اَلْحَمْدُ ِللهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ رَسُوْلِ اللهِ وَعَلىٰ آلِهِ وَ مَنْ وَالاَهُ، وَبَعْدُ
Di antara hal yang penting dalam akidah Islam adalah beriman terhadap urusan gaib. Telah banyak orang tersesat dalam
masalah ini. Sebagian mereka terjatuh dalam kekufuran karena mengaku
tahu ilmu gaib. Sebagian orang membenarkan pengakuan orang yang mengaku
tahu ilmu gaib tersebut. Tidak sedikit pula orang-orang yang
tidak meyakini sebagian urusan gaib, mengingkari masalah-masalah akidah,
seperti azab kubur, telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan lainnya.
- Definisi urusan gaib
Di antara hal yang perlu dipahami dan diingat, para ulama kita menyebutkan bahwa sesuatu yang gaib itu ada dua macam :
- Ghaib muthlaq
- Ghaib nisbi, yang sebagian ulama menyebutnya dengan ghaib muqayad.
Yang sedang kita bahas di sini tentu saja yang terkait dengan urusan ghaib muthlaq.
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah ketika menjelaskan salah satu ayat Allah subhanahu wa ta’ala,
هُوَ ٱللَّهُ ٱلَّذِي لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَۖ عَٰلِمُ ٱلۡغَيۡبِ وَٱلشَّهَٰدَةِۖ هُوَ ٱلرَّحۡمَٰنُ ٱلرَّحِيمُ
“Dialah Allah yang tak ada sembahan yang benar kecuali Dia, Mahatahu yang gaib dan nyata, Dialah Maha Pengasih dan Penyayang.” (al-Hasyr: 22)
“Yang dimaksud dengan gaib di sini adalah gaib mutlak, karena urusan gaib ada dua : gaib nisbi dan gaib mutlak.
Urusan gaib adalah semua yang tidak terlihat oleh seseorang. Urusan yang gaib secara mutlak hanya Allah subhanahu wa ta’ala
yang mengetahuinya. Adapun gaib nisbi (yang relatif) ialah gaib bagi
orang yang tidak mengetahuinya, tetapi tidak bagi yang lain. Contohnya,
Anda memiliki kesibukan, maka kesibukan Anda tersebut gaib bagi diri
saya, namun bukan hal gaib bagi diri Anda. Urusan gaib yang khusus bagi
Allah adalah gaib mutlak. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
قُل لَّا يَعۡلَمُ مَن فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ ٱلۡغَيۡبَ إِلَّا ٱللَّهُۚ
‘Katakanlah, tidak ada yang mengetahui urusan gaib di langit-langit dan bumi kecuali Allah.’ (an-Naml: 65).” (Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah hlm. 86)
Di antara urusan gaib yang hanya diketahui Allah subhanahu wa ta’ala adalah apa yang diterangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Masud radhiallahu ‘anhu,
إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي
بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً
مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ
إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ
كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ
سَعِيْدٌ
“… Sesungguhnya salah seorang kalian
dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya selama 40 hari berupa nutfah
(mani), 40 berikutnya berupa ‘alaqah (segumpal darah), dan 40 hari berikutnya berupa mudhghah (segumpal
daging). Kemudian diutuslah malaikat kepadanya, meniupkan ruh padanya,
dan diperintah untuk mencatat empat hal; mencatat umur, ajal, rezeki,
dan amalannya, apakah dia akan bahagia atau celaka.” (HR. Muslim)
Tidak ada yang tahu tentang umur seseorang, rezeki, dan amalannya, apakah dia akan bahagia atau tidak kecuali Allah subhanahu wa ta’ala.
Termasuk urusan gaib juga adalah kepastian kapan hari kiamat terjadi.
Oleh karena itu, ketika Jibril ‘alaihissalam bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kabarkan kepadaku kapan hari kiamat?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.”
Maksud hadits di atas adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tahu kapan hari kiamat; demikian juga Jibril ‘alaihissalam. Tidak ada seorang makhluk pun yang tahu tentang kapan hari kiamat terjadi.
Adalah kedustaan besar dan kebohongan
nyata, apa yang disebutkan dalam selebaran dari seseorang yang mengaku
sebagai penjaga makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengaku bermimpi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyatakan kiamat akan terjadi beberapa tahun lagi. Siapa yang menerima
selebaran dianjurkan memperbanyak dan menyebarkan selebaran dusta
tersebut. Innalillahi wa innailaihi raji’un.
Alhamdulillah para ulama Ahlus Sunnah, di antaranya asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz telah menerangkan sesatnya selebaran tersebut.
Banyak lagi yang termasuk perkara gaib
tentang tanda-tanda hari kiamat, tentang alam kubur, tentang kejadian di
hari kiamat, dan tentang akhirat.
- Iman terhadap urusan gaib adalah pembeda orang-orang beriman dengan selainnya.
Di dalam surat al-Baqarah, Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan tentang sifat orang beriman,
ٱلَّذِينَ يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡغَيۡبِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ ٣
“(Mereka) adalah orang-orang yang
beriman kepada urusan gaib. Menegakkan shalat dan mengifakkan sebagian
yang kami berikan kepada mereka.” (al-Baqarah: 3)
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah berkata, “Keistimewaan seorang muslim, bahkan termasuk keistimewaannya yang paling utama, adalah iman kepada urusan gaib.” (Syarah Ushul Ahlus Sunnah hlm. 49)
- Meyakini bahwa hanya Allah subhanahu wa ta’ala yang mengetahui urusan gaib.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
قُل لَّا يَعۡلَمُ مَن فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ ٱلۡغَيۡبَ إِلَّا ٱللَّهُۚ
“Katakanlah bahwasanya tidak ada yang mengetahui urusan gaib yang di langit dan di bumi kecuali Allah.” (an-Naml: 65)
وَعِندَهُۥ مَفَاتِحُ ٱلۡغَيۡبِ لَا يَعۡلَمُهَآ إِلَّا هُوَۚ
“Dan hanya di sisi-Nyalah kunci-kunci urusan gaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia.” (al-An’am: 59)
Para nabi dan rasul memberitahukan kepada umatnya tentang perkara gaib sebatas yang diberitahukan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِلَّا مَنِ ٱرۡتَضَىٰ مِن رَّسُولٍ
“… kecuali orang-orang yang Allah ridhai dari para rasul-Nya….” (al-Jin: 27)
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Tidak ada yang mengetahui perkara gaib kecuali Allah subhanahu wa ta’ala saja. Allah subhanahu wa ta’ala memberitahukan kepada rasul-Nya sebagian urusan gaib karena adanya hikmah dan maslahat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
عَٰلِمُ ٱلۡغَيۡبِ فَلَا يُظۡهِرُ عَلَىٰ غَيۡبِهِۦٓ أَحَدًا . إِلَّا مَنِ ٱرۡتَضَىٰ مِن رَّسُولٍ
‘(Allah) Mahatahu tentang urusan
gaib, tidaklah Dia memberitahukan (menampakkan) tentang perkara gaib
tersebut kepada seorang pun, kecuali kepada orang-orang yang diridhainya
dari kalangan para rasul...’ (al-Jin: 26-27).” (Kitab at-Tauhid hlm. 32)
- Hukum orang yang mengaku mengetahui urusan gaib adalah kafir
Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan bahwa yang mengetahui urusan gaib hanyalah Allah subhanahu wa ta’ala. Barang siapa mengaku tahu urusan gaib, berarti dia telah mendustakan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Barang siapa mengaku mengetahui urusan gaib, dia telah kafir. Sebab, ia telah mendustakan Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya,
قُل لَّا يَعۡلَمُ مَن فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ ٱلۡغَيۡبَ إِلَّا ٱللَّهُۚ
“Katakanlah, ‘Tidak ada yang mengetahui perkara gaib di langit dan bumi kecuali Allah’ (an-Naml: 65).” (Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah hlm. 86)
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Barang siapa mengaku tahu urusan gaib dengan perantaraan apa pun -selain yang Allah subhanahu wa ta’ala
kecualikan dari kalangan para rasul-, dia adalah pendusta dan kafir;
baik dia mengaku tahu hal gaib dengan cara membaca telapak tangan orang,
melihat di air yang diletakkan di sebuah wadah, atau melalui
perdukunan, sihir, ilmu nujum, dan lainnya.” (Kitab at-Tauhid hlm. 32)
Siapa saja yang teranggap mengaku tahu urusan gaib? Bagaimana bentuk praktik mereka?
Dari ucapan asy-Syaikh Shalih al-Fauzan
kita dapatkan kesimpulan bahwa banyak tipe orang yang mengaku tahu
urusan gaib: dukun, paranormal, ahli nujum, dukun, tukang sihir, dan
lainnya.
Ada pula yang mengaku tahu ilmu gaib dengan cara “membaca” telapak tangan, perdukunan, dan ramalan.
- Hukum membenarkan seseorang yang mengaku tahu urusan gaib
Seorang yang menganggap benar dan
memercayainya, yakni meyakini orang yang mengaku tahu urusan gaib,
mendapat ancaman yang keras.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ عَرَّافًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
“Barang siapa mendatangi dukun,
kemudian bertanya kepadanya dan membenarkannya, dia telah kafir terhadap
apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam.” (HR. Ahmad dan al–Hakim, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani)
- Syi’ah dan Sufi meyakini bahwa para imam dan wali mereka mengetahui urusan gaib
Di antara bentuk kekafiran Syiah adalah keyakinan mereka bahwa para imam mereka mengetahui urusan gaib.
Satu bukti yang penulis bawakan dalam kesempatan ini ialah satu bab dalam kitab rujukan mereka, Ushul al-Kafi. Disebutkan dalam kitab tersebut,
بَابُ أَنَّ الْأَوْلِيَاءَ يَعْلَمُونَ عِلْمَ مَا كَانَ وَمَا يَكُونُ وَأَنَّهُ لَا يَخْفَى عَلَيْهِمْ شَيْءٌ
Bab “Para Imam Mengetahui Ilmu yang Telah Terjadi dan Akan Terjadi, Tak Ada Satu pun yang Luput dari Ilmu Mereka”.
Di antara ajaran menyesatkan dalam Sufi adalah ghuluw (sikap berlebihan) kepada orang yang mereka anggap sebagai wali, hingga memberikan sifat rububiyah kepada para wali.
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “… Bahkan, mereka ghuluw
kepada para walinya hingga memberikan sifat rububiyah kepada wali
mereka, yaitu bahwa para wali bisa berbuat di alam ini (mengaturnya),
para wali mengetahui ilmu gaib, bisa mengabulkan orang yang beristighatsah kepadanya pada permintaan yang tak mampu dilakukan kecuali Allah subhanahu wa ta’ala….” (Haqiqat ash-Shufiyah)
- Aqlaniyun (para pengultus akal) mengingkari sebagian urusan gaib
Karena manhaj (metode) dalam beragama yang salah, aqlaniyun terjerumus ke dalam kesesatan mengingkari sebagian urusan gaib.
Banyak sekali orang yang dianggap tokoh
dalam Islam dan dijadikan figur oleh para pemuda Islam, ternyata
memiliki sejumlah penyimpangan dalam masalah akidah.
Sebagai contoh adalah Sayyid Quthub. Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah berkata, “Sangat disayangkan, demi Allah, Sayyid Quthub telah mengingkari adanya mizan (timbangan) di hari kiamat, mengingkari bahwa kaum mukminin akan melihat Allah subhanahu wa ta’ala
di akhirat. Dia berjalan bersama Jahmiyah dan Mu’tazilah dalam banyak
masalah akidah. Kami katakan hal ini agar orang-orang tidak tertipu oleh
kitab-kitab karyanya. Sebab, demi Allah, kitab-kitab Sayyid Quthub
penuh dengan kesesatan….” (Syarah Ushulus Sunnah hlm. 43)
- Penutup
Demikianlah beberapa masalah yang bisa
dipaparkan dengan singkat. Sebenarnya, masalah yang terkait dengan
urusan gaib sangatlah banyak. Akan tetapi, karena keterbatasan kami,
kami cukupkan menulis beberapa poin di atas.
Mudah-mudahan tulisan ini bisa menambah wawasan dan keimanan kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan semakin mendorong kita untuk banyak berbuat taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Amin ya Rabbal ‘Alamin.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abdur Rahman Mubarak bin Ata hafidzahullahu ta’ala.
*********** Fatwa Ulama ***********
APAKAH DISYARIATKAN MENGAMINI DOA KHATHIB?
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah ditanya:
Apakah mengamini doa di akhir khutbah
Jum’at itu termasuk bid’ah? Berikan fatwa kepada kami, semoga Allah
memberikan balasan kebaikan untuk Anda atas peran Anda terhadap Islam
dan kaum muslimin.
Jawab :
Ini bukan termasuk bid’ah. Apabila
khathib berdoa mendoakan kaum muslimin dalam khutbahnya, maka disukai
untuk mengamini doa tersebut. Namun hal itu dilakukan tidak secara berjamaah dan tanpa suara yang keras.
Masing-masing mengucapkan amin secara sendiri-sendiri dengan suara yang
lirih sehingga tidak sampai mengganggu yang lain atau muncul
suara-suara yang keras (yang bisa mengganggu khutbah). Hendaknya
masing-masing mengamini doa khathib secara pelan dan sendiri-sendiri.
(Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibn Utsaimin no. 3421)
Asy-Syaikh Ubaid bin Abdillah al-Jabiri hafizhahullah ditanya:
Apakah orang yang mendengarkan khutbah disyariatkan untuk mengucapkan ‘amin’ ketika khathib sedang berdoa? Jazakumullahukhairan.
Jawab :
Sampai saat ini aku belum mengetahui
satu dalil pun yang bisa aku jadikan dalil tentang disyariatkannya hal
tersebut. Namun barangkali jika seseorang mengamini (doa khathib) di
dalam hati, maka ia benar -Insya Allahu ta’ala-, karena tujuan dari
duduk ketika khutbah adalah diam dalam rangka mendengarkan khuthbah. Dan
mengeraskan bacaan ‘amin’ itu bisa mengganggu yang lain.
[Sumber http://miraath.net/questions.php?cat=91&id=620]
Sumber:
- http://asysyariah.com/menyoal-urusan-gaib/
- http://mahad-assalafy.com/2016/12/23/apakah-disyariatkan-mengamini-doa-khathib/
وَالله ُتَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعٰلَمِيْنَ