Di
blog ini telah dituliskan artikel singkat tentang pajak (= orang yang
bekerja sebagai pemungut pajak) dan bagaimana syari’at memandangnya.[1]
Pada kesempatan ini, saya (abul Jauza)akan coba tuliskan bahasan lain tentang
pendapat sebagian ulama yang ‘membolehkan’ pajak dengan syarat-syarat
tertentu.
Menurut sebagian ulama, pajak diperbolehkan dalam keadaan darurat apabila pendapatan negara yang sah[2] yang telah ditetapkan tidak mencukupi anggaran belanja (= kas di baitul-maal kosong).
Pajak tersebut dipungut dari orang-orang kaya dari sisa kebutuhan
pokoknya. Pemungutan pajak bertujuan untuk memelihara keamanan kaum
muslimin, mendatangkan maslahat dan menghindarkan mafsadat dari mereka.
Mereka berdalil dengan beberapa nash sebagai berikut :
وَاعْبُدُوا
اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي
الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ
السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
“Sembahlah
Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan
berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh,
teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu” [QS. An-Nisaa’ : 36].
وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا
“Dan
berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada
orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros” [QS. Al-Israa’ : 26].
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan” [QS. Al-Insaan : 8].
يَسْأَلُونَكَ
مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ
وَالأقْرَبِينَ وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا
تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
“Mereka
bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa
saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak,
kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang
sedang dalam perjalanan.” Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka
sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya” [QS. Al-Baqarah : 215].
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian” [QS. Adz-Dzariyaat : 19].
Ayat-ayat
di atas menjelaskan kewajiban orang-orang yang berharta untuk mencukupi
kebutuhan mereka-mereka yang kekurangan dan memerlukan uluran bantuan
dengan menginfakkan sebagian harta mereka.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
إِنَّ فِي الْمَالِ حَقًّا سِوَى الزَّكَاةِ
“Sesungguhnya dalam harta itu terdapat kewajiban selain zakat” [Diriwayatkan
oleh At-Tirmidziy no. 659-660, Ad-Daarimiy no. 1677, Ad-Daaruquthniy
no. 2016-2017, Al-Baihaqiy 4/84, Ath-Thabaraaniy 24/403-404 no. 979,
Al-Baghawiy 6/68-69 no. 1592, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 2/27 no. 3043 dan dalam Ahkaamul-Qur’aan no. 639, Ath-Thabaraaniy dalam Jaami’ul-Bayaan 3/80, Ibnu Abi Haatim dalam At-Tafsiir no. 1548, Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 5/19 no. 888, dan Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush-Shahaabah hal. 3418 no. 7800; semuanya dari jalan Syariik, dari Abu Hamzah, dari Asy-Sya’biy, dari Faathimah binti Qais, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Syariik mempunyai mutaba’ah dari Hammaad bin Salamah sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 24/404 no. 980].
Hadits
ini tidak shahih karena kelemahan Syariik bin ‘Abdillah An-Nakha’iy dan
Abu Hamzah Maimuun Al-A’war. Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah melemahkan hadits ini dalam Dla’iif Sunan At-Tirmidziy hal. 70-71 (Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1420 H).
Akan tetapi matan hadits tersebut berkesesuaian dengan ayat :
لَيْسَ
الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
وَالْمَلائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى
حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ
السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى
الزَّكَاةَ
“Bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan
tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari
kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta
yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang
meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan
menunaikan zakat” [QS. Al-Baqarah : 177].
Allah ta’ala telah
menyebutkan ketetapan bagi kaum muslimin untuk memberikan (sebagian)
harta mereka kepada para kerabat, anak yatim, orang-orang miskin,
musaafir, dan orang-orang yang meminta-minta; sebelum ketetapan zakat.
Para
ulama telah sepakat bahwa jika zakat tidak dapat memenuhi kebutuhan
kaum muslimin, maka orang-orang kaya wajib mengeluarkan hartanya untuk
memenuhi kebutuhan tersebut.
حَدَّثَنَا
شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ، حَدَّثَنَا أَبُو الْأَشْهَبِ، عَنْ أَبِي
نَضْرَةَ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ فِي
سَفَرٍ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَ رَجُلٌ
عَلَى رَاحِلَةٍ لَهُ، قَالَ: فَجَعَلَ يَصْرِفُ بَصَرَهُ يَمِينًا
وَشِمَالًا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ”
مَنْ كَانَ مَعَهُ فَضْلُ ظَهْرٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لَا ظَهْرَ
لَهُ، وَمَنْ كَانَ لَهُ فَضْلٌ مِنْ زَادٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لَا
زَادَ لَهُ “، قَالَ: فَذَكَرَ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ مَا ذَكَرَ حَتَّى
رَأَيْنَا أَنَّهُ لَا حَقَّ لِأَحَدٍ مِنَّا فِي فَضْلٍ
Telah
menceritakan kepada kami Syaibaan bin Farruukh : Telah menceritakan
kepada kami Abul-Asyhab, dari Abu nadlrah, dari Abu Sa’iid Al-Khudriy,
ia berkata : “Ketika kami berada di tengah safar bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, datanglah seorang laki-laki di atas kendaraannya. Ia menolehkan pandangannya ke kanan dan ke kiri. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa
yang padanya ada kelebihan tempat pada kendaraannya, hendaklah ia
memberikan kepada orang yang tidak mempunyai kendaraan. Dan barangsiapa
yang mempunyai kelebihan bekal, hendaklah ia memberikannya kepada orang
yang tidak mempunyai bekal”. Abu Sa’iid berkata : “Lalu beliau
menyebutkan macam-macam harta hingga kami memandang bahwa tidak ada
seorang pun di antara kami yang mempunyai hak atas kelebihan harta tadi”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 1728].
حَدَّثَنَا
أَبُو النُّعْمَانِ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ،
قَالَ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا أَبُو عُثْمَانَ، عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ، أَنَّ أَصْحَابَ الصُّفَّةِ كَانُوا
أُنَاسًا فُقَرَاءَ، وَأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: ” مَنْ كَانَ عِنْدَهُ طَعَامُ اثْنَيْنِ فَلْيَذْهَبْ بِثَالِثٍ،
وَإِنْ أَرْبَعٌ فَخَامِسٌ أَوْ سَادِسٌ
Telah
menceritakan kepada kami Abun-Nu’maan, ia berkata : telah menceritakan
kepada kami Mu’tamir bin Sulaimaan, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Utsmaan, dari
‘Abdurrahmaan bin Abi Bakr : Bahwasannya ashhaabush-shuffah itu termasuk orang-orang fakir. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda : “Barangsiapa
mempunyai makanan yang cukup untuk dua orang, hendaklah ia pergi
mengundang orang yang ketiga; dan barangsiapa mempunyai makanan yang
cukup untuk empat orang, hendaklah ia pergi mengundang orang yang kelima
atau keenam….” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 602].
Dan
di antara alasan lain yang membolehkan pajak saat darurat untuk
kemaslahatan kaum muslimin adalah bahwa harta itu hakekatnya milik Allah
ta’ala. Dan bagi manusia, ia hanyalah titipan dan amanah yang mesti dikelola sebagaimana mestinya (sebagaimana yang diperintahkan).
أَلا إِنَّ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ أَلا إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لا يَعْلَمُونَ
”Ingatlah, sesungguhnya kepunyaan Allah apa yang ada di langit dan di bumi. Ingatlah, sesungguhnya janji Allah itu benar, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui(nya).” [QS. Yunus : 55].
آمِنُوا
بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ
فِيهِ فَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ
”Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman diantara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar” [QS. Al-Hadid : 7].
Dalam
hal ini, pemerintah Islam bertanggung jawab atas segala permasalahan
rakyatnya, menghindarkan segala kemudlaratan, mendatangkan segala
kemaslahatan, dan mewujudkan keadilan. Ini terkait dengan prinsip maslahat mursalah.
Asy-Syaathibiy rahimahullah berkata :
إذا
قررنا إماما مطاعا مفتقرا إلى تكثير الجنود لسد الثغور، وحماية الملك
المتسع الأقطار، وخلا بيت المال وارتفعت حاجات الجند إلى ما لا يكفيهم ،
فللإمام إذا كان عدلاً أن يوظف على الأغنياء ما يراه كافياً لهم في الحال ،
إلى أن يظهر مال بيت المال
“Apabila
kita menetapkan seorang imam yang ditaati dan saat itu ia sedang
membutuhkan penambahan jumlah pasukan untuk menjaga pos-pos perbatasan
dan melindungi daerah kekuasaan yang semakin luas; sedangkan baitul-maal kosong dan kebutuhan pasukan (perang) membengkak sehingga kas baitul-maal
tidak dapat mencukupi kebutuhan mereka, maka imam – seandainya ia
seorang yang ‘adil – hendaknya meminta orang-orang kaya untuk mencukupi
kebutuhan tersebut hingga kas baitul-maal terisi kembali…” [Mukhtashar Kitaab Al-I’tishaam oleh ‘Alawiy bin ‘Abdil-Qaadir As-Saqqaaf, hal. 103; Daarul-Hijrah, Cet. 1/1418].
Ibnu Hazm rahimahullah juga mengungkapkan hal senada :
وَفُرِضَ عَلَى الأَغْنِيَاءِ مِنْ أَهْلِ كُلِّ بَلَدٍ أَنْ يَقُومُوا بِفُقَرَائِهِمْ, وَيُجْبِرُهُمْ السُّلْطَانُ عَلَى ذَلِكَ, إنْ لَمْ تَقُمْ الزَّكَوَاتُ بِهِمْ,
“Dan
diwajibkan bagi orang-orang kaya dari penduduk setiap negeri untuk
mencukupi kebutuhan orang-orang fakirnya, dan sulthaan/penguasa dapat
memaksa mereka untuk hal tersebut seandainya zakat tidak mampu
menanggulanginya…” [Al-Muhallaa, 6/156 no. 725; Daarul-Fikr].
Jika
kita cermati penjelasan dan pendalilan yang dipakai, pertanyaan yang
muncul kemudian adalah : “Apakah konteks pajak yang diberlakukan secara
umum di era sekarang sesuai dengan hal tersebut di atas ? Apakah pajak
yang dipungut sekarang tepat dikatakan ‘darurat’ sehingga mencocoki
perkataan sebagian fuqahaa’ ?[3]
Apakah pajak dipungut dari orang-orang berharta dan kemudian
dialokasikan benar-benar untuk kemaslahatan umum yang diakui syari’at
?”. Dan seterusnya dan seterusnya…..
Ini saja yang dapat saya tuliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu ta’ala a’lam.
[Abu
Al-Jauzaa’ – ngaglik, sleman, Yogyakarta, 1432 - banyak mengambil
faedah dari penjelasan Prof. Dr. Muhammad bin Ahmad Ash-Shaalih dalam
bukunya At-Takaaful Al-Ijtimaa'iy fisy-Syarii'atil-Islaamiyyah dengan beberapa tambahan].
Sebagai tambahan referensi, silakan baca :
[2] Seperti pemasukan/pendapatan dari zakat, infaq, shadaqah, ghanimah, fai’, pengelolaan asset, dan lainnya yang dibenarkan oleh syari’at.
[3]
Dikatakan ‘darurat’ tentu saja jika kondisi ‘tidak darurat’ memang
benar-benar telah diusahakan. Contoh mudahnya : Kita diperbolehkan makan
daging babi apabila makanan halal lain benar-benar tidak ada, dan kita
sudah berusaha mencarinya. Jika kita ‘ujug-ujug’ memilih daging
babi tanpa didahului usaha mencari makanan halal secara optimal (bahkan
maksimal), apakah layak itu disebut ‘darurat’ ?.