(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin)
Prinsip bagi hasil (profit sharing) merupakan karakteristik umum dan
landasan dasar bagi operasional bank syariah secara keseluruhan. Secara
syariah, prinsipnya berdasarkan kaidah mudharabah. Berdasarkan prinsip
ini pihak bank akan berfungsi sebagai:
1. Mudharib (pengelola)
Bank bertindak sebagai mitra, dengan penabung sebagai shahibul maal
(pemodal). Antara keduanya diadakan akad mudharabah yang menyatakan
pembagian keuntungan masing-masing pihak.
2. Shahibul maal (pemodal/investor)
Bagi pengusaha/peminjam dana, bank berfungsi sebagai pemodal, baik
yang berasal dari tabungan/deposito/giro maupun dana bank sendiri berupa
modal pemegang saham. Sementara sang pengusaha/peminjam berfungsi
sebagai mudharib (pengelola) karena melakukan usaha dengan cara memutar
atau mengelola dana bank.
Pada lembaran majalah yang terbatas ini, penulis akan mengupas
masalah terpenting yang ada di bank-bank syariah mengingat terlalu
banyak praktik transaksi dan sistem yang ada pada tubuh bank. Setidaknya
ada pencerahan wawasan tentang bank syariah, apakah syar’i sesuai
komitmen mereka, ataukah hanya “numpang nama” padahal hakikatnya sama
dengan bank konvensional atau bahkan lebih ‘kejam’?
Ada satu hal yang akan dibahas yaitu masalah mudharabah. Berikut ini
rincian hukum syar’inya dan penerapan bank syariah di lapangan.
Mudharabah
Dalam perspektif ilmu fiqh Islami, mudharabah merupakan salah satu
bagian dari pembahasan masalah yang lebih luas yaitu syirkah. Syirkah
sendiri bermakna berserikat (kongsi) dalam sebuah hak atau aktivitas
(Al-Mughni, 6/399).
Syirkah secara global diperbolehkan secara syar’i dengan dasar
Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ ulama. Walaupun ada beberapa
permasalahan yang masih ada khilaf di kalangan fuqaha. Secara syar’i,
syirkah terbagi menjadi dua:
1. Syirkah milkiyah (kepemilikan)1 (شِرْكَةُ الْأَمْلَاكِ)
Syirkah ini tercipta karena warisan, wasiat, atau kondisi tertentu
yang mengharuskan adanya kepemilikan suatu aset oleh dua orang atau
lebih seperti kongsi pada sebuah pabrik, kendaraan, dan lain-lain.
Dalam syirkah ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam
sebuah aset nyata atau keuntungan yang dihasilkan aset tersebut, diatur
dalam syariat pada hukum waris, wasiat, dan syirkah.
2. Syirkah ‘uqud (akad) (شِرْكَةُ الْعُقُودِ)
Syirkah inilah yang diulas para fuqaha dalam Kitab Syirkah di kitab-kitab mereka.
Syirkah ini ada lima macam:
a. Syirkah Abdan (شِرْكَةُ الْأَبْدَانِ)
Maknanya adalah kontrak kerjasama dua orang atau lebih seprofesi
untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari
pekerjaan tersebut.
Misal: Kerjasama dua orang tukang untuk menggarap proyek pembangunan
sebuah rumah, dua orang arsitek kerjasama menggarap sebuah proyek, atau
dua orang penjahit kerjasama menerima order pembuatan baju, atau yang
semisal itu. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan bersama.
Syirkah ini juga disebut dengan شِرْكَةُ الْأَعْمَالِ atau شِرْكَةُ الصِّنَاعِي
b. Syirkah ‘Anan (شِرْكَةُ الْعَنَانِ)
Yaitu kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih, masing-masing
pihak berpartisipasi dalam dana dan kerja. Masing-masing berbagi
keuntungan dan kerugian sesuai kesepakatan bersama dengan memerhatikan
persentase porsi dana masing-masing.
c. Syirkah Wujuh (شِرْكَةُ الْوُجُوهِ)
Maksudnya adalah kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih yang
memiliki reputasi dan nama baik hingga dipercaya oleh
perusahaan/pedagang.
Mereka membeli produk dari perusahaan /pedagang tanpa modal dengan
tempo tertentu lalu menjualnya. Keuntungan dan kerugian ditanggung
mereka bersama sesuai kesepakatan. Syirkah ini juga dikenal dengan
istilah syirkah piutang.
d. Syirkah Mufawadhah (شِرْكَةُ الْمُفَاوَضَةِ)
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi t dalam kitab Al-Mughni (6/436) membagi syirkah ini menjadi dua macam:
• Melakukan kontrak kerjasama pada semua jenis syirkah yang ada.
Misal: Kombinasi antara syirkah ‘anan, wujuh, dan abdan dalam sebuah
kontrak kerjasama.
• Kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih dengan ketentuan
adanya kesamaan pada dana yang diberikan, kerja, tanggung jawab, beban
utang, dan lain sebagainya. Bahkan memasukkan aset masing-masing pihak
ke dalam akad syirkah, seperti harta waris, luqathah (harta temuan),
rikaz (harta karun), dan semisalnya.
e. Syirkah Mudharabah2 (شِرْكَةُ الْمُضَارَبَةِ)
Jenis inilah yang menjadi pembahasan kita. Secara bahasa مُضَارَبَةٌ
diambil dari kata ضَرَبَ فِي الْأَرْضِ yang artinya berjalan di muka
bumi untuk menjalankan usaha. Allah l berfirman:
“Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.” (Al-Muzzammil: 20)
Mudharabah adalah istilah yang digunakan oleh orang Irak, sementara orang Hijaz menamainya qiradh (قِرَاضٌ).
Secara syar’i, mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua
pihak, shahibul maal (pemilik harta/pemodal) menyediakan seluruh modal
dan pihak kedua sebagai pengelola (mudharib). Keuntungan dibagi sesuai
kesepakatan kedua belah pihak. Demikian juga dengan kerugian, ditanggung
pula oleh kedua pihak di mana shahibul maal berkurang modalnya
sedangkan pengelola tidak mendapatkan apapun dari usaha tersebut.
Dalam Al-Mughni (6/431), Ibnu Qudamah Al-Maqdisi t menyatakan: “Para
ulama telah ijma’ (sepakat) tentang kebolehan mudharabah secara global.
Demikian disebutkan oleh Ibnul Mundzir t.”
Umat manusia juga membutuhkan mudharabah karena harta benda tidak
mungkin berkembang kecuali dengan adanya usaha. Sementara itu, tidak
setiap orang yang mempunyai harta (modal) juga punya skill (keahlian)
dan reputasi yang baik dalam berusaha. Begitu pula, tidak setiap orang
yang punya keahlian berusaha selalu punya modal usaha. Maka Allah l
menghalalkan mudharabah untuk memenuhi kebutuhan kedua belah pihak.
Wallahu a’lam.
1 Definisinya adalah kongsi pada kepemilikan sebuah aset (اجْتِمَاعٌ فِي اسْتِحْقَاقٍ) (Asy-Syarhul Mumti’, 4/250)
2 Sebagian ulama tidak memasukkan mudharabah dalam bagian syirkah namun membahasnya secara tersendiri.
Sumber ; http://asysyariah.com/karakteristik-bank-syariah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar