Pembaca
rahimakumullah, sutrah merupakan salah satu penyempurna ibadah shalat. Namun
sayang, syari’at sutrah ini kian asing dan aneh di tengah-tengah kaum muslimin.
Padahal sebenarnya, sutrah telah dibahas dalam karya-karya ilmiah para ulama
salaf terdahulu. Tidak ada perselisihan tentang disyari’atkannya sutrah dalam
shalat, hanya saja mereka berselisih tentang hukumnya, apakah mustahab
(anjuran) ataukah wajib.
Apa Itu
Sutrah?
Sutrah
adalah batas di depan bagi orang yang shalat guna mencegah orang yang hendak
lewat di depannya. Sutrah berupa segala sesuatu yang tegak di hadapan orang
yang shalat seperti dinding, tiang, tongkat atau lainnya. Tidak bisa
dipungkiri, lalu lalang di hadapan orang yang shalat sangat mengganggu
kekhusukan shalat.
Al Imam Ali
al-Qari rahimahullah menjelaskan, “Sutrah dapat mencegah berkuasanya syaithan
terhadap seseorang yang sedang shalat dengan memasukkan was-was ke dalam
hatinya. Bisa jadi seluruh shalatnya dikuasai oleh syaithan, bisa pula
sebagiannya. Semuanya tergantung kejujuran orang yang shalat tersebut serta
bagaimana penghadapan hatinya kepada Allah ta’ala dalam shalatnya. Sementara,
jika tidak menggunakan sutrah maka akan sangat memungkinkan syaithan untuk
menghilangkan apa yang sedang dirasakannya berupa sikap khusyuk, tunduk,
tadabbur al-Qur’an dan dzikir.” (Ashli Shifah Shalatin Nabi shalallahu ‘alaihi
wasallam, [1/115])
Dalil
Disyari’atkannya Sutrah
Sutrah
merupakan syari’at yang shahih dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إذا صلّى
أحدكم إلى شيء يستره من النّاس, فأراد أحد أن يجتاز بين يديه فليدفعه, فإن أبى
فليقا تله فإنّما هو شيطان
“Apabila
salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang bisa menghalanginya
dari manusia (sutrah), lalu ada seseorang ingin lewat di hadapannya, hendaknya
ia mencegahnya. Apabila orang yang hendak lewat itu enggan (tetap memaksa untuk
lewat) maka hendaknya ia memeranginya karena dia itu syaithan.” (HR. al-Bukhari
no. 509 dan Muslim no. 1129, dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahuanhu)
Pembaca
rahimakumullah, ditinjau dari sisi yang meriwayatkan hadits di atas adalah
al-Imam al-Bukhari dan al-Imam Muslim rahimahumallah. Para ulama telah sepakat
menerima keshahihan kedua kitabnya. Apalagi tidak hanya kedua imam tersebut
yang meriwayatkan hadits-hadits terkait syari’at sutrah, bahkan para ulama
terkemuka lainnya juga meriwayatkan perkara tersebut yang mereka bukukan di
dalam kitab-kitab hadits dan kitab-kitab fikih.
Rasulullah
shalallahu’alaihi wasallam juga menegaskan syari’at sutrah ini dengan kalimat
perintah sebagaimana dalam sabdanya,
لاتصلّ إلاّ
إلى سترة, ولاتدع أحدا يمرّ بين يديك فإن أبى فلتقاتله,فإنّ معه القرين
“Jangan
engkau shalat kecuali menghadap sutrah dan jangan engkau biarkan seorangpun
lewat di depanmu. Apabila orang itu menolak (tetap ingin lewat, -pent.),
perangilah dia karena bersamanya ada qarin (syaithan).” (HR. Ibnu Khuzaimah
dalam Shahih-nya)
Menggunakan
Sutrah Merupakan Kebiasaan Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam dan Para
Shahabatnya
Pembaca
rahimahumullah, telah datang riwayat yang banyak sekali dari Rasulullah
shalallahu’alaihi wasallam tentang praktek shalat beliau yang selalu menghadap
kepada sutrah, baik tatkala shalat di dalam masjid ataupun di luar masjid.
Sutrah Nabi shalallahu’alaihi wasallam Ketika di Masjid Sutrah Nabi ketika di
masjid adalah dinding masjid. Shahabat Sahl bin Sa’ad radhiallahuanhu berkata
(artinya), “Dahulu jarak antara tempat shalat beliau dengan dinding adalah
sekadar seekor kambing bisa lewat.” (HR. al-Bukhari no. 496 dan Muslim no.
1134)
Tiang masjid
juga menjadi sutrah dalam shalat beliau shalallahu’alaihi wasallam. Yazid bi
Abi Ubaid datang bersama shahabat Salamah bi al-Aqwa’ radhiallahuanhu, lalu
shahabat Salamah shalat menghadap ke arah tiang. Yazid pun bertanya, “Wahai Abu
Muslim (Salamah bin al-Aqwa’), aku melihatmu shalat menghadap ke tiang”, lalu
beliau manjawab, “Sesungguhnya aku melihat Rasulullah shalallahu’alaihi
wasallam shalat menghadap ke tiang.” (HR. al-Bukhari no. 502)
Suatu saat
shahabat Abdullah bin Umar radhiallahuanhu melihat seseorang shalat di antara
dua tiang, Maka beliau mendekatkan orang tersebut ke sebuah tiang kemudian
berkata, “Shalatlah kamu ke arah tiang.” (HR. al-Bukhari secara mualaq)
Sutrah Nabi
shalallahu’alahi wasallam Ketika Shalat di Dalam Rumahnya
Nabi
shalallahu’alaihi wasallam pernah menjadikan ranjang sebagai sutrahnya. Ummul
Mukminin Aisyah radhiallahuanha mengisahkan, “Suatu saat aku berbaring di atas
tempat tidur. Kemudian Nabi datang dan berdiri tepat menghadap ke tengah
ranjang.” Aisyah radhiallahuanha berkata, “Aku tidak suka posisiku di arah
kiblat beliau. Lalu aku keluar dari arah kakiku sehingga aku keluar dari
selimutku.” (HR. al-Bukhari no. 508)
Sutrah Nabi
shalallahu’alaihi wasallam di Saat Shalat ‘Ied dan di Kala Safar
Shahabat
Abdullah bin Umar radhiallahuanhu menjelaskan,
أن رسول الله صلّى الله عليه وسلّم كان إذا خرج يوم
العيد أمر بالحربة, فتوضع بين يديه, فيصلّي إليها والنّاس وراءه, وكان يفعل ذلك في
السّفر
“Sesungguhnya Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam jika keluar pada hari ‘Ied (untuk melaksanakan shalat ‘Ied) beliau meminta dibawakan sebuah tombak kecil. Maka tombak itu ditancapkan di hadapan beliau, setelah itu beliau shalat menghadap ke tombak tersebut sementara para shahabat shalat di belakang beliau. Belaiu juga melakukan yang demikian itu di kala safar.” (HR. al-Bukhari no. 494)
“Sesungguhnya Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam jika keluar pada hari ‘Ied (untuk melaksanakan shalat ‘Ied) beliau meminta dibawakan sebuah tombak kecil. Maka tombak itu ditancapkan di hadapan beliau, setelah itu beliau shalat menghadap ke tombak tersebut sementara para shahabat shalat di belakang beliau. Belaiu juga melakukan yang demikian itu di kala safar.” (HR. al-Bukhari no. 494)
Al-Hafizh
Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menjelaskan, “Sepertinya al-Imam al-Bukhari
membawa perkara ini kepada kebiasaan yang diketahui dilakukan oleh Rasulullah
shalallahu’alaihi wasallam, yaitu tidaklah beliau melakukan shalat di tanah
lapang melainkan sebuah tombak ada di hadapan beliau (sebagai sutrahnya).”
(Fathul Bari, [1/739])
Shahabat
Abdullah bin Umar radhiallahuanhu juga menjelaskan di saat Rasulullah
shalallahu’alaihi wasallam berkendara unta atau semisalnya (kemudian turun
untuk shalat), beliau melintangkan hewan tunggangan tersebut di hadapannya di
arah kiblat, lalu beliau shalat menghadap ke arah hewan tunggangan tersebut.
(HR. al-Bukhari no. 507)
Mendekat
kepada Sutrah
Tata cara
menghadap sutrah yaitu dengan mendekat kepada sutrah. Yang demikian ini
merupakan perintah Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam di dalam sabdanya,
إذا صلّى
أحدكم إلى سترة فليدن منها, لا يقطع الشيطان عليه صلاته
“Apabila
salah seorang dari kalian shalat menghadap kepada sutrah (yang ada di
hadapannya), hendaklah ia mendekat ke sutrah tersebut agar syaithan tidak
memutus shalatnya.” (HR. Abu Dawud no. 695)
Al-Imam
An-Nawawi rahimahullah menyatakan, “Dalam hadits ini terdapat anjuran (sunnah)
agar seseorang yang shalat mendekat kepada sutrahnya.” (Al-Minhaj, [4/449])
Yang dimaksud
dengan “agar syaithan tidak menghilangkan konsentrasinya dengan mendatangkan
was-was dan menguasainya dalam shalatnya.
Berapa Jarak
antara Tempat Shalat dengan Sutrah?
Para ulama
ahli hadits menyebutkan ada dua riwayat yang shahih dalam masalah ini, yaitu:
1. Riwayat
shahabat Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiallahuanhu, beliau berkata (artinya),
“Jarak antara tempat shalat Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam dengan
dinding adalah selebar jalan seekor kambing.” (HR. al-Bukhari no. 496 dan
Muslim no. 1134) Maksud dari “tempat shalat” pada hadits di atas adalah jarak
antara tempat sujud dengan sutrah (dinding), bukan jarak tempat berdiri dengan
sutrah. Makna inilah yang dipilih oleh al-Imam an-Nawawi rahimahullah dalam
kitab Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, [4/225].
2. Riwayat
shahabat Bilal rahdiallahuanhu, beliau berkata (artinya), “Sesungguhnya Nabi
shalallahu’alaihi wasallam shalat di Ka’bah, jarak antara beliau (berdiri) dan
dinding sejauh tiga hasta.” Al-Imam Ibnu Abdil Bar rahimahullah berkata,
“Hadits ini diriwayatkan Ibnul Qasim dan Jama’ah dari Malik, dan sanad hadits
ini lebih shahih dari sanad hadits Sahl bin Sa’d.” (Lihat at-Tamhid, [5/37-38]
dan al-Istidzkar, [6/171])
Ukuran
Minimal Tinggi Sutrah
Dalam
masalah ini pun telah dicontohkan oleh Baginda Nabi shalallahu’alaihi wasallam
dan dijadikan dasar hukum oleh para ulama kita. Shahabat Thalhah
radhiallahuanhu meriwayatkan bahwa Nabi shalallahu’alaihi wasallam bersabda,
إذا وضع
أحدكم بين يديه مثل مؤخرة الرّحل فليصلّ, ولايبال من مرّوراء ذلك
“Jika seorang
di antara kalian telah meletakkan sutrah setinggi kayu pada bagian belakang
pelana onta maka shalatlah dan jangan hiraukan orang yang lewat di belakang
sutrah tersebut.” (HR. Muslim no. 241)
Al-Imam
an-Nawawi rahimahullah menjelaskan tentang hadits di atas, “Dalam hadits ini
menunjukkan dianjurkannya sutrah di hadapan orang yang shalat sekaligus
memberikan penjelasan bahwa ukuran minimal tinggi sutrah setinggi pada bagian
belakang pelana onta yaitu seukuran dua pertiga hasta. (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim,
[4/216])
Demikianlah
kajian yang singkat ini, semoga bisa menambah tersebar luasnya sunnah-sunnah
Nabi shalallahu’alaihi wasallam. Lebih dari itu, semoga kita menjadi bagian
dari umat Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wasallam yang selalu menghidupkan sunnah-sunnah
beliau shalallahu’alaihi wasallam. Amiin.
Wallahu
a’lam bishshawwab
Penulis:
Ustadz Arif Hafizhahullah
http://buletin-alilmu.net/2019/04/03/sutrah-dalam-shalat/ | Buletin Al Ilmu
http://buletin-alilmu.net/2019/04/03/sutrah-dalam-shalat/ | Buletin Al Ilmu