Berikut ini akan disebutkan beberapa hukum
dan adab seputar penyembelihan hewan.
A SYARAT SAHNYA SEMBELIHAN QURBAN, Hewan sembelihan dinyatakan sah dan halal
dimakan bila terpenuhi syarat-syarat berikut:
1. Membaca basmalah tatkala hendak menyembelih hewan. Dan ini merupakan syarat
yang tidak bisa gugur baik karena sengaja, lupa, ataupun jahil (tidak tahu).
Bila dia sengaja atau lupa atau tidak tahu sehingga tidak membaca basmalah
ketika menyembelih, maka dianggap tidak sah dan hewan tersebut haram dimakan.
Ini adalah pendapat yang rajih dari perbedaan pendapat yang ada. Dasarnya
adalah keumuman firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah
ketika menyembelihnya.” (al-An’am: 121)
Syarat ini juga berlaku pada penyembelihan hewan qurban. Dasarnya adalah
hadits Anas radhiallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhari (no. 5565) dan Muslim
(no. 1966), bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban dengan
dua kambing kibasy yang berwarna putih bercampur hitam lagi bertanduk:
وَيُسَمِّي وَيُكَبِّرُ
“Beliau membaca basmalah dan bertakbir.”
2. Yang menyembelih adalah orang yang berakal. Adapun orang gila tidak sah
sembelihannya walaupun membaca basmalah, sebab tidak ada niat dan kehendak pada
dirinya, dan dia termasuk yang diangkat pena takdir darinya.
3. Yang menyembelih harus muslim atau ahli kitab (Yahudi atau Nasrani). Untuk
muslim, permasalahannya sudah jelas. Adapun ahli kitab, dasarnya adalah firman
Allah subhanahu wa ta’ala:
“Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu.” (al-Ma`idah:
5)
Dan yang dimaksud ‘makanan’ ahli kitab dalam ayat ini adalah sembelihan
mereka, sebagaimana penafsiran sebagian salaf.
Pendapat yang rajih menurut mayoritas ulama, sembelihan ahli kitab
dipersyaratkan harus sesuai dengan tata cara Islam.
Sebagian ulama menyatakan, terkhusus hewan qurban, tidak boleh disembelih
oleh ahli kitab atau diwakilkan kepada ahli kitab. Sebab qurban adalah amalan
ibadah untuk taqarrub kepada Allah subhanahu wa ta’ala, maka tidak sah kecuali
dilakukan oleh seorang muslim. Wallahu a’lam.
4. Terpancarnya Darah
Dan ini akan terwujud dengan dua ketentuan:
1. Alatnya tajam, terbuat dari besi atau batu tajam. Tidak boleh dari kuku,
tulang, atau gigi. Disyariatkan untuk mengasahnya terlebih dahulu sebelum
menyembelih. Diriwayatkan dari Rafi’ bin Khadij radhiallahu ‘anhu, dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ فَكُلْ، لَيْسَ السِّنَّ
وَالظُّفْرَ، أَمَّا السِّنُّ فَعَظْمٌ وَأَمَّا الظُّفْرُ فَمُدَى الْحَبَشَةِ
“Segala sesuatu yang memancarkan darah dan disebut nama Allah padanya maka
makanlah. Tidak boleh dari gigi dan kuku. Adapun gigi, itu adalah tulang.
Adapun kuku adalah pisau (alat menyembelih) orang Habasyah.” (HR. Al-Bukhari no.
5498 dan Muslim no. 1968)
Juga perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah
radhiallahu ‘anha ketika hendak menyembelih hewan qurban:
يَا عَائِشَةُ، هَلُمِّي الْمُدْيَةَ. ثُمَّ قَالَ: اشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ
“Wahai Aisyah, ambilkanlah alat sembelih.” Kemudian beliau berkata lagi:
“Asahlah alat itu dengan batu.” (HR. Muslim no. 1967)
2. Dengan memutus al-wadjan, yaitu dua urat tebal yang meliputi tenggorokan.
Inilah persyaratan dan batas minimal yang harus disembelih menurut pendapat
yang rajih. Sebab, dengan terputusnya kedua urat tersebut, darah akan terpancar
deras dan mempercepat kematian hewan tersebut.
Faedah
Pada bagian leher hewan ada 4 hal :
ü Al-Wadjan, yaitu dua urat tebal yang meliputi tenggorokan
ü Al-Hulqum yaitu tempat pernafasan.
ü Al-Mari`, yaitu tempat makanan dan minuman.
Rincian hukumnya terkait dengan penyembelihan adalah:
– Bila terputus semua maka itu lebih afdhal.
– Bila terputus al-wadjan dan al-hulqum maka sah.
– Bila terputus al-wadjan dan al-mari` maka sah.
– Bila terputus al-wadjan saja maka sah.
– Bila terputus al-hulqum dan al-mari`, terjadi Khilaf. Yang rajih adalah
tidak sah.
– Bila terputus al-hulqum saja maka tidak sah.
– Bila terputus al-mari` saja maka tidak sah.
– Bila terputus salah satu dari al-wadjan saja, maka tidak sah. (Syarh
Bulugh, 6/52-53)
Merebahkan hewan tersebut dan meletakkan
kaki pada rusuk lehernya, agar hewan tersebut tidak meronta hebat dan juga
lebih menenangkannya, serta mempermudah penyembelihan. Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu
‘anhu, tentang tata cara penyembelihan yang dicontohkan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam:
“Dan
beliau meletakkan kakinya pada rusuk kedua kambing tersebut.” (HR. Al-Bukhari
no. 5565 dan Muslim no. 1966)
Juga hadits Aisyah radhiallahu ‘anha:
“Lalu beliau rebahkan kambing tersebut
kemudian menyembelihnya.”
Disunnahkan bertakbir ketika hendak
menyembelih qurban, sebagaimana disebutkan dalam hadits Anas radhiallahu
‘anhu di atas, dan diucapkan setelah basmalah.
1. Bila dia mengucapkan:
بِسْمِكَ اللَّهُمَّ أَذْبَحُ
“Dengan nama-Mu ya Allah, aku menyembelih”, maka sah, karena sama dengan
basmalah.
2. Bila dia menyebut nama-nama Allah subhanahu wa ta’ala selain Allah,
maka hukumnya dirinci.
3. Bila nama tersebut khusus bagi Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak
boleh untuk makhluk, seperti Ar-Rahman, Al-Hayyul Qayyum, Al-Khaliq, Ar-Razzaq,
maka sah.
4. Bila nama tersebut juga bisa dipakai oleh makhluk, seperti Al-‘Aziz,
Ar-Rahim, Ar-Ra`uf, maka tidak sah.
Tidak disyariatkan bershalawat kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ketika menyembelih, sebab tidak ada perintah dan
contohnya dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabatnya.
(Asy-Syarhul Mumti’, 3/408)
Berwudhu sebelum menyembelih qurban adalah
kebid’ahan, sebab tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan salaf.
Namun bila hal tersebut terjadi, maka
sembelihannya sah dan halal dimakan, selama terpenuhi ketentuan-ketentuan di
atas.
Diperbolehkan berdoa kepada Allah subhanahu
wa ta’ala agar sembelihannya diterima oleh-Nya. Sebagaimana tindakan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berdoa:
اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ
مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ
“Ya Allah, terimalah (sembelihan ini) dari
Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat Muhammad.” (HR. Muslim no. 1967, dari
Aisyah radhiallahu ‘anha)
Tidak diperbolehkan melafadzkan niat, sebab
tempatnya di dalam hati menurut kesepakatan ulama. Namun dia boleh mengucapkan:
اللَّهُمَّ هَذَا عَنْ فُلَانِ
“Ya Allah, sembelihan ini dari Fulan.”
Dan ucapan tersebut tidak termasuk
melafadzkan niat.
Yang afdhal adalah men-dzabh (menyembelih) Sapi dan Kambing. Adapun Unta maka
yang afdhal adalah dengan nahr, yaitu disembelih dalam keadaan berdiri dan
terikat tangan unta yang sebelah kiri, lalu ditusuk di bagian wahdah antara
pangkal leher dan dada.
Diriwayatkan dari Ziyad bin Jubair, dia
berkata: Saya pernah melihat Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma mendatangi
seseorang yang menambatkan untanya untuk disembelih dalam keadaan menderum.
Beliau radhiallahu ‘anhuma berkata:
ابْعَثْهَا قِيَامًا مُقَيَّدَةً، سُنَّةُ مُحَمَّدٍ shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Bangkitkan untamu dalam keadaan berdiri
dan terikat, (ini) adalah Sunnah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
(HR. Al-Bukhari no. 1713 dan Muslim no. 1320/358)
Bila terjadi sebaliknya, yakni me-nahr kambing
dan sapi serta men-dzabh unta, maka sah dan halal dimakan menurut pendapat
jumhur. Sebab tidak keluar dari tempat penyembelihannya. Tidak disyaratkan menghadapkan hewan ke
kiblat, sebab haditsnya mengandung kelemahan. Dalam sanadnya ada perawi yang bernama Abu
‘Ayyasy Al-Mu’afiri, dia majhul. Haditsnya diriwayatkan oleh Abu Dawud (no.
2795) dan Ibnu Majah (no. 3121).
Termasuk kebid’ahan adalah melumuri jidat
dengan darah hewan qurban setelah selesai penyembelihan, karena tidak ada
contohnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para salaf. (Fatwa
Al-Lajnah, 11/432-433, no. fatwa 6667)
B HUKUM-HUKUM SEPUTAR QURBAN
Berikut ini akan disebutkan beberapa hukum
secara umum yang terkait dengan hewan qurban, untuk melengkapi pembahasan
sebelumnya:
1) Menurut pendapat yang rajih, hewan qurban dinyatakan resmi (ta’yin) sebagai
أُضْحِيَّةٌ
dengan dua hal:
a) dengan ucapan: هَذِهِ أُضْحِيَّةٌ (Hewan ini adalah hewan qurban)
b) dengan tindakan, dan ini dengan dua cara:
c) Taqlid yaitu diikatnya sandal/sepatu hewan, potongan-potongan qirbah
(tempat air yang menggantung), pakaian lusuh dan yang semisalnya pada leher
hewan. Ini berlaku untuk unta, sapi dan kambing.
d) Isy’ar yaitu disobeknya punuk unta/sapi sehingga darahnya mengalir pada
rambutnya. Ini hanya berlaku untuk unta dan sapi saja.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, dia berkata:
فَتَلْتُ قَلَائِدَ بُدْنِ رَسُولِ اللهِ shallallahu ‘alaihi wa
sallam بِيَدَيَّ ثُمَّ أَشْعَرَهَا وَقَلَّدَهَا
“Aku memintal ikatan-ikatan unta-unta Rasulullah dengan kedua tanganku.
Lalu beliau isy’ar dan men-taqlid-nya.” (HR. Al-Bukhari no. 1699 dan Muslim no.
1321/362)
Kedua tindakan ini khusus pada hewan hadyu, sedangkan qurban cukup dengan
ucapan. Adapun semata-mata membelinya atau hanya meniatkan tanpa adanya lafadz,
maka belum dinyatakan (ta’yin) sebagai hewan qurban.
2) Diperbolehkan menunggangi hewan tersebut bila diperlukan atau tanpa
keperluan, selama tidak memudaratkannya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu
‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat
seseorang menuntun unta (qurban/hadyu) maka beliau bersabda: ارْكَبْهَا
“Tunggangi unta itu.” (HR.
Al-Bukhari no. 1689 dan Muslim no. 1322/3717)
Juga datang dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu (Al-Bukhari no.
1690 dan Muslim no. 1323) dan Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma (HR.
Muslim no. 1324). Lafadz hadits Jabir radhiallahu ‘anhu sebagai
berikut:
ارْكَبْهَا بِالْـمَعْرُوفِ إِذَا أُلْـجِئْتَ إِلَيْهَا حَتَّى تَجِدَ
ظَهْرًا
“Naikilah unta itu dengan cara yang baik bila engkau membutuhkannya hingga
engkau mendapatkan tunggangan (lain).”
3) Diperbolehkan mengambil kemanfaatan dari hewan tersebut sebelum/setelah
disembelih selain menungganginya, seperti:
- mencukur bulu hewan tersebut, bila hal tersebut lebih bermanfaat bagi sang hewan. Misal: bulunya terlalu tebal atau di badannya ada luka.
- Meminum susunya, dengan ketentuan tidak memudaratkan hewan tersebut dan susu itu kelebihan dari kebutuhan anak sang hewan.
- Memanfaatkan segala sesuatu yang ada di badan sang hewan, seperti tali kekang dan pelana.
- Memanfaatkan kulitnya untuk alas duduk atau alas shalat setelah disamak.
Dan berbagai sisi kemanfaatan yang
lainnya. Dasarnya adalah keumuman firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan telah Kami jadikan untuk
kamu unta-unta itu sebagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang
banyak padanya.” (al-Hajj: 36)
4) Tidak diperbolehkan menjual hewan tersebut atau menghibahkannya kecuali
bila ingin menggantinya dengan hewan yang lebih baik. Begitu pula tidak boleh
menyedekahkannya kecuali setelah disembelih pada waktunya, lalu menyedekahkan
dagingnya.
5) Tidak diperbolehkan menjual kulit hewan tersebut atau apapun yang ada
padanya, namun untuk dishadaqahkan atau dimanfaatkan.
6) Tidak diperbolehkan memberikan upah dari hewan tersebut apapun bentuknya
kepada tukang sembelih. Namun bila diberi dalam bentuk uang atau sebagian dari
hewan tersebut sebagai shadaqah atau hadiah bukan sebagai upah, maka
diperbolehkan.
Dalil dari beberapa perkara di
atas adalah hadits Ali bin Abi Tahlib radhiallahu ‘anhu, dia berkata:
“Nabi memerintahkan aku untuk menangani
(penyembelihan) unta-untanya, membagikan dagingnya, kulit, dan perangkatnya
kepada orang-orang miskin dan tidak memberikan sesuatu pun darinya sebagai
(upah) penyembelihannya.” (HR. Al-Bukhari no. 1717 dan 1317)
7) Bila terjadi cacat pada hewan tersebut setelah di-ta’yin (diresmikan
sebagai hewan qurban) maka dirinci:
– Bila cacatnya membuat hewan tersebut tidak sah, maka disembelih sebagai
shadaqah bukan sebagai qurban yang syar’i.
– Bila cacatnya ringan maka tidak
ada masalah.
– Bila cacatnya terjadi akibat (perbuatan) sang pemilik maka dia harus
mengganti yang semisal atau yang lebih baik
– Bila cacatnya bukan karena kesalahan sang pemilik, maka tidak ada
kewajiban mengganti, sebab hukum asal berqurban adalah sunnah.
8) Bila hewan tersebut hilang atau lari dan tidak ditemukan, atau dicuri, maka
tidak ada kewajiban apa-apa atas sang pemilik. Kecuali bila hal itu terjadi
karena kesalahannya maka dia harus menggantinya.
9) Bila hewan yang lari atau yang hilang tersebut ditemukan, padahal sang
pemilik sudah membeli gantinya dan menyembelihnya, maka cukup bagi dia hewan
ganti tersebut sebagi qurban. Sedangkan hewan yang ketemu tersebut tidak boleh
dijual namun disembelih, sebab hewan tersebut telah di-ta’yin.
10) Bila hewan tersebut mengandung janin, maka cukup bagi dia menyembelih
ibunya untuk menghalalkannya dan janinnya. Namun bila hewan tersebut telah
melahirkan sebelum disembelih, maka dia sembelih ibu dan janinnya sebagai
qurban. Dalilnya adalah hadits:
“Sembelihan janin (cukup) dengan sembelihan ibunya.”
Hadits ini datang dari banyak sahabat, lihat perinciannya dalam Irwa`ul
Ghalil (8/172, no. 2539) dan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah
menshahihkannya.
11) Adapun bila hewan tersebut belum di-ta’yin maka diperbolehkan baginya untuk
menjualnya, menghibahkannya, menyedekahkannya, atau menyembelihnya untuk
diambil daging dan lainnya, layaknya hewan biasa.
C HUKUM-HUKUM DAN ADAB-ADAB YANG TERKAIT DENGAN ORANG YANG BERQURBAN
1. Syariat berqurban adalah umum, mencakup lelaki, wanita, yang telah berkeluarga,
lajang dari kalangan kaum muslimin, karena dalil-dalil yang ada adalah umum.
2. Diperbolehkan berqurban dari harta anak yatim bila secara kebiasaan mereka
menghendakinya. Artinya, bila tidak disembelihkan qurban, mereka akan bersedih
tidak bisa makan daging qurban sebagaimana anak-anak sebayanya. (Asy-Syarhul
Mumti’, 3/427)
3. Diperbolehkan bagi seseorang berhutang untuk berqurban bila dia mampu untuk
membayarnya. Sebab berqurban adalah sunnah dan upaya menghidupkan syi’ar Islam.
(Syarh Bulugh, 6/84, bagian catatan kaki) Al-Lajnah Ad-Da`imah juga mempunyai
fatwa tentang diperbolehkannya menyembelih qurban walaupun belum dibayar
harganya. (Fatawa Al-Lajnah, 11/411 no. fatwa 11698)
4. Dipersyaratkan hewan tersebut adalah miliknya dengan cara membeli atau yang
lainnya. Adapun bila hewan tersebut hasil curian atau ghashab lalu dia sembelih
sebagai qurbannya, maka tidak sah. إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إلَّا طَيِّبًا “Sesungguhnya
Allah itu Dzat yang baik tidak menerima kecuali yang baik.” (HR. Muslim no.
1015 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu) Begitu pula bila dia
menyembelih hewan orang lain untuk dirinya, seperti hewan gadaian, maka tidak
sah.
5. Bila dia mati setelah men-ta’yin hewan qurbannya, maka hewan tersebut tidak
boleh dijual untuk menutupi hutangnya. Namun hewan tersebut tetap disembelih
oleh ahli warisnya.
6. Disunnahkan baginya untuk menyembelih qurban dengan tangannya sendiri dan
diperbolehkan bagi dia untuk mewakilkannya. Keduanya pernah dikerjakan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana hadits: ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ “Rasulullah
menyembelih kedua (kambing tersebut) dengan tangannya.” (HR. Al-Bukhari no.
5565 dan Muslim no. 1966) Juga
hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu yang telah lewat, di mana
beliau diperintah oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
menangani unta-untanya.
7. Disyariatkan bagi orang yang berqurban bila telah masuk bulan Dzulhijjah
untuk tidak mengambil rambut dan kukunya hingga hewan qurbannya disembelih. Diriwayatkan dari Ummu Salamah radhiallahu
‘anha, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: إِذَا
دَخَلَ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلاَ يَأْخُذْ مِنْ
شَعْرِهِ وَلَا مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ “Apabila telah masuk 10
hari pertama (Dzulhijjah) dan salah seorang kalian hendak berqurban, maka
janganlah dia mengambil rambut dan kukunya sedikitpun hingga dia menyembelih
qurbannya.” (HR. Muslim no. 1977)
Dalam lafadz lain: وَلَا بَشَرَتِهِ “Tidak pula kulitnya.”
Larangan dalam hadits ini ditujukan kepada pihak yang berqurban, bukan pada
hewannya. Sebab mengambil bulu hewan tersebut untuk kemanfaatannya
diperbolehkan sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya. Juga, dhamir (kata ganti) هِ pada hadits di atas
kembali kepada orang yang hendak berqurban. Larangan dalam hadits ini ditujukan
khusus untuk orang yang berqurban. Adapun keluarganya atau pihak yang
disertakan, tidak mengapa mengambil kulit, rambut dan kukunya. Sebab, yang
disebut dalam hadits ini adalah yang berqurban saja.
– Bila dia mengambil kulit, kuku, atau rambutnya sebelum hewannya
disembelih, maka qurbannya sah, namun berdosa bila dia lakukan dengan sengaja.
Tetapi bila dia lupa atau tidak sengaja maka tidak mengapa.
– Bila dia baru mampu berqurban di pertengahan 10 hari pertama Dzulhijjah,
maka keharaman ini berlaku saat dia niat dan ta’yin qurbannya.
– Orang yang mewakili penyembelihan hewan qurban orang lain, tidak terkena
larangan di atas.
– Larangan di atas dikecualikan bila terjadi sesuatu yang mengharuskan dia
mengambil kulit, kuku, atau rambutnya.
8. Disyariatkan untuk memakan sebagian dari hewan qurban tersebut. Dalilnya
adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Maka makanlah sebagian darinya.” (al-Hajj: 28) Juga tindakan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam yang memakan sebagian dari hewan qurbannya.
9. Diperbolehkan menyimpan daging qurban tersebut walau lebih dari tiga hari.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dahulu aku melarang
kalian menyimpan daging qurban lebih dari 3 hari. (Sekarang) tahanlah
(simpanlah) semau kalian.” (HR. Muslim no. 1977 dari Buraidah radhiallahu
‘anhu)
10. Disyariatkan untuk menyedekahkan sebagian dari hewan tersebut kepada fakir
miskin. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Berikanlah untuk dimakan
orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (al-Hajj: 28) Juga firman-Nya: “Beri makanlah orang yang
rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang
meminta.” (al-Hajj: 36) Yang dimaksud dengan الْبَائِسَ
الْفَقِيرَ adalah orang faqir
yang menjaga kehormatan dirinya tidak mengemis padahal dia sangat butuh.
Demikian penjelasan Ikrimah dan Mujahid. Adapun yang dimaksud dengan الْقَانِعَ
adalah orang yang meminta-minta daging qurban. Sedangkan الْـمُعْتَرَّ adalah
orang yang tidak meminta-minta daging, namun dia mengharapkannya. Demikian
penjelasan Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah.
11. Diperbolehkan memberikan sebagian dagingnya kepada orang kaya sebagai
hadiah untuk menumbuhkan rasa kasih sayang di kalangan muslimin.
12. Diperbolehkan memberikan sebagian dagingnya kepada orang kafir sebagai
hadiah dan upaya melembutkan hati. Sebab qurban adalah seperti shadaqah sunnah
yang dapat diberikan kepada orang kafir. Adapun shadaqah wajib seperti zakat,
maka tidak boleh diberikan kepada orang kafir. Dan yang dimaksud dengan kafir
disini adalah selain kafir harbi. Al-Lajnah Ad-Da`imah mengeluarkan fatwa
tentang hal ini (11/424-425, no. 1997).
13. Diperbolehkan membagikan daging qurban dalam keadaan mentah ataupun masak.
Diperbolehkan pula mematahkan tulang hewan tersebut.
Demikian beberapa hukum dan adab terkait
dengan qurban yang dapat dipaparkan pada lembar majalah ini, semoga bermanfaat.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu
Abdullah Muhammad Afifuddin
Sumber : https://asysyariah.com/tata-cara-menyembelih-hewan-qurban/