Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar Thalib
Allah
subhanahuwata’ala menurunkan agama Islam dalam keadaan telah sempurna.
Ia tidak membutuhkan penambahan ataupun pengurangan. Namun toh, banyak
manusia menciptakan amalan-amalan baru yang disandarkan pada agama hanya
karena kebanyakan dari mereka menganggap baik perbuatan tersebut.
Perjalanan
agama Islam yang telah mencapai rentang waktu 14 abad lebih, sedikit
banyak memberikan pengaruh bagi para penganutnya. Sebagian besar di
antara mereka menjalankan agama ini hanya sebatas seperti apa yang
dilakukan para orang tuanya. Yang lebih parah, tidak sedikit pula yang
menjalankan agama ini dalam kungkungan kelompok-kelompok sesat seperti
Khawarij, Syi’ah, Mu’tazilah, Sufi, dan sebagainya. Sementara yang
menjalankan agama ini di atas pemahaman yang sahih jumlahnya amatlah
sedikit.
Seperti inilah kondisi umat Islam. As-Sunnah (ajaran Nabi
shalallahu’alaihi wa sallam) sudah semakin asing sementara bid’ah kian
berkembang. Banyak orang menganggap As-Sunnah sebagai bid’ah dan
menganggap bid’ah sebagai As-Sunnah. Syi’ar-syi’ar bid’ah dengan
mudahnya dijumpai di sekeliling kita, sebaliknya syi’ar-syi’ar As-Sunnah
bagaikan barang langka. Bid’ah secara bahasa artinya adalah mengadakan
sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Dari sini, maka pengertian firman
Allah subhanahuwata’ala:
“Allah Pencipta langit dan bumi.” (al-Baqarah: 117)
Maknanya adalah yang mengadakan keduanya tanpa ada contoh sebelumnya. (al-I’tisham, 1/49)
Dan firman Allah subhanahuwata’ala:
“Katakanlah, ‘Aku bukanlah rasul yang pertama dari rasul-rasul’.” (al-Ahqaf: 9)
Maksudnya,
aku bukanlah orang pertama yang membawa risalah ini dari Allah
subhanahuwata’ala kepada hamba-hamba-Nya, (akan tetapi) telah datang
rasul-rasul sebelumku. Dari sini dapat dikatakan bahwa seseorang
(dikatakan) berbuat bid’ah artinya dia membuat suatu metode baru yang
belum pernah ada contoh sebelumnya. Dari pengertian ini pula, maka
sesuatu yang baru yang diada-adakan dalam agama juga dinamakan bid’ah.
Maka
dari keterangan ini, dapat disimpulkan bahwa bid’ah adalah suatu cara
atau jalan yang baru yang diada-adakan di dalam agama, yang menyerupai
syariat dan tujuannya adalah menunjukkan sikap berlebihan dalam
beribadah kepada Allah subhanahuwata’ala. (al-I’tisham, 1/49—51)
Jenis-Jenis Bid’ah
Al-Imam asy-Syathibi rahimahullah menyebutkan pembagian bid’ah ini menjadi dua, yaitu bid’ah haqiqiyyah dan bid’ah idhafiyyah.
- Bid’ah haqiqiyyah adalah bid’ah yang tidak ada dalil syariat yang menunjukkannya sama sekali, secara global maupun terperinci, tidak dari Al-Qur’an, As-Sunnah, ataupun Ijma’ (kesepakatan ulama).
- Bid’ah idhafiyyah adalah bid’ah yang mengandung dua keadaan. Salah satunya, dalam hal amalan itu termasuk yang disyariatkan, akan tetapi si pembuat bid’ah menyusupkan suatu perkara dari diri mereka kemudian mengubah asal pensyariatannya dengan pengamalannya ini. Kebanyakan bid’ah yang terjadi adalah dari jenis ini.
Sebagai contoh adalah zikir secara
berjamaah dengan irama (suara) yang bersamaan. Pada asalnya zikir adalah
amalan yang disyariatkan, akan tetapi dengan bentuk atau cara yang
seperti ini tidak pernah sama sekali dicontohkan oleh Rasulullah
shalallahu’alaihi wa sallam, maka ini dikatakan bid’ah.
Begitu
pula bid’ah perayaan Maulid Nabi shalallahu’alaihi wa sallam. Pada
hakikatnya, mencintai Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam adalah
wajib bagi setiap muslim dan tidak sempurna keimanannya sehingga dia
menjadikan Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam orang yang paling
dicintainya, lebih dari dirinya sendiri, anak-anaknya, ibu bapaknya,
atau bahkan seluruh manusia. Namun semua itu dibuktikan dengan
menaatinya, melaksanakan segala perintahnya, menjauhi larangannya, serta
membenarkan seluruh berita yang disampaikannya. Dan sesungguhnya beliau
shalallahu’alaihi wa sallam telah melarang umatnya dari kebid’ahan.
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةُ
“Dan
hati-hatilah kalian terhadap perkara baru yang diada-adakan, karena
sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap
kebid’ahan adalah sesat.” (Sahih, HR. Abu Dawud dan lainnya, dari
al-’Irbadh bin Sariyah radhiyallahuanhu)
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang
siapa mengerjakan satu amalan yang tidak ada perintah kami atasnya,
maka amalan itu tertolak.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim dari
‘Aisyah radhiyallahuanha)
Tidak ada satu riwayat pun yang
menyebutkan bahwa para al-Khulafa ar-Rasyidin, sahabat Rasulullah
shalallahu’alaihi wa sallam yang lain, ataupun ulama-ulama Ahlus Sunnah
yang menjadi panutan, mengamalkan perayaan maulid ini. Bahkan
sesungguhnya bid’ah maulid ini pertama kali dilakukan oleh sebagian
orang dari dinasti Fathimiyyin al-’Ubaidiyyin dari golongan sesat Syiah
yang mengaku-aku bahwa mereka adalah keturunan Fathimah radhiyallahuanha
bintu Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam.
Ada pula yang
membagi bid’ah ini berdasarkan akibatnya, yaitu menyebabkan seseorang
menjadi kafir, keluar dari Islam dan bid’ah yang tidak menyebabkan
pelakunya kafir. Adapun bid’ah yang menyebabkan pelakunya keluar dari
Islam adalah mengingkari perkara agama yang dharuri (perkara yang sangat
prinsip dan sangat penting untuk diketahui dalam Islam) yang telah
diketahui dan disepakati oleh kaum muslimin serta mutawatir menurut
syariat Islam.
Misalnya menentang hal-hal yang telah dinyatakan
wajib oleh syariat (shalat, puasa, dan lain-lain), menghalalkan apa yang
diharamkan atau sebaliknya, atau mempunyai keyakinan tentang suatu
perkara yang Allah subhanahuwata’ala dan Rasul-Nya shalallahu’alaihi wa
sallam serta kitab-Nya bersih dari perkara tersebut.
Bid’ah yang
tidak menyebabkan pelakunya keluar dari Islam adalah bid’ah yang tidak
menimbulkan pendustaan (pengingkaran) terhadap Al-Qur’an atau sesuatu
yang dibawa oleh Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam. Seperti yang
pernah terjadi di masa kekuasaan Bani ‘Umayyah, misalnya menunda shalat
dari waktu yang seharusnya dan mendahulukan khutbah dari shalat ‘ied.
Hal ini ditentang oleh para sahabat yang masih hidup ketika itu, namun
mereka tidak mengafirkan para penguasa yang ada ketika itu, bahkan tidak
menarik bai’at (sumpah setia) mereka dari para penguasa itu.
Larangan Berbuat Bid’ah
Dari
keterangan tentang pengertian dan bentuk-bentuk bid’ah ini, maka tidak
samar lagi bahwa perbuatan bid’ah adalah sangat tercela dan mengikutinya
berarti menyimpang dari ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus).
Adapun
larangan berbuat bid’ah senantiasa erat kaitannya dengan perintah
mengikuti Sunnah Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam dan jamaah
(bersatu), baik yang bersumber dari Al-Qur’an maupun hadits-hadits sahih
serta atsar (ucapan) para ulama salaf (baik dari kalangan sahabat,
tabi’in, maupun tabi’ut tabi’in).
Allah subhanahuwata’ala berfirman:
“Dan
berpeganglah kamu sekalian dengan tali (agama) Allah dan janganlah
kalian berpecah-belah! Dan ingatlah nikmat Allah atas kalian ketika
kalian dalam keadaan saling bermusuhan lalu Dia mempersatukan hati-hati
kalian, sehingga akhirnya kalian menjadi bersaudara. Dan (ingatlah)
ketika kalian di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian
darinya. Demikianlah Allah menerangkan kepada kalian ayat-ayat (tanda
kekuasaan)-Nya, mudah-mudahan kalian mendapat petunjuk.” (Ali ‘Imran: 103)
Dan firman Allah subhanahuwata’ala:
“Ikutilah
apa yang telah diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan janganlah
kalian mengikuti wali-wali selain Allah, sedikit sekali dari kalian yang
mau mengambil pelajaran.” (al-A’raf: 3)
“Katakanlah
(wahai Muhammad), jika kalian (betul-betul) mencintai Allah maka
ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni
(dosa-dosa) kalian, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)
“Kalau kalian menaatinya (Nabi Muhammad) niscaya kalian akan mendapat petunjuk.” (an-Nur: 54)
“Sesungguhnya
telah ada dalam diri Rasulullah (Muhammad) suri teladan yang baik bagi
orang yang mengharapkan Allah dan (pahala) hari akhirat, serta banyak
mengingat Allah.” (al-Ahzab: 21)
“Dan apa yang dibawa oleh Rasul itu kepada kalian maka ambillah dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah!” (al-Hasyr: 7)
“Maka
tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan perempuan mukminah, apabila
Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu keputusan, akan ada bagi
mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah tersesat
dengan kesesatan yang nyata.” (al-Ahzab: 36)
“Maka demi
Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidaklah beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang
kamu berikan, dan menerima dengan sepenuhnya.” (an-Nisa’: 65)
Dan Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam bersabda:
أُوصِيْكُم
بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ
عَبْدٌ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُم فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا
فَعَلَيْكُم بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ عَضُّوا
عَلَيْهَا بِالَّنوَاجِذِ وَإِياَّكُم وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُورِ فإِنَّ
كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Saya
wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah subhanahuwata’ala,
mendengar dan menaati (penguasa) walaupun yang memimpin kalian adalah
seorang budak belian. Dan sesungguhnya barang siapa di antara kalian
yang (masih) hidup sepeninggalku, niscaya akan melihat perselisihan yang
banyak. Maka hendaklah kalian berpegang dengan sunnah (jalan atau cara
hidup)-ku dan sunnah para al-Khulafa ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk,
serta gigitlah dia dengan geraham kalian. Dan hati-hatilah kalian
terhadap perkara baru yang diada-adakan, karena sesungguhnya setiap yang
diada-adakan adalah bid’ah dan setiap kebid’ahan adalah sesat.” (Sahih,
HR. Abu Dawud dan lainnya, dari al-’Irbadh bin Sariyah
radhiyallahuanhu)
أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ
كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ n وَشَرَّ الْأُمُورِ
مُحْدَثَاتُهَا فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ
“Kemudian daripada itu. Maka sesungguhnya perkataan yang
paling benar adalah Kitabullah. Dan sebaik-baik tuntunan adalah
tuntunan Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam. Dan seburuk-buruk
perkara adalah yang diada-adakan. Maka sesungguhnya setiap yang
diada-adakan adalah bid’ah dan setiap kebid’ahan adalah sesat.” (Sahih,
HR. Muslim dari Jabir radhiyallahuanhu)”
Abdullah bin ‘Ukaim
radhiyallahuanhu menyebutkan bahwa ‘Umar bin al-Khaththab
radhiyallahuanhu pernah mengatakan, “Sesungguhnya ucapan yang paling
benar adalah firman Allah subhanahuwata’ala. Dan sesungguhnya
sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wa
sallam. Dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan. Ingatlah
bahwa semua yang diada-adakan adalah bid’ah, setiap kebid’ahan adalah
sesat, dan kesesatan itu (tempatnya) di neraka.” (al-Lalikai, 1/84)
‘Abdullah
bin Mas’ud radhiyallahuanhu menyebutkan, “Ikutilah dan janganlah
berbuat bid’ah. Sungguh kamu sekalian telah diberi kecukupan (dalam
agama kalian). Dan setiap kebid’ahan adalah sesat.” (al-Ibanah
1/327—328, al-Lalikai 1/86)
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahuanhu
mengatakan, “Semua bid’ah itu adalah sesat meskipun orang menganggapnya
baik.” (al-Ibanah 1/339, al-Lalikai 1/92) Al-Imam Malik bin Anas
rahimahullah mengatakan, “Barang siapa yang berbuat satu kebid’ahan di
dalam Islam dan dia menganggapnya baik, berarti dia telah menuduh
Rasulullah Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam telah mengkhianati
risalah. Karena Allah subhanahuwata’ala telah menyatakan:
‘Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian, telah Aku cukupkan nikmat-Ku atas kalian, dan Aku ridhai Islam menjadi agama kalian.’ (al-Maidah: 3)
Maka
apa pun yang ketika itu (di zaman Rasulullah shalallahu’alaihi wa
sallam dan para sahabatnya) bukanlah sebagai ajaran Islam, maka pada
hari ini juga bukan sebagai ajaran Islam.”
Al-Imam asy-Syaukani
rahimahullah menyebutkan, “Sesungguhnya apabila Allah subhanahuwata’ala
menyatakan Dia telah menyempurnakan agama-Nya sebelum mencabut ruh
Nabi-Nya shalallahu’alaihi wa sallam, maka apa gunanya lagi segala
pemikiran atau pendapat yang diada-adakan oleh pemiliknya sesudah Allah
subhanahuwata’ala menyempurnakan agama-Nya ini?!
Kalau pendapat
mereka itu merupakan bagian dari agama ini menurut keyakinan mereka, itu
artinya mereka menganggap bahwa agama ini belum sempurna kecuali
setelah dilengkapi dengan pemikiran mereka. Hal ini berarti penentangan
terhadap Al-Qur’an. Dan seandainya pemikiran tersebut bukan dari agama,
maka apa gunanya mereka menyibukkan diri dengan sesuatu yang bukan dari
ajaran agama (Islam)?!
(Ayat) ini adalah hujjah yang tegas dan
dalil yang pasti. Tidak mungkin mereka membantahnya sama sekali
selama-lamanya. Maka dari itu, jadikanlah ayat yang mulia ini sebagai
senjata pertama yang dipukulkan ke muka ahlul bid’ah untuk mematahkan
segala hujjah mereka.”
[al-Qaulul Mufid hlm. 38, dinukil dari al-Luma’]
Wallahu a’lam.
Sumber: Majalah Asy Syariah
http://forumsalafy.net/agama-ini-telah-sempurna/