Berkata asy-Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkholi -rahimahullah-:
Adapun seseorang yang menjadikan ilmu
dien sebagai mata pencaharian, sebagaimana yang lainnya dari
pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh orang yang menekuninya sebagai
wasilah untuk mendapatkan penghasilan berupa harta dan memperoleh
kedudukan, serta mencapai kursi kepimpinan dan kekuasaan, maka
sesungguhnya dia tidak akan pernah menaruh perhatian untuk menyebarkan
ilmunya kepada orang-orang yang membutuhkan, tidak pula ia memikirkan
bahwa baginya ada kewajiban terhadap Allah pada perkara tersebut, dan
nanti ia akan memikul tanggung jawab yang besar dan menyesal dengan
penyesalan yang sangat di hari ketika seluruh pemilik ilmu ditanya
tentang apa yang ia amalkan dari ilmunya.
Sungguh telah datang dalam sebuah hadits dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam bahwa beliau berkata :
من تعلم علما مما يبتغي به وجه الله لا يتعلمه إلا ليصيب به عرضا من الدنيا لم يجد عرف الجنة يوم القيامة
((Barangsiapa yang mempelajari suatu
ilmu dari perkara yang seharusnya ia mengharapkan wajah Allah dengannya,
tetapi tidaklah ia mempelajarinya melainkan hanya untuk mendapatkan
bagian daripada dunia, maka ia tidak akan mendapati bau surga di hari
kiamat))
Dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud dan selainnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud dan selainnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Berkata Ibnu ‘Abdil Bar an-Namiri
al-Qurthubi memberi catatan pada hadits ini yang terkandung padanya
ancaman yang keras bagi siapa saja yang mencari dunia dengan ilmunya,
ketika beliau -rahimahullah- mengatakan :
“Sebab hal ini -wallahu a’lam- : bahwa
di dunia terdapat surga yang disegerakan, yaitu mengenali Allah,
mencintaiNya, senang denganNya, rindu untuk berjumpa denganNya, serta
takut dan taat kepadaNya, dalam keadaan ilmu yang bermanfaat akan
menuntun kepada hal tersebut. Maka barangsiapa yang ilmunya telah
menuntunnya untuk memasuki surga yang disegerakan di dunia ini, ia akan
masuk ke dalam surga di akhirat, dan barangsiapa yang tidak mencium
aromanya, maka ia tidak akan mencium aroma surga di akhirat.
Oleh karena itu manusia yang paling
keras siksanya di hari kiamat adalah orang yang tidak bermanfaat ilmunya
untuknya di hadapan Allah. Ia juga manusia yang paling besar
penyesalannya, ketika bersamanya ada alat yang bisa mengantarkannya
kepada derajat yang paling tinggi dan kedudukan yang paling atas, akan
tetapi ia tidak menggunakannya kecuali hanya untuk mengantarkannya
kepada perkara-perkara yang paling hina, paling rendah dan paling tak
berharga.
Maka ia bagaikan orang yang bersamanya
ada mutiara-mutiara yang berharga dan bernilai mahal, lalu ia
menjualnya/menukarnya dengan kotoran atau sesuatu yang menjijikkan dan
tidak bermanfaat sama sekali. Maka inilah kondisi orang yang mencari
dunia dengan ilmunya”.
Telah tsabit pula dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam beliau bersabda :
لا تعلموا العلم لتباهوا به العلماء ، ولا لتماروا به السفهاء ، ولا لتحيزوا به المجالس ، فمن فعل ذلك فالنار النار
((Janganlah kalian mempelajari ilmu
dengan tujuan membanggakannya di hadapan ulama’, tidak pula untuk
mendebat orang-orang bodoh, tidak pula untuk menggiring manusia untuk
bermajelis dengannya. Barangsiapa yang melakukan hal tersebut, maka
neraka, neraka)). Diriwayatkan at-Tirmidzi, Ibnu Hibban dengan maknanya,
dan al-Hakim di dalam al-Mustadrok dengan lafadznya.
Berkata pula Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu :
لا
تعلموا العلم لتباهوا به العلماء ، ولا لتماروا به السفهاء ، أو لتجادلوا
به الفقهاء ، أو لتصرفوا به وجوه الناس إليكم ، وابتغوا بقولكم وفعلكم ما
عند الله فهو يبقى ويفنى ما سواه
“Janganlah kalian mempelajari ilmu
dengan tujuan membanggakannya di hadapan ulama’, tidak pula untuk beradu
mulut dengan orang-orang bodoh, atau berdebat dengan orang-orang faqih,
atau untuk memalingkan wajah-wajah manusia ke arah kalian. Serta
carilah apa yang ada di sisi Allah dengan perkataan dan perbuatan
kalian, karena itulah yang menjadi kekal di sisi Allah sedangkan yang
selain daripada itu akan sirna”.
Berkata Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu :
“Wahai pemikul al-Qur’an, beramallah dengannya. Karena seorang yang berilmu itu hanyalah orang yang mengamalkan apa yang ia ketahui, sehingga amalannya sesuai dengan ilmunya. Nanti akan ada segenap kaum yang mereka mempelajari ilmu dalam keadaan tidak sampai melewati kerongkongan mereka. Apa yang tersembunyi (di hati mereka -ed) menyelisihi apa yang nampak dari mereka. Mereka duduk berhalaqoh-halaqoh, lalu sebagian mereka saling membanggakan kepada sebagian yang lain hingga salah seorang dari mereka akan marah kepada orang yang duduk bermajelis dengannya jika ia duduk di majelis yang lain dan meninggalkan majelisnya. Mereka itulah yang tidak akan naik amalan mereka kepada Allah ‘azza wa jalla pada majelis-majelis mereka tersebut”.
“Wahai pemikul al-Qur’an, beramallah dengannya. Karena seorang yang berilmu itu hanyalah orang yang mengamalkan apa yang ia ketahui, sehingga amalannya sesuai dengan ilmunya. Nanti akan ada segenap kaum yang mereka mempelajari ilmu dalam keadaan tidak sampai melewati kerongkongan mereka. Apa yang tersembunyi (di hati mereka -ed) menyelisihi apa yang nampak dari mereka. Mereka duduk berhalaqoh-halaqoh, lalu sebagian mereka saling membanggakan kepada sebagian yang lain hingga salah seorang dari mereka akan marah kepada orang yang duduk bermajelis dengannya jika ia duduk di majelis yang lain dan meninggalkan majelisnya. Mereka itulah yang tidak akan naik amalan mereka kepada Allah ‘azza wa jalla pada majelis-majelis mereka tersebut”.
Aku katakan : beranjak dari kandungan
nash-nash yang shahih dan atsar-atsar yang arif ini, maka diwajibkan
bagi para penuntut ilmu di setiap masa dan daerah, juga bagi setiap
penduduk lokal maupun pendatang :
1. hendaknya mereka mengamalkan ilmu mereka secara lahir dan batin.
2. hendaknya mereka menaruh perhatian
dalam menyebarkan ilmunya dan menjelaskannya kepada manusia dalam rangka
meneladani para Nabi Allah, para RasulNya, dan orang-orang shalih dari
hamba-hambaNya.
3. hendaknya mereka ikhlas kepada Allah
di dalam mereka menuntut ilmu dan mengajarkannya kepada manusia dengan
cara tidak mengharap ganjaran melainkan hanya dari Allah, serta tidak
merasa khawatir kepada seorangpun dari makhluk selainNya.
4. hendaknya mereka mempelajari sikap
tawadhu’ terhadap ilmu, rendah hati, tenang, dan berwibawa sebagai
bentuk ketaatan kepada Allah dan ittiba’ (mengikuti) kepada Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa salam dengannya dan dengan orang-orang yang diberi
ilmu, akal, zuhud, wara’, dan bertakwa, yang dengan perantara mereka
Allah jaga berbagai bidang ilmu yang mulia.
Yang aku maksudkan adalah para shahabat
dan tabi’in (orang-orang yang mengikuti shahabat) di setiap zaman dan
tempat dari kalangan para pemimpin dalam hal ilmu, keutamaan, dan agama.
Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dengan
petunjuk merekalah hendaknya engkau meneladani, hingga datang kepadamu
kematian dari Rabbmu.
5. hendaknya mereka bersabar atas
gangguan yang tidak bisa lepas darinya bagi penuntut ilmu, terkhusus
ketika hendak menunaikan haknya ilmu, yaitu menerapkannya di medan
kehidupan dunia ini dengan tatacara yang syar’i serta menyeru manusia
kepada hal tersebut dengan kegigihan, kesungguhan, jujur dan ikhlas.
Sumber : “al-Manhaj al-Qowi fi
atTa-assii bi ar-Rasul al-Karim shalallahu ‘alaihi wa salam”, karya
Fadhilatu asy-Syaikh Zaid al-Madkholi -rahimahullah-. dengan sedikit perubahan pada judul tulisan
Yang menukilkan : Kamal Ziyadi – Forum Sahab Salafiyah
http://www.sahab.net/home/?p=1686
Tidak ada komentar:
Posting Komentar