Amat unik serta menarik jika kita mengikuti perkembangan partai yang mendambakan keadilan dan kesejahteraan ini. Sebuah partai yang menjadikan Ikhwanul Muslimin sebagai kiblatnya
ini telah mengalami berbagai perubahan yang sangat signifikan.
Padahal, usia partai ini tidaklah terlalu lama, baru tiga putaran
pemilu.
Menjelang Pemilu 1999 misalnya, Dewan Syariah partai “Islam” ini,
selaku lembaga yang bertugas membuat putusan agama untuk anggota dan
simpatisan partai, mengeluarkan seruan kepada kader dan pendukungnya
agar tak terjebak dalam kesibukan mencari pemilih. Sebab, partai ini didirikan bukan untuk mengejar kekuasaan, tapi guna kepentingan dakwah.
Jelang Pemilu 2004, Dewan Syariah partai “Islam” ini mengeluarkan
seruan, yang terpenting dilakukan aktivis kader partainya adalah
mengajak orang sebanyak-banyaknya memilih partai “Islam” ini. Soal
dakwah urusan kemudian. Partai “Islam” ini pun mengalami perubahan dari
sebuah partai idealis menjadi pragmatis. Tak heran, bila kemudian
muncul pernyataan dari Wakil Sekjen Partai tersebut, bahwa partainya
siap menerima anggota non-muslim untuk dijadikan anggota DPR dari
partai “Islam”-nya. Bahkan, dikatakannya, bahwa partainya siap
berkoalisi dengan partai apapun dan lembaga manapun.
Menghadapi Pemilu 2009 ini, Sekjen partai “Islam” ini, saat acara
temu muka Tim Delapan partai “Islam” ini dengan sejumlah tokoh
non-muslim Makassar, menyatakan bahwa untuk memenuhi target suara 20%
dalam Pemilu 2009, partai “Islam” ini berhasrat merangkul semua suku maupun agama. Begitulah pergeseran perilaku politik partai yang didirikan para aktivis bercorak pemahaman Ikhwanul Muslimin ini.
Di tahun 2008 partai “Islam” ini mengadakan mukernas di Bali. Ada
satu hal unik yang patut dicermati, yakni logo mukernas di Bali itu
mirip pura (tempat ibadah umat Hindu). Konon, akibat logo ini, akhirnya
mukernas menjadi tarik ulur.
Demikian juga dengan kasus Ahmadiyah yang pernah ramai dibicarakan. Kaum muslimin dibuat gerah oleh sekte sesat ini, sehingga berbagai
nada protes dilayangkan kepada pemerintah agar Ahmadiyah dibubarkan.
Akan tetapi berbeda dengan sikap PKS yang bertolak belakang dengan
mayoritas kaum muslimin.
Rupanya, PKS kini tengah tumbuh sebagai partai yang lambat laun
merambat menjadi liberal. Tidak berlebihan saya mengatakannya demikian,
mengingat maneuver-manuver politik PKS yang bisa dibilang telah
kelewat batas syari’at. Lihat saja buktinya dari perjalanan PKS selama
tiga dekade ini sebagaimana yang saya ungkapkan di atas. PKS telah
merangkul semua kalangan, bahkan semua agama dan ideology. Oleh karena
itu, tidak salah jika PKS menamai dirinya sebagai Partai Kita Semua, artinya partai untuk semua golongan, agama dan ideology. Dan
tidak sepenuhnya bisa disalahkan jika sebagian orang menyebut PKS
sebagai Partai Keranjang Sampah (walau saya pribadi tidak menyukai
bahasa seperti ini, tapi memang begitulah kenyataannya). Parah memang.
Apalagi secara halus PKS telah menyatakan sikap terbukanya (dan juga
komprominya) terhadap lawan-lawan politiknya dari kaum apapun ketika
mengatakan :
“Sejak Pemilu 2004 lalu kehadiran PKS telah diterima dengan baik oleh kalangan sekuler maupun nonmuslim sekalipun,” papar PKS.
“Terbukti PKS diajak berkoalisi oleh capres SBY-JK dan pemilih PKS ternyata sebagian adalah kalangan nonmuslim”.
Ditambah lagi dengan jargon-jargon kampanye legislatif yang lalu, seperti : “Memangnya PKS Bisa Hijau, Kuning, Biru, dan Merah; Jika untuk Indonesia yang Lebih Baik, Mengapa Tidak ?”.
Apa artinya ? Bukankah hijau itu maknanya partai Islam, kuning maknanya
partai Golkar, biru maknanya partai Demokrat, dan merah maknanya
partai nasionalis sekuler (PDIP dan sebangsanya) ? Orang awam
yang membacanya pun dengan cekatan akan menyimpulkan bahwa PKS adalah
partai semua golongan, partai semua aliran, partai semua pemahaman, dan
yang lainnya.
Apakah saya heran dengan perubahan PKS ke arah yang merusak ini?
Tidak. Demi Allah saya tidak heran dibuatnya. Apalagi setelah kita
mengetahui bahwa kiblat partai ini adalah Ikhwanul Muslimin serta
bagaimana sikap para tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin terhadap kaum
kuffar, khususnya Yahudi dan Nasrani. Disaat Allah dan Rasul-Nya
menyatakan perang kepada kekafiran dan kaum kuffar, maka para tokoh Ikhwanul Muslimin (IM) justru menampakkan sikap bersahabat dengan kaum kuffar tersebut.
Dalam kitab “Al Ikhwanul Muslimun Ahdaatsun Shana’atit Taarikh”
(cet. Daarud Da’wah, tiga juz) yang ditulis oleh salah seorang pendiri
dan tokoh besar IM yang bernama Mahmud ‘Abdul Halim, pada sub judul
“Fii Qadhiyyati Falisthiin (Masalah Palestina)” (juz 1/hal. 409),
ketika penulis berbicara tentang sebuah tim gabungan Amerika dan
Inggris yang berkunjung ke negara-negara Arab untuk membicarakan
masalah Palestina, dalam sebuah pertemuan di Mesir dengan tim tersebut,
Hasan Al Banna (pimpinan IM) hadir sebagai wakil dari Pergerakan Islam
dan menyampaikan sebuah ceramah, yang redaksinya adalah sebagai
berikut (langsung terjemahan):
… Dan pembahasan yang akan kami sampaikan merupakan sebuah point
yang simpel dari tinjauan agama, (akan tetapi) karena point ini mungkin
saja tidak dipahami di dunia barat, oleh karena itulah saya ingin
menjelaskan point ini dengan ringkas: maka saya ikrarkan bahwa
permusuhan kita terhadap orang-orang Yahudi bukanlah merupakan
permusuhan (atas dasar) agama, karena Al Quran yang mulia menganjurkan
(kita) untuk bersahabat karib dan berteman dekat dengan mereka(*), dan
(syariat) islam (sendiri) adalah syariat yang bersifat kemanusiaan
sebelum menjadi syariat yang bersifat qaumiyyah
(untuk kaum/bangsa tertentu), dan sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah memuji mereka (orang-orang Yahudi) serta menjadikan adanya
kesesuian antara kita dan mereka, (Allah berfirman):
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik.” (QS. Al ‘Ankabuut: 46)
Dan ketika Al Quran ingin membicarakan masalah orang-orang Yahudi,
Al Quran membicarakannya dari segi ekonomi dan undang-undang (saja),
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Maka disebabkan kezaliman
orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang
baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, …” (QS. An Nisaa’:
160)
Silahkan anda menilainya sendiri, apakah sikap mereka ini sesuai
dengan apa yang dituntunkan oleh Allah dan Rasul-Nya atau malah
menyelisihinya 180 derajat? Simak baik-baik firman Allah berikut ini
yang menjelaskan tentang permusuhan antara umat Rasulullah dengan
orang-orang kafir. Lalu bandingkanlah dengan sikap para tokoh panutan
IM dan PKS di atas.
Allah berfirman (artinya), “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti agama mereka” (QS. Al Baqarah: 120)
Allah juga berfirman (artinya), “Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu” (QS. An Nisaa’: 101)
Masih dalam kitab yang sama, “Hasan Al Banna, Mawaaqifu fiid
Da’wati Wat Tarbiyyah” (hal. 163) penulis menukil ceramah Hasan Al
Banna ttg beberapa kewajiban yang sangat ditekankan bagi media massa
islam, di dalam ceramah tersebut dia berkata:
“Yang keempat: menetapkan suatu hakekat yang mulia dan agung
yang pura-pura dilalaikan oleh banyak kalangan yang mempunyai tendensi
tertentu dan mereka berusaha untuk mengaburkan dan menyembunyikan
hakekat ini, yaitu: bahwa (agama) islam yang hanif (lurus) ini tidaklah memusuhi suatu agama (tertentu), atau memerangi ideologi (tertentu),
serta tidak berbuat zhalim terhadap orang-orang yang tidak beriman
(non muslim) sedikit pun, dan tidaklah ajaran islam (dianggap)
membuahkan hasil (yang baik) sampai ajaran tersebut (mampu) menumbuhkan
(dalam diri) suatu masyarakat yang yang setanah air perasaan cinta,
keharmonisan, tolong-menolong dan kedamaian (di antara mereka)
bagaimanapun berbedanya agama (yang) mereka (anut) dan bertentangannya
ideologi (yang) mereka (yakini)”.
Dalam sebuah perayaan IM Hasan Al Banna mengundang beberapa tokoh
dan pendeta Nashrani dan menempatkan tempat duduk mereka di antara
orang-orang anggota IM, dan dalam kesempatan tersebut juga
Hasan Al Banna menyampaikan sebuah pidato yang di dalamnya dia
memanggil/menyebut orang-orang Nashrani dengan sebutan “Ikhwaaninaal
Masiihiyyiin” (saudara-saudara kami yang beragama Nashrani), lihat kitab “Hasan Al Banna, Mawaaqifu fiid Da’wati Wat Tarbiyyah” (hal. 120).
Sedikit contoh di atas bisa memberikan kita sebuah pengetahuan,
bahwa Ikhwanul Muslimin tidak menegakkan permusuhan atas kaum kuffar
dan ideologi kuffar. Rupanya langkah ini diteladani juga oleh PKS.
Mereka merekrut suara-suara kaum kuffar. Bahkan mengambil para
legislative dari kalangan kuffar untuk wilayah-wilayah tertentu,
padahal di wilayah tersebut ada kaum muslimin, walau sebagai minoritas.
Mereka berkilah, bahwa langkah yang demikian merupakan siasat politik
Islam. Allahulmusta’an.
Apa yang dipaparkan di atas merupakan contoh sikap IM kepada
orang-orang kuffar yang kemudian diteladani oleh PKS. Lalu bagaimana
sikap IM terhadap kelompok-kelompok menyimpang? Barangkali contoh yang
sedikit berikut ini bisa mengungkap kebatilan IM.
Berkata salah seorang tokoh IM yang terkenal, Muhammad Al Gazaaly
dalam kitabnya “Difaa’un ‘anil ‘aqiidati wasy syarii’ati dhiddu
mathaa’inil mustasyrikiin” (sebagaimana yang dinukil oleh tokoh IM
lainnya, Dr. ‘Izzuddiin Ibrahim dalam kitabnya “Mauqifu ‘ulamaa-il
muslimiin minasy syii’ati wats tsauratil islaamiyyah” (Hal. 22): “Sesungguhnya
jarak perbedaan antara Syi’ah dan Sunnah adalah seperti jarak
perbedaan antara mazhab fikih Abu Hanifah, mazhab fikih Malik, mazhab
fikih Syafi’i … kami memandang semuanya sama dalam mencari hakekat
(kebenaran) meskipun caranya berbeda-beda”.
Dalam kitab di atas (hal. 15) Dr. ‘Izzuddiin Ibrahim menukil
keterangan dari tokoh IM lainnya, Dr. Ishak Musa Al Husainy dalam
kitabnya “Al Ikhwaanul Muslimuun kubral harakaatil islaamiyyatil haditsah” bahwa
sebagian mahasiswa dari kalangan Syi’ah yang dulunya pernah belajar di
Mesir telah bergabung dalam kelompok IM, sebagaimana barisan kelompok
IM di Irak beranggotakan banyak orang dari kalangan Syi’ah “Al Imaamiyyah Al itsnai ‘asyariyyah”.
‘Umar At Tilmisaany dalam kitabnya “Al mulhamul mauhuub Hasan Al
Banna ustaadzul jiil” (hal. 78, cet. Daarut tauzii’ wan nasyril
islaamiyyah) berkata, “… Untuk tujuan mempersatukan
kelompok-kelompok inilah Hasan Al Banna pernah menjamu Syaikh yang
mulia Muhammad Al Qummy – salah seorang tokoh besar dan pentolan Syi’ah
– di markas besar IM dalam waktu yang cukup lama, sebagaimana juga
diketahui bahwa Imam Al Banna telah menemui seorang tokoh rujukan
Syi’ah, Aayatullah Al Kaasyaany di sela-sela pelaksanaan ibadah haji
tahun 1948 M, yang (pertemuan tersebut) menghasilkan kesesuaian paham
antara keduanya, (sebagaimana hal ini) diisyaratkan oleh salah seorang
figur IM saat ini yang sekaligus murid Imam Hasan Al Banna, yaitu
Ustadz ‘Abdul Muta’aal Al Jabry dalam kitabnya “Limaadza ugtiila Hasan
Al Banna”…”.
Lalu bandingkan dengan sikap PKS terhadap aliran sesat Ahmadiyah.
Bandingkan juga dengan jargon-jargon kampanye legislatif yang lalu,
seperti : “Memangnya PKS Bisa Hijau, Kuning, Biru, dan Merah; Jika untuk Indonesia yang Lebih Baik, Mengapa Tidak ?”.
Ini menunjukkan bahwa PKS adalah sebuah partai yang tercampur-baur di
dalamnya berbagai aliran keagamaan, tidak mempedulikan apakah dalam
sebuah kelompok memiliki penyimpangan yang sangat fatal hingga mencapai
tingkat kekufuran seperti Ahmadiyah. Semuanya direkrut oleh PKS yang
mengikuti jejak dan suri tauladan pendahulunya, yakni Ikhwanul Muslimin.
Makanya, jangan merasa heran dengan berbagai manuver politik PKS
yang seringkali menabrak batasan-batasan syari’at. Jika PKS mengambil
orang-orang kuffar yang kemudian didudukkan di kursi kepemimpinan, maka
jangan merasa heran karena memang begitulah keteladanan yang diambil
PKS dari pendahulunya, yakni Ikhwanul Muslimin. Jika PKS mengatakan
bahwa PKS bisa hijau, kuning, biru, merah, hitam dan berbagai corak
lainnya yang menerangkan kepada kita bahwa PKS adalah partai untuk
seluruh aliran keagamaan, pemikiran dan ideologi, maka jangan merasa
heran juga karena begitulah yang dicontohnya dari pendahulunya, yakni
Ikhwanul Muslimin. Bisa dibilang, bahwa PKS mengambil IM sebagai
prototype dakwah dan politik. Sedangkan kita ketahui bersama, bahwa IM
adalah sebuah firqah yang memiliki banyak penyimpangan dalam beragama.
Bahkan, jika kita cermati secara seksama, lambang PKS adalah
tulisan IM, akan tetapi telah disamarkan (huruf I dilambangkan dengan
gambar padi yang ada di tengah. Sedangkan huruf M ditunjukkan dari
gabungan antara gambar padi dan dua bulan sabit). Allahua’lam bish-showab.