Penulis Haneef James Oliver
Apakah Osama bin Laden “Wahhabi”?
Pada
tanggal 30 September 2001, seorang analis Timur Tengah dari kantor
berita BBC, Roger Hardy, menulis satu artikel yang berjudul “Di Dalam
Islam ‘Wahhabi’.” Hardy sendiri menulis bahwa istilah “Wahhabi”
seringkali disalahgunakan untuk tujuan menghina.
“Istilah ‘Wahhabi’ seringkali digunakan secara bebas. Media Rusia,
sebagai contoh, menggunakan istilah tersebut untuk mencela aktivis Islam
di Asia Tengah dan Kaukasus sebagaimana mereka mencela muslim di negara
mereka, namun media Barat menggunakan istilah yang samar dan bersifat
menghina, yaitu ‘Islam Fundamental’.”
Akan Tetapi, amat disayangkan, Hardy terjatuh pada kesalahan yang
sama dalam menggunakan istilah ini ketika ia menyatakan bahwa Osama bin
Laden adalah seorang “Wahhabi.”
“Osama bin Laden, divonis secara resmi oleh Amerika Serikat sebagai
tersangka utama di balik serangan 11 September terhadap Amerika, dia
adalah seorang kelahiran Saudi dan Seorang ‘Wahhabi’.”
Kesalahan tersebut adalah persangkaannya bahwa karena Osama
dilahirkan di Arab Saudi, maka ia seorang “Wahhabi.” Padahal, ini
adalah kesimpulan dangkal yang telah seringkali disebutkan di media—dan
layak untuk dibantah.
Hubungan Bin Laden dengan Sufi
Osama bin Laden datang dari satu keluarga Yaman di Hadramaut, sebuah
daerah pantai di Yaman yang sudah diketahui secara umum sebagai basis
satu kelompok sempalan dalam Islam yang dikenal dengan sebutan Sufi.[1] Secara ringkas, ajaran sufi bisa disebut sebagai lawan yang pas untuk “Wahhabi.”
Bin Laden sendiri tidak terlalu peduli dengan keyakinan yang berbeda.
Beberapa pernyataannya menunjukkan bahwa ia masih melakukan
praktek-praktek ajaran Sufi tertentu. Dia pun menjadikan Taliban sebagai
teman dekat dan pelindungnya. Telah diketahui secara umum bahwa
mayoritas dari kelompok ini adalah penganut tarekat Sufi Deobandi.
Bagaimana pun, ada kontradiksi antara anggapan bahwa Osama bin Laden
adalah pelaku praktek-praktek Sufi dan pengakuannya bahwa dia bukanlah
seorang Sufi. Terlepas dari itu semua, Bin Laden memperlihatkan bahwa
dia tidak terlalu peduli dengan permasalahan keyakinan dan ibadah—yang
orang-orang “Wahhabi” sangat menaruh perhatian dalam hal ini. Hal
tersebut karena kelompok Osama bin Laden tidak membedakan antar
keyakinan, selama mereka berada di barisan yang sama.
Kesalahan penggunaan istilah lainnya yang seringkali diulang di
kebanyakan media adalah pendapat bahwa Taliban adalah “Wahhabi.” Pada
tanggal 10 Desember 2001, Ron Kampeas menulis di Washington Post, “‘Wahhabi’ adalah satu keyakinan puritan yang menolak perubahan, salah satu bentuk Islam yang menyetir Taliban.”
Faktanya, ini adalah ketidakakuratan yang sangat besar dan
mengindikasikan bahwa mereka yang mengulang-ulang klaim seperti ini
telah melakukan pendekatan kepada sesuatu yang kompleks dengan cara
sederhana.
Meskipun dalam artikel Roger Hardy dari BBC terdapat kesalahan pada
pernyataan yang menyatakan bahwa Osama adalah seorang “Wahhabi,” dia
tidak seperti Kampeas—yang tetap mengulang-ulang kesalahan ini—saat
mengalamatkan (Taliban) kepada tarekat Sufi Deobandi.
“Tapi Taliban bukanlah ‘Wahhabi.’ Mereka diketahui sebagai tarekat
Deobandi; dinamakan sebagai Deobandi sebagai nisbat kepada suatu kota
kecil, Deoband, Himalaya, India. Di sinilah gerakan tersebut didirikan,
pada tahun 1860-an di masa pendudukan Inggris.”
Pada 9 November, Hamid Mir dari harian Pakistan, The Dawn, mewawancarai Osama bin Laden, sesaat setelah Kabul jatuh. Hamid Mir :“Setelah pengeboman Amerika ke Afghanistan pada 7
Oktober, anda mengatakan kepada TV Al-Jazeera bahwa serangan 11
September dilakukan oleh sebagian muslim. Bagaimana anda mengetahui
bahwa mereka adalah muslim?”
Bin Laden: “Amerika sendirilah yang menyebarkan daftar tersangka 11
September. Mereka mengatakan bahwa nama-nama mereka terlibat dalam
serangan tersebut. Mereka semua adalah muslim. 15 di antara mereka
diketahui berasal dari Arab Saudi, 2 dari Uni Emirat Arab (UEA) dan 1
dari Mesir. Berdasarkan informasi yang penulis miliki, mereka semua
adalah penumpang. Al-Fatihah telah dibacakan untuk mereka di rumah-rumah mereka. Namun Amerika mengatakan bahwa mereka adalah pembajak.”
Maksud pernyataan bin Laden “Al-Fatihah telah dibacakan untuk mereka
di rumah-rumah mereka” adalah pembacaan surat pembuka dalam Al-Qur’an
untuk jiwa-jiwa yang telah meninggal—praktek yang umum dilakukan oleh
kaum Sufi. Perbuatan yang seperti ini tidak ada dasarnya dalam Islam,
baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah atau pun contoh perbuatan dari generasi pertama Islam. Atau lebih tepatnya, ini adalah praktek bid’ah yang dibuat-buat oleh orang-orang Sufi.
Pernyatan tersebut mengindikasikan bahwa Osama bin Laden tidak
memiliki pengetahuan tentang Islam. Jika demikian, bagaimana bisa ia
diidentikkan dengan prinsip dan praktek-praktek “Wahhabi”?
Bin Laden Adalah Seorang Quthbi[2]
Berkat kemakmuran yang dihasilkan oleh perusahaan Bin Laden,[3]
Osama bin Laden menggunakan uang keluarganya untuk hidup bebas dengan
gaya hidup yang serba luks. Karena hal ini, dia tidak pernah duduk
dengan ulama “Wahhabi,” sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu atau tekun
dalam mempelajari akidah Islam.
Ketidaktahuannya terus berlanjut, bahkan, setelah menjadi seorang
yang religius dan berangkat ke Afghanistan—bertempur dengan Uni Soviet.
Kenyataan bahwa ia gagal dalam mengambil manfaat dari belajar di bawah
pengawasan para ulama di Arab Saudi membuatnya mencampuradukkan
pemikiran Quthbi baru yang sedang naik daun.
Pada akhirnya, dia benar-benar menolak metode “Wahhabi” dan
mengeluarkan orang banyak dari lingkaran Islam. Oleh karena itu,
bagaimana bisa dikatakan bahwa Osama bin Laden adalah seorang “Wahhabi”?
Pada akhirnya, Osama bin Laden dan Al-Qaeda-nya bukanlah “Wahhabi,” tetapi Quthbi.
Melihat urgensi hal ini, Robert Worth dari New York Times
mengatakan, “Tapi jika ada satu orang yang layak disebut sebagai bapak
intelektual Osama bin Laden dan teman-teman terorisnya, mungkin ia
adalah seorang penulis dan aktivis Mesir: Sayyid Quthub.”[4]
Keberadaan Quthbiyah Sebagai Ideologi
Dalam sebuah artikel yang berjudul “Terror, Islam and Democracy,”
Ladan dan Roya Boroumand menyatakan dengan tepat bahwa “kebanyakan kader
muda Islam hari ini adalah intelektual dan pewaris spiritual dari Quthbiyah, salah satu sayap dari gerakan Ikhwanul Muslimin.”
Mereka berdua juga menyatakan,
“Saat rezim otoriter dari Presiden Gamal Abdul Nasser menekan
Ikhwanul Muslimin pada tahun 1954 (yang pada akhirnya berakhir dengan
penggantungan Sayyid Quthub pada 1966), banyak dari mereka yang
mengasingkan diri ke Aljazair, Arab Saudi, Irak, Suriah dan Maroko. Dari
sana, mereka menyebarkan pemahaman revolusi Islam—termasuk alat-alat
pengorganisasian dan ideologi yang dipinjam dari pemahaman totaliter
Eropa.”[5]
Mengomentari hubungan yang berkembang antara ideologi revolusi Eropa dengan doktrin Quthbiyah, John Gray dari The Independent berargumen dalam sebuah artikel berjudul “How Marx Turned Muslim” bahwa Quthbiyah bukanlah berasal dari tradisi Islam, tapi jauh lebih berakar di dalam sumber pemikiran Eropa.
Dia menjelaskan bahwa Sayyid Quthub “Menyatukan banyak unsur yang diambil dari ideologi yang berasal dari Barat[6] ke dalam pemikirannya.” Quthbiyah
juga dapat dilihat sebagai “campuran eksotis, hasil kawin silang, dalam
pertemuan antara ideologi radikal Eropa dengan intelektualitas Islam.”[7]
Gray menjelaskan bahwa Quthbiyah adalah gerakan revolusioner modern dan tidak merepresentasikan bentuk asli dari Islam yang sebenarnya.
“Inspirasi dari pemikiran Quthbi tidak banyak yang berasal dari
Al-Qur’an, tapi cenderung kepada pemikiran Barat yang berasal para
pemikir mereka seperti Nietzsche,[8] Kierkegaard[9] dan Heidegger[10]. Pemikiran Quthbiyah—yang
merupakan bingkai pemikiran untuk pengembangan politik dan teologi
Islam radikal—adalah respon terhadap pengalaman Eropa pada abad ke-20
berupa ‘the death of God‘[11] yang merupakan sesuatu yang besar dalam tradisi Islam.[12] Quthbiyah sama sekali tidak tradisional. Seperti semua ideologi fundamentalis,[13] ini tidak salah lagi sangatlah modern.”[14]
Berbicara tentang hubungan yang tidak terbantahkan lagi dan betul-betul ada antara Bin Laden dengan Quthbiyah, Amir Taheri dari Arab News mengatakan, “Pada saat ini, Maududiyah-Quthbiyah[15] menyediakan sebuah ideologi yang Bin Laden bisa tumbuh di dalamnya.” [16]
Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, ulama salaf yang diketahui telah
menulis beberapa buku bantahan terhadap kesalahan-kesalahan Sayyid
Quthub, menyimpulkan tentang Quthbiyah sebagai berikut.
“Quthbi adalah para pengikut Sayyid Quthub. Segala yang kalian lihat
berupa kesengsaraan, pertumpahan darah dan masalah-masalah yang terjadi
pada dunia Islam hari ini adalah berasal dari metode (orang ini).”[17]
Sebuah Kegagalan dalam Membedakan
Pada tanggal 26 Oktober 2001, The Guardian mencetak sebuah
laporan berjudul “Salafee Views Unite Terror Suspects: The Binding Tie”
yang dibuat oleh John Hooper dan Brian Whitaker. Mereka mengklaim,
“Beragam kelompok teroris yang melancarkan serangan 11 September 2001
terlihat menganut dasar pondasi yang sama dengan Salafi dalam
menginterpretasikan Islam.”
Dengan kelicikan untuk mencoba menghubungkan antara metodologi
Al-Qaeda dengan “Wahhabi,” mereka melaporkan sebuah laporan yang
menyesatkan sebagai berikut,
“Para penyelidik yang memburu jaringan Osama Bin Laden telah
menemukan bahwa seluruh tersangka teroris yang ditangkap di Eropa dalam
10 bulan terakhir mengikuti kelompok Salafi dalam menafsirkan Islam.”
Selanjutnya, mereka menghubung-hubungkan interpretasi Islam seperti
ini dengan keyakinan yang dihasilkan dari wilayah Arab Saudi dan
institusi-institusi pendidikannya.[18]
“Hubungan antara Salafi dengan jaringan teroris Bin Laden akan amat
sangat mempermalukan Arab Saudi, sedangkan keluarga Kerajaan Arab Saudi
telah menginvestasikan jumlah yang tidak sedikit untuk menyebarkan manhaj salaf.
Pusat untuk pendidikan dan pengekspor pemikiran Salafi adalah
Universitas Islam Madinah, Arab Saudi, yang didirikan oleh rajanya pada
1961 ‘untuk menyampaikan pesan abadi Islam ke seluruh dunia’.”
Jika saja John Hopper dan Briant Whitaker meneliti asal mula dari
ideologi Al-Qaeda—seperti diungkapkan sebelum ini—yang dibentuk atas
dasar tulisan tangan Sayyid Quthub—seorang warga Mesir dan bukan Arab
Saudi, maka pembaca mereka akan mendapat manfaat yang berlipat-lipat.
Jika saja mereka meneliti subjek ini dengan hati-hati, mereka akan
mengetahui bahwa apa yang diajarkan secara resmi di Universitas Islam
Madinah adalah analisis mendalam tentang kekeliruan sistem kepercayaan
Khawarij. Para pelajar di Universitas Islam Madinah belajar dari
pengajar-pengajar yang telah disebutkan sebelumnya, (seperti) Syaikh
Muhammad bin Hadi’ Al-Madkhali.
Jadi, jelas, permasalahan ideologi teroris kontemporer bukan berasal
dari keyakinan Salafi, baik mereka itu berasal dari Arab Saudi atau pun
bukan, baik dari dunia muslim itukah atau bukan. Media dan para pemikir
Barat telah gagal untuk membedakan antara Islam yang murni,
Ahlus-Sunnah, dengan gerakan revolusioner abad ke-20: Quthbiyah—yang itu adalah metode Khawarij yang dibangkitkan kembali.
Akan menjadi lebih akurat, bagi Hooper dan Whitaker, bila mengatakan
bahwa semua gerakan Islam pada hari ini, yang keras atau pun tidak,
bersumber dari Hasan Al-Banna, Abul A’la Al-Maududi dan Sayyid Quthub.
Tidak ada dari orang-orang ini yang merupakan ulama Islam, tapi, mereka
adalah orang yang pada masa kini diistilahkan sebagai “pemikir Islam.”
Selain itu, Hasan Al-Banna[19] dan Sayyid Quthub adalah penganut ajaran Sufi, bukan ajaran Salaf.
Singkatnya, Osama bin Laden dan Al-Qaedanya memiliki lebih banyak
ikatan emosional dengan para orientalis dan media, ketimbang kepada
kambing hitam media: Salafi. Meskipun para Quthbi yang datang dari
semenanjung Arab masih bertahan dengan pengakuan bahwa mereka itu Salafi
atau mengutip salah satu isi perkataan ulama Ahlus-Sunnah, Salafi,
sumber penyimpangan mereka tetap berasal dari keyakinan Khawarij,
Mu’tazilah dan Sufi dari negeri-negeri muslim melalui orang-orang
seperti Sayyid Quthub. Kelompok Salafi berlepas diri dari orang-orang
seperti Sayyid Quthub dan Osama bin Laden.
وَمِنَ الإِبْلِ اثْنَيْنِ وَمِنَ الْبَقَرِ اثْنَيْنِ قُلْ
آلذَّكَرَيْنِ حَرَّمَ أَمِ الأُنثَيَيْنِ أَمَّا اشْتَمَلَتْ عَلَيْهِ
أَرْحَامُ الأُنثَيَيْنِ أَمْ كُنتُمْ شُهَدَاء إِذْ وَصَّاكُمُ اللّهُ
بِهَـذَا فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللّهِ كَذِباً لِيُضِلَّ
النَّاسَ بِغَيْرِ عِلْمٍ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ
الظَّالِمِينَ
“Dan sepasang dari unta dan sepasang dari lembu. Katakanlah: “Apakah
dua yang jantan yang diharamkan ataukah dua yang betina, ataukah yang
ada dalam kandungan dua betinanya. Apakah kamu menyaksikan di waktu
Allah menetapkan ini bagimu? Maka siapakah yang lebih lalim daripada
orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan
manusia tanpa pengetahuan?” Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang lalim.” (Q.S. Al-An’am [6]:144).
SUMBER : Naskah pracetak Buku VIRUS WAHABI (Mitos Negatif Bagi Salafi) , Penerbit Too Bagus Publishing Bandung, 2010 untuk http://kaahil.wordpress.com
[1]
Ajaran sufi tidak dikenal pada masa Rasulullahn dan para sahabatnya.
Tidak pula diketahui pada masa tiga generasi awal umat Islam. Sufi
pertama kali muncul di Bashrah, Irak, saat semua orang berlebihan dalam
beribadah dan menghindari kehidupan dunia—sesuatu yang telah
diperingatkan dalam Al-Qur’an,
“Dan mereka mengada-adakan kehidupan rahib, padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka.” (Q.S. Al-Hadiid [57] : 27).
Sufi adalah salah satu madzhab yang terpengaruh oleh pemikiran yang
percaya bahwa ilmu dan keselamatan dibawa oleh jiwa melalui pelatihan
spiritual. Ahlus Sunnah percaya bahwa ilmu yang benar dan keselamatan bisa dicapai melalui ibadah yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Para Sufi percaya bahwa syaikh mereka juga dapat dijadikan rujukan
dalam masalah ibadah. Mereka akan memerintahkan untuk melakukan suatu
ibadah yang tidak ada dasarnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Orang yang ekstrem di kalangan mereka seringkali mengaku-aku bahwa Allah
berada di dalam salah satu ciptaanNya (seperti dalam hati manusia).
Secara terus-menerus, mereka menganggap atribut dan kekuatan yang ada
pada syaikh Sufi mereka adalah milik Allah, seperti kekuatan untuk
melihat yang gaib. Mereka seringkali mengaku bahwa dalil-dalil Al-Qur’an
dan As-Sunnah adalah makna kulit, makna lahir, sama baiknya
dengan makna yang lebih dalam, makna batin. Mereka yang memegang makna
kulit, makna lahir, adalah mereka yang diketahui mempraktekkan Islam
Ahlus Sunnah. Makna mendalam, makna batin, dari Al-Qur’an dan As-Sunnah
hanya diketahui oleh mereka. Syaikh-syaikh ini seringkali mengaku,
karena mereka telah memahami makna dalam dan makna batin, maka mereka
tidak perlu lagi untuk shalat, puasa, atau apa pun—yang bahkan
Rasulullahn tidak mendapat keringanan dalam hal-hal semisal itu.
[2]
Quthbi adalah mereka yang mengikuti dan menganut pemikiran Sayyid
Quthub, seorang dai modern berpemikiran revolusioner. Ideologi mereka
diistilahkan dengan Quthbiyah.
[3]
Adalah Muhammad bin Awad bin Laden, pendiri Saudi Bin Laden Group. Pada
tahun 1931, ia mendirikan perusahaan konstruksi untuk kepentingan
pembangunan jalan-jalan di beberapa kota di Kerajaan Arab Saudi. Bermula
dari pembangunan jalan-jalan itu, perusahaan ini terus merambah ke
berbagai hal di bidang konstruksi bangunan, sampai kemudian publik
mengenalnya sebagai satu perusahaan favorit sang raja Saudi; Muhammad
bin Laden menjadi kontraktor favorit raja Abdul Aziz bin Saud, pendiri
Kerajaan Arab Saudi modern. Salah satu proyek prestisius perusahaan Bin
Laden ini adalah renovasi Masjid Al-Harom pada tahun-tahun 70-an, abad
20 kemarin. (Ed.)
[4] Robert Worth, “The deep intellectual roots of Islamic Terror,” The New York Times, 13 Oktober, 2001.
[5] Ladan dan Loya Boroumand, “Terror, Islam and Democracy,” The Journal of Democracy, April 2002.
Catatan: Sejak Ladan dan Laya Boroumand menghubungkan Quthbiyah
dengan Totaliterisme Eropa dengan benar, maka dapat kita katakan bahwa
tidak benar orang-orang tersebut (baca: Quthbi) disebut sebagai Islamis.
Bahkan, lebih tepat untuk menjuluki mereka sebagai aktivis muslim.
Meskipun mereka itu muslim, ideologi revolusioner mereka tidak dapat
disandarkan kepada Islam.
[6] Berkaitan dengan pengaruh Eropa terhadap para pengikut Quthub, Robert Worth dari The New York Times
mencatat bahwa ini “sebagaimana Fathi Yakan, salah satu murid Quthub,
yang pada tahun 1960 menulis, ‘Peletak dasar revolusi Perancis
diletakkan oleh Rousseau, Voltaire dan Montesquieu. Rencana revolusi
komunis terwujud berkat Marx, Engels dan Lenin. Begitu juga pada kita’.”
Robert Worth, “The Deep Intellectual Roots of Islamic Terror,” The New York Times, 13 Oktober 2001.
[7]
Pemikir-pemikir revolusioner seperti Abul A’la Al-Maududi, Sayyid
Quthub, Hasan Turabi dari Sudan dan pemikir berkebangsaan Iran, Ali
Syariati, dari sisi pemikiran, terpengaruh Barat setelah mereka menetap
di sana. Meskipun mereka menolak gaya hidup barat dan menyangkalnya,
mereka juga terpengaruh oleh hal itu, lalu memformulasikan ideologi
reformasi radikal. Mereka adalah orang-orang yang tidak banyak tahu soal
Islam dan akidahnya, kemudian mereka membuat pemikiran dan analisis
politik sebagai dasar akidah mereka sendiri serta “mengislamkannya.”
[8]
Friedrich Nietzsche—seperti yang dikenal banyak orang—adalah salah
seorang pemikir Jerman yang paling berpengaruh terhadap pemikir-pemikir
Eropa pada abad ke-19. Lahir pada tahun 1844, ia tumbuh di bawah asuhan
ibunya. Dengan keadaan seperti itu, ia kemudian belajar di Universitas
Bonn dan Universitas Leipzig, di Jerman sekarang. Sekitar dekade 80-an,
abad 19, ia banyak menelurkan karya-karya tulis. Salah satu karyanya
yang banyak diterbitkan dan dibaca orang adalah Also Sprach Zarathustra.
Memperhatikan dan menyikapi rasionalitas orang-orang di Eropa dan
kaitan dengan agama mereka pada waktu itu, ia adalah orang yang pernah
menyimpulkan ke publik luas, “Tuhan telah mati.” Dalam karyanya yang
lain, Anti-Christ, nyata sekali kebenciannya terhadap agama
Kristen. Pada tahun 1889, akhirnya, ia menjadi gila. Meskipun gila,
lewat buku-buku yang ditulisnya, ia turut mempengaruhi Adolf Hitler
sampai mendorongnya melakukan pemusnahan massal orang-orang Yahudi pada
Perang Dunia II. Pada tahun 1900, dalam usia yang tergolong muda, ia
meninggal dunia. (Ed.)
[9]
Lahir pada tanggal 5 Mei tahun 1813, ia dikenal publik dengan nama
Sǿren Kierkegaard. Ia adalah seorang pemikir Denmark yang religius dan
banyak mempengaruhi pemikiran tokoh-tokoh filsafat Eropa. Banyak
berkarya—sekitar 20 buku lebih dalam 14 tahun, ia menerbitkan
karya-karyanya tersebut dengan nama samaran (pseudonyms). Kini,
banyak kalangan yang mencoba (dan memang) mengaitkan filsafat
eksistensialisme dengan pemikiran filsafatnya. Pada tahun 1855, dalam
usia yang sangat muda, ia meninggal dunia. (Ed.)
[10]
Lahir pada tahun 1889, Martin Heidegger dikenal sebagai seorang pemikir
Jerman yang berpengaruh pada abad ke-20 kemarin. Ia belajar di
Universitas Freiburg dan diangkat menjadi asisten Edmund Husserl—bapak
aliran filsafat fenomenologi. Heidegger sendiri mulai mengajar di
universitas pada tahun 1915. Kemudian, dari tahun 1923 sampai tahun 1928
ia pindah mengajar ke Universitas Marburg. Karena dukungannya terhadap
Adolf Hitler dan partai Nazinya, ia dipecat dari aktifitas mengajar.
Heidegger banyak berbicara tentang “ada.” Manusia, menurutnya, harus
mengerti tentang “ada,” sebab ini penting. Karena itu, fokus pandangan
filsafatnya adalah “ada” ini (Apa itu “ada”? Mengapa kita ada? Bagaimana
cara kita untuk ber-ada?). Ia kemudian meninggal dunia pada tahun 1976.
(Ed.)
[11]
Bermula dari keinginan untuk memisahkan agama dan politik, kemudian
beralih untuk memisahkan antara agama dan sains, orang-orang Eropa, pada
abad ke-19 menyadari bahwa memang agama dan sains tidak akan bisa
bersatu, tidak akan berjalan selaras. Mereka yang setuju akan pandangan
ini menjadikan buku Charles Darwin (1809 – 1882), The Origin of Species by Means of Natural Selection,
sebagai bukti telak dunia sains-ilmiah yang pertama akan anggapan ini.
Karena itu, manusia, menurut mereka, harus memilih salah satu: agama
atau rasionalitas sains. Orang-orang yang memilih rasio (akal), yang
ternyata lebih banyak, meyakini bahwa kebenaran adalah sesuatu yang
dapat dibuktikan dengan akal; rasionalitas adalah “agama” itu sendiri.
Lebih dari itu, mereka yakin bahwa hanya orang-orang dungu yang percaya
kepada Tuhan. Mereka menolak Tuhan atau—dengan meminjam kata-kata
Nietzsche—mereka telah membunuh Tuhan. “Kita telah membunuhNya,” tulis
Nietzsche dalam bukunya, The Gay Science, “kau dan aku—kita
semua pembunuhNya.” Ternyata, ketiadaan Tuhan tersebut, dan ini disadari
oleh sebagian mereka, pada satu titik tertentu, membuat semacam lubang
kosong di dalam diri-diri mereka, yang pada suatu waktu sebelum itu
pernah diisi oleh Tuhan. (Ed.)
[12]
Konsep yang menyatakan kematian Tuhan ini, baik itu secara tersurat
atau pun tersirat, adalah sangat tidak mungkin. Allah l berfirman dalam
Al-Qur’an,
“Dan bertawakkallah kepada Allah yang hidup lagi tidak mati.
Bertasbihlah dengan memuji-Nya. Cukuplah dia Maha mengetahui dosa-dosa
hambaNya.” (Q.S Al- Furqaan [25] : 58).
[13]
Akan terasa lebih tepat kalau Gray mengatakan, “Seperti semua ideologi
ekstrimis, tidak salah lagi ini modern” daripada menggunakan kata yang
bermakna ambigu “fundamentalis.”
[14] John Gray, “How Marx turned Muslim,” The Independent, 27 Juli, 2002.
[15]
Taheri merujuk kepada hubungan antara Abul A’la Al-Maududi, “pemikir”
muslim Asia Selatan, dengan Sayyid Quthub, yang sangat terpengaruh oleh
tulisan-tulisan Al-Maududi. Berkenaan dengan hal ini, tentang Sayyid
Quthub The Telegraph menyatakan, “Penulis dan Pemikir Mesir,
mengambil ide Abul A’la Al-Maududi (1903 – 1979) yang menyatakan bahwa
dunia muslim kini telah kembali kepada masa jahiliyah yang tidak bertuhan.” “A-Z of Islam,” The Telegraph, 15 November 2002.
[16] Amir Taheri, “Bin Laden no longer exist: Here is why,” The Arab News, 29 Agustus, 2002.
[17] Syaikh Rabi’ bin Hadi dalam “Imaam al-Albaanee dan Irjaa.” (sumber: 11 Januari 2002, Telelink dari Inggris, www.salafipublications.com (Article ID: MSC060014)).
[18] Dalam sebuah wawancara yang berjudul “Arab Saudi’s Wahhabis Are Not Spreading Intolerance,” The New Perspective Quarterly
mewawancari Dr. Khaled M. Al-Ankary—menteri pendidikan tinggi Arab
Saudi dan ketua dari Konferensi Islam untuk Pendidikan yang Lebih
Tinggi. Ia ditanya, “Banyak kritik yang menyatakan bahwa sejak
pembajak-pembajak pesawat dan pembom bunuh diri datang dari Arab Saudi,
maka pasti ada sesuatu dalam sistem pendidikan dan pengajaran yang
mendasari mereka menjadi teroris. Sebagai menteri yang bertanggung jawab
atas pendidikan, bagaimana anda menanggapinya?”
Dr. Al-Ankary menjawab dengan mengatakan, “Apakah ada fakta statistik
atau logis pada pendapat ini? Jika seandainya ya, maka sistem
pendidikan di Amerika Serikat juga perlu untuk diperiksa karena kasus
penembakan di Columbine atau bahkan di Waco, Texas. Jika seandainya ya,
maka sistem di Kerajaan Inggris perlu untuk diubah karena IRA.”
Catatan: Maksud Al-Ankary, Al-Qaeda dan IRA
sama-sama menjuluki diri mereka sendiri sebagai “pejuang kebebasan” yang
bertempur atas dasar agama. Kedua kelompok ini jelas-jelas adalah
organisasi teroris, namun tidak ada seorang pun yang berbicara untuk
mengganti dasar dari sistem pendidikan di Irlandia atau mengubah agama,
budaya dan masyarakat di sana.
“Arab Saudi Wahhabis Are Not Spreading Intolerance,” New Perspective Quarterly, Jilid 19 #2, Musim panas 2002.
[19]
Hasan Al-Banna (1906 – 1949), seorang pemikir Sufi dan aktivis politik,
adalah pendiri Ikhwanul-Muslimin. Dia mengaku sendiri bahwa ia
meluangkan waktu untuk mengunjungi kuburan-kuburan dan tempat-tempat
keramat dalam jangka waktu beberapa minggu sekali yang kebanyakan
perbuatan syirik dilakukan di sana. Dalam bukunya, Mudhakkiratud-Da’wah,
Al-Banna mengungkapkan daya tariknya kepada ajaran Sufi; bagaimana ia
menyertai aliran Sufi Hasafiyyah dan bagaimana ia menyisihkan waktu yang
banyak di tempat keramat di Damanhur. Hasan al-Banna, Mudhakiratud-Da’wah, hal. 24-30. Terjemah oleh: Salafi Publications.
Catatan: Hasan Al-Banna, Abul A’la Al-Maududi, Sayyid Quthub dan semua pengikut mereka jelas bukan “Wahhabi.”