Oleh
Syaikh Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr
Syaikh Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr
Diantara kesalahan fatal yang dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin dalam
shalat mereka adalah meninggalkan thuma’ninah, padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menganggapkan orang yang tidak melakukannya sebagai pencuri terjelek.
Disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad rahimahullah bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِى يَسْرِقُ مِنْ صَلاتِهِ، قَالُوا: يَا
رَسُولَ اللَّهِ، وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ؟ قَالَ: “لاَ يُتِمُّ
رُكُوعَهَا وَلاَ سُجُودَهَا
‘Pencuri terjelek adalah orang yang mencuri (sesuatu) dari shalatnya.’ Para
Shahabat Radhiyallahu anhum bertanya, ‘Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ! Bagaimana seseorang mencuri sesuatu dari shalatnya ?’ Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Dia tidak menyempurnakan ruku’ dan
sujudnya.’
Dalam hadits ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggap orang
yang mencuri sesuatu dari shalatnya lebih buruk daripada orang yang mencuri
harta.
Thuma’nînah dalam shalat itu termasuk salah satu rukun shalat. Shalat tidak
dianggap sah tanpa ada thuma’nînah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah mengingatkan kepada salah seorang shahabat yang melakukan shalat dengan
buruk :
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ
مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى
تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ
حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا
Jika engkau berdiri hendak melakukan shalat, maka bertakbirlah, kemudian
bacalah ayat al-Qur’an yang mudah bagimu. Setelah itu, ruku’lah sampai engkau
benar-benar ruku’ dengan thuma’nînah. Kemudian, bangunlah sampai engkau tegak
berdiri, setelah itu, sujudlah sampai engkau benar-benar sujud dengan
thuma’nînah. Kemudian, bangunlah sampai engkau benar-benar duduk dengan
thuma’nînah. Lakukanlah itu dalam shalatmu seluruhnya ![1]
Dari hadits ini, para ahli ilmu mengambil kesimpulan bahwa orang yang tidak
meluruskan tulang punggungnya dalam ruku’ dan sujudnya, maka shalatnya tidak
sah dan dia wajib mengulanginya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada salah shahabat yang melakukan shalatnya dengan tidak benar di
atas :
ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ
Kembalilah dan shalatlah ! karena sesungguhnya engkau belum melakukan
shalat.
Dalam banyak hadits, sering disebutkan perintah agar kaum Muslimin
mengerjakan dan menyempurnakan shalat serta peringatan keras dari perbuatan
meninggalkan thuma’nînah atau menghilangkan salah satu rukun ataupun hal-hal
yang diwajibkan dalam shalat. Diantara adalah hadits yang disebutkan di atas ,
juga hadits-hadits berikut :
1. Hadits riwayat al-Bukhâri dan Muslim dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu
anhu, bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَتِمُّوا الرُّكُوْعَ وَالسُّجُوْدَ
Sempurnakanlah ruku’ dan sujud kalian. [2]
Kesempurnaan itu akan terealisasi jika keduanya dilakukan dengan
thuma’ninah
2. Diantara dalil juga adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan
Ibnu Majah dengan sanad yang shahih dari Ali bin Syaiban, beliau Radhiyallahu
anhu mengatakan, “Kami shalat dibelakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam lalu sepintas Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat dengan mata
beliau, ada seorang lelaki yang tidak meluruskan tulang punggungnya dalam ruku’
dan sujud. Setelah selesai shalat, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda.
يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِيْنَ لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ يُقِيْمَ صُلْبَهُ فِي
الرُّكُوْعِ وَالسُّجُوْدِ
Wahai kaum Muslimin, tidak ada shalat bagi orang yang tidak meluruskan
tulang punggungnya dalam ruku’ dan sujud[3]
Maksudnya, dia tidak meluruskan punggungnya setelah ruku dan sujud. Jadi,
hadits ini menunjukkan bahwa berdiri dan duduk serta thuma’nînah pada keduanya
termasuk rukun.
3. Abu Ya’la rahimahullah meriwayatkan dalam Musnadnya (no. 7184; dan
diriwayatkan juga oleh Ath-Thabarani di dalam al-Kabîr, no. 3840; dihasankan
oleh al-Albani dalam Shifat Shalat, hlm. 131) dengan sanad yang hasan :
أَن ّرَسُولَ اللَّهِ n رَأَى رَجُلا لا يُتِمَّ رُكُوعَهُ يَنْقُرُ فِي
سُجُودِهِ وَهُوَ يُصَلِّي ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : لَوْ مَاتَ هَذَا عَلَى حَالِهِ هَذِهِ مَاتَ عَلَى غَيْرِ مِلَّةِ
مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang laki-laki tidak
menyempurnakan ruku’nya, dan mematuk di dalam sujudnya, ketika dia sedang
shalat, maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika orang ini
mati dalam keadaannya seperti itu, dia benar-benar mati tidak di atas agama
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam “.
Ini adalah ancaman keras, dikhawatirkan pelakunya mengalami sû-ul khâtimah,
yaitu mati tidak di atas agama Islam, kita berlindung kepada Allâh dari keadaan
demikian.
4. Imam Ahmad dan lainnya meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu,
dia berkata :
أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ n بِثَلَاثٍ وَنَهَانِي عَنْ ثَلَاثٍ … وَنَهَانِي
عَنْ نَقْرَةٍ كَنَقْرَةِ الدِّيكِ وَإِقْعَاءٍ كَإِقْعَاءِ الْكَلْبِ
وَالْتِفَاتٍ كَالْتِفَاتِ الثَّعْلَبِ
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahku dengan tiga perkara dan melarangku dari tiga perkara… melarangku dari mematuk seperti patukan ayam jantan, duduk iq’â seperti duduk iq’ânya anjing, dan menoleh seperti menolehnya musang”. [HR. Ahmad, no. 8106; dihasankan oleh al-Albâni di dalam Shahîh at-Targhîb, no. 555]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahku dengan tiga perkara dan melarangku dari tiga perkara… melarangku dari mematuk seperti patukan ayam jantan, duduk iq’â seperti duduk iq’ânya anjing, dan menoleh seperti menolehnya musang”. [HR. Ahmad, no. 8106; dihasankan oleh al-Albâni di dalam Shahîh at-Targhîb, no. 555]
5. Imam al-Bukhâri meriwayatkan dalam kitab Shahîhnya (no. 791) :
أَنَّ حُذَيْفَةَ بْنَ اليَمَانِ رَأَى رَجُلًا لَا يُتِمُّ رُكُوعَهُ وَلَا
سُجُودَهُ فَلَمَّا قَضَى صَلَاتَهُ قَالَ لَهُ حُذَيْفَةُ “مَا صَلَّيْتَ قَالَ
وَأَحْسِبُهُ قَالَ لَوْ مُتَّ مُتَّ عَلَى غَيْرِ سُنَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” –وفي رواية-: وَلَوْ مُتَّ مُتَّ عَلَى غَيْرِ الْفِطْرَةِ
الَّتِي فَطَرَ اللَّهُ مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهَا
Bahwa Hudzaifah bin al-Yamân melihat seorang laki-laki tidak menyempurnakan
ruku’ dan sujudnya. Ketika dia sudah menyelesaikan shalatnya, Hudzaifah berkata
kepadanya: “Engkau belum mengerjakan shalat”. Perawi berkata, ‘Dan aku mengira
Hudzaifah berkata kepadanya, “Jika engkau mati (padahal shalatmu seperti ini),
engkau mati tidak di atas sunnah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”. Di
dalam satu riwayat, “Jika engkau mati (padahal shalatmu seperti ini), engkau
mati tidak di atas fithrah yang Allâh jadikan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam di atas fathrah tersebut”.
6. Imam Ahmad dan lainnya meriwayatkan dari Thalq bin ‘Ali Radhiyallahu
anhu, dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَا يَنْظُرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَى صَلَاةِ عَبْدٍ لَا يُقِيمُ فِيهَا
صُلْبَهُ بَيْنَ رُكُوعِهَا وَسُجُودِهَا
Allâh Subhanahu wa Ta’ala tidak melihat shalat seorang hamba yang tidak di
dalam shalatnya tidak menegakkan tulang punggungnya di antara ruku’ dan sujudnya.
7. Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahîhnya (no. 498) dari ‘Aisyah
Radhiyallahu anhuma, dia berkata :
وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ لَمْ يَسْجُدْ حَتَّى
يَسْتَوِىَ قَائِمًا وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ السَّجْدَةِ لَمْ يَسْجُدْ
حَتَّى يَسْتَوِىَ جَالِسًا
Dan beliau (Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) jika mengangkat
kepalanya dari ruku’, beliau tidak akan turun bersujud sampai berdiri dengan
sempurna. Dan jika beliau mengangkat kepalanya dari sujud, Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak bersujud sampai duduk dengan sempurna.
Sesungguhnya banyak sekali hadits-hadits yang berisi perintah menjaga
kesempurnaan ruku’, sujud dan bangkit dari keduanya, dan menunjukkan bahwa hal
itu termasuk rukun shalat. Dan shalat itu tidak sah tanpa dia. Hadits-hadits
tersebut diriwayatkan dalam kitab-kitab hadits, seperti al-Bukhâri, Muslim,
Sunan Empat, dan lainnya. Sebagian hadits-hadits itu telah disebutkan di depan.
Maka kewajiban setiap Muslim menjaga hal itu dengan sempurna dalam shalatnya.
Dia harus menyempurnakan ruku’nya, i’tidalnya, sujudnya dan duduknya. Semua itu
dilakukan dengan sempurna dalam shalatnya, dari awal sampai akhir, dengan cara
yang bisa mendatangkan ridha Allâh Azza wa Jalla , sebagai pengamalan dari
sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berpegang dengan sunnah
beliau yang telah bersabda :
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat. [HR. Al-Bukhâri, no. 631,
6008, 7246; dari hadits Mâlik bin al-Huwairits Radhiyallahu anhu]
Diantara yang mengherankan, ada orang berada di dalam rumahnya, lalu dia
mendengar adzan. Kemudian, dia segera berdiri, bersiap-siap dan keluar dari
rumahnya hendak melaksanakan shalat, bukan untuk yang lain. Ada kemungkinan dia
keluar pada waktu malam yang gelap lagi hujan, menginjak lumpur, melewati air
sehingga bajunya basah; Jika dia keluar, disaat malam musim panas, maka dia pun
tidak aman dari sengatan kalajengking dan serangga berbisa lainnya dalam
gelapnya malam; Ada kemungkinan juga, dia berangkat keadaan sakit dan lemah,
Meski demikian, dia tetap keluar menuju masjid. Dia siap menanggung semua itu
karena ia lebih mengutamakan shalat dan karena cintanya kepada shalat juga
karena niatnya untuk melaksanakan shalat. Dia tidak keluar rumah untuk
selainnya. Namun ketika dia masuk shalat jama’ah bersama imam, setan mulai
menipunya, akhirnya dia pun mendahului imam dalam rukû’, sujud, bangkit dan
turun. Setan memperdayainya agar shalatnya batal dan amalannya gugur, sehingga
dia keluar dari masjid tanpa mendapatkan pahala shalat.
Anehnya, mereka semua meyakini bahwa tidak ada seorang makmum pun di
belakang imam yang boleh berpaling (selesai-red) dari shalatnya sampai imam
berpaling. Semua menanti imam sampai mengucapkan salam. Namun (meskipun mereka
meyakini itu-red), mereka semua mendahului imam di dalam ruku’, sujud, bangkit,
dan turun –kecuali orang yang dikehendaki oleh Allâh- karena setan memperdaya
mereka, menjadikan mereka meremehkan dan merendahkan shalat”. [Dari kitab
ash-Shalât karya imam Ahmad, dimuat di dalam Thabaqat Hanabilah, 1/353]
Berdasarkan nash-nash di atas dan lainnya, yang telah shahih dari
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , para Ulama Islam berpendapat bahwa
menegakkan rukun-rukun dalam rukû’, sujud, dan berdiri di antara keduanya, dan
duduk di antara dua sujud, merupakan kewajiban dalam shalat dan termasuk rukun
shalat. Shalat menjadi batal dengan meninggalkannya, dan orang yang
melakukannya wajib mengulangi shalat.
Riwayat dari perkataan ulama tentang hal ini banyak sekali, tidak mungkin
membawakan semuanya atau sebagiannya di kesempatan ini. Tetapi saya akan
mencukupkan dengan satu riwayat tentang hal ini dari seorang imam yang agung,
yaitu imam Qadhi Abu Yusuf, murid imam Abu Hanifah rahimahullah. Imam Abu Yusuf
berkata :
تَعْدِيْلُ الْأَرْكَانِ الصَّلَاةِ وَهُوَ الطُّمَأْنِيْنَةُ فِي الرُّكُوْعِ
وَالسُّجُوْدِ، وَكَذَا إِتْمَامُ الْقِيَامِ بَيْنَهُمَا وَإِتْمَامُ الْقُعُوْدِ
بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ فَرْضٌ تَبْطُلُ الصَّلَاةُ بِتَرْكِهِ
Menegakkan rukun-rukun shalat, yaitu tumakninah di dalam ruku’ dan sujud,
demikian juga menyempurnakan berdiri di antara keduanya, dan menyempurnakan
duduk di antara dua sujud, merupakan kewajiban, shalat menjadi batal dengan
sebab meninggalkannya.
Banyak Ulama telah meriwayatkan perkataan ini dari imam Abu Yûsuf
rahimahullah. [Termasuk yang meriwayatkan perkataan ini darinya adalah Syaikh
Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab di dalam kitab at-Taudhîh
‘an Tauhîdil Khallâq, hlm. 260-261]
Sesungguhnya kewajiban setiap Muslim untuk menjaga shalatnya, dan
menegakkan shalatnya dengan sempurna dalam menjaga syarat-syaratnya,
rukun-rukunnya, kewajiban-kewajibannyadan sunah-sunahnya. Allâh Azza wa Jalla
telah berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُون ﴿١﴾ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang
yang khusyu’ dalam shalatnya. [al-Mukminûn/23: 1-2]
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ
قَانِتِينَ
Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa (Ashar).
Berdirilah untuk Allâh (dalam shalatmu) dengan khusyu’. [Al-Baqarah/2: 238]
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ ﴿٤﴾ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang
lalai dari shalatnya. [Al-Ma’un/107: 4-5]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsir ayat (yang artinya),
“(Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya”, yaitu adakalanya (lalai dari
pelaksanaan shalat-red) di awal waktunya, dia selalu atau sering menunda
pelaksanaannya di akhir waktunya; Adakalanya (lalai) dari pelaksanaan shalat
dengan memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya sesuai dengan yang telah
diperintahkan; Atau adakalanya (lalai) dari khusyû’ dalam shalat dan tadabbur
(merenungkan) makna-maknanya. Lafazh (ayat tersebut di atas) mencakup semua
itu. Dan setiap orang yang memiliki sebagian sifat ini termasuk bagian dari
(kandungan-red) ayat ini. Barangsiapa memiliki seluruh sifat itu, maka dia
mendapatkan bagian yang sempurna dari ayat ini, dan (dengan demikian-red)
sempurna pula padanya sifat nifaq amaliy (kemunafikan secara amalan)”. [Tafsir
Ibnu Katsir, 8/493]
Semoga Allâh melindungi kita dari hal di atas, dan semoga Dia memberikan
taufiq kepada kita untuk mengamalkan kitab-Nya dan berpegang kepada sunah
Nabi-Nya. Dan semoga Allâh Azza wa Jalla menjadikan kita orang-orang yang
menegakkan shalat dengan menyempurnakan rukun-rukunnya, syarat-syaratnya, dan
kewajiban-kewajibannya. Dan semoga Allâh menerima dari kita perkataan yang baik
dan amalan yang lurus, dan mengampuni kesalahan kita yang berupa kekeliruan,
kekurangan, atau ketergelinciran.
Sesungguhnya Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03-04/Tahun XVII/1434H/2013M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR. al-Bukhâri,no. 757 dan Muslim,no. 397 dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[2]. HR. al-Bukhâri,no. 6644 dan Muslim,no. 425
[3]. HR. Ahmad, no. 16297; Ibnu Majah, no. 871. Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahîhul Jâmi’, no. 7977
_______
Footnote
[1]. HR. al-Bukhâri,no. 757 dan Muslim,no. 397 dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[2]. HR. al-Bukhâri,no. 6644 dan Muslim,no. 425
[3]. HR. Ahmad, no. 16297; Ibnu Majah, no. 871. Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahîhul Jâmi’, no. 7977
Baca Selengkapnya : https://almanhaj.or.id/4093-thumaninah.html