Ditulis : Abu Umar Ahmad bin Umar Bazmul
(Diterjemahkan oleh Al Ustadz Abu Karimah Askary)
بسم الله الرحمن الرحيم
Ini adalah risalah yang ringkas, yang aku sebutkan padanya nash-nash
dari Sunnah Nabawiyyah yang mutawatir dalam menjelaskan kewajiban
mendengar dan taat kepada penguasa selama bukan dalam hal kemaksiatan,
serta menjelaskan kewajiban menghormati, memuliakan dan menasehatinya,
dan penjelasan tentang diharamkannya melepaskan baiat ketaatan dan
haramnya memberontak terhadap mereka.
Sejumlah hadits-hadits Nabi صلى الله عليه وسلم ini memberikan faedah
peringatan dari sekte khawarij, yang pada hadits-hadits tersebut
terdapat kecukupan bagi orang yang Allah pelihara dari terjerumus ke
dalam sekte khawarij tersebut dan bagi orang yang tidak sependapat
dengan mereka dan bersabar dalam menyikapi kedzaliman para penguasa dan
pemimpin Negara, dan tidak melakukan perlawanan dengan pedang-nya
terhadap mereka, serta memohon kepada Allah Ta’ala agar menghilangkan
kedzaliman yang menimpa dirinya dan kaum muslimin dan mendoakan penguasa
agar diberi kebaikan.
Jika penguasa memerintahkannya untuk taat dan memungkinkan baginya
untuk mentaatinya maka hendaklah ia mentaatinya, dan apabila dia tidak
mampu maka hendaklah dia meminta udzur kepada mereka. Dan jika mereka
memerintahkan kepada kemaksiatan maka jangan ia mentaatinya, maka
barangsiapa yang memiliki sifat ini maka dia berada diatas jalan yang
lurus insya Allah.
Dan aku beri nama risalah ini “Kedudukan Sunnah dalam Menyikapi
Penguasa Negeri”, hanya kepada Allah aku memohon agar menjadikan
amalanku senantiasa bersih dari riya’ dan sum’ah, dan menjadikannya
sebagai simpanan amalku pada hari yang tidak bermanfa’at harta dan anak
keturunan, kecuali yang menghadap kepada-Nya dengan membawa hati yang
suci.
Ditulis oleh: Abu Umar Ahmad bin Umar Bazmul
Pengajar di Ma’had Harom, Makkah Syarifah.
Pengajar di Ma’had Harom, Makkah Syarifah.
KEUTAMAAN SEORANG PEMIMPIN YANG ADIL
Rasulullah صلى الله عليه وسلم menjelaskan bahwa seorang pemimpin yang
adil adalah seorang yang mengikuti perintah Allah dengan meletakkan
sesuatu pada tempatnya tanpa berlebihan dan tidak pula meremehkan, maka
dialah yang termasuk diantara yang mendapatkan perlindungan Allah pada
hari kiamat pada hari yang tiada naungan kecuali naungannya, dan bahwa
dia termasuk diantara ahli syurga, sebagaimana yang dikeluarkan oleh
Imam Bukhari dalam shohihnya dari hadits Abu Hurairoh Radhiyallahu ‘anhu
dari Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي
ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ إِمَامٌ عَادِلٌ وَشَابٌّ نَشَأَ
فِي عِبَادَةِ اللَّهِ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ فِي خَلَاءٍ فَفَاضَتْ
عَيْنَاهُ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسْجِدِ وَرَجُلَانِ
تَحَابَّا فِي اللَّهِ وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ
وَجَمَالٍ إِلَى نَفْسِهَا قَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ
تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا
صَنَعَتْ يَمِينُهُ “.
”Ada tujuh golongan yang Allah beri naungan pada hari kiamat di
bawah naungan-Nya dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: seorang
pemimpin yang adil, seorang pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada
Allah, seorang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan sendiri lalu
berlinang air matanya, seorang laki-laki yang hatinya terpaut dengan
masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah, seorang lelaki
yang dirayu oleh seorang wanita berkedudukan dan berparas cantik lalu ia
berkata: sesungguhnya aku takut kepada Allah, seorang yang bersedekah
lalu dia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa
yang dikerjakan oleh tangan kanannya.”
Dan dikeluarkan pula oleh Imam Muslim dalam shohihnya dari ‘Iyyadh
bin Himar al-mujasyi’i bahwa Rasululullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
:” أَهْلُ الْجَنَّةِ ثَلَاثَةٌ ذُو سُلْطَانٍ مُقْسِطٌ
مُتَصَدِّقٌ مُوَفَّقٌ وَرَجُلٌ رَحِيمٌ رَقِيقُ الْقَلْبِ لِكُلِّ ذِي
قُرْبَى وَمُسْلِمٍ وَعَفِيفٌ مُتَعَفِّفٌ ذُو عِيَالٍ “
“Penduduk syurga ada tiga golongan: penguasa yang adil,
bersedekah dan mendapat taufik, dan seorang yang pengasih, berhati
lembut kepada setiap kerabat dan setiap muslim, seorang yang miskin dan
memelihara kehormatannya (merasa cukup dengan apa yang ada),dan memiliki
tanggungan keluarga.”
Pemimpin yang adil adalah yang bijaksana dalam kepemimpinannya, dan
seorang penguasa yang adil tidak tertolak do’anya sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam sunan-nya dari hadits Abu Hurairoh
berkata: bersabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم:
:” ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الصَّائِمُ حَتَّى
يُفْطِرَ وَالْإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ يَرْفَعُهَا
اللَّهُ فَوْقَ الْغَمَامِ وَيَفْتَحُ لَهَا أَبْوَابَ السَّمَاءِ
وَيَقُولُ الرَّبُّ وَعِزَّتِي لَأَنْصُرَنَّكِ وَلَوْ بَعْدَ حِينٍ “
“Tiga golongan yang tidak ditolak do’anya: orang yang berpuasa
hingga dia berbuka, seorang pemimpin yang adil, dan do’anya orang yang
terdzalimi, Allah mengangkatnya di atas awan dan membukakan baginya
pintu-pintu langit, dan Allah berfirman: “Demi kemuliaan-Ku, aku pasti
akan menolongmu kapan saja.”(2)
MENCINTAI PENGUASA, MEMULIAKAN DAN MENGHORMATINYA
Sesungguhnya seorang pemimpin negara telah menguras kemampuannya,
waktunya untuk memelihara kemaslahatan rakyatnya, dan memberikan
berbagai jalan-jalan kemudahan bagi mereka, dan menolak adanya
marabahaya dan kejelekan dari mereka dengan izin Allah Azza wajalla.
Oleh karenanya, dialah yang memelihara kita, sebagaimana yang telah
dikeluarkan Al Bukhari dalam shohihnya dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma
bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
” كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “
“Kalian semua adalah pemelihara, dan kalian semua akan ditanya
tentang peliharaannya, seorang pemimpin akan ditanya tentang rakyatnya.”
Maka wajib bagi kita untuk mengetahui kedudukannya dan
menghormatinya, bahkan mencintai apa yang telah dia tegakkan dari
berbagai tugas yang berat dan tanggung jawab yang sempurna.Telah
dikeluarkan Imam Muslim dalam shohihnya dari ‘Auf bin Malik Al-asyja’i
berkata: bersabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم :
:” خِيَارُ أَئِمَّتِكُمِ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ “
“ Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan
mereka mencintai kalian, kalian mendo’akan mereka dan mereka mendo’akan
kalian.”
Barangsiapa yang memuliakan dan menghormati penguasanya, maka Allah
akan memuliakannya pada hari kiamat, dan barangsiapa yang tidak
memuliakannya, maka Allah akan menghinakannya pada hari kiamat
sebagaimana yang dikeluarkan Imam Ahmad dalam musnad-nya dari Abu Bakroh
berkata: aku mendengar Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
” مَنْ أَكْرَمَ سُلْطَانَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي
الدُّنْيَا أَكْرَمَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَنْ أَهَانَ
سُلْطَانَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي الدُّنْيَا أَهَانَهُ اللَّهُ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ”.
“Barangsiapa yang memuliakan penguasanya Allah tabaroaka wata’ala
di dunia, maka Allah akan memuliakannya pada hari kiamat, dan
barangsiapa yang menghinakan penguasanya Allah tabaroka wata’ala di
dunia maka Allah akan menghinakannya pada hari kiamat.”(3)
Dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjelaskan bahwa yang
ingin menemui penguasa dalam rangka memuliakannya maka senantiasa dia
mendapat jaminan dari Allah Ta’ala sebagaimana yang dikeluarkan Imam
Ahmad dalam musnad-nya dari Mu’adz berkata:
” عَهِدَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي خَمْسٍ مَنْ فَعَلَ مِنْهُنَّ كَانَ ضَامِنًا عَلَى اللَّهِ
مَنْ عَادَ مَرِيضًا أَوْ خَرَجَ مَعَ جَنَازَةٍ أَوْ خَرَجَ غَازِيًا فِي
سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ دَخَلَ عَلَى إِمَامٍ يُرِيدُ بِذَلِكَ تَعْزِيرَهُ
وَتَوْقِيرَهُ أَوْ قَعَدَ فِي بَيْتِهِ فَيَسْلَمُ النَّاسُ مِنْهُ
وَيَسْلَمُ “
“Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah menjanjikan kami lima
perkara yang barangsiapa yang melakukan salah satu darinya maka
senantiasa dia mendapat jaminan keamanan dari Allah: barangsiapa yang
mengunjungi orang sakit, atau keluar bersama jenazah, atau keluar
berperang di jalan Allah atau menemui seorang imam yang dia ingin
memuliakan dan menghormatinya ataukah duduk di rumahnya agar manusia
selamat darinya dan diapun selamat.”(4)
Dan adalah para ulama salaf mendatangi penguasa dan
menghormatinya,sebagaimana yang diriwayatkan Ad-Darimi dalam musnad-nya
dari Mughiroh rahimahullah bahwa dia berkata:
” كُنَّا نَهَابُ إِبْرَاهِيمَ هَيْبَةَ الْأَمِيرِ “
“Sesungguhnya kami segan kepada Ibrohim seperti segannya kami kepada penguasa.”
HORMATNYA ULAMA KEPADA PEMERINTAH BUKAN MENJILAT
Sesungguhnya penghormatan para ulama terhadap penguasa merupakan hal
yang sunnah dan merupakan petunjuk salafus sholih –semoga Allah meridhai
mereka semua-, berbeda halnya apa yang diseru oleh sebagian orang-orang
yang jahil bahwa penghormatan ulama kepada penguasa dengan tujuan
mendapatkan kedudukan atau menjilat dihadapan para penguasa.
Berkata para Imam Dakwah:
“diantara yang perlu menjadi perhatian adalah apa yang disangka kebanyakan orang-orang yang jahil dalam hal tuduhan mereka terhadap ahli ilmu dan agama bahwa mereka menjilat, merendahkan kedudukannya, dan meninggalkan kewajiban yang wajib ditegakkannya dari perintah Allah subhanahu wata’ala dan menyembunyikan apa yang mereka ketahui dari kebenaran, dan berdiam diri untuk menjelaskannya. Sementara orang-orang jahil ini tidak tahu bahwa menggunjing ahli ilmu dan agama, dan merusak kehormatan kaum mukminin adalah racun pembunuh, penyakit terpendam, dan dosa yang jelas dan nyata. Allah Ta’ala berfirman:
“diantara yang perlu menjadi perhatian adalah apa yang disangka kebanyakan orang-orang yang jahil dalam hal tuduhan mereka terhadap ahli ilmu dan agama bahwa mereka menjilat, merendahkan kedudukannya, dan meninggalkan kewajiban yang wajib ditegakkannya dari perintah Allah subhanahu wata’ala dan menyembunyikan apa yang mereka ketahui dari kebenaran, dan berdiam diri untuk menjelaskannya. Sementara orang-orang jahil ini tidak tahu bahwa menggunjing ahli ilmu dan agama, dan merusak kehormatan kaum mukminin adalah racun pembunuh, penyakit terpendam, dan dosa yang jelas dan nyata. Allah Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَاناً وَإِثْماً
مُبِيناً (الأحزاب:58)
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat
tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah
memikul kebohongan dan dosa yang nyata.”(QS. Al-Ahzab:58)
HUKUMAN BAGI ORANG YANG MENGHINAKAN PENGUASA
Barangsiapa yang merendahkan penguasa, maka sungguh dia telah
melepaskan tali kekang Islam dari lehernya, sebagaimana yang dikeluarkan
Imam Ahmad dalam musnadnya dari Abu Dzar radhiallahu anhu bahwa
Rasulullah shallallahu alaihi wa-alihi wasallam berkhutbah dihadapan
kami lalu bersabda:
” إِنَّهُ كَائِنٌ بَعْدِي سُلْطَانٌ فَلَا تُذِلُّوهُ فَمَنْ
أَرَادَ أَنْ يُذِلَّهُ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ الْإِسْلَامِ مِنْ
عُنُقِهِ “
“Sesungguhnya akan muncul setelahku penguasa, maka janganlah
engkau menghinakannya, barangsiapa yang ingin menghinakannya maka
sungguh dia telah melepaskan tali kekang Islam dari lehernya.”(5)
Yang dimaksud ribqoh adalah tali yang diletakkan dileher hewan, dan
yang dimaksud adalah perjanjian. Berkata Ibnul Atsir: ribqoh asalnya
adalah ikatan tali yang diletakkan pada leher binatang ternak atau
ditangannya sehingga menahannya, maka digunakan istilah ini kepada
Islam, yaitu apa yang seorang muslim mengikat dirinya dengannya berupa
ikatan tali Islam, berupa batasan-batasannya, hukum-hukumnya, perintah
dan larangannya.”(6)
WAJIB MENDENGAR DAN TAAT KEPADA PENGUASA
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ (النساء: من الآية59)
“Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (QS.An-Nisaa:59)
Berkata syeikhul Islam Ibnu Taymiyyah rahimahullah:
” طَاعَةُ اللهِ وَ رَسُوْلِهِ وَاجِبَةٌ عَلَى كُلِّ أَحَدٍ
وَ طَاعَةُ وُلَاةِ الأُمُوْرِ وَاجِبَةٌ لِأَمْرِ اللهِ بِطَاعَتِهِمْ “
“Taat kepada Allah dan Rasul-Nya adalah kewajiban bagi setiap
orang,dan taat kepada penguasa adalah kewajiban berdasarkan perintah
Allah untuk mentaati mereka.”(7)
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah (tentang ayat 59 An Nisa’):
“Secara zahir –wallahu a’lam- bahwa ayat ini umum mencakup setiap ulil amri dari para penguasa dan ulama(8)
“Secara zahir –wallahu a’lam- bahwa ayat ini umum mencakup setiap ulil amri dari para penguasa dan ulama(8)
Dan berkata Imam Nawawi rahimahullah:
”Yang dimaksud dengan ulil amri adalah siapa yang Allah wajibkan untuk mentaatinya dan para pemimpin dan penguasa. Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama salaf dan khalaf dari kalangan ahli tafsir, fuqaha dan selainnya.”(9)
”Yang dimaksud dengan ulil amri adalah siapa yang Allah wajibkan untuk mentaatinya dan para pemimpin dan penguasa. Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama salaf dan khalaf dari kalangan ahli tafsir, fuqaha dan selainnya.”(9)
Dan berkata As Syaikh Bin Baaz rahimahullah Ta’ala:
”Ayat ini adalah nash tentang wajibnya taat kepada ulil amri, yaitu penguasa dan para ulama, dan telah datang dalam sunnah yang shohih dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjelaskan bahwa ketaatan ini sifatnya harus, dan merupakan kewajiban selama dalam perkara ma’ruf.”(10)
”Ayat ini adalah nash tentang wajibnya taat kepada ulil amri, yaitu penguasa dan para ulama, dan telah datang dalam sunnah yang shohih dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjelaskan bahwa ketaatan ini sifatnya harus, dan merupakan kewajiban selama dalam perkara ma’ruf.”(10)
BUTUHNYA MANUSIA KEPADA HAKIM YANG MEREKA DENGAR DAN TAATI
Telah diketahui secara pasti dalam Islam bahwa tidak ada agama
kecuali dengan jama’ah, dan tidak ada jama’ah kecuali dengan imamah, dan
tidak ada imamah kecuali dengan mendengar dan taat, dan keluar dari
ketaatan kepada waliyyul amri termasuk diantara sebab terbesar munculnya
kerusakan diberbagai negara, rusaknya para hamba dan penyimpangan dari
jalan hidayah dan petunjuk.”(11)
Berkata Al Imam Al Hasan Al Bashri Rahimahullah Ta’ala:
Berkata Al Imam Al Hasan Al Bashri Rahimahullah Ta’ala:
و الله لا يستقيم الدين إلا بولاة الأمر و إن جاروا و ظلموا و الله لما يصلح الله بهم أكثر مما يفسدون
“Demi Allah, tidaklah tegak agama kecuali dengan penguasa,
walaupun mereka berbuat kedzaliman, demi Allah apa yang mereka perbaiki
lebih banyak daripada kerusakan mereka.”(12)
Berkata Ibnu Rojab Al Hambali Rahimahullah Ta’ala :
”Mendengar dan taat kepada yang mengatur urusan kaum muslimin, padanya terdapat kebahagiaan dunia, dan dengannya akan teratur kemaslahatan para hamba dalam mata pencaharian mereka, dan dengan sikap tersebut akan membantu mereka untuk menegakkan agamanya dan taat kepada robb-nya.”(13)
Dan keluar dari ketaatan kepada penguasa dan memberontak kepadanya dengan perang atau yang lainnya adalah merupakan kemaksiatan dan penympangan dari jalan Allah dan Rasul-Nya, dan menyelisihi keyakinan ahlus sunnah wal jama’ah dan as-salafus sholeh.(14)
”Mendengar dan taat kepada yang mengatur urusan kaum muslimin, padanya terdapat kebahagiaan dunia, dan dengannya akan teratur kemaslahatan para hamba dalam mata pencaharian mereka, dan dengan sikap tersebut akan membantu mereka untuk menegakkan agamanya dan taat kepada robb-nya.”(13)
Dan keluar dari ketaatan kepada penguasa dan memberontak kepadanya dengan perang atau yang lainnya adalah merupakan kemaksiatan dan penympangan dari jalan Allah dan Rasul-Nya, dan menyelisihi keyakinan ahlus sunnah wal jama’ah dan as-salafus sholeh.(14)
TAAT KEPADA PENGUASA BERARTI TAAT KEPADA RASUL صلى الله عليه وسلم
Telah dijelaskan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم bahwa mentaati penguasa
merupakan bentuk ketaatan kepadanya صلى الله عليه وسلم, sebagaimana
yang dikeluarkan Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah
radhiallahu’anhu dari Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ يَعْصِنِي
فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ يُطِعِ الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ
يَعْصِ الْأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي
“Barangsiapa yang taat kepadaku maka sungguh dia telah taat
kepada Allah dan barangsiapa yang durhaka kepadaku maka sungguh dia
telah durhaka (bermaksiat) kepada Allah, dan barangsiapa yang mentaati
pemimpin maka sungguh dia telah mentaatiku, dan barangsiapa yang durhaka
kepada pemimpin maka sungguh dia telah durhaka kepadaku.”
WASIAT NABI صلى الله عليه وسلم AGAR MENDENGAR DAN TAAT KEPADA PEMIMPIN
Bahkan Nabi صلى الله عليه وسلم menjadikan kewajiban mendengar dan
taat kepada pemimpin sebagai wasiat Beliau setelah wasiat taqwa kepada
Allah azza wajalla, sebagaimana yang diriwayatkan Ad-Darimi dalam
sunan-nya dari Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu’anhu berkata: Rasulullah
صلى الله عليه وسلم telah menasehati kami dengan nasehat yang sangat
menyentuh, yang menyebabkan berlinang air mata kami, dan bergetar
hati-hati kami, maka seseorang berkata: wahai Rasulullah, seakan-akan
ini merupakan nasehat orang yang hendak berpisah, maka berikanlah kepada
kami wasiat, maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda :
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا “
“Aku wasiatkan kepada kalian agar bertaqwa kepada Allah,
mendengar dan taat (kepada pemimpin) walaupun dia seorang budak dari
habsyi.”(15)
Dan dikeluarkan Imam Muslim dalam shohihnya dari Abu Dzar Radhiyallahu’anhu berkata:
:” إِنَّ خَلِيلِي أَوْصَانِي أَنْ أَسْمَعَ وَأُطِيعَ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا مُجَدَّعَ الْأَطْرَافِ “
“Sesungguhnya kekasihku shallallahu alaihi wasallam telah
mewasiatkan kepadaku agar aku mendengar dan taat walaupun dia seorang
budak yang terpotong bagian-bagian tubuhnya.”
PERINTAH MENDENGAR DAN TAAT DALAM SETIAP KEADAAN
Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk senantiasa
mendengar dan taat kepada penguasa dalam setiap keadaan, sebagaimana
yang dikeluarkan Imam Muslim dalam shohihnya dari Abu Hurairoh
Radhiyallahu’anhu berkata: bersabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم :
” عَلَيْكَ السَّمْعَ وَالطَّاعَةَ فِي عُسْرِكَ وَيُسْرِكَ وَمَنْشَطِكَ وَمَكْرَهِكَ وَأَثَرَةٍ عَلَيْكَ “
“Wajib atas kalian mendengar dan taat dalam keadaan sulitmu dan
mudahmu, dalam keadaan rajinmu dan terpaksamu, dan mereka merampas
hak-hakmu.”
Makna “mansyat” adalah disaat engkau rajin, dan makna “makroh” adalah
disaat engkau benci,dan yang dimaksud adalah disaat engkau senang dan
marah, sulit dan mudah.
TIDAK BOLEH MENDENGAR DAN TAAT DALAM KEMAKSIATAN
Nabi صلى الله عليه وسلم menjelaskan bahwa mendengar dan taat kepada
penguasa adalah wajib selama tidak memerintahkan kepada kemaksiatan.
Jika mereka memerintahkan untuk bermaksiat maka tidak boleh didengar dan
ditaat dalam kemaksiatan tersebut secara khusus, adapun perintah yang
lainnya maka tetap wajib didengar dan ditaati, sebagaimana yang
dikeluarkan Imam Bukhari dalam shohihnya dari Abdullah radhiallahu anhu
dari Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
” السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ حَقٌّ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ
فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ
بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ “
“Mendengar dan taat adalah kewajiban atas setiap muslim terhadap
apa yang dia senangi dan yang dia benci, selama tidak diperintah untuk
berbuat kemaksiatan, maka jika diperintah untuk bermaksiat maka tidak
boleh mendengar dan taat.”
Berkata para Ulama: maknanya adalah: wajib mentaati penguasa disaat
sulit dan tidak disukai oleh jiwa, dan selainnya selama dalam perkara
yang bukan kemaksiatan. Jika berupa kemaksiatan maka tidak boleh
mendengar dan taat. Sedangkan makna: “tidak boleh mendengar dan taat”
adalah dalam perkara yang diperintahkan berbuat maksiat saja, jika
diperintah untuk mengerjakan yang haram, maka wajib untuk tidak
mentaatinya dalam perkara tersebut, maka jangan dia menurutinya, sebab
taat kepada Allah lebih wajib. Dan jangan difahami bahwa jika diperintah
berbuat maksiat maka tidak boleh mendengar dan taat secara mutlak dalam
setiap perintahnya, namun dia tetap mendengar dan taat secara mutlak,
kecuali dalam kemaksiatan maka tidak boleh mendengar dan taat.(16)
Berkata Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah:
“Jika penguasa memerintahkan dengan suatu perintah, maka tidak terlepas dari tiga keadaan:
Pertama: bahwa itu termasuk yang Allah perintahkan, maka wajib bagi kita mematuhinya, karena adanya perintah Allah terhadapnya, dan perintah mereka pula. Maka jika mereka mengatakan: tegakkanlah sholat, maka wajib atas kita menegakkannya karena mematuhi perintah Allah dan mematuhi perintah mereka. Allah Ta’ala berfirman:
“Jika penguasa memerintahkan dengan suatu perintah, maka tidak terlepas dari tiga keadaan:
Pertama: bahwa itu termasuk yang Allah perintahkan, maka wajib bagi kita mematuhinya, karena adanya perintah Allah terhadapnya, dan perintah mereka pula. Maka jika mereka mengatakan: tegakkanlah sholat, maka wajib atas kita menegakkannya karena mematuhi perintah Allah dan mematuhi perintah mereka. Allah Ta’ala berfirman:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ }
“Wahai orang-orang yang beriman,taatilah Allah dan taatilah rasul-Nya dan ulil amri diantara kalian.”(QS.An-Nisaa: 59).
Keadaan Kedua: mereka memerintahkan dengan sesuatu yang Allah
melarangnya, maka dalam keadaan ini kita mengatakan: kami mendengar dan
taat kepada Allah dan kami menyelisihi kalian, sebab tidak ada ketaatan
kepada makhluk dalam bermaksiat kepada al-Kholiq, seperti kalau mereka
mengatakan: janganlah kalian sholat jama’ah di masjid-masjid, maka kita
menjawab: tidak boleh mendengar dan mentaatinya.
Keadaan Ketiga: mereka memerintahkan dengan sesuatu yang tidak terdapat perintah Allah dan Rasul-Nya, dan tidak terdapat pula larangan dari Allah dan Rasul-Nya: maka kita wajib mendengar dan taat. Kita tidak mentaati mereka karena mereka adalah si-ini dan si-itu, namun karena Allah yang memerintahkan kita untuk taat kepadanya, dan Rasulullah صلى الله عليه وسلم memerintahkan hal itu kepada kita. Dimana beliau bersabda:
Keadaan Ketiga: mereka memerintahkan dengan sesuatu yang tidak terdapat perintah Allah dan Rasul-Nya, dan tidak terdapat pula larangan dari Allah dan Rasul-Nya: maka kita wajib mendengar dan taat. Kita tidak mentaati mereka karena mereka adalah si-ini dan si-itu, namun karena Allah yang memerintahkan kita untuk taat kepadanya, dan Rasulullah صلى الله عليه وسلم memerintahkan hal itu kepada kita. Dimana beliau bersabda:
“اسمع و أطع و إن ضرب ظهرك و أخذ مالك”
“Dengar dan taatlah,walaupun dia memukul punggungmu dan merampas hartamu.”(17)
Dan para shahabat Radhiyallahu’anhum bertanya kepada beliau
shallallahu alaihi wasallam tentang para penguasa yang merampas harta
mereka dan mengambil hak-hak rakyatnya? Maka beliau menjawab:
عليهم ما حملوا و عليكم ما حملتم
“Mereka menanggung atas perbuatan mereka (atas kedhalimannya), sedangkan kalian menanggung atas apa yang kalian lakukan.”
Dan beliau telah memikulkan kepada kita tanggung jawab untuk mendengar dan taat . (18)
Dan beliau telah memikulkan kepada kita tanggung jawab untuk mendengar dan taat . (18)
KESALAHAN PENDAPAT YANG MENGATAKAN: TIDAK BOLEH MENDENGAR DAN TAAT KEPADA PEMERINTAH
Diantara manusia ada yang mengatakan: tidak boleh mendengar dan taat
kepada pemerintah dengan alasan bahwa hadits-hadits yang disebutkan
tentang mendengar dan taat hanyalah pada imam yang menyeluruh (khalifah)
bukan yang khusus, dan ini sudah tentu perkataan yang batil yang
menyelisishi ijma’ para ahli ilmu.
Berkata syeikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab:
”Para imam dari setiap madzhab sepakat bahwa barangsiapa yang meguasai sebuah negeri, maka dia hukumnya sama dengan hukum imam dalam setiap keadaan, kalau bukan karena hal ini maka urusan dunia tidak akan tegak, sebab manusia semenjak zaman yang berkepanjangan, dari sebelum zaman imam Ahmad hingga zaman kita sekarang ini, mereka tidak sepakat di atas satu imam, namun mereka tidak mengetahui seorangpun dari ulama yang mengatakan bahwa tidak sah hukum apa pun yang diterapkan kecuali bila ada imam yang menyeluruh.”(19)
”Para imam dari setiap madzhab sepakat bahwa barangsiapa yang meguasai sebuah negeri, maka dia hukumnya sama dengan hukum imam dalam setiap keadaan, kalau bukan karena hal ini maka urusan dunia tidak akan tegak, sebab manusia semenjak zaman yang berkepanjangan, dari sebelum zaman imam Ahmad hingga zaman kita sekarang ini, mereka tidak sepakat di atas satu imam, namun mereka tidak mengetahui seorangpun dari ulama yang mengatakan bahwa tidak sah hukum apa pun yang diterapkan kecuali bila ada imam yang menyeluruh.”(19)
Berkata Imam Asy-Syaukani:
”Merupakan hal yang dimaklumi bahwa pada setiap wilayah mempunyai penguasa tersendiri, demikian pula diwilayah lainnya, dan tidaklah mengapa bila terdapat beberapa penguasa, dan wajib mentaati setiap dari mereka setelah dibaiat oleh penduduk negeri tersebut yang akan menjalankan perintah dan larangannya, demikian pula penduduk dinegeri yang lain. Barangsiapa yang mengingkari ini maka dia telah mendustakan nash, dan tidak sepantasnya diajak berdialog tentang hujjah sebab dia tidak memahaminya.”(20)
”Merupakan hal yang dimaklumi bahwa pada setiap wilayah mempunyai penguasa tersendiri, demikian pula diwilayah lainnya, dan tidaklah mengapa bila terdapat beberapa penguasa, dan wajib mentaati setiap dari mereka setelah dibaiat oleh penduduk negeri tersebut yang akan menjalankan perintah dan larangannya, demikian pula penduduk dinegeri yang lain. Barangsiapa yang mengingkari ini maka dia telah mendustakan nash, dan tidak sepantasnya diajak berdialog tentang hujjah sebab dia tidak memahaminya.”(20)
KESALAHAN ORANG YANG MENDUDUKKAN DIRINYA SEPERTI PENGUASA
Diantara manusia ada yang mendudukkan dirinya seperti kedudukan
penguasa yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan dalam mengatur manusia,
maka diapun mengajak sekelompok manusia untuk mendengar dan taat
kepadanya, ataukah sekelompok manusia itu membaiatnya untuk mereka
dengar dan taati aturannya, padahal dinegeri tersebut ada penguasa yang
nampak ditengah mereka !
Tidaklah diragukan lagi bahwa ini merupakan kesalahan besar dan dosa
yang berat, barangsiapa yang melakukan ini maka sungguh dia telah
menentang Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam, dan
menyelisihi nash-nash syari’at, maka tidak wajib mentaatinya bahkan
diharamkan, sebab dia tidak punya kekuasaan dan tidak punya kemampuan
sama sekali, maka atas dasar apa ucapannya didengar dan ditaati
sebagaimana didengar dan ditaatinya penguasa yang tegak dan nampak.
Berkata syeikhul Islam Ibnu Taymiyyah rahimahullah:
“Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk mentaati para pemimpin yang ada wujudnya dan diketahui memiliki kekuasaan yang dengannya mereka mampu untuk mengatur manusia, bukan mentaati yang tidak ada wujudnya dan yang majhul, dan juga tidak memiliki kekuasaan dan kemampuan sama sekali.”(21)
“Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk mentaati para pemimpin yang ada wujudnya dan diketahui memiliki kekuasaan yang dengannya mereka mampu untuk mengatur manusia, bukan mentaati yang tidak ada wujudnya dan yang majhul, dan juga tidak memiliki kekuasaan dan kemampuan sama sekali.”(21)
KESALAHAN ORANG YANG MENYANGKA BAHWA ATURAN UMUM TIDAK WAJIB DIDENGAR DAN DITAATI
Diantara manusia ada yang mengatakan: seseorang punya hak untuk
keluar dari aturan umum yang telah diatur oleh pemerintah, dan tidak
wajib terikat dengannya, dan tidak wajib mentaatinya, seperti tanda lalu
lintas, pengurusan surat-surat paspor, dan yang lainnya. Dengan alasan
bahwa itu tidak dibangun diatas pondasi syari’at, dan mentaati penguasa
hanyalah dalam perkara-perkara syari’at saja, adapun dalam perkara yang
mubah dan mandub (disukai) maka tidak wajib !!!
Dan tidaklah diragukan bahwa kesalahan ini muncul dari minimnya ilmu
yang dimilikinya. Berkata Imam Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah Ta’ala:
“Ini adalah suatu kebatilan dan kemungkaran, bahkan wajib hukumnya
mendengar dan taat dalam perkara-perkara tersebut yang tidak ada
kemungkaran padanya, Dimana penguasa telah mengaturnya demi kemaslahatan
kaum muslimin, wajib tunduk terhadapnya, mendengar dan taat dalam
perkara tersebut, sebab ini termasuk perkara yang ma’ruf yang memberi
manfa’at kepada kaum muslimin.”(22)
Berkata Al-Allamah Al-Mubarakfuri:
“seorang pemimpin jika memerintahkan kepada perkara yang mandub dan mubah maka wajib (ditaati).”(23)
“seorang pemimpin jika memerintahkan kepada perkara yang mandub dan mubah maka wajib (ditaati).”(23)
KESALAHAN ORANG YANG MENYANGKA BAHWA BOLEH BERPEGANG KEPADA DUA BAIAT
Sebagian manusia ada yang menyangka bahwa boleh baginya berpegang
kepada dua baiat : baiat untuk penguasa muslim, dan baiat untuk pemimpin
kelompoknya. Tidaklah diragukan bahwa ini merupakan kesalahan yang
besar.
Berkata syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah:
Berkata syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah:
“Tidak boleh bagi seseorang memegang dua baiat, baiat untuk penguasa
yang menyeluruh disebuah negeri, dan baiat untuk pemimpin kelompok yang
dia berloyal kepadanya. Sementara Nabi shallallahu alaihi wasallam
bersabda terhadap para musafir yang berjumlah tiga orang: “Hendaklan
mereka mengangkat pemimpin salah seorang dari mereka.”, bukan berarti
bahwa mereka berbaiat kepadanya, namun ini bermakna bahwa bagi suatu
kumpulan manusia haruslah ada seseorang yang yang menjadi pemberi
keputusan diantara mereka agar mereka tidak berselisih. Hal ini
menunjukkan bahwa perselisihan, sepantasnya bagi kita berusaha untuk
menutup pintunya dari setiap jalan.”(24)
KESALAHAN ORANG YANG MENYANGKA BAHWA DIA TIDAK WAJIB MENDENGAR DAN TAAT KARENA DIA TIDAK PERNAH BERBAIAT KEPADA PENGUASA
Sebagian manusia ada yang mengatakan: saya tidak pernah membaiat
penguasa tersebut maka saya tidak wajib mendengar dan taat !. Tidak
diragukan lagi bahwa ini adalah ucapan ngawur dan bodoh.
Berkata syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah rahimahullah:
“Apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam dari ketaatan kepada penguasa dan menasehati mereka adalah perkara yang wajib atas setiap manusia, walaupun dia tidak pernah mengikat perjanjian (baiat) kepadanya, dan walaupun dia tidak bersumpah dengan berbagai sumpah yang menekankan.”(25)
Dan berkata Syaikh Bin Baaz:
”Jika kaum muslimin telah bersepakat diatas satu pemimpin, maka wajib secara keseluruhan untuk taat kepadanya, walaupun dia tidak secara langsung membaiatnya. Para shahabat dan kaum muslimin mereka tidak membaiat Abu Bakar, namun yang membaiatnya adalah penduduk Madinah, maka baiat tersebut berkonsekwensi bagi seluruhnya.”(26)
Berkata syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah rahimahullah:
“Apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam dari ketaatan kepada penguasa dan menasehati mereka adalah perkara yang wajib atas setiap manusia, walaupun dia tidak pernah mengikat perjanjian (baiat) kepadanya, dan walaupun dia tidak bersumpah dengan berbagai sumpah yang menekankan.”(25)
Dan berkata Syaikh Bin Baaz:
”Jika kaum muslimin telah bersepakat diatas satu pemimpin, maka wajib secara keseluruhan untuk taat kepadanya, walaupun dia tidak secara langsung membaiatnya. Para shahabat dan kaum muslimin mereka tidak membaiat Abu Bakar, namun yang membaiatnya adalah penduduk Madinah, maka baiat tersebut berkonsekwensi bagi seluruhnya.”(26)
PANGGILAN JIHAD MERUPAKAN KEKHUSUSAN PENGUASA
Jihad merupakan kekhususan yang paling agung dan yang terbesar dari
kekhususan yang dimiliki penguasa. Maka bila setiap individu boleh
menyerukannya maka akan membuat kekacauan. Maka kapan manusia, para
ulama, atau para penuntut ilmu diperkenankan menyeru kepada jihad ?
Jawabannya adalah apabila penguasa telah menyerukannya. Allah Ta’ala
berfirman:
{ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَال }
“Berilah semangat kepada kaum mukminin untuk berperang.”(QS.al-anfal:65)
Maka kaum mukminin mengikuti penguasa dalam hal ini.(27)
Maka kaum mukminin mengikuti penguasa dalam hal ini.(27)
MELAKUKAN QUNUT (NAZILAH) DIMASJID HARUS DENGAN IZIN PENGUASA
Qunut merupakan hal yang dianjurkan dan bukan wajib hukumnya. Nabi
صلى الله عليه وسلم melakukan qunut dalam satu tragedi dan meninggalkan
qunut ketika terjadi tragedi yang lain. Dan madzhab ahlul hadits serta
pendapat Imam Ahmad dan yang dipilih oleh Syaikh Ibnu Utsaimin: bahwa
qunut hanyalah bagi penguasa tertinggi, dan wakil imam boleh qunut
dengan idzinnya menurut salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Dan Jumhur ulama berhujjah bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم hanyalah
qunut dimasjidnya yang paling besar dan masjid lain di Madinah tidak
melakukan qunut, demikian pula di masa Umar, beliau qunut dan masjid
lain tidak melakukannya.”(28)
PENGUASA BERHAK MELARANG SEORANG ALIM UNTUK MENGAJAR
Berkata syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah: ”Jika penguasa memandang
untuk menyuruh salah seorang diantara kita untuk diam dan mengatakan:
kamu jangan berbicara, maka ini adalah udzur di sisi Allah untuk saya
tidak berbicara sebagaimana yang dia perintahkan kepadaku, sebab
menjelaskan kebenaran hukumnya adalah fardhu kifayah, tidak terkhusus
hanya kepada si Zaid atau Amr, sebab kalau kita menyandarkan kebenaran
kepada individu tertentu, maka kebenaran akan mati dengan matinya orang
tersebut. Namun kebenaran tidaklah disandarkan kepada individu tertentu.
Anggaplah mereka melarang saya dengan mengatakan: jangan kamu
berbicara, jangan kamu berkhutbah, jangan kamu menjelaskan pelajaran,
maka saya mendengar dan taat. Maka ketika saya pergi sholat, jika mereka
izinkan saya untuk menjadi imam maka saya menjadi imam. Dan jika mereka
mengatakan: jangan kamu mengimami manusia, maka akupun tidak
mengimaminya dan cukup menjadi makmum, sebab hak tersebut telah
didirikan oleh yang lain, dan bukan berarti bahwa jika mereka
melarangku, berarti telah melarang semua manusia. Dan kami memiliki
contoh dalam hal ini, dimana Ammar bin Yasir radhiallahu’anhu
memberitakan dari Rasul Shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau
memerintahkan orang yang sedang junub untuk bertayammum, sedangkan Umar
bin Khattab tidak memandang demikian, lalu Umar memanggilnya suatu hari
lalu berkata: hadits yang engkau sampaikan kepada manusia bahwa orang
junub bertayammum apabila tidak mendapatkan air? Maka dia menjawab:
apakah engkau tidak mengingat ketika Nabi shallallahu alaihi wasallam
mengutusku bersamamu dalam satu kebutuhan, lalu aku dalam keadaan junub,
maka akupun berguling-guling di tanah. Lalu aku mendatangi Nabi
shallallahu alaihi wasallam dan aku mengabarkannya dan beliau
menjawab:”cukuplah bagimu berbuat dengan tanganmu demikian, lalu beliau
mengajarkan tayammum. Akan tetapi wahai amirul mukminin, Sesungguhnya
Allah telah mewajibkan atasku untuk taat kepadamu, maka jika engkau
melihat untuk aku tidak memberitakannya, maka saya melakukannya.”
Allahu akbar, shahabat yang mulia menahan diri untuk memberitakan
hadits dari Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam karena adanya
perintah khalifah yang wajib ditaati, Namun Umar berkata kepadanya:
tidak, aku tidak mencegahmu, tapi aku menyerahkan hal tersebut
kepadamu.”
Maka jika penguasa memandang untuk melarang kaset-kaset Ibnu
Utsaimin, ataukah kaset Ibnu Baaz, atau kaset yang lainnya, maka kami
tidak menolak diri. Adapun kalau kita hendak menjadikan adanya prosedur
semacam ini untuk membangkitkan emosi masyarakat, terkhusus para pemuda,
untuk menjadikan hati mereka benci kepada penguasanya, maka ini –demi
Allah wahai saudaraku- merupakan kemaksiatan, dan merupakan salah satu
faktor terbesar yang menimbulkan fitnah dikalangan manusia. Dan negeri
kita (saudi) –sebagaimana yang telah kalian ketahui- merupakan negeri
kecil, ruang lingkupnya kecil, yang di dalamnya terdapat jutaan kampung
yang terpisah dan kabilah yang berbeda, kalau bukan karena Allah Azza
wajalla menganugerahi kita dengan disatukannya kalimat diatas kekuasaan
Abdul Aziz bin Su’ud, maka kita telah berpecah dan saling membunuh. Di
negeri ini, salah satu dari orang tua kami mengabarkan kepadaku bahwa
dahulu di bulan Ramadhan, mereka tidak keluar untuk sholat tarawih
kecuali apabila setiap mereka membawa senjata disebabkan rasa takut yang
terjadi di tengah negeri, adapun sekarang sudah dalam keadaan aman, apa
persangkaan kalian jika hal ini berubah –semoga Allah tidak
mentaqdirkannya-, apakah masih ada rasa aman seperti ini?. Sekarang ini
seseorang tatkala keluar dalam keadaan mobilnya dipenuhi barang-barang
berharga, apabila telah dikumandangkan adzan maghrib, dia turun sholat
sedangkan mobilnya diletakkan di marmal hajar(29) atau didekatnya, dan
dia tidak takut kecuali hanya kepada Allah. Mengapa kita tidak
menghargai rasa aman ini? Mengapa kita tidak mengetahui bahwa jika hati
manusia dalam keadaan saling membenci, maka rasa aman menjadi hilang dan
manusia menjadi kalap.
Walaupun mereka melarang kaset si fulan dan fulan, tidak masalah, dan
kita tetap mengatakan: kami memohon kepada Allah agar memberi hidayah
kepada mereka. Apakah kita lebih berilmu, lebih faqih, lebih mengerti
tentang agama daripada Imam Ahmad. Beliau dipukuli dan bahkan diseret
dengan baghlah(30), dipukul dengan cambuk sehingga beliau tidak sadarkan
diri. Namun beliau tetap mengatakan: jikalau sekiranya aku memiliki
do’a yang mustajab, maka aku akan menujukannya untuk penguasa. Dan
beliau tetap memanggil khalifah Ma’mun dengan sebutan Amirul mukminin,
dalam keadaan Makmun menyeru kepada bid’ah yang besar, yaitu berpendapat
bahwa Al-Qur’an makhluk, bahkan keyakinan ini mereka ajarkan disekolah.
Lalu bagaiman jika kita melihat hal tersebut ada pada penguasa kita?
Apakah kalian mengetahui dari mereka(31) bahwa mereka mengajak kepada
bid’ah lalu mengatakan: barangsiapa yang menentang kami maka kami akan
membunuhnya, atau memenjarakannya, atau memukulnya? Aku tidak mengetahui
adanya hal tersebut!
Sesunggunya ikhwan yang meributkan hal-hal seperti ini, mereka tidak
membantu kecuali kepada sekularisme, apakah kaum sekuler sekarang ini
senang negeri kita tetap ada? Tidak, sebab mereka tidak menghendaki
Islam, mereka menginginkan negara komunis yang mensederajatkan setiap
orang apakah dia yahudi, nashrani, penyembah berhala, ataukah muslim.
Mereka senang bila penguasa negeri marah terhadap kalian dengan adanya
selentingan seperti ini, sehingga mereka menghukum kalian, lalu mereka
(rakyat) pun hendak menyikapi pemerintahnya, sebab masyarakat umum
apabila hati mereka tidak senang kepada penguasanya, maka mereka
membencinya dan marah kepadanya lalu berusaha menjatuhkan tahtanya
dengan kekuatan, lalu mereka sendiri yang hendak menerapkan hukum
setelah (runtuhnya kekuasaan sebelumnya) –semoga Allah tidak
mentakdirkannya-. Perhatikanlah sekarang munculnya berbagai gejolak di
Mesir, Irak, Syam, apa yang dialami kaum muslimin, apakah berubah
keadaan mereka dari kejelekan menuju arah yang lebih baik, ataukah dari
kejelekan kearah yang lebih jelek? Para pemuda yang yang bangkit amarah
mereka dengan sebab perkara-perkara ini, mereka telah membantu kaum
sekuler dengan bantuan gratis secara tidak langsung.”(32)
WAJIB ILTIZAM KEPADA JAMA’AH
Sungguh Nabi Shallallahu alaihi wasallam telah menganjurkan untuk
beriltizam (komitmen) kepada penguasa, dan tidak memberontak atasnya,
sebagaimana yang dikeluarkan Imam Al Bukhari dalam shohih-nya dari
Hudzaifah bin Yaman bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم berkata kepadanya
tentang zaman kejahatan dan fitnah:
“Hendaklah engkau komitmen terhadap jama’ah kaum muslimin dan pemimpinnya.”
“Hendaklah engkau komitmen terhadap jama’ah kaum muslimin dan pemimpinnya.”
Hal itu disebabkan karena penguasa adalah perisai dan pelindung bagi
siapa yang bersamanya, sebagaimana yang dikeluarkan Imam Al Bukhari dan
Muslim dalam shohih kedua nya dari Abu Hurairoh رضي الله عنه bahwa Nabi
صلى الله عليه وآله وسلم bersabda:
:” إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ
وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَعَدَلَ فَإِنَّ لَهُ
بِذَلِكَ أَجْرًا وَإِنْ قَالَ بِغَيْرِهِ فَإِنَّ عَلَيْهِ مِنْهُ”
“Sesungguhnya pemimpin itu adalah perisai, yang (suatu kaum)
berperang dibelakangnya dan membentengi diri dengannya, Maka jika dia
memerintahkan untuk bertaqwa kepada Allah dan berbuat adil, maka
sesungguhnya dia mendapatkan pahala atas perbuatannya itu, namun jika
dia berbuat yang lain, maka dia mendapat dosa.”
PENGUASA ADALAH PEMELIHARA, DAN DIA SEBAGAI WALI BAGI YANG TIDAK MEMILIKI WALI
Telah dijelaskan oleh Nabi صلى الله عليه وآله وسلم bahwa penguasa
adalah pemelihara kita, dan kita merupakan peliharaannya, sebagaimana
yang dikeluarkan Imam Al Bukhari dalam shohihnya dari Ibnu Umar رضي الله
عنهما bahwa Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم bersabda:
:” كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ “
“setiap kalian adalah pemelihara, dan setiap kalian bertanggung
jawab atas peliharaannya, seorang Imam adalah pemelihara, dan
bertanggung jawab atas peliharaannya.”
Dan beliau صلى الله عليه وآله وسلم , menjelaskan bahwa siapa yang
tidak mempunyai wali, maka penguasa adalah walinya, sebagaimana yang
dikeluarkan Ibnu Majah dalam sunan-nya dari Aisyah رضي الله عنها
berkata: bersabda Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم :
“السُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ “.
“Penguasa adalah wali bagi orang yang tidak mempunyai wali.” (33)
WAJIB MEMULIAKAN DAN MENGHORMATI PEMIMPIN, DAN HARAMNYA MERENDAHKAN DAN MENGHINAKANNYA
Nabi صلى الله عليه وآله وسلم menjelaskan bahwa penguasa adalah wajib
dimuliakan dan dihormati, dan diharamkan merendahkan dan menghinakannya.
Sebagaimana yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam musnad-nya dan
Tirmidzi dalam ”sunan” dari Ziyad bin Kusaib Al-Adawi berkata: aku
pernah bersama Abu Bakroh dibawah mimbar Ibnu Amir dalam keadaan beliau
sedang berkhutbah, memakai pakaian yang halus. Maka dia berkata Abi
Bilal: lihatlah pemimpin kita, dia memakai pakaian orang fasiq. Maka Abu
Bakroh berkata: diam kamu. Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah
صلى الله عليه وآله وسلم bersabda:
مَنْ أَكْرَمَ سُلْطَانَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي
الدُّنْيَا أَكْرَمَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمَنْ أَهَانَ
سُلْطَانَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي الدُّنْيَا أَهَانَهُ اللَّهُ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ”.
”Barangsiapa yang memuliakan penguasa Allah تبارك وتعالى di
dunia, maka Allah akan memuliakannya pada hari kiamat, dan barangsiapa
yang menghinakan penguasa Allah تبارك وتعالى didunia, maka Allah akan
menghinakannya pada hari kiamat.”(34)
Maka perhatikanlah, bagaimana Abu Bakroh رضي الله عنه menganggap
sikap mencela dan menjelekkan penguasa termasuk menghinakannya. Imam
Adz-Dzahabi rahimahullah mengomentari kisah ini dengan mengatakan: Abu
Bilal ini seorang khawarij, dan termasuk kejahilannya, dia menganggap
pakaian halus seseorang sebagai pakaian orang yang fasiq.(35)
PERINTAH UNTUK BERSABAR,LARANGAN DARI MENINGGALKAN KETAATAN KEPADA PENGUASA
Sebagaimana Nabi صلى الله عليه وآله وسلم memerintahkan untuk bersabar
dan melarang dari melepaskan ketaatan (dalam perkara ma’ruf), walaupun
dia melihat penguasa tersebut melakukan kemaksiatan, sebagaimana yang
dikeluarkan Imam Muslim dalam shohihnya dari ‘Auf bin Malik berkata:
telah bersabda Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم :
:” مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ وَالٍ فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ
مَعْصِيَةِ اللَّهِ فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ
وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ “
“Barangsiapa yang memimpinnya, lalu dia melihat dia melakukan
kemaksiatan kepada Allah, maka hendaklah dia membenci apa yang dia
kerjakan dari maksiat kepada Allah dan jangan dia melepaskan diri dari
ketaatan kepadanya (dalam hal yang ma’ruf)”
Dan dikeluarkan Imam Muslim dalam shohihnya dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما dari Nabi صلى الله عليه وآله وسلم bersabda:
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ
فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا
فَمَاتَ عَلَيْهِ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa yang melihat dari pemimpinnya sesuatu yang dibencinya,
maka hendaklah dia bersabar, karena tidaklah seseorang keluar dari
penguasa walapun sejengkal, melainkan dia mati seperti matinya kaum
jahiliyyah.”
Dan Imam Al Bukhari mengeluarkan dalam tarikh-nya dari Wa’il bahwa dia bertanya kepada Nabi صلى الله عليه وآله وسلم : bagaimana jika kami memiliki pemimpin yang tidak mengamalkan ketaatan? Beliau صلى الله عليه وآله وسلم menjawab:
“Mereka bertanggungjawab atas apa yang mereka pikul dan kalian pun bertanggung jawab atas apa yang kalian pikul”
Dan Imam Al Bukhari mengeluarkan dalam tarikh-nya dari Wa’il bahwa dia bertanya kepada Nabi صلى الله عليه وآله وسلم : bagaimana jika kami memiliki pemimpin yang tidak mengamalkan ketaatan? Beliau صلى الله عليه وآله وسلم menjawab:
“Mereka bertanggungjawab atas apa yang mereka pikul dan kalian pun bertanggung jawab atas apa yang kalian pikul”
Dan Imam Muslim mengeluarkan dalam shohihnya dari Hudzaifah bin Yaman
رضي الله عنه bahwa Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم bersabda:
:” يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ
وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ
قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ
“Akan muncul setelahku para pemimpin yang tidak mengambil
petunjuk dari petunjukku dan tidak mengikuti sunnahku,dan akan tegak
diantara mereka orang-orang yang hatinya adalah hati syetan dalam jasad
manusia.”Aku bertanya, “apa yang akan aku lakukan wahai Rasulullah jika
aku menemukan yang demikian.” Beliau menjawab: ”engkau mendengar dan
taat kepada pemimpin walaupun dia memukul punggungmu dan mengambil
hartamu, maka dengar dan taatlah.”
Maka perhatikanlah hadits yang agung ini yang kebanyakan manusia lari
darinya,dimana Rasul صلى الله عليه وآله وسلم memerintahkan untuk taat
kepada pemimpin walaupun pemimpin itu mendzaliminya dengan merampas
harta dan memukul punggung. Maka bagaimana keadaan manusia yang tidak
punya kesabaran dan ketaatan, pada mereka belum sampai kepada kondisi
demikian ini –Walhamdulillah- bahkan demi Allah mereka dalam keadaan
mendapatkan nikmat yang besar dan anugerah yang luar biasa.
BERSABAR DARI KEDZALIMAN PENGUASA TERMASUK PRINSIP DAKWAH SALAFIYYAH
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah : ”Bersabar terhadap kedzaliman
penguasa adalah salah satu prinsip dari prinsip ahlus sunnah wal
jama’ah”(36)
Dan ini benar, sebab perintah untuk bersabar terhadap kedzaliman
penguasa dan penganiayaan mereka mendatangkan kemaslahatan dan menolak
adanya kemudhoratan, juga menjadi kebaikan bagi hamba dan negara.
Berkata Ibnu Taimiyyah: “Apa yang terdapat pada kedzaliman mereka dan melampaui batas, apakah dengan penakwilan yang dibenarkan atau tidak, maka tidak boleh dihilangkan dengan sesuatu yang mendatangkan kedzaliman dan melampaui batas pula, sebagaimana kebiasaan kebanyakan manusia yang menghilangkan kejahatan dengan mendatangkan sesuatu yang lebih jahat, dan menghilangkan permusuhan dengan sesuatu yang lebih mendatangkan permusuhan, maka keluar dari ketaatan terhadap mereka menyebabkan kedzaliman dan kerusakan yang lebih dahsyat dari kedzaliman penguasa itu sendiri, maka hendaklah bersabar atasnya sebagaimana halnya sikap sabar ketika beramar ma’ruf nahi munkar atas kedzaliman yang diperintah dan yang dilarang dalam banyak nash.”(37)
Berkata Ibnu Taimiyyah: “Apa yang terdapat pada kedzaliman mereka dan melampaui batas, apakah dengan penakwilan yang dibenarkan atau tidak, maka tidak boleh dihilangkan dengan sesuatu yang mendatangkan kedzaliman dan melampaui batas pula, sebagaimana kebiasaan kebanyakan manusia yang menghilangkan kejahatan dengan mendatangkan sesuatu yang lebih jahat, dan menghilangkan permusuhan dengan sesuatu yang lebih mendatangkan permusuhan, maka keluar dari ketaatan terhadap mereka menyebabkan kedzaliman dan kerusakan yang lebih dahsyat dari kedzaliman penguasa itu sendiri, maka hendaklah bersabar atasnya sebagaimana halnya sikap sabar ketika beramar ma’ruf nahi munkar atas kedzaliman yang diperintah dan yang dilarang dalam banyak nash.”(37)
Berkata Syaikh Bin Baaz: “Keluar dari penguasa menyebabkan kerusakan
yang besar, dan kejahatan yang dahsyat, yang menyebabkan rasa aman
menjadi hilang, dan terabaikan hak-hak, sehingga tidak memungkinkan
untuk menghentikan kelakuan orang yang dzalim dan menolong yang
terdzalimi.”(38)
Dan berkata para imam dakwah: ”Apa yang dilakukan oleh para penguasa
dari berbagai kemaksiatan dan penyelisihan syari’at yang tidak
menyebabkan kekafiran dan keluar dari Islam, maka wajib menasehati
mereka dengan cara yang syar’i dengan lemah lembut, dan mengikuti apa
yang telah diamalkan salafus soleh dengan tidak menjelek-jelekkan mereka
di berbagai majelis dan kumpulan manusia, lalu meyakini bahwa yang
demikian itu termasuk dari nahi mungkar yang diingkari oleh setiap
hamba. Ini adalah kesalahan fatal, dan kejahilan yang nampak, orang yang
mengatakannya tidak mengetahui akibat dari perbuatan tersebut berupa
kerusakan yang besar baik dalam dunia dan agama, sebagaimana yang telah
diketahui hal tersebut oleh orang yang mendapatkan penerangan hati dari
Allah dan mengenal metode salafus shaleh dan para pemimpin agama.”(39)
Tatkala sebagian para ulama hendak melepaskan ketaatan dari kekuasaan
khalifah al-Watsiq dengan sebab fitnah pernyataan “Al-qur’an itu
makhluk”, Imam Ahmad mencegahnya dan mendebat sikap tersebut dan
mengatakan: ”Hendaklah kalian mengingkarinya dengan hati-hati kalian,
jangan kalian melepaskan ketaatan, dan memecahkan tongkat (persatuan)
kaum muslimin, jangan kalian tumpahkan darah kalian dan darah kaum
muslimin, darah kaum muslimin bersama kalian, hendaklah kalian memandang
akibat perbuatan kalian, bersabarlah sampai merasa tenang orang yang
baik, dan diistirahatkan dari orang yang fajir, dan bukanlah hal ini
–yaitu melepaskan ketaatan dari penguasa – dibenarkan, ini menyelisihi
atsar.”
Sebagian mereka ada yang mengatakan: “Sesungguhnya kami
mengkhawatirkan atas anak-anak kami jika perkara ini semakin nampak, dan
mereka tidak mengetahui selainnya, sehingga Islam menjadi hilang dan
terhapus.”(40)
Maka Imam Ahmad mengatakan kepada mereka:
Maka Imam Ahmad mengatakan kepada mereka:
كلا إن الله عز و جل ناصر دينه و إن هذا الأمر له رب ينصره و إن الإسلام عزيز منيع
”Sekali-kali tidak, sesungguhnya Allah عز وجل menolong agamanya, dan
sesungguhnya perkara ini, ada Robb yang akan menolongnya, dan
sesungguhnya Islam itu mulia dan terbentengi.”
Maka mereka keluar dari Abu Abdillah (Imam Ahmad), dan beliau tidak
menjawab mereka sedikitpun dari perkara yang mereka inginkan melainkan
beliau melarang dari perbuatan tersebut , dan membantah mereka untuk
senantiasa mendengar dan taat sampai Allah menyelamatkan umat ini
darinya, namun mereka tidak menerimanya.(41)
Berkata Al-Allamah Imam Abdul Latif aalus syaikh rahimahullah :
“Mayoritas para pemimpin Islam dari masa Yazid bin Mu’awiyah, kecuali Umar bin Abdil Aziz dan siapa yang Allah kehendaki dari Bani Umayyah, telah terjadi dari mereka berbagai tindakan kelancangan, peristiwa yang besar, keluar dari ketaatan, kerusakan dalam kekuasaan kaum muslimin. Namun sejarah para imam, tokoh-tokoh, para pembesar Islam yang mulia adalah hal yang ma’ruf dan masyhur, mereka tidak melepaskan baiat dari mentaati sesuatu yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan dari syari’at Islam. Tidak diketahui bahwa ada seseorang dari kalangan para imam yang melepaskan baiat dari ketaatan, dan tidak berpandangan bolehnya memberontak atas mereka.”(42)
“Mayoritas para pemimpin Islam dari masa Yazid bin Mu’awiyah, kecuali Umar bin Abdil Aziz dan siapa yang Allah kehendaki dari Bani Umayyah, telah terjadi dari mereka berbagai tindakan kelancangan, peristiwa yang besar, keluar dari ketaatan, kerusakan dalam kekuasaan kaum muslimin. Namun sejarah para imam, tokoh-tokoh, para pembesar Islam yang mulia adalah hal yang ma’ruf dan masyhur, mereka tidak melepaskan baiat dari mentaati sesuatu yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan dari syari’at Islam. Tidak diketahui bahwa ada seseorang dari kalangan para imam yang melepaskan baiat dari ketaatan, dan tidak berpandangan bolehnya memberontak atas mereka.”(42)
BARANGSIAPA YANG MELEPAS KETAATANNYA, TIDAK ADA HUJJAH BAGINYA PADA HARI KIAMAT
Nabi صلى الله عليه وسلم telah menjelaskan bahwa barangsiapa yang
melepaskan baiat taatnya, maka tidak ada hujjah baginya pada hari
kiamat, dan keadaan matinya seperti matinya kaum jahiliyyah, sebagaimana
yang dikeluarkan Imam Ahmad dalam musnadnya dari Ibnu Umar رضي الله
عنهما berkata : bersabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم :
:” مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً “
“Barangsiapa yang melepaskan baiatnya dari ketaatan, maka dia
tidak memiliki hujjah pada hari kiamat, dan barangsiapa yang mati dalam
keadaan dia memisahkan diri dari jama’ah maka dia mati seperti matinya
kaum jahiliyyah”(43)
Berkata Ibnu Abi Jamroh: ”Yang dimaksud memisahkan diri adalah
berusaha melepaskan baiat yang telah sah dari seorang pemimpin, walau
sekecil apapun, maka beliau menggunakan kata kiasan dengan “sejengkal”,
sebab melakukan hal tersebut mengakibatkan tertumpahnya darah tanpa
haq”.
Berkata Al-Hafidz: “Yang dimaksud dengan kematian ala jahiliyyah,
adalah keadaan matinya seperti matinya kaum jahiliyyah diatas kesesatan
dimana ia tidak memiliki seorang pemimpin yang ditaati, sebab mereka
tidak mengenal itu, dan bukanlah yang dimaksud bahwa dia mati dalam
keadaan kafir, namun dia mati dalam keadaan bermaksiat.(44)
BARANGSIAPA YANG MELEPASKAN KETAATANNYA, TERMASUK ORANG YANG MENGKHIANATI JANJI PADA HARI KIAMAT
Barangsiapa yang melepaskan ketaatannya, maka dia termasuk diantara
orang yang ingkar janji pada hari kiamat, sebagaimana yang dikeluarkan
Imam Bukhari dalam shohih-nya dari Nafi’ berkata: tatkala penduduk
Madinah melepaskan ketaatannya dari Yazid bin Mu’awiyah, Ibnu Umar
mengumpulkan para pelayan dan anak-anaknya, lalu berkata: sesungguhnya
aku mendengar Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
“Dipasang bendera bagi setiap yang mengkhianati janji pada hari kiamat”
Dan sesungguhnya kita telah membaiat orang ini (maksudnya Yazid bin
Muawiyah,pen) diatas baiat Allah dan Rasul-Nya, dan sesungguhnya aku
tidak mengetahui pengkhianatan yang lebih besar dari seseorang yang
telah dibaiat diatas baiat Allah dan Rasul-Nya, lalu ditegakkan
peperangan terhadapnya. Dan sesungguhnya aku tidak mengetahui seorangpun
dari kalian yang melepaskan baiat dan tidak membaiat pemimpin ini
melainkan itu adalah pemutus hubungan antaraku dengan dia.
Berkata al-Hafidz Ibnu Hajar: “Dalam hadits ini menunjukkan wajibnya
mentaati pemimpin yang telah dtetapkan padanya baiat, dan larangan
melakukan pemberontakan terhadapnya walaupun dia dzalim dalam hukumnya,
dan sesungguhnya tidak terlepas (ketaatan) dengan sebab adanya
kefasikan.”(45)
HUKUMAN BAGI YANG MEMBAIAT PENGUASA KARENA DUNIA, JIKA DIA DIBERI MAKA DIA MEMBAIAT, DAN JIKA TIDAK DIBERI MAKA DIA TIDAK MEMBAIAT
Nabi صلى الله عليه وسلم menjelaskan bahwa yang membaiat penguasa
karena dunia, jika diberi dia menyempurnakan baiatnya, dan jika tidak
maka dia tidak menyempurnakan baiatnya, maka Allah tidak akan berbicara
dengannya, tidak memperhatikannya, dan tidak mensucikannya, dan baginya
adzab yang pedih. Sebagaimana yang telah dikeluarkan oleh Imam Bukhari
dalam shohih-nya dari Abu Hurairoh Radhiyallahu ‘anhu berkata: telah
bersabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم :
ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ وَلَا يَنْظُرُ
إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ رَجُلٌ عَلَى
فَضْلِ مَاءٍ بِطَرِيقٍ يَمْنَعُ مِنْهُ ابْنَ السَّبِيلِ وَرَجُلٌ بَايَعَ
رَجُلًا لَا يُبَايِعُهُ إِلَّا لِلدُّنْيَا فَإِنْ أَعْطَاهُ مَا يُرِيدُ
وَفَى لَهُ وَإِلَّا لَمْ يَفِ لَهُ وَرَجُلٌ سَاوَمَ رَجُلًا بِسِلْعَةٍ
بَعْدَ الْعَصْرِ فَحَلَفَ بِاللَّهِ لَقَدْ أَعْطَى بِهَا كَذَا وَكَذَا
فَأَخَذَهَا”.
“Tiga golongan yang Allah tidak berbicara dengan mereka, Allah
tidak memandang mereka, dan tidak mensucikan mereka, dan bagi mereka
azab yang pedih: seseorang memiliki kelebihan air di sebuah jalan, yang
dia mencegah ibnu sabil dari mengambilnya. Dan seseorang yang membaiat
seorang (pemimpin), dia tidak membaiatnya kecuali hanya karena dunia,
jika dia diberi apa yang dia inginkan maka dia menyempurnakan baiatnya,
dan jika tidak maka dia tidak menyempurnakannya. Dan seseorang yang
menjual barang dagangannya setelah ashar ,lalu dia bersumpah dengan nama
Allah ,sungguh dia telah memberi seharga demikian, maka dia pun
mengambilnya.”
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahumullah : “Barangsiapa
yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dengan menaati pemerintahnya karena
Allah, maka pahalanya di sisi Allah, dan barangsiapa yang tidak taat
kepadanya kecuali sebatas apa yang diperolehnya dari kekuasaan dan
harta, jika mereka memberi maka diapun mentaatinya, dan jika mereka
enggan memberi maka dia pun membangkang, maka dia tidak akan mendapat
bagiannya di akhirat.”(46)
PERINTAH BERSABAR WALAUPUN MEREKA LEBIH MEMENTINGKAN HAKNYA DAN MENCEGAH HAK RAKYAT
Nabi صلى الله عليه وسلم telah menjelaskan bahwa suatu saat nanti akan
terjadi atsaroh, yang artinya adalah memonopoli sesuatu terhadap
sesuatu yang lain yang memiliki hak padanya. Dan Nabi صلى الله عليه وسلم
tidak memerintahkan kita untuk keluar dari ketaatan kepadanya atau
membangkang dari perintahnya, bahkan beliau memerintahkan untuk tetap
menunaikan kewajibannya. Sebagaimana yang dikeluarkan Imam Bukhari dalam
shohihnya dari Abdullah berkata: Rasulullah صلى الله عليه وسلم berkata
kepada kami:
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً وَأُمُورًا
تُنْكِرُونَهَا قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ
أَدُّوا إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ وَسَلُوا اللَّهَ حَقَّكُمْ “
“Sesungguhnya kalian akan melihat setelahku atsaroh, dan
perkara-perkara yang kalian ingkari.” (para shahabat) bertanya: “Lalu
apa yang engkau perintahkan kepada kami wahai Rasulullah?” Beliau
bersabda: ”Tunaikan kewajiban kalian untuk mereka, dan mintalah kepada
Allah hak kalian (yang dirampas oleh mereka).”
Ucapan “perkara-perkara yang kalian ingkari”, maksudnya adalah dalam urusan agama.
Berkata Imam Nawawi Rahimahullah: “Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk senantiasa mendengar dan taat, walaupun pemimpin tersebut dzalim dan melampaui batas, maka diberi haknya berupa ketaatan dan tidak keluar darinya, dan tidak melepaskan (baiat) kepadanya, namun dia berdo’a kepada Allah agar menghilangkan gangguannya dan menolak kejahatannya dan memperbaikinya.”(47)
Berkata Imam Nawawi Rahimahullah: “Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk senantiasa mendengar dan taat, walaupun pemimpin tersebut dzalim dan melampaui batas, maka diberi haknya berupa ketaatan dan tidak keluar darinya, dan tidak melepaskan (baiat) kepadanya, namun dia berdo’a kepada Allah agar menghilangkan gangguannya dan menolak kejahatannya dan memperbaikinya.”(47)
MENDOAKAN KEBAIKAN UNTUK PENGUASA TERMASUK DARI NASEHAT
Menasehati penguasa termasuk diantara perkara agama yang terpenting,
sebagaimana yang dikeluarkan Imam Muslim dalam shohih-nya dari Tamim
Ad-Dari bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda :
الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ “
“Agama itu nasehat,” kami bertanya: “Bagi siapa?” Beliau menjawab:
“Bagi Allah, kitab-Nya ,Rasul-Nya, dan bagi pemimpin kaum muslimin dan
seluruh kaum muslimin.”
Diantara konsekwensi nasehat terhadap penguasa adalah mencintainya, mentaatinya, dan mendoakan kebaikan untuknya.
Diantara konsekwensi nasehat terhadap penguasa adalah mencintainya, mentaatinya, dan mendoakan kebaikan untuknya.
Berkata Imam Ibnu Rojab: ”Nasehat bagi para pemimpin kaum muslimin
adalah mencintai agar mereka menjadi baik, terbimbing dan adil, dan
mencintai bersatunya umat diatas kepemimpinannya, dan membenci
terpecahnya umat dari mereka. Dan ketaatan kepada mereka adalah menjadi
bagian agama, sebagai ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala , dan
membenci orang yang keluar dari ketaatan terhadap mereka. Dan senang
memuliakan mereka adalah bagian ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa
Ta’ala.(49)
Berkata Syaikh Bin Baaz: “Diantara konsekwensi baiat adalah
menasehati penguasa, dan diantara bentuk nasehat adalah mendo’akannya
agar diberi taufik dan hidayah, dan kebaikan dalam niat dan amalan, dan
mendapatkan penasehat yang baik.”(50)
Para ulama salaf sangat berupaya dan menganjurkan untuk mendo’akan
penguasa agar diberi kebaikan dan kesolehan. Fudhail bin ‘Iyyadh
berkata:
“Kalaulah sekiranya aku diberi do’a yang terkabul, maka aku tidak
berdo’a kecuali untuk kebaikan penguasa.” Lalu ada yang bertanya kepada
Fudhail: “Jelaskan kepada kami hal ini?” Berkata Fudhail: “Jika aku
peruntukkan bagi diriku, maka tidak akan melampaui diriku sendiri. Namun
jika kuperuntukkan bagi penguasa, maka pebguasa akan menjadi baik, maka
kebaikannya akan mendatangkan kemaslahatan bagi para hamba dan negara.”
Berkata Imam Al-Barbahari: “Kita diperintahkan untuk mendo’akan mereka dengan kebaikan, dan kita tidak diperintahkan untuk mendo’akan mereka dengan kejelekan, walaupun mereka dzalim. Sebab kedzaliman dan sikap melampaui batasnya mereka hanya terbatas pada diri mereka. Dan kebaikan mereka menunjukkan kebaikan bagi diri mereka dan kaum muslimin.”(51)
Berkata Imam Al-Barbahari: “Kita diperintahkan untuk mendo’akan mereka dengan kebaikan, dan kita tidak diperintahkan untuk mendo’akan mereka dengan kejelekan, walaupun mereka dzalim. Sebab kedzaliman dan sikap melampaui batasnya mereka hanya terbatas pada diri mereka. Dan kebaikan mereka menunjukkan kebaikan bagi diri mereka dan kaum muslimin.”(51)
TANDA AHLUS SUNNAH ADALAH MENDO’AKAN KEBAIKAN BAGI PENGUASA DAN TANDA AHLI BID’AH ADALAH MENDOAKAN KEJELEKAN ATAS PENGUASA
Diantara tanda ahlus sunnah adalah mendo’akan penguasa dengan
kebaikan dan agar menjadi shaleh, serta diberi taufiq, dan diantara
tanda ahli bid’ah adalah mendo’akan kejelekan atas penguasa. Berkata
Imam Barbahari:
“إذا رأيت الرجل يدعو على السلطان فاعلم أنه صاحب هوى .و إذا رأيت الرجل يدعو للسلطان بالصلاح فاعلم أنه صاحب سنة إن شاء الله “
“Jika engkau melihat seseorang mendo’akan kejelekan atas penguasa
maka ketahuilah bahwa dia pengikut hawa nafsu, dan jika engkau melihat
seseorang mendo’akan kebaikan bagi penguasa maka ketahuilah bahwa dia
adalah Ahlus Sunnah insya Allah.”
ENGGAN MENDOAKAN KEBAIKAN KEPADA PENGUASA
Sebagian manusia ada yang mencegah diri dari mendo’akan penguasa. Dan tidak diragukan lagi bahwa ini suatu kesalahan.
Berkata Al-Allamah Bin Baaz Rahimahullah tentang orang yang enggan mendo’akan kebaikan bagi penguasa :
“Ini termasuk dari kejahilannya, dan tidak memiliki ilmu. Mendo’akan kebaikan untuk penguasa termasuk diantara pendekatan diri kepada Allah yang paling agung, dan amalan ketaatan yang paling afdhal, dan termasuk nasehat bagi Allah dan hamba-hamba-Nya.”
“Ini termasuk dari kejahilannya, dan tidak memiliki ilmu. Mendo’akan kebaikan untuk penguasa termasuk diantara pendekatan diri kepada Allah yang paling agung, dan amalan ketaatan yang paling afdhal, dan termasuk nasehat bagi Allah dan hamba-hamba-Nya.”
Dan Nabi صلى الله عليه وسلم tatkala dikatakan kepada beliau bahwa
kabilah Daus telah membangkang! Maka beliau berdo’a: “Ya Allah, berilah
petunjuk kepada kabilah Daus dan datangkanlah mereka.” Beliau mendo’akan
kebaikan untuk manusia. Dan penguasa lebih utama untuk dido’akan
kebaikan, sebab baiknya penguasa pertanda baiknya umat. Dan
mendo’akannya termasuk do’a yang terpenting.”(52)
—————————————————————————-
1 Asy-syari’ah,Al-ajurri:1/371
2 Riwayat ini dilemahkan Al-Allamah Al-Albani dalam silsilah al-ahadits adh-dho’ifah:jil:3, no: 1358. (penterjemah)
3 Sanadnya dho’if, dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama Ziyad bin Kusaib Al-Adawi. Berkata Al-Hafidz: maqbul. (pent).
4 Hadits ini dishohihkan Al-Albani dalam shohih al-jami’:3253.(pent).
5 Hadits ini dilemahkan oleh Al-Albani rahimahullah Ta’ala dalam tahqiqnya terhadap kitab As-sunnah, karangan Ibnu Abi Ashim:no: 1020. (pent.).
6 An-nihayah:2/190.
7 Majmu’ fatawa:35/16.
8 Tafsir Ibnu Katsir:1/530
9 Syarah Muslim,An-Nawawi:12/308.
10 Al-ma’lum: 7
11 Nasihah muhimmah:23
12 Jami’ al-‘ulum wal hikam:2/117
13 Jami’ al-‘ulum wal hikam:2/117
14 Lihat :an-nasihah al-muhimmah:29
15 Di shohihkan Al-Albani dalam silsilah al-ahadits as-shohihah,jil:6.No: 2735. (penterjemah).
16 Mu’amalatul hukkam: 78.
17 Hadits ini dari Hudzaifah radhiallahu anhu, dishohihkan Al-Albani dalam silsilah al-ahadits as-shohihah,jil: 6, no:2739. (pent.)
18 Dari kaset: taat kepada penguasa.
(tambahan penerjemah): adapun hadits yang disebutkan diriwayatkan At-Thabrani dari Zaid bin Salamah Al-Ju’fi.dishohihkan Al-Albani dalam shohih al-jami’: 4088.
19 Ad-duror as-saniyyah:7/239,dan mu’amalatul hukkam: 24
20 As-sail al-jarror:4/512.secara ringkas.
21 Al-minhaj: 1/115
22 Al-ma’lum:19
23 Tuhfatul ahwadzi: 5/365
24 Dari kaset: taat kepada penguasa.
25 Al-majmu’:35/9
26 Dari kaset: taat terhadap penguasa.
27 oleh alus syaikh, majalah dakwah, vol: 1816/16 sya’ban/ 1422 H (33).
28 Sholeh alus syaikh, majalah dakwah, vol: 1816/16 sya’ban/1422 H (14)
29 Nama tempat kosong tanpa penghuni.
30 Peranakan kuda,atau jenis kuda kecil
31 Maksudnya adalah pemerintah Sa’udi arabia
32 Dar kaset: taat kepada penguasa
33 Diriwayatkan oleh Ashabus sunan kecuali An-Nasaai dari hadits Aisyah radhiallahu anha.Dishohihkan Al-Albani dalam irwa’ al-gholil: 6/1840. (penerjemah).
34 Telah disebutkan sebelumnya bahwa sanadnya lemah. (penterjemah).
35 Siyaru a’laam an-nubala’:14/508
36 Majmu’ fatawa: 28/179.
37 idem
38 Al-ma’lum:9
39 Nasihatun muhimmah:30
40 Syubhat ini dijadikan hujjah kebanyakan mereka yang tidak bersabar atas kedzaliman penguasa!!! Maka perhatikanlah jawaban Imam Ahmad rahimahullah dengan baik,engkau mendapatinya sesuai dengan sunnah.
41 Lihat: mihnah Imam Ahmad: 70-72,al-majmu’:12/488,dan al-mu’amalah:7
42 Ad-duror as-saniyyah : 7/177
43 Bahkan Imam Muslim pun meriwayatkan hadits ini. (penterjemah).
44 Fathul bari(13/7),dan al-mu’amalah: 68.
45 Fathul bari:1368.
46 Al-majmu’:35/16
47 Syarah Muslim: 12/322
48 At-tahdzir min at-tasarru’ fit takfir,karya al-Urayni,: 22.
49 Jami’ al-ulum wal-hikam:1/222
50 Al-ma’lum:20.
51 Syarhus sunnah: 114.
52 Al-ma’lum:21
1 Asy-syari’ah,Al-ajurri:1/371
2 Riwayat ini dilemahkan Al-Allamah Al-Albani dalam silsilah al-ahadits adh-dho’ifah:jil:3, no: 1358. (penterjemah)
3 Sanadnya dho’if, dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama Ziyad bin Kusaib Al-Adawi. Berkata Al-Hafidz: maqbul. (pent).
4 Hadits ini dishohihkan Al-Albani dalam shohih al-jami’:3253.(pent).
5 Hadits ini dilemahkan oleh Al-Albani rahimahullah Ta’ala dalam tahqiqnya terhadap kitab As-sunnah, karangan Ibnu Abi Ashim:no: 1020. (pent.).
6 An-nihayah:2/190.
7 Majmu’ fatawa:35/16.
8 Tafsir Ibnu Katsir:1/530
9 Syarah Muslim,An-Nawawi:12/308.
10 Al-ma’lum: 7
11 Nasihah muhimmah:23
12 Jami’ al-‘ulum wal hikam:2/117
13 Jami’ al-‘ulum wal hikam:2/117
14 Lihat :an-nasihah al-muhimmah:29
15 Di shohihkan Al-Albani dalam silsilah al-ahadits as-shohihah,jil:6.No: 2735. (penterjemah).
16 Mu’amalatul hukkam: 78.
17 Hadits ini dari Hudzaifah radhiallahu anhu, dishohihkan Al-Albani dalam silsilah al-ahadits as-shohihah,jil: 6, no:2739. (pent.)
18 Dari kaset: taat kepada penguasa.
(tambahan penerjemah): adapun hadits yang disebutkan diriwayatkan At-Thabrani dari Zaid bin Salamah Al-Ju’fi.dishohihkan Al-Albani dalam shohih al-jami’: 4088.
19 Ad-duror as-saniyyah:7/239,dan mu’amalatul hukkam: 24
20 As-sail al-jarror:4/512.secara ringkas.
21 Al-minhaj: 1/115
22 Al-ma’lum:19
23 Tuhfatul ahwadzi: 5/365
24 Dari kaset: taat kepada penguasa.
25 Al-majmu’:35/9
26 Dari kaset: taat terhadap penguasa.
27 oleh alus syaikh, majalah dakwah, vol: 1816/16 sya’ban/ 1422 H (33).
28 Sholeh alus syaikh, majalah dakwah, vol: 1816/16 sya’ban/1422 H (14)
29 Nama tempat kosong tanpa penghuni.
30 Peranakan kuda,atau jenis kuda kecil
31 Maksudnya adalah pemerintah Sa’udi arabia
32 Dar kaset: taat kepada penguasa
33 Diriwayatkan oleh Ashabus sunan kecuali An-Nasaai dari hadits Aisyah radhiallahu anha.Dishohihkan Al-Albani dalam irwa’ al-gholil: 6/1840. (penerjemah).
34 Telah disebutkan sebelumnya bahwa sanadnya lemah. (penterjemah).
35 Siyaru a’laam an-nubala’:14/508
36 Majmu’ fatawa: 28/179.
37 idem
38 Al-ma’lum:9
39 Nasihatun muhimmah:30
40 Syubhat ini dijadikan hujjah kebanyakan mereka yang tidak bersabar atas kedzaliman penguasa!!! Maka perhatikanlah jawaban Imam Ahmad rahimahullah dengan baik,engkau mendapatinya sesuai dengan sunnah.
41 Lihat: mihnah Imam Ahmad: 70-72,al-majmu’:12/488,dan al-mu’amalah:7
42 Ad-duror as-saniyyah : 7/177
43 Bahkan Imam Muslim pun meriwayatkan hadits ini. (penterjemah).
44 Fathul bari(13/7),dan al-mu’amalah: 68.
45 Fathul bari:1368.
46 Al-majmu’:35/16
47 Syarah Muslim: 12/322
48 At-tahdzir min at-tasarru’ fit takfir,karya al-Urayni,: 22.
49 Jami’ al-ulum wal-hikam:1/222
50 Al-ma’lum:20.
51 Syarhus sunnah: 114.
52 Al-ma’lum:21
Sumber : http://www.darussalaf.or.id/manhaj/kedudukan-sunnah-dalam-menyikapi-penguasa-negeri-bagian-i/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar