Ketika kaum muslimin, terkhusus para aktivisnya, telah menjauhi dan
meninggalkan metode dan cara yang ditempuh oleh para nabi dan generasi
Salaful Ummah di dalam mengatasi problematika umat dalam upaya
mewujudkan Daulah Islamiyyah, tak pelak lagi mereka akan mengikuti ra`yu dan hawa nafsu. Karena tidak ada lagi setelah Al-Haq yang datang dari Allah Ta’ala dan Rasul-Nya n serta Salaful Ummah, kecuali kesesatan.
Sebagaimana firman Allah:
فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلاَلُ
“Maka apakah setelah Al Haq itu kecuali kesesatan?” (Yunus: 32)
Dengan cara yang mereka tempuh ini, justru mengantarkan umat ini
kepada kehancuran dan perpecahan, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ
تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ ذَلِكُمْ
وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus,
maka ikutlah dia, dan janganlah kalian mengikuti As-Subul (jalan-jalan
yang lain), karena jalan-jalan itu menyebabkan kalian tercerai berai
dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah Ta’alaepadamu agar
kalian bertaqwa.” (Al-An’am: 153)
Diantara cara-cara sesat yang mereka tempuh antara lain:
1.
Penyelesaian problem umat melalui jalur politik dengan ikut terjun
langsung atau tidak langsung dalam panggung politik dengan berbagai
macam alasan untuk membenarkan tindakan mereka.
Diantara mereka ada yang beralasan bahwa tidak mungkin Daulah
Islamiyyah akan terwujud kecuali dengan cara merebut kekuasaan melalui
jalur politik, yaitu dengan memperbanyak perolehan suara dukungan dan
kursi jabatan dalam pemerintahan. Sehingga dengan banyaknya dukungan dan
kursi di pemerintahan, syariat Islam bisa diterapkan. Walaupun dalam
pelaksanaannya, mereka rela untuk mengadopsi dan menerapkan sistem
politik Barat (kufur) yang bertolak belakang seratus delapan puluh
derajat dengan Islam.
Mereka sanggup untuk berdusta dengan menyebarkan isu-isu negatif
terhadap lawan politiknya. Bila perlu, merekapun sanggup untuk
mencampakkan prinsip-prisip Islam yang paling utama dalam rangka untuk
memuluskan ambisi mereka, baik melalui acara ‘kontrak politik’ atau yang
semisalnya.(1) Bahkan tidak jarang merekapun sanggup untuk
berdusta atas nama Ulama Ahlus Sunnah dengan mencuplik fatwa-fatwa para
ulama tersebut dan mengaplikasikannya tidak pada tempatnya. Cara ini
lebih banyak dipraktekkan oleh kelompok Al-Ikhwanul Muslimun.
Sebagian kelompok lagi beralasan bahwa melalui politik ini akan bisa
direalisasikan amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa, yaitu dengan
menekan dan memaksa mereka menerapkan hukum syariat Islam dan
meninggalkan segala hukum selain hukum Islam.
Walaupun sepintas lalu mereka tampak ‘menghindarkan diri’ untuk terjun langsung ke panggung politik demokrasi seperti halnya kelompok pertama, namun ternyata mereka menerapkan cara-cara Khawarij di dalam melaksanakan aktivitas politiknya. Yaitu melalui berbagai macam orasi politik yang penuh dengan provokasi, atau dengan berbagai aksi demonstrasi dengan menggiring anak muda-mudi sebagaimana digiringnya gerombolan kambing oleh penggembalanya.
Walaupun sepintas lalu mereka tampak ‘menghindarkan diri’ untuk terjun langsung ke panggung politik demokrasi seperti halnya kelompok pertama, namun ternyata mereka menerapkan cara-cara Khawarij di dalam melaksanakan aktivitas politiknya. Yaitu melalui berbagai macam orasi politik yang penuh dengan provokasi, atau dengan berbagai aksi demonstrasi dengan menggiring anak muda-mudi sebagaimana digiringnya gerombolan kambing oleh penggembalanya.
Kemudian mereka menamakan tindakan-tindakan tersebut sebagai tindakan
kritik dan kontrol serta koreksi terhadap penguasa, atau terkadang
mereka mengistilahkannya dengan amar ma’ruf nahi munkar. Yang ternyata
tindakan mereka tersebut justru mendatangkan kehinaan bagi kaum muslimin
serta ketidakstabilan bagi kehidupan umat Islam, baik sebagai pribadi
muslim ataupun sebagai warga negara di banyak negeri. Dengan ini, semakin pupuslah harapan terwujudnya Daulah Islamiyyah. Cara ini lebih banyak dimainkan oleh kelompok Hizbut Tahrir.
Maka Ahlus Sunnah menyatakan kepada mereka, baik kelompok Al-Ikhwanul
Muslimun ataupun Hizbut Tahrir serta semua pihak yang menempuh cara
mereka, tunjukkan kepada umat ini satu saja Daulah Islamiyyah yang
berhasil kalian wujudkan dengan cara yang kalian tempuh sepanjang
sejarah kelompok kalian. Di Mesir kalian telah gagal total, bahkan harus
ditebus dengan dieksekusinya tokoh-tokoh kalian di tiang gantungan atau
ditembak mati, dan semakin suramnya nasib dakwah. Di Al-Jazair pun
ternyata juga pupus bahkan berakhir dengan pertumpahan darah dan
perpecahan.
Atau mungkin kalian akan menyebut Sudan, sebagai Daulah Islamiyyah
yang berhasil kalian dirikan, dimana kalian berhasil dalam Pemilu di
negeri tersebut. Namun apa yang terjadi setelah itu…? Wakil Presidennya
adalah seorang Nashrani, lebih dari 10 orang menteri di kabinet adalah
Nashrani. Atau mungkin kalian menganggap itu sebagai kesuksesan di
panggung politik di negeri Sudan, ketika kalian berhasil ‘mengorbitkan’
salah satu pembesar kalian di negeri tersebut dan memegang salah satu
tampuk kepemimpinan tertinggi di negeri itu, yaitu Hasan At-Turabi.
Apakah orang seperti dia yang kalian banggakan, orang yang berakidah dan
berpemikiran sesat?! Simak salah satu ucapan dia: “Aku ingin berkata
bahwa dalam lingkup daulah yang satu dan perjanjian yang satu, boleh
bagi seorang muslim – sebagaimana boleh pula bagi seorang Nashrani–
untuk mengganti agamanya.”(2)
Kami pun mengatakan kepada kelompok Hizbut Tahrir dengan pernyataan yang sama. Bagaimana
Allah akan memberikan keberhasilan kepada kalian sementara kalian
menempuh cara-cara Khawarij yang telah dikecam keras oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam dalam sekian banyak haditsnya?
Dimana prinsip dan dakwah kalian –wahai Hizbut Tahrir—dibanding
manhaj yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dalam
menyampaikan nasehat kepada penguasa, sebagaimana hadits beliau, dari
shahabat ‘Iyadh bin Ghunm: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam
bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانِ فَلاَ يُبْدِهِ
عَلاَنِيَةً، وَلَكِنْ يَأْخُذُ بِيَدِهِ فَيَخْلُو بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ
مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلاَّ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang hendak menasehati seorang penguasa, maka jangan
dilakukan secara terang-terangan (di tempat umum atau terbuka dan yang
semisalnya, pent). Namun hendaknya dia sampaikan kepadanya secara
pribadi, jika ia (penguasa itu) menerima nasehat tersebut maka itulah
yang diharapkan, namun jika tidak mau menerimanya maka berarti ia telah
menunaikan kewajibannya.” (HR. Ahmad, Ibnu Abi ‘Ashim, Al-Baihaqi.
Hadits ini dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani di dalam Zhilalul Jannah
hadits no. 1096)
2.
Jenis cara batil yang kedua adalah melalui tindakan atau gerakan
kudeta/revolusi terhadap penguasa yang sah, dengan alasan mereka telah
kafir karena tidak menerapkan hukum/syariat Islam dalam praktek
kenegaraannya.
Kelompok pergerakan ini cenderung menamakan tindakan teror dan kudeta yang mereka lakukan dengan nama jihad,
yang pada hakekatnya justru tindakan tersebut membuat kabur dan
tercemarnya nama harum jihad itu sendiri. Mereka melakukan pengeboman di
tempat-tempat umum sehingga tak pelak lagi warga sipil menjadi korban.
Bahkan tak jarang di tengah-tengah mereka didapati sebagian umat Islam
yang tidak bersalah dan tidak mengerti apa-apa. Cara-cara seperti ini
lebih banyak diperankan oleh kelompok-kelompok radikal semacam Jamaah
Islamiyyah, demikian juga Usamah bin Laden –salah satu tokoh Khawarij
masa kini— dengan Al-Qaeda-nya beserta para pengikutnya dari kalangan
pemuda yang tidak memiliki bekal ilmu syar’i dan cenderung melandasi
sikapnya di atas emosi.
Cara-cara yang
mereka lakukan ini merupakan salah satu bentuk pengaruh
pemikiran-pemikiran sesat dari tokoh-tokoh mereka, seperti:
a. Abul A’la Al-Maududi, dimana dia menyatakan:
“…Mungkin telah jelas bagi anda semua dari tulisan-tulisan dan
risalah-risalah kita bahwa tujuan kita yang paling tinggi yang kita
perjuangkan adalah: MENGADAKAN GERAKAN PENGGULINGAN KEPEMIMPINAN.
Dan yang saya maksudkan dengan itu adalah untuk membersihkan dunia ini
dari kekotoran para pemimpin yang fasiq dan jahat. Dan dengan itu kita
bisa menegakkan imamah yang baik dan terbimbing. Itulah usaha dan
perjuangan yang bisa menyampaikan ke sana. Itu adalah cara yang lebih
berhasil untuk mencapai keridhaan Allah dan mengharapkan wajah-Nya yang
mulia di dunia dan akhirat.” (Al-Ushusul Akhlaqiyyah lil Harakah
Al-Islamiyyah, hal. 16)
Al-Maududi juga berkata: “Kalau seseorang ingin membersihkan bumi ini
dan menukar kejahatan dengan kebaikan… tidak cukup bagi mereka hanya
dengan berdakwah mengajak manusia kepada kebaikan dan mengagungkan
ketakwaan kepada Allah serta menyuruh mereka untuk berakhlak mulia. Tapi
mereka harus mengumpulkan beberapa unsur (kekuatan) manusia yang shalih
sebanyak mungkin, kemudian dibentuk (sebagai suatu kekuatan) untuk
merebut kepemimpinan dunia dari orang-orang yang kini sedang memegangnya
dan mengadakan revolusi.” (Al-Ususul Akhlaqiyah lil Harakah
Al-Islamiyyah, hal. 17-18)
b. Sayyid Quthb. Pernyataan Sayyid Quthb dalam
beberapa karyanya yang mengarahkan dan menggiring umat ini untuk
menyikap lingkungan dan masyarakat serta pemerintahan muslim sebagai
lingkungan, masyarakat, dan pemerintahan yang kafir dan jahiliyah.
Pemikiran ini berujung kepada tindakan kudeta dan penggulingan kekuasaan
sebagai bentuk metode penyelesaian problema umat demi terwujudnya
Khilafah Islamiyyah.
Metode berpikir seperti tersebut di atas disuarakan pula oleh tokoh-tokoh mereka yang lainnya seperti Sa’id Hawwa, Abdullah ‘Azzam, Salman Al-‘Audah, DR. Safar Al-Hawali, dan lain-lain.(3)
Metode berpikir seperti tersebut di atas disuarakan pula oleh tokoh-tokoh mereka yang lainnya seperti Sa’id Hawwa, Abdullah ‘Azzam, Salman Al-‘Audah, DR. Safar Al-Hawali, dan lain-lain.(3)
Buku-buku dan karya-karya mereka telah tersebar luas di negeri ini,
yang cukup punya andil besar dalam menggiring para pemuda khususnya
untuk berpemikiran radikal serta memilih cara-cara kekerasan untuk
mengatasi problematika umat ini dan menggapai angan yang mereka
canangkan. Maka wajib bagi semua pihak dari kalangan muslimin untuk
berhati-hati dan tidak mengkonsumsi buku fitnah karya tokoh-tokoh
Khawarij.
Demikian juga buku-buku kelompok Syi’ah Rafidhah yang juga syarat
dengan berbagai provokasi kepada umat ini untuk melakukan berbagai aksi
dan tindakan teror terhadap penguasa. Mudah-mudahan Allah Ta’ala
memberikan taufiq-Nya kepada pemerintah kita agar mereka bisa mencegah
peredaran buku-buku sesat dan menyesatkan tersebut di tengah-tengah
umat, demi terwujudnya stabilitas keamanan umat Islam di negeri ini.
Khilafah Islamiyyah bukan Tujuan Utama Dakwah para Nabi
Dari penjelasan-penjelasan di atas jelas bagi kita, bahwa banyak dari kalangan aktivis
pergerakan-pergerakan Islam yang menyatakan bahwa permasalahan Daulah
Islamiyyah merupakan permasalahan yang penting, bahkan terpenting dalam
masalah agama dan kehidupan.
Dari situ muncul beberapa pertanyaan besar yang harus diketahui
jawabannya oleh setiap muslim, yaitu: Apakah penegakan Daulah Islamiyyah
adalah fardhu ‘ain (kewajiban atas setiap pribadi muslim) yang harus
dipusatkan atau dikosentrasikan pikiran, waktu, dan tenaga umat ini
untuk mewujudkannya?
Kemudian: Benarkah bahwa tujuan utama dakwah para nabi adalah penegakan Daulah Islamiyyah?
Maka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, mari kita simak penjelasan para ulama besar Islam berikut ini:
Al-Imam Abul Hasan Al-Mawardi berkata di dalam kitabnya Al-Ahkam As-Sulthaniyah:
“…Jika telah pasti tentang wajibnya (penegakan) Al-Imamah
(kepemerintahan/kepemimpinan) maka tingkat kewajibannya adalah fardhu
kifayah, seperti kewajiban jihad dan menuntut ilmu.” Sebelumnya beliau
juga berkata: “Al-Imamah ditegakkan sebagai sarana untuk melanjutkan
khilafatun nubuwwah dalam rangka menjaga agama dan pengaturan urusan
dunia yang penegakannya adalah wajib secara ijma’, bagi pihak yang
berwenang dalam urusan tersebut.” (Al-Ahkam As-Sulthaniyah, hal. 5-6)
Imamul Haramain menyatakan bahwa permasalahan Al-Imamah merupakan jenis permasalahan furu’. (Al-Ahkam As-Sulthaniyah, hal. 5-6)
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali berkata: “Maka
anda melihat pernyataan mereka (para ulama) tentang permasalahan
Al-Imamah bahwasanya ia tergolong permasalahan furu’, tidak lebih
sebatas wasilah (sarana) yang berfungsi sebagai pelindung terhadap agama
dan politik (di) dunia, yang dalil tentang kewajibannya masih
diperselisihkan apakah dalil ‘aqli ataukah dalil syar’i…. Bagaimanapun,
jenis permasalahan yang seperti ini kondisinya, yang masih
diperselisihkan tentang posisi dalil yang mewajibkannya, bagaimana
mungkin bisa dikatakan bahwa masalah Al-Imamah ini merupakan puncak
tujuan agama yang paling hakiki?” Demikian jawaban dari pertanyaan pertama.
Adapun jawaban untuk pertanyaan kedua, mari kita simak penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah :
“Sesungguhnya pihak-pihak yang berpendapat bahwa permasalahan
Al-Imamah merupakan satu tuntutan yang paling penting dalam hukum Islam
dan merupakan permasalahan umat yang paling utama (mulia) adalah suatu
kedustaan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin, baik
dari kalangan Ahlus Sunnah maupun dari kalangan Syi’ah (itu sendiri).
Bahkan pendapat tersebut terkategorikan sebagai suatu kekufuran, sebab
masalah iman kepada Allah dan Rasul-Nya adalah perma-salahan yang jauh
lebih penting daripada perma-salahan Al-Imamah. Hal ini merupakan
permasalahan yang diketahui secara pasti dalam dienul Islam.” (Minhajus
Sunnah An-Nabawiyah, 1/16)
Kemudian beliau melanjutkan:
“…Kalau (seandainya) demikian (yakni kalau seandainya Al-Imamah merupakan tujuan utama dakwah para nabi, pent), maka (mestinya) wajib atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam untuk menjelaskan (hal ini) kepada umatnya sepeninggal beliau, sebagaimana beliau telah menjelaskan kepada umat ini tentang permasalahan shalat, shaum (puasa), zakat, haji, dan telah menentukan perkara iman dan tauhid kepada Allah Ta’ala serta iman pada hari akhir. Dan suatu hal yang diketahui bahwa penjelasan tentang Al-Imamah di dalam Al Qur`an dan As Sunnah tidak seperti penjelasan tentang perkara-perkara ushul (prinsip) tersebut… Dan juga tentunya Diantara perkara yang diketahui bahwa suatu tuntutan terpenting dalam agama ini, maka penjelasannya di dalam Al Qur`an akan jauh lebih besar dibandingkan masalah-masalah lain. Demikian juga penjelasan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam terntang permasalahan (Al-Imamah) tersebut akan lebih diutamakan dibandingkan permasalahan-permasalahan lainnya. Sementara Al Qur`an dipenuhi dengan penyebutan (dalil-dalil) tentang tauhid kepada Allah Ta’ala, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta tanda-tanda kebesaran-Nya, tentang (iman) kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab suci-Nya, para rasul-Nya, dan hari akhir. Dan tentang kisah-kisah (umat terdahulu), tentang perintah dan larangan, hukum-hukum had dan warisan. Sangat berbeda sekali dengan permasalahan Al-Imamah. Bagaimana mungkin Al Qur`an akan dipenuhi dengan selain permasalahan-permasalahan yang penting dan mulia?” (Minhajus Sunnah An-Nabawiyah, 1/16)
“…Kalau (seandainya) demikian (yakni kalau seandainya Al-Imamah merupakan tujuan utama dakwah para nabi, pent), maka (mestinya) wajib atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam untuk menjelaskan (hal ini) kepada umatnya sepeninggal beliau, sebagaimana beliau telah menjelaskan kepada umat ini tentang permasalahan shalat, shaum (puasa), zakat, haji, dan telah menentukan perkara iman dan tauhid kepada Allah Ta’ala serta iman pada hari akhir. Dan suatu hal yang diketahui bahwa penjelasan tentang Al-Imamah di dalam Al Qur`an dan As Sunnah tidak seperti penjelasan tentang perkara-perkara ushul (prinsip) tersebut… Dan juga tentunya Diantara perkara yang diketahui bahwa suatu tuntutan terpenting dalam agama ini, maka penjelasannya di dalam Al Qur`an akan jauh lebih besar dibandingkan masalah-masalah lain. Demikian juga penjelasan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam terntang permasalahan (Al-Imamah) tersebut akan lebih diutamakan dibandingkan permasalahan-permasalahan lainnya. Sementara Al Qur`an dipenuhi dengan penyebutan (dalil-dalil) tentang tauhid kepada Allah Ta’ala, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta tanda-tanda kebesaran-Nya, tentang (iman) kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab suci-Nya, para rasul-Nya, dan hari akhir. Dan tentang kisah-kisah (umat terdahulu), tentang perintah dan larangan, hukum-hukum had dan warisan. Sangat berbeda sekali dengan permasalahan Al-Imamah. Bagaimana mungkin Al Qur`an akan dipenuhi dengan selain permasalahan-permasalahan yang penting dan mulia?” (Minhajus Sunnah An-Nabawiyah, 1/16)
Setelah kita membaca penjelasan ilmiah Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah di atas, lalu coba kita bandingkan dengan ucapan Al-Maududi,
yang menyatakan bahwa:
1. Permasalahan Al-Imamah adalah inti permasalahan dalam kehidupan kemanusiaan dan merupakan pokok dasar dan paling mendasar.
2. Puncak tujuan agama yang paling hakiki adalah penegakan struktur Al-Imamah (kepemerintahan) yang shalihah dan rasyidah.
3. (Permasalahan Al-Imamah) adalah tujuan utama tugas para nabi.
1. Permasalahan Al-Imamah adalah inti permasalahan dalam kehidupan kemanusiaan dan merupakan pokok dasar dan paling mendasar.
2. Puncak tujuan agama yang paling hakiki adalah penegakan struktur Al-Imamah (kepemerintahan) yang shalihah dan rasyidah.
3. (Permasalahan Al-Imamah) adalah tujuan utama tugas para nabi.
Menanggapi hal itu, Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah berkata: “Sesungguhnya
permasalahan yang terpenting adalah permasalahan yang dibawa oleh
seluruh para nabi –alaihimush shalatu was salaam- yaitu permasalahan tauhid dan iman, sebagaimana telah Allah simpulkan dalam firman-Nya:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ أُمَّةٍ رَسُوْلاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ
“Dan sesungguhnya telah Kami utus pada tiap-tiap umat seorang rasul
(dengan tugas menyeru) beribadahlah kalian kepada Allah (saja) dan
jauhilah oleh kalian thagut.” (An-Nahl: 36)
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُوْلٍ إِلاَّ نُوْحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُوْنِ
“Tidaklah Kami utus sebelummu seorang rasul-pun kecuali pasti kami
wahyukan kepadanya: Sesungguhnya tidak ada yang berhak untuk diibadahi
kecuali Aku, maka beribadahlah kalian semuanya (hanya) kepada-Ku.”
(Al-Anbiya`: 25)
وَلَقَدْ أُوْحَي إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ
أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ
“Sungguh telah kami wahyukan kepadamu dan kepada (para nabi) yang
sebelummu (bahwa) jika engkau berbuat syirik niscaya akan batal seluruh
amalanmu dan niscaya engkau akan termasuk orang-orang yang merugi.”
(Az-Zumar: 65)
Inilah permasalahan yang terpenting yang karenanya terjadi permusuhan
antara para nabi dengan umat mereka, dan karenanya ditenggelamkan
pihak-pihak yang telah ditenggelamkan… Dan sesungguhnya puncak tujuan
agama yang paling hakiki dan tujuan penciptaan jin dan manusia, serta
tujuan diutusnya para Rasul, dan diturunkannya kitab-kitab suci adalah
peribadatan kepada Allah (tauhid), serta pemurnian agama hanya
untuk-Nya.
Sebagaimana firman Allah:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُيْنِ
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
الر، كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ
حَكِيْمٍ خَبِيْرٍ. أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ اللهَ إِنَّنِي لَكُمْ مِنْهُ
نَذِيْرٌ وَبَشِيْرٌ
“Aliif Laam Raa. (Inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun
dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi
(Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu. Agar kalian tidak beribadah
kecuali kepada Allah. Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah pemberi
peringatan dan pembawa kabar gembira kepadamu daripada-Nya.” (Hud: 1-2)
Demikian tulisan ini kami sajikan sebagai bentuk nasehat bagi seluruh
kaum muslimin. Semoga Allah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada
kita semua.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Footnote :
1. Untuk lebih jelasnya tentang berbagai sepak terjang mereka yang menyimpang dalam politik, pembaca bisa membaca kitab Madarikun Nazhar fi As-Siyasah karya Asy-Syaikh Abdul Malik Ramadhani; dan kitab Tanwiiruzh Zhulumat bi Kasyfi Mafasidi wa Syubuhati Al-Intikhabaat oleh Asy-Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdullah Al-Imam.
2. Ucapan ini dinyatakan di Universitas Khurthum, seperti dinukil oleh Ahmad bin Malik dalam Ash-Sharimul Maslul fi Raddi ‘ala At-Turabi Syaatimir Rasul, hal 12.
3. Tiga tokoh terakhir ini yang banyak berpengaruh dan sangat dikagumi oleh seorang teroris muda berasal dari Indonesia, bernama Imam Samudra.
1. Untuk lebih jelasnya tentang berbagai sepak terjang mereka yang menyimpang dalam politik, pembaca bisa membaca kitab Madarikun Nazhar fi As-Siyasah karya Asy-Syaikh Abdul Malik Ramadhani; dan kitab Tanwiiruzh Zhulumat bi Kasyfi Mafasidi wa Syubuhati Al-Intikhabaat oleh Asy-Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdullah Al-Imam.
2. Ucapan ini dinyatakan di Universitas Khurthum, seperti dinukil oleh Ahmad bin Malik dalam Ash-Sharimul Maslul fi Raddi ‘ala At-Turabi Syaatimir Rasul, hal 12.
3. Tiga tokoh terakhir ini yang banyak berpengaruh dan sangat dikagumi oleh seorang teroris muda berasal dari Indonesia, bernama Imam Samudra.
(Dikutip dari majalah Asy Syariah, Vol. II/No. 17/1426 H/2005, judul
asli “Cara-Cara Batil Menegakkan Daulah Islamiyah, karya Al-Ustadz Abu
Abdillah Luqman Ba’abduh, url http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=289)