahu’ anhuma yang telah disebutkan.
Berkata Ibnul Mundzir  Rahimahullah “Aku tidak mengetahui seorang (pun) dari sahabat menyelisihi (pendapat) itu” 

Maka atas pendapat mayoritas ulama, apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri maka pernikahannya bathil atau tidak sah.
Dan sebagian para ulama berpendapat lain, mereka bependapat bahwa wanita tersebut berdosa dan status pernikahannya tergantung dari walinya, apakah mengizinkan atau tidak. Atau dengan kata lain, tidak langsung dikatakan tidak sah. Ini adalah pendapat Ibnu Sirin, Al-Qosim, Al-Hasan bin Sholih, Abu Yusuf dan Al-Auza’I Rahimahumullah 

Adapun Abu Hanifah Rahimahullah mengatakan bahwa seorang wanita boleh menikahkan dirinya sendiri sebagaimana juga dia boleh melakukan jual beli, akan tetapi menurutnya ini hanya berlaku bagi wanita yang sudah Baligh dan Rasyidah (bisa memilih yang baik dan jelek menurutnya)
Dan sebuah riwayat dari Imam Malik Rahimahullah , bahwa beliau berpendapat bolehnya wanita tersebut menikahkan dirinya sendiri apabila dia tidak termasuk wanita yang terhormat.
Dan Dawud Adz-Dzhohiri Rahimahullah berpendapat bahwa syarat adanya wali untuk wanita hanya bagi yang belum pernah menikah, adapun untuk janda maka tidak disyaratkan. Berdalil dengan hadits :
الثيب أحق بنفسها من وليها
“Seorang janda lebih berhak atas dirinya dibanding walinya” (HR. Muslim 1421)

Dan pendapat yang benar adalah pendapat mayoritas ulama, Bahwa wali adalah syarat sahnya akad nikah, baik untuk wanita yang belum menikah ataupun sudah pernah, gadis kecil maupun wanita dewasa. Dalil-dalil dengan jelas menunjukkan hal tersebut. Adapun Qiyas Abu Hanifah Rahimahullah dengan memperumpamakan dengan jual beli adalah qiyas yang rusak, karena bertentangan dengan Dalil .
Adapun dalil yang dibawakan oleh Dawud Adz-Dzhohiri Rahimahullah untuk menguatkan pendapatnya adalah berkaitan dengan izin sang wanita, bukan terkait dengan perwalian. Abu Hazm Rahimahullah juga menyelisinya dalam permasalahan ini, dan berjalan bersama mayoritas ulama.

Permasalahan Kedua : Urutan  Wali bagi wanita:
Mayoritas ulama berpendapat bahwa urutan wali adalah sebagai berikut, Ayah, Kakek , ke atas kemudian Anak Laki-laki,  Cucu dari anak laki-laki, kearah bawah. Kemudian saudara laki-laki (kandung atau Seayah)  dan anak-anak  mereka.  Kemudian Saudara laki-laki Ayah, kemudian anak-anak mereka..

Ada perbedan pendapat di kalangan ulama pada beberapa keadaan , sebagai berikut :
Sebagian ulama mendahulukan perwalian anak laki-laki (bagi janda) dibanding ayah, Sebagaimana mereka juga lebih di dahulukan di dalam mendapat sisa harta warisan (ashobah). Ini pendapat yang lebih dikenal dari pendapat Malik, Dan juga ini pendapat Ishaq, Al-Anbary, Ibnul Mundzir, Abu Yusuf, Abu Hanifah Rahimahumullah

Dan Mayoritas ulama menjawab pendapat ini dengan jawaban bahwa seorang ayah lebih paham tentang maslahat untuk puterinya dibanding anak wanita tersebut dan yang kedua bahwa perwalian ayah telah tsabit ditetapkan dalam syariat ketika sang wanita tersebut masih belum memiliki anak, maka dibutuhkan dalil untuk mengubah urutan perwalian ini. Dan pendapat mayoritas ulama lebih kuat, dan ini adalah pendapat Ibnu Utsaimin  Rahimahullah

 Adapun apabila wanita tersebut tidak memiliki wali Ashobah baik dari Nasab maupun dari wali yang dahulu membebaskannya dari perbudakan, maka para ulama juga berbeda pendapat. Mayoritas ulama mengatakan bahwa walinya adalah Hakim, ini adalah pendapat Malik, Ahmad, Asy-Syafi’I, dan juga satu riwayat dari Abu Hanifah Rahimahumullah . Dan ini adalah pendapat yang benar, berdasarkan Hadits :
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
“Maka pemerintah adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali”. (HR. Abu Daud no. 2083, Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879 dan Ahmad 6: 66. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan. Dishohihkan oleh Al-Albani dalam Shohihul Jami’ 2709 )
Permasalahan Ketiga : Sifat wali
Wali harus seorang Muslim, telah dinukil Ijma’ oleh Ibnul Mundzir dalam perkara ini.  Berdasakan Firman Allah ta’ala :
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
“Dan laki-laki yang beriman dan wanita-wanita yang beriman sebagian adalah pemimpin bagi yang sebagian lainnya” (QS. At-Taubah : 71)
 وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلً
 “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa: 141).

Kemudian Wali harus sudah Baligh, ini adalah pendapat Jumhur Ulama dan ini adalah pendapat yang Shohih. Karena Allah Azza wa jalla telah membatasi anak-anak yang belum baligh di dalam Menggunakan hartanya maka perkara perwalian pernikahan lebih tinggi dibandingkan perwalian harta.
Apakah seorang wali adalah harus laki-laki yang adil (bukan orang fasiq ) ??? terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama.

Sebagian ulama menjadikan Adil sebagai syarat untuk menjadi wali, maka di sisi mereka orang-orang fasiq tidak memiliki hak perwalian. Karena bisa saja dia akan menikahkan wanita tersebut dengan orang fasiq juga. Ini adalah salah satu riwayat yang dinukilkan dari imam Ahmad, juga salah satu dari pendapat Asy_Syafi’i Rahimahumallah .

Sebagian ulama lainnya berpendapat tidak adanya syarat adil bagi wali, sehingga wali yang fasiq perwaliannya shohih. Karena Allah menafikan perwalian hanya dari orang Kafir, maka dipahami dari sini bahwa perwalian orang fasiq Tsabit atau diakui. Dan ini adalah pendapat yang shohih atau benar.
Adapun apabila sang wali fasiq itu ingin menikahkan wanita tersebut dengan orang fasiq maka hal itu tidak boleh. Berdasarkan firman Allah ta’ala :
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ 
 Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran “ (QS. Al-Maidah : 2)
Dan firman Allah Ta’ala
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu..”. (QS. At Tahrim:6].

Dan sang wanita berhak untuk menolak untuk menikahi pria fasiq tersebut, dan dalam keadaan seperti ini akad nikah tidak sah karena sang wanita tidak menginginkan laki-laki tersebut.
Adapun Ibnu Utsaimin Rahimahullah berpendapat dengan perincian sebagai berikut, apabila kefasikan sang wali tersebut akan berkonsekuensi dengan tindakan menikahkan sang wanita dengan orang-orang fasiq atau laki-laki yang tidak diinginkan atau disetujui oleh sang wanita, maka gugur perwalian darinya dan tidak boleh baginya menjadi wali.

Dan Apabila kefasikanya tidak berdampak pada hal-hal yang telah disebutkan maka perwaliannnya sah.
Wallahu A’lam
(Fathul Alam, Muhammad Bin Hizam Al-Ibbi hafidhahullahu )

Ibnu Zulkifli As-Samarindy
Sumber : http://assamarindy.wordpress.com/2012/07/03/wali-nikah/

Jarang Sholat, Bolehkah Jadi Wali Nikah ?
Pertanyaan:
Ada seorang muslimah yang ayahnya hampir tidak pernah shalat. Kalaupun shalat, hanya jumatan dan itu pun kadang-kadang. Apakah dia boleh jadi wali?


Jawaban:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Pertama, nikah tanpa wali, nikahnya batal
Para ulama selain beberapa tokoh dalam madzhab hanafi, telah sepakat bahwa nikah tanpa wali statusnya batal. Sangat banyak dalil yang menunjukkan hal ini. Diantaranya,
Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
Tidak sah nikah kecuali dengan wali.” (HR. Abu Daud 2085, Turmudzi 1101, Ibnu Majah 1881 dan dishahihkan al-Albani)

Dalam hadis lain dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
“Wanita manapun yang menikah tanpa restu dari walinya maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal.” (HR. Ahmad 24417, Abu Daud 2083, Turmudzi 1102 dan dishahihkan al-Albani).

Kedua, diantara syarat bisa menjadi wali nikah, dia harus muslim. Karena orang kafir tidak boleh menjadi wali nikah bagi muslimah.
Al-Buhuti dalam Kasyaful Qana’ menjelaskan beberapa persyaratan wali nikah, diantaranya,
الثّالِث اتفاق دين ، الولي والمولى عليها ، فلا يزوج كافر مسلمة ولا عكسه
Syarat ketiga, kesamaan agama, antara wali dan yang diwalikan. Karena itu, tidak boleh orang kafir menikahkan wanita muslimah, atau sebaliknya. (Kasyaful Qana’, 5:53)

Ketiga, Bagaimana jika meninggalkan shalat?
Berikut keterangan Dr. Khalid al-Musyaiqih ketika beliau ditanya tentang status seorang ayah yang tidak pernah shalat. Bolehkah jadi wali nikah?
Jawaban  beliau,
إذا كان هذا الأب لا يصلي مطلقاً ويمضي عليه أكثر من أسبوع وهو لا يصلي فالذي يظهر أنه خارج من دائرة الإسلام لقوله صلى الله عليه وسلم : “إن بين الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصلاة ” رواه مسلم وعن بريده بن الحصيب رضي الله عنه ، قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم ، يقول : “العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة ، فمن تركها فقد كفر”. رواه أحمد وأبو داود والترمذي والنسائي وابن ماجه.
Apabila si ayah tidak pernah shalat sama sekali, telah berlalu lebih dari sepekan dan dia tidak shalat, pendapat yang kuat, orang ini telah keluar dari islam. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Pembatas antara seseorang dengan kesyirikan atau kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim).

Demikian pula hadis dari Buraidah bin Hashib radhiyallahu ‘anhu, beliau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perjanjian antara kami dan mereka adalah shalat. Siapa yang meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi, Nasa’i, dan Ibn Majah).

وحينئذ تسقط ولايته ولا يصح أن يتولى العقد على هذه المرأة لأن من شروط من الولي أن يكون مسلما وقد قال الفقهاء رحمهم الله تعالى: أنه يشترط في الولي الإسلام إذا زوَّج مسلمة ، وقالوا : ” لا ولاية لكافر على مسلمة “.وقال ابن عباس رضي الله عنهما : ” لا نكاح إلا بولي مرشد ” ، وأعظم الرشد وأعلاه دين الإسلام .
Pada keadaan demikian, gugur hak kewalian sang ayah, dan tidak sah untuk menjadi wali akad nikah bagi wanita ini. Karena diantara syarat wali nikah, dia harus seorang muslim. Para ulama mengatakan, bahwa disyaratkan untuk menjadi wali, harus orang islam, apabila dia hendak menikahkan seorang muslimah. Para ulama mengatakan,
‘Tidak ada hak perwalian untuk orang kafir, terhadap wanita muslimah.’ Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, mengatakan,
لا نكاح إلا بولي مرشد
“Tidak ada nikah, kecuali dengan wali yang layak.”

Dan kelayakan terbesar dan tertinggi adalah agama Islam.

Sumber: http://www.almoshaiqeh.com/index.php?option=com_ftawa2&task=view&id=4171

Keempat, ketika seorang bapak telah gugur haknya untuk menjadi wali, hak perwalian akan jatuh ke setiap laki-laki dari jalur bapak, seperti kakek, anak (jika janda), saudara laki-laki, dst, sebagaimana yang telah dibahas di artikel:  Urutan Wali Nikah

Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

1 komentar: