Nama
bagi manusia merupakan perhiasan dan syi’ar, yang mana seseorang akan
dipanggil dengannya di dunia dan akhirat. Nama merupakan penunjuk
sesuatu, yang orang sangat merasakan manfaat dengannya. Karena demikian
penting, selayaknya seseorang memahami penamaan dirinya atau
anak–anaknya dengan nama Islami, terkhusus bahasa Al-Qur’an (‘Arab).
Adalah merupakan kebanggaan bagi kaum muslimin ketika dia membuka kumpulan biografi para ulama salaf maupun kalangan orang mulia dia dapati nama-nama Islami bertebaran. Abdullah, Muhammad, Abdurrahman, Aisyah, dan semisalnya. Nama-nama yang lekat dengan ekstensi Islam itu sendiri.
Adapun
nama-nama Ajam (non ‘Arab) yang biasa digunakan kaum kuffar seperti
John, Agustin, Yulia, Gandhi, Laura dan semisalnya tertolak dari
keutamaan segi bahasa maupun syar’inya. Nama-nama Ajam itu menyelinap
deras di kalangan awam dan merusak kecintaan kaum muslimin menamai
anak-anaknya dengan bahasa Al-Qur’an.
Bila
sebuah buku sering dinilai karena judulnya, manusia dikenal karena
namanya. Lalu bagaimana kita bisa mudah membedakan orang muslim dengan
orang kafir jika kaum muslimin bangga berhias dengan nama kaum kuffar?
Kita tentu tidak berharap pendengaran kita sakit karena mendengar
tetangga kita yang muslim menamai anaknya yang laki dengan Alex dan yang
wanita dengan Laura (misalnya). Jadilah panggilan itu sebagai perhiasan
yang menyedihkan di dunia dan akhirat bagi orang yang mau jujur dan
memikirkan.
DEFINISI NAMA
Ditinjau dari segi bahasa:
- Nama adalah petunjuk sesuatu yang mana sesuatu itu bisa dikenal.
- Nama adalah kata yang menunjukkan makna dari kata itu sendiri dan tak bisa dikaitkan dengan waktu (lihat Mu’jamul Wasith 1/452)
- Nama adalah petunjuk dari sesuatu dan dengannya bisa diketahui karakteristiknya (Mu’jam Alfadhil Qur’an hal 250)
Al-Qur’an menyebut nama person tertentu dalam konteks cerita atau perintah dalam berbagai tempat. Allah Ta’ala berfirman:
يَا زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلَامٍ اسْمُهُ يَحْيَىٰ لَمْ نَجْعَل لَّهُ مِن قَبْلُ سَمِيًّا
“Hai
Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan
(beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum
pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia.”(QS. Maryam: 7)
Maka
hakikat nama bagi seorang insan adalah sebagai penunjuk karakter dan
pembeda. Oleh karena itu jika seorang anak misalnya tak memiliki nama
maka ia tak bisa dikenal dan tak bisa dibedakan.
HUKUM MEMBERI NAMA
Disebut oleh Ibnu Hazm rahimahullah dalam kitab Maratib Al Ijma’, bahwa para ulama sepakat tentang wajibnya memberi nama pada setiap anak; lelaki atau wanita.
WAKTU PEMBERIAN NAMA
Disunnahkan pada hari ketujuh setelah kelahiran, dengan dalil:
Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Semua
bayi tergadai dengan aqiqahnya, disembelihkan kambing di hari ketujuh
dari kelahirannya, dinamai pada hari itu,d an dicukur rambutnya.” (HR Tirmidzi 1552,lihat pula Irwaul Ghalil juz 4 no.1169)
Diperbolehkan menamai anak sebelum hari ketujuh.
Dalilnya adalah:
Dari Abu Musa al Asy’ari radhiyallahu anhu, beliau berkata: “Telah
lahir seorang anakku lalu aku membawanya menuju Nabi Shalallahu alaihi
wassalam maka beliau menamainya Ibrahim, mentahniknya dengan kurma, dan
mendoakan barokah padanya. Setelah itu dikembalikan padaku.” (HR Bukhari 5467)
Berkata Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Baari:
“Bagi
siapa yang tidak melaksanakan aqiqah, hendaknya tidak mengakhirkan
pemberian nama hingga hari ketujuh sebagaimana dalam kisah Ibrahim bin
Abi Musa dan Abdullah bin Abi Tholhah, begitu juga Ibrahim anak Nabi
Shalallahu ‘alaihi wasallam dan Abdullah bin Zubair. Tidak ada riwayat
bahwa salah satu dari mereka diaqiqahi”
Berkata Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah:
“Adapun
perkara ini adalah perselisihan di kalangan ulama dan masuk dalam
khilaf tanawwu’ yang diperbolehkan yang menunjukkan pula tentang
keluasan perkara ini, walhamdulillah.” (Tasmiyatul Maulud hal 28)
Memberi nama adalah hak Ayah
Adalah
dalil yang diambil dari ucapan ana dalam sub bahasan ini adalah
perbuatan para shahabat radhiyallahu ‘anhum. Terdapat riwayat yang
menunjukkan para sahabat membawa anaknya ke Nabi Shalallahu ‘alaihi
wasallam untuk dinamai. Maka inilah dasarnya, seorang ayah mempunyai hak
terhadap nama anaknya. Terserah sang ayah, apakah ia menamai anaknya
sendiri atau dia bawa ke seorang alim untuk dinamai.
Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Disenangi bagi orangtua menyerahkan seorang anak kepada orang shalih untuk dinamai dengan nama yang disenangi bagi anaknya.” (Al Minhaj juz 14 hal 124)
NASAB ANAK
Anak dinasabkan dengan nama ayahnya bukan dengan nama ibunya.
Dalilnya:
ادْعُوهُمْ
لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللَّهِ ۚ فَإِن لَّمْ تَعْلَمُوا
آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ ۚ وَلَيْسَ
عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُم بِهِ وَلَٰكِن مَّا تَعَمَّدَتْ
قُلُوبُكُمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
“Panggilah
mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka;
itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui
bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu
seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang
kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh
hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 5).
Maka ini menunjukkan kesalahan penamaan dengan penyandaran pada ibunya, sebagaimana ada terjadi di sebagian Nusantara ini.
KAIDAH DAN SYARAT MEMBERI NAMA
Merupakan
keharusan seorang ayah memilihkan nama yang bagus lafadznya, baik
maknanya, mudah pengucapannya serta jauh dari unsur penamaan yang
diharamkan.
Berkata Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah tentang kaidah memberi nama:
- Hendaknya nama itu berasal dari bahasa Arab dan sesuai dengan lisan Arab
- Diusahakan dalam memberi nama itu yang bagus maknanya, baik secara bahasa maupun syariat.
- Nama ini hendaknya bersih dari unsur Tazkiyyah (membagus baguskan diri) dan tidak pula nama ini mengandung celaan.(Lihat Tasmiyyatul Mauludhal.39–40)
Berkata Al Imam Al Albani rahimahullah:
“Oleh
karena itu, aku berpendapat bahwa tidak layak memakai nama Izzuddin,
Muhyiddin, Nashiruddin, dan yang semisalnya. Termasuk pula nama yang
jelek yang tersebut di masa kini dan biasa seorang bapak menamai anak
gadisnya dengan nama Wishal, Siham, Nihad,Ghadah, Fitnah, dan nama jelek
yang semisal. Nama- nama ini harus dirubah dengan nama–nama yang baik.”
Maka
seyogyanya bagi kita kaum muslimin untuk memuliakan seorang anak dengan
hiasan nama yang Islami tatkala mereka memiliki anak.Teladan kita, Nabi
shalallahu alaihi wassalam sangat bersungguh–sungguh dalam memilih
nama. Sampai hati–hatinya beliau untuk masalah nama, beliau melarang
menggabungkan nama Muhammad (nama beliau shalallahu alaihi wassalam)
dengan kunyah Abul Qasim. Dan beliau shalallahu alaihi wassalam pula
bersabda:
“Nama yang paling dicintai di sisi Allah Ta’ala adalah Abdullah dan Abdurrahman.”(H.R Muslim)
Al Imam Al Mawaridhi menyebutkan sejumlah tata cara memberi nama sebagai berikut:
- Hendaknya nama itu diambil dari nama orang yang baik agamanya dari kalangan nabi dan rasul, hamba–hamba yang shalih, dan orang yang dikenal karena kebaikannya. Dengan nama itu ia meniatkan taqarrub kepada Allah Ta’ala serta dalam rangka mengikuti Allah Ta’ala yang menakdirkan pemberian nama yang bagus kepada para hambanya itu. (Maksudnya, dengan penamaan itu kita meniatkan untuk mendoakan anak kita agar bisa mencontoh akhlak mulia dari orang–orang shalih tersebut–red).
- Hendaknya nama itu ringkas, ringan diucap, dan gampang diingat.
- Hendaknya nama itu bagus artinya lagi sesuai dengan yang dinamai.
NAMA–NAMA YANG DISUKAI MEMAKAINYA
1. Abdullah dan Abdurrahman.
Kedua
nama ini telah tsabit dan pasti disukai Allah Ta’ala sebagaimana hadits
yang telah lalu dari riwayat Muslim. Kedua nama ini mengandung
penghambaan pada Allah Azza wa Jalla. Bahkan Allah Ta’ala khususkan
penyebutan keduanya dalam firmannya:
وَأَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللَّهِ يَدْعُوهُ كَادُوا يَكُونُونَ عَلَيْهِ لِبَدًا [٧٢:١٩]
“Dan bahwasanya tatkala hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadah), hampir saja jin-jin itu desak mendesak mengerumuninya.”(Q.S. Al-Jin 72:19)
وَعِبَادُ الرَّحْمَٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
“Dan hamba-hamba yang baik dari Tuhan Yang Maha Penyayang itu
(ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan
apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata
(yang mengandung) keselamatan.” (QS. Al Furqon 63).
Dan
Nabi shalallahu alaihi wassalam menamai anak pamannya dengan nama
Abdullah (yakni Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma). Begitu juga saat
menamai bayi Muhajirin pertama di Madinah, Abdullah bin Zubair.
Dikatakan Al Hafidz Ibnu Shalahbahwa ada sekitar 220 orang shahabat radhiyallahu anhum yang bernama Abdullah.Bahkan Al Iraqi mengatakan jumlahnya 300-an.
Dinukil dari kitab Tuhfatul Waduud fii Ahkaamil Mauluud, Ibnu Hazm rahimahullah berkata:
“Telah
bersepakat ahlul ilmi tentang baiknya menamai dengan nama yang
disandarkan kepada Allah semisal Abdullah, Abdurrahman, dan yang serupa
dengannya (seperti Abdul Baar, Abdul Aziiz, dan semisalnya–red).”
2. Nama Para Nabi dan Rasul
Ibnu Hazm menukil dalam Maratibul Ijma tentang kesepakatan ahlul ilmi bahwa menamai anak dengan nama nabi dan rasul adalah boleh.
Hal ini berdasarkan kisah dalam hadits dari Yusuf putra Abdullah bin Sallam radhiyallahu anhu:
“Nabi shalallahu alaihi wassalam menamaiku Yusuf dan mendudukkanku di pangkuannya serta mengusap kepalaku” (H.R Bukhari dalam Al Adaabul Mufrad)
Paling utamanya dari nama para nabi adalah Muhammad. Al Imam Muslimmeriwayatkan dalam Shahihnya dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhuma bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wassalam berkata:
“Berilah
nama dengan namaku dan jangan sampai kalian berkunyah dengan kunyahku
karena akulah Al Qasim (sang Pembagi), aku membagi di antara kalian
dengan adil.”
Berkata Al Qadhi Iyyadl:
“Kunyah
ini dilekatkan kepada beliau shalallahu alaihi wassalam karena sifat
yang benar tepat melekat pada beliau.Atau bisa jadi juga karena nama
anak pertama beliau.”
Dalam hal ini penulis menukilkan pendapat yang paling pertengahan dari Ibnu Qayyim Al Jauziyyah.Beliau mengatakan dalam Zaadul Maad:
“Yang
benar bahwa dibolehkan memakai nama beliau, sedangkan berkunyah dengan
kunyah beliau dilarang saat ini.Larangan itu berlaku keras saat beliau
masih hidup.Menggabungkan nama Muhammad dengan kunyah Abul Qasim juga
dilarang.”
Pembahasan tentang perselisihan dan pembahasan masalah ini bisa dilihat di kitabTuhfatul Wadud fii Ahkamil Mauluud.
3. Nama Para Shahabat Atau Orang Shalih.
Hal ini dicontohkan oleh Az Zubair Ibnul Awwam radhiyallahu
anhu dengan memberi nama sembilan anak lelakinya dengan nama para
shahabat Rasulullah yang menjadi syuhada’ dimedan
tempur–radhiyallahuanhum.
Bahkan Rasulullah shalallahu alaihiwassalam bersabda:
“Sesungguhnya umat–umat terdahulu menamai anak–anaknya dengan nama para nabi dan orang–orang shalih sebelum mereka.” (HR. Muslim)
NAMA–NAMA YANG DILARANG
Syariat telah menetapkan dilarangnya memberi nama dengan nama–nama berikut:
1. Nama yang Mengandung Penghambaan Kepada Selain Allah Ta’ala.
Hal
ini banyak kita lihat pada orang Syiah Rafidhah yangmenamai dengan Abdu
Ali, Abdur Rasul, Abdul Hasan, Abdul Husain, dan sejenisnya.
Telah tsabit dalam sunnah, Nabi shalallahu alaihi wassalam mengganti nama Abdurrahman bin Auf dari nama asalnya, Abdu Amr.
Termasuk
kesalahan adalah kaum muslimin menamai anak dengan penghambaan kepada
nama–nama Allah padahal itu bukan Asmaul Husna. Penulis pernah
menyaksikan hal ini pada sebagian besar anggota ormas shufi terbesar di
negeri ini.Contohnya: Abdur Raghaib, Abdul Faaliq, Abdul Ma’bud, ataupun
Abdul Maujuud.
Adapun untuk Abdul Muththalib, ada nash khusus yang berisi persetujuan Rasulullah dalam penyebutannya.
2. Menamai Anak dengan Asmaul Husna yang Terkhusus Untuk Allah.
Seperti: Ar Rahman, Ar Rahiim, Al Baari, dan sejenisnya.
Berkata Al Imam An Nawawi dalam Al Minhaj:
“…haram
juga menamai anak dengan nama–nama yang khusus bagi Allah seperti Ar
Rahman, Al Quddus, Al Muhaimin, dan Khaliqul Khalaq”
3. Memberi Nama Anak dengan Nama Berhala Kaum Musyrikin
Contoh: Latta, Uzza, Kresna, Wisnu,Brahma,dan nama dewa–dewa lain.
4. Nama–Nama yang Mengandung Unsur Kedustaan Karena Artinya Nama Itu Tidak Mungkin Sesuai dengan Hakikat Manusia.
Contoh: Maliikul Amlaak (kalo di Indonesiakan: Raja Diraja), Sayyidul Mu’minin (Pemimpin Orang Muslim ) dan sejenisnya.
Bersabda Rasulullah shalallahu alaihiwassalam:
“Nama yang paling jelek di sisi Allah di hari akhir adalah lelaki yang dinamai Raja Diraja.” (HR Bukhari)
5. Memberi Nama dengan Nama Setan Dan Jin.
Contoh: Ummu Sibyan, Ajda’, Khinzab, dan sebagainya.
6. Memberi Nama Anak dengan Nama yang Sering Dipakai Kaum Kuffar
Cotoh: Steven, Jessica, Yulia, Made, Nyoman, dan sejenisnya.
Hal ini masuk kedalam bentuk tasyabbuh kepada mereka,sebagaimana diterangkanSyaikh Ahmad Al Asywawi dalam kitab Ahkamu Ath Thifli.
NAMA–NAMA YANG MAKRUH
1. Menamai Anak yang Maknanya Tidak Baik
Contoh: Harb (perang), Nadiyah (jauh dari air), Dain (hutang), dan sejenisnya.
Meliputi ini adalah nama–nama penyakit yang menimpa manusia, aib, dan sebagainya.
2. Menamai Anak dengan Nama yang Menunjukkan Dosa, Tokohnya, Dan Kemaksiatan.
Contoh: Zalim, Hamman, Fir’aun, dan sejenisnya.
3. Memberi Nama yang Disandarkan Kepada Agama (ad-dien).
Contoh: Amiruddin (pemuka agama), Nashiruddin (penolong agama), dan lain sejenisnya.
Pun juga menyandarkannya kepada Al Islam.
Contoh: Sayyidul Islam, Saiful Islam, dan sebagainya.
Adasebagian ulama yang mengharamkan nama–nama ini. Akan tetapi yang kuat adalah pendapat keumuman jumhur ulama, yaitu makruh.
Berkata Al Imam An Nawawi rahimahullah:
“Aku tidak halalkan orang–orang menggelariku dengan nama Muhyiddin (penghidup Agama).” (lihat Bahjatun Nadhirin Syarh Riyadhush Shalihin.)
4. Tidak Disukai Menamakan dengan Nama Melebihi 2 lafadz Jika yang Dimaksudkan Untuk Maksud yang Tidak Benar.
Saya contohkan disini: Muhammad Ilham.
Nama
yang dikehendaki bapaknya adalah Muhammad. Sedangkan Ilham di sini,
bapaknya menamai demikian agar mendapat berkah atau tabarruk dengan kata
ilham.
Lagipula penamaan seperti susunan 2 huruf atau lebih ini tidak ada tuntunannya oleh para nabi dan shahabat.
Adapun
jika dia menamai dirinya dengan 2 lafadz kata untuk pengenalan maka ini
tidak apa–apa. Sebagai contoh, bapaknya dulu menamainya Bambang dan ia
sudah terkenal dengan nama itu. Lalu ia merasa nama Bambang itu kurang
Islami, maka ia tambahi jadi Abdurrahman Bambang. Soalnya jika ia hanya
memakai Abdurrahman, orang–orang tidak mengenalinya. Jenis yang kedua
ini justru diperbolehkan.
5.
Tidak Disukai Menamai Anak dengan Penamaan yang Bergabung dengan Kata
Allah dan Rasul.Contohnya Nashrullah, Hizbur rasul, dan semisalnya.
Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah telah membahasnya dengan bagus di risalahnya, Mu’jam Al Manahi.
6.Sebagian ulama tidak suka dengan penamaan nama malaikat dansurat Al Qur’an.
Saya contohkan seperti Jibril, Mikail, Yaasin, Thoha, dan sebagainya.Wallahu a’lam bish shawwab.
7.Makruh menamai anak dengan nama yang mengandung tazkiyyah (menyucikan diri).
Rasulullah
pernah mengganti nama anak Umar bin Khaththab yang semula Ashiyyah
(wanita yang maksiat) menjadi Jamilah (wanita yang cantik). Haditsnya
ada dalam Shahih Muslim dan Sunan Abi Dawud.
Berkata Abu Thayyib rahimahullah:
“Beliau
tidak mengganti Ashiyyah menjadi Muthiah(gadis yang penuh ketaatan)
padahal ini adalah lawan dan kebalikannya.Indikasinya,beliau memilih
Jamilah karena menghidari tazkiyyah (mensucikan diri).” (dinukil secara makna dari Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud).
MENGGANTI NAMA YANG KURANG BAIK
Aisyah radhiyallahu anha mengkisahkan:
“Adalah dulunya Rasulullah shalallahu alaihiwassalam mengubah nama-nama yang buruk menjadi nama-nama yang baik.” (HR Tirmidzi dan dishahihkan Asy Syaikh Al Albani)
Beliau
pernah mengganti nama Hazun (sedih) menjadi Sahl (mudah), Harb (perang)
menjadi Salam (keselamatan) dan masih banyak lagi.
Beliau
juga mengganti nama kedua istrinya yang sama sama bernama Barrah
(kebajikan) menjadi Zainab dan Juwairiyyah untuk menghindari kerancuan
dan tazkiyyah.
Dan
yang menjadi petunjuk beliau shalallahu alaihiwassalam adalah mengganti
nama yang jelek tadi dengan nama yang bagus dan berdekatan lafadznya.
Contohnya Jatstsimah menjadi Hassanah, Harb menjadi Salam, dan
sebagainya.
SUNNAHNYA BERKUNYAH
Kunyah adalah nama yang dimulai dengan Abu, Ummu, Ibnu, atau Bintu.
Contoh kunyah seperti Abu Isa, Ummu Abdillah, Ibnu Umar,atau Bintu/Ibnatu Hasan.
Hukumnya sunnah, sayang sekali banyak kaum muslimin melupakannya.
Dikisahkan oleh shahabat Abu Syuraih radhiyallahu anhu bahwa dulunya ia diberi kunyah kaumnya dengan Abul Hakam.
Maka Rasulullah shalallahu alaihiwassalam mengatakan padanya:
“Sungguh Al Hakam itu adalah nama Allah. KepadaNya-lah semua hukum kembali.”
Abu Syuraih radhiyallahu anhu berkata:
“Sesungguhnya kaumku bila bertikai datang mengadu kepadaku. Lalu aku menghukumi mereka hingga mereka ridha pada hukumku.”
Rasulullah shalallahu alaihiwassalam berkata:
“Sangat menarik sekali. Lalu siapa saja nama anak–anakmu?”
Aku menjawab: “Syuraih, Muslim,dan Abdullah.”
Beliau shalallahu alaihiwassalam bertanya: “Siapa yang tertua?” Kujawab: “Syuraih”
Beliau shalallahu alaihiwassalam bersabda: “Sekarang kunyahmu Abu Syuraih.”
Dalam dialog yang diriwayatkan Abu Daud dalam Sunannya ini dapat kita ambil faidah:
- Orang tua hendaknya berkunyah dengan nama anaknya yang paling besar. Jadi di depan namanya tercantum kunyahnya seperti: Abu Husain Abdullah, Ummu Husain Salma, dan sejenisnya.
- Jika ia tak memiliki putra, ia bisa berkunyah dengan siapa saja anaknya yang tertua.
- Larangan berkunyah dengan nama–nama Allah, seperti Abul Hakam, Abur Rahman, dan sejenisnya
SUNNAHNYA MEMBERI KUNYAH PADA ANAK
Kunyah dapat diberikan kepada anak kecil atau orang yang belum memiliki anak.
Dalilnya adalah:
- Rasulullah shalallahu alaihiwassalam memanggil saudara Anas bin Malik radhiyallahu anhu dengan Abu Umair, padahal ia masih kecil sekali. (lihat:Shahih Bukhari bab Memberi Kunyah untuk Anak kecil dan Orang yang Belum Punya Anak)
- Umar bin Al Khaththab radhiyallahu anhu berkunyah dengan Abu Hafsh padahal ia tak punya anak yang bernama Hafsh
- Abdullah bin Abi Quhafah radhiyallahu anhu berkunyah dengan Abu Bakr (Ash Shiddiq) padahal anaknya tak ada satupun yang bernama Bakr
- Dari kalangan wanita, Ummul Mukminin Aisyah berkunyah dengan Ummu Abdillah padahal beliau tak pernah melahirkan. Dan kunyah beliau ini yang memberikan Rasulullah shalallahu alaihiwassalam.
Demikian
akhir dari pembahasan kami ini. Besar harapan penulis, pembahasan ini
berfaedah dan menjadi semacam penggerak untuk menjalankan sebuah sunnah
yang mulai terpinggirkan: Berhias Dengan Nama Islami.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thoriq.
Ditulis oleh Al-Akh Al-Fadhil Abu Mas’ud Abdurrahman Jarot Al-Magetani
http://jarotbinnarto.blogspot.com/
http://jarotbinnarto.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar