Para pembaca yang semoga dirahmati Allah subhanahu wata’ala. Berjumpa dengan bulan suci Ramadhan merupakan kesempatan yang sangat berharga tiada terkira. Betapa tidak. Allah subhanahu wata’ala
telah membuka lebar-lebar pintu rahmat dan ampunan-Nya di bulan
tersebut. Beruntung sekali orang yang mendapatkan taufik untuk bisa
mengisi bulan penuh barokah ini dengan berbagai amal kebaikan.
Para pembaca yang semoga mendapatkan limpahan barokah
dari-Nya. Di penghujung bulan suci ini, di tengah-tengah kesibukan
menyongsong hari raya Idul Fitri, perkenankanlah kami mengajak diri kami
sendiri dan juga saudara-saudara kami umat Islam untuk sejenak bermuhasabah, mengoreksi diri, melihat iman dan amalan kita, apa yang sudah kita persembahkan kepada Allah subhanahu wata’ala,
Sang Pencipta dan Pemberi nikmat yang tak terhingga ini? Apakah yang
selama ini kita perbuat sudah cukup untuk mendatangkan ridha-Nya? Memang
setiap insan beriman hendaknya senantiasa berbenah, menata kembali niat
dan amalannya agar cita-cita menggapai ridha Allah subhanahu wata’ala
tercapai.Kami termotivasi mengajak saudara sekalian untuk introspeksi
diri di penghujung bulan suci ini, tidak lain karena teringat sebuah
sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam yang berbunyi,
رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ
عَلَيَّ وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ ثُمَّ انْسَلَخَ
قَبْلَ أَنْ يُغْفَرَ لَهُ وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ أَدْرَكَ عِنْدَهُ
أَبَوَاهُ الْكِبَرَ فَلَمْ يُدْخِلاَهُ الْجَنَّةَ
“Betapa hinanya seseorang ketika namaku disebut di
sisinya namun ia tidak bershalawat kepadaku. Betapa hinanya seseorang
yang masuk padanya bulan Ramadhan, lalu ketika bulan tersebut berlalu ia
belum mendapatkan ampunan. Betapa hinanya seseorang ketika ia mendapati
masa senja kedua orang tuanya namun hal itu tidak bisa membuatnya ia
masuk surga.” (HR. Ahmad no. 7139, dan At-Tirmidzi no. 3468)
Hadits ini membuat kita khawatir, jangan-jangan kita termasuk golongan orang-orang yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
dalam sabdanya tersebut. Ramadhan berlalu sia-sia begitu saja, kosong
dan hampa dari ampunan-Nya. Bagaimana tidak khawatir? Manusia itu
tempatnya salah dan dosa, termasuk kita. Rasa-rasanya setiap desahan
nafas, kedipan mata, ayunan tangan, dan langkah kaki selalu saja berbuah
dosa. Belum sempat rasanya memohon ampun dari dosa yang lalu, sudah
terjatuh ke dalam dosa yang baru.
Namun kekhawatiran itu jangan berlarut sehingga membuat
kita putus harapan. Ingatlah! bahwa Allah Maha Pemurah. Kasih sayang-Nya
mengalahkan kemurkaan-Nya. Sebesar dan sebanyak apapun dosa manusia,
Allah Maha Mampu dan Berkehendak untuk menghapusnya jika hamba tersebut
bertaubat dan memohon ampun kepada-Nya.
Para pembaca rahimakumullah. Di hari-hari terakhir bulan Ramadhan ini, setidaknya ada dua hal yang patut menjadi bahan introspeksi kita bersama, yaitu :
Pertama, sudahkah kita memperbanyak taubat dan memohon ampun kepada Allah?
Kedua, sudahkah kita berupaya menghidupkan dengan maksimal sepuluh hari terakhir Ramadhan dengan ketaatan dan ibadah?
Bertaubat dan Banyak Memohon Ampun Kepada-Nya
Para pembaca yang berbahagia, seiring dengan banyaknya dosa
dan kesalahan, maka banyak bertaubat dan memohon ampun kepada-Nya
merupakan sebuah kemestian. Seorang mukmin itu melihat dosa-dosanya
laksana sebuah gunung yang berada di atas kepalanya, setiap saat gunung
itu akan runtuh membinasakan siapa saja yang berada di bawahnya.
Para pembaca rahimakumullah, apakah taubat cukup dilakukan dengan mengucapkan kalimat istighfar? Astaghfirullah, aku memohon ampun kepada Allah, sekedar itu saja?
Jawabannya: Belum cukup! Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam kitabnya, Riyadhush Shalihin,
menukilkan perkataan para ulama bahwa taubat itu memiliki tiga syarat,
yaitu meninggalkan perbuatan maksiat tersebut, menyesalinya, dan
bertekad untuk tidak mengulanginya lagi selama-lamanya. Satu syarat
tidak terpenuhi, gugurlah nilai taubat seseorang. Ini apabila
kemaksiatan tersebut terkait dengan hak Allah saja.
Namun apabila dosa dan kemaksiatannya terkait dengan hak
orang lain, seperti mencuri, menjatuhkan kehormatan orang lain, dan
sebagainya, maka untuk bertaubat darinya harus terpenuhi ketiga syarat
tadi, dan ditambah syarat keempat yaitu mengembalikan hak orang lain
yang ia zhalimi tadi, seperti mengembalikan uang/barang yang sempat ia
curi, meminta maaf atau kehalalan orang yang pernah ia jatuhkan
kehormatannya, dan sebagainya. (lihat penjelasan Al-Imam An-Nawawi dalam
Bab At-Taubah dari kitab Riyadhush Shalihin).
Biasanya, bulan Ramadhan dijadikan momen untuk meninggalkan
kebiasaan buruk yang lazim dilakukan di luar bulan Ramadhan. Saat yang
tepat untuk bertaubat. Demikianlah kurang lebih ungkapan yang terbetik
di benak sebagian orang.
Hal itu bagus. Namun alangkah lebih bagusnya jika meninggalkan perbuatan maksiatnya itu bersifat kontinyu,
terus menerus, tidak pernah sekalipun mengulangi perbuatanya. Apalah
artinya ia meninggalkan kemaksiatan dan kebiasaan buruknya di bulan
Ramadhan, namun ia sudah berniat mengulanginya kembali selepas Ramadhan
nanti?
Benar-benar tidak terpuji sikap seperti itu. Bahkan,
apabila seseorang yang “bertaubat” dan meninggalkan perbuatan dosa di
bulan Ramadhan dengan niat akan melakukan dosa itu lagi nanti pasca
Ramadhan, maka orang itu belum terhitung bertaubat, karena belum
memenuhi syarat-syaratnya sebagaimana yang telah dijelaskan.
Orang yang bertaubat adalah orang yang benar-benar serius meninggalkan perbuatan maksiatnya secara total.
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan
perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah,
lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat
mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan
perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (Ali Imran: 135)
Taubat yang benar adalah taubat yang diiringi dengan amal shalih sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala (artinya),
“Dan orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amal
shalih, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang
sebenar-benarnya.” (Al-Furqan: 71)
Di bulan suci ini, ibadah puasa adalah salah satu dari sekian bentuk amal shalih yang paling utama.
Di samping puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam
yang akan menguatkan dan mengokohkan agama seorang muslim, puasa juga
mengantarkan seseorang untuk meraih ampunan Allah. Hal ini sebagaimana
yang disabdakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (artinya),
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena didasari
keimanan dan harapan untuk meraih pahala, maka ia akan mendapatkan
ampunan atas dosa yang dilakukan dahulu.” (HR. Al-Bukhari no. 1768, dan Muslim no. 1268)
Hadits tersebut menunjukkan bahwa puasa Ramadhan yang
membuahkan ampunan adalah puasa yang dalam pelaksanaannya didasarkan
pada dua hal: imanan wa ihtisaban (keimanan dan harapan). Imanan maknanya adalah mengimani dan meyakini kebenaran syariat puasa dan keutamaannya, sedangkan ihtisaban maknanya adalah mengharapkan pahala dari Allah subhanahu wata’ala
semata, bukan tujuannya ingin pamer kepada orang lain atau niatan lain
yang menunjukkan ketidakikhlasan dalam beribadah. (lihat Syarh Shahih Muslim karya Al-Imam An-Nawawi rahimahullah)
Para pembaca, dari sini, marilah kita mengkoreksi puasa
kita masing-masing. Jika kita merasa puasa kita selama ini belum
didasari dua hal di atas, maka janganlah putus asa. Mudah-mudahan
Ramadhan yang masih tersisa beberapa hari ini menjadi kesempatan untuk
memperbaiki puasa kita.
10 Hari yang Dinanti
Para pembaca yang semoga dimuliakan oleh Allah subhanahu wata’ala,
di tengah kesibukan menyongsong datangnya lebaran, alangkah mulianya
jika kita benar-benar mengoptimalkan hari-hari terakhir Ramadhan dengan
amal ibadah. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh junjungan dan teladan
kita, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
“Ketika tiba 10 hari terakhir Ramadhan, beliau
mengencangkan sarungnya, menghidupkan malamnya dengan shalat dan ibadah
yang lainnya, serta tidak lupa beliau membangunkan keluarganya.” (HR. Al-Bukhari no. 1884 dan Muslim
no. 1174). Sebuah contoh nyata dari rumah tangga ideal, bahagia, dan
sejahtera di dunia akhirat. Betapa indahnya apabila setiap keluarga
meneladani beliau shallallahu alaihi wasallam.
Dalam rentang sepuluh hari ini, ada satu malam yang keutamaannya lebih baik daripada seribu bulan selain bulan Ramadhan. Dialah Lailatul Qadar.
Amalan yang dikerjakan pada malam tersebut lebih baik dan lebih utama
dibandingkan amalan serupa yang dilakukan selama seribu bulan selain
bulan Ramadhan. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda (artinya),
“Barangsiapa yang menghidupkan dan mendirikan shalat
pada malam Lailatul Qadar, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan
diampuni.” (HR. Al-Bukhari no. 1768 dan Muslim no. 1268)
Walaupun Lailatul Qadar itu terjadinya pada malam ganjil, namun seseorang yang berupaya mencari Lailatul Qadar hendaknya menghidupkan sepuluh malam terakhir Ramadhan semuanya, tidak dikhususkan pada malam yang dimungkinkan terjadinya Lailatul Qadar saja.
Kepastian kapan dan pada malam ke berapa Lailatul Qadar terjadi, hanya Allah subhanahu wata’ala yang tahu. Di antara hikmah tidak diketahuinya secara pasti waktu Lailatul Qadar tersebut adalah agar setiap hamba secara terus menerus semakin memperbanyak amalannya dalam rangka mencari Lailatul Qadar
di malam-malam yang penuh kemuliaan tersebut dengan shalat, dzikir, dan
do’a. Sehingga akan semakin bertambahlah kedekatan mereka kepada Allah
ta’ala dan bertambah pula pahala yang akan diraihnya. (Majmu’ Fatawa Wa Rasa’il Ibni ‘Utsaimin)
Kalau waktu terjadinya Lailatul Qadar diketahui,
pada malam ke-21 misalnya, maka bisa jadi pada malam-malam yang tersisa,
seorang hamba akan bermalas-malasan, tidak semangat dalam beribadah dan
menambah timbangan kebaikannya.
Semoga Allah subhanahu wata’ala menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang meraih ampunan-Nya. Amin.
Wallahu A’lam Bishshawab
Penulis: Ustadz Abu Abdillah hafizhahullah.
Buletin Al-Ilmu Edisi no. 36/VIII/XIV/1437 H
The post INTROSPEKSI DIRI DI PENGHUJUNG BULAN SUCI appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.
Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/06/24/introspeksi-diri-di-penghujung-bulan-suci/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar