Oleh : Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc.
Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّمَا
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السُّوءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ
وَنَافِخِ الْكِيرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا
أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رَيْحًا طَيِّبَةً،
وَنَافِخُ الْكِيْرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ
مِنْهُ رِيْحًا خَبِيثَةً
“Permisalan teman duduk yang saleh dan teman duduk yang buruk seperti penjual misik dan pandai besi. Adapun penjual misik, boleh jadi ia memberimu misik, engkau membeli darinya, atau setidaknya engkau akan mencium bau harumnya. Adapun pandai besi, boleh jadi akan membuat bajumu terbakar atau engkau mencium bau yang tidak enak.”
Takhrij Hadits
Hadits di atas diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam ash-Shahih (no. 2101 dan 5534), Muslim rahimahullah (8/37—38), Ibnu Hibban rahimahullah dalam Shahih-nya, al-Baihaqi rahimahullah dalam Syu’abul Iman, dan Ahmad rahimahullah (4/404—405), semua melalui jalan Abu Burdah rahimahullah, dari Abu Musa rahimahullah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah menyebutkan jalan-jalan lain yang dapat dirujuk dalam kitab beliau, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, hadits no. 3214.
Makna Hadits
Ada
perkara penting yang kurang mendapat perhatian. Mengabaikan hal ini
bisa menjadi bahaya laten dan bom waktu bagi yang tidak memedulikannya.
Perkara
itu adalah memilih teman duduk. Wajib bagi kita memilih teman-teman
yang baik, yang akan membantu kita dalam ketaatan. Demikian pula, wajib
bagi kita menjauhkan diri dari orangorang fasik, ahlul bid’ah, para
pemilik pemikiran-pemikiran menyimpang, dan pengikut hawa nafsu yang
akan menjauhkan kita dari ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala. Ini faedah penting yang tersurat dalam hadits Abu Musa al-Asy’ari rahimahullah. Ketika menyebutkan hadits ini, al-Baihaqi rahimahullah memberikan
judul bab “Menjauhkan Diri dari Kaum yang Fasik, Ahlul Bid’ah, dan
Siapa Saja yang Tidak Membantumu untuk Berbuat Taat kepada Allah Subhanahu wata’ala.”
Demikianlah yang semestinya kita tempuh, memilih sahabat yang baik sebagaimana diwasiatkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sahabat sangat memengaruhi orang yang diiringinya, dan tabiat teman
dekat benar- benar menguasai tabiat temannya. Oleh karena itu, semakna
dengan hadits Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, banyak sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang melarang kita berdekatan dengan orang-orang kafir dan tinggal bersama mereka.
Banyak
kasus orang tua dikagetkan ketika dahulu sang anak demikian santun,
beradab kepada orang tua, lembut dalam tutur kata, namun selepas
pendidikannya di bangku kuliah, sang anak lantas durhaka kepada
keduanya. Kasar, kaku, dan suka menyakiti. Jangankan tinggal serumah
untuk berbuat ihsan kepada keduanya di saat kepayahan keduanya, ucapan
terima kasih pun berat untuk terucap. Bahkan, di antara yang pernah
terjadi, sang anak begitu mudah memberi vonis kafir kepada keduanya
karena tidak mau ikut ideologinya. Lantas ia pergi meninggalkan keduanya
dengan dalih berjihad dengan jalan yang dia anggap mengantarkan ke
surga, padahal jalan yang ia tempuh jauh dari bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kita
dikejutkan beberapa waktu lalu dengan peristiwa-peristiwa pengeboman,
termasuk di beberapa tempat wilayah Kerajaan Arab Saudi. Penulis
mendapat kisah dari sebagian da’i yang mendapat tugas dari pemerintah
Arab Saudi untuk memberikan pengarahan di penjarapenjara kepada para
pelaku pengeboman. Sungguh, pelaku-pelaku tersebut bukan orang idiot.
Mereka cerdas otaknya, bahkan mahasiswa perguruan tinggi, di samping
punya semangat keislaman.
Hanya saja,
mereka tidak belajar di bawah bimbingan tangan para ulama. Di antara
mereka ada yang belajar dari dunia maya, mengunjungi situssitus
Khawarij, dan berkawan dengan orang-orang berpemahaman takfir. Sungguh,
di antara mereka ada yang memiliki seorang ibu yang sudah renta di
rumahnya, ditinggal telantar untuk berjihad—menurut anggapan mereka—
dengan melakukan peledakan di negeri Islam. Sangat menyedihkan.
Tampaknya, setiap kita wajib mulai berbenah ketika mengingat sabda
Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam dari sahabat Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu,
إِنَّمَا مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السُّوءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ
“Permisalan teman duduk yang saleh dan teman duduk yang buruk itu seperti penjual misik dan pandai besi.”
Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan timbangan dalam hal memilihteman. Kita diingatkan tentang timbangan tersebut, sebuah neraca yang sudah mulai pudar di zaman ini.
Kisah Thalq bin Habib rahimahullah
Nama
ini tidak asing bagi para penuntut ilmu. Seorang pemuka tabi’in, Thalq
bin Habib al-‘Anazi al-Bashri. Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh al-
Imam Muslim dalam ash-Shahih, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan lainnya rahimahumullah.
Tahukah Anda bahwa dahulu beliau terpengaruh dengan mazhab Khawarij
yang mereka terjatuh pada pemahaman mengafirkan para pelaku dosa besar?
Mereka berkeyakinan bahwa pelaku dosa besar, seperti orang yang bunuh
diri, kekal di dalam neraka. Mereka pun tidak meyakini adanya syafaat
untuk pelaku dosa besar sehingga dikeluarkan dari neraka.
Dalam sebuah perjalanan, ketika Thalq bin Habib bersama kawan-kawan sepemahaman melakukan perjalanan haji atau umrah, Allah Subhanahu wata’ala menyelamatkan Thalq dari paham takfir tatkala bermajelis dengan sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, seorang ulama dari generasi sahabat, generasi terbaik umat ini.
Kisah beliau diriwayatkan oleh al – Imam Ahmad rahimahullah dalam al-Musnad. Dalam kisah tersebut Thalq bin Habib rahimahullah berkata,
كُنْتُ
مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ تَكْذِيبًا بِالشَّفَاعَةِ حَتَّى لَقِيتُ جَابِرَ
بْنَ عَبْدِ اللهِ فَقَرَأْتُ عَلَيْهِ كُلَّ آيَةٍ ذَكَرَهَا اللهُ عَزَّ
وَجَلَّ فِيهَا خُلُودُ أَهْلِ النَّارِ، فَقَالَ : يَا طَلْقُ، أَتُرَاكَ
أَقْرَأَ لِكِتَابِ اللهِ مِنِّي وَأَعْلَمَ بِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ,
فَاتُّضِعْتُ لَهُ؟ فَقُلْتُ: لَا، وَاللهِ، بَلْ أَنْتَ أَقْرَأُ
لِكِتَابِ اللهِ مِنِّي وَأَعْلَمُ بِسُنَّتِهِ مِنِّي. قَالَ: فَإِنَّ
الَّذِي قَرَأْتَ أَهْلُهَا هُمُ الْمُشْرِكُونَ، وَلَكِنْ قَوْمٌ
أَصَابُوا ذُنُوبًا فَعُذِّبُوا بِهَا ثُمَّ أُخْرِجُوا،
صُمَّتَا-وَأَهْوَى بِيَدَيْهِ إِلَى أُذُنَيْهِ-إِنْ لَمْ أَكُنْ سَمِعْتُ
رَسُولَ اللهِ يَقُولُ يَخْرُجُونَ مِنْ النَّارِ؛ وَنَحْنُ نَقْرَأُ مَا
تَقْرَأُ
Dahulu aku termasuk orang
yang paling keras pengingkarannya terhadap adanya syafaat (yakni syafaat
bagi pelaku dosa besar untuk keluar dari neraka, -pen.), hingga (Allah Subhanahu wata’alamudahkan) aku berjumpa dengan sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu. Di hadapannya, aku bacakan semua ayat yang Allah Subhanahu wata’ala
firmankan dalam al-Qur’an tentang kekekalan penghuni neraka (yakni
Thalq memahami mereka yang sudah masuk neraka tidak mungkin mendapat
syafaat untuk keluar termasuk pelaku dosa besar, -pen.). Seusai
membacakan ayat-ayat tersebut Jabir berkata, “Wahai Thalq, apakah engkau
menyangka dirimu lebih paham terhadap al-Qur’an dariku? Dan apakah
engkau anggap dirimu lebih tahu tentang sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallamdariku?”
Thalq menjawab, “Tidak demi Allah, bahkan engkau lebih paham terhadap
Kitab Allah dan lebih mengetahui tentang sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam daripada
aku.” Jabir berkata, “Wahai Thalq, sesungguhnya semua ayat yang engkau
baca tentang (kekekalan ahli neraka) mereka adalah musyrikin
(orang-orang yang mati dalam keadaan musyrik.) Akan tetapi (yang
mendapatkan syafaat adalah) kaum yang melakukan dosa besar (dari
kalangan muslimin) yang diazab di neraka, kemudian mereka dikeluarkan
darinya.” Jabir lalu menunjuk kepada dua telinganya dan berkata,
“Sungguh tuli kedua telinga ini jika aku tidak mendengar dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sabda beliau, ‘Mereka (pelaku dosa besar) keluar dari neraka (setelah diazab),’ sedangkan kita membaca ayat-ayat al-Qur’an.”
Lihatlah
manfaat besar ketika seorang duduk bersama ulama, duduk dengan seorang
yang baik. Membuahkan faedah besar yang dipetik seumur hidup, bahkan
sesudahnya. Thalq bin Habibrahimahullah diselamatkan dari pemahaman yang salah tentang pelaku dosa besar.
Faedah yang Sayang Jika Dilewatkan
Dalam
kisah Thalq bin Habib, ada sebuah faedah yang tidak ingin kita
lewatkan. Faedah yang terulang, namun perlu selalu diingatkan, yaitu
wajibnya kembali kepada para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hal memahami al-Kitab dan as- Sunnah. Faedah itu ada dalam pertanyaan Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu dan jawaban Thalq bin Habibrahimahullah.
Jabir radhiyallahu ‘anhu
berkata, “Wahai Thalq, apakah engkau menyangka dirimu lebih paham
terhadap al-Qur’an dariku? Dan apakah engkau anggap dirimu lebih tahu
tentang sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dariku?”
Thalq menjawab, “Tidak, demi Allah, bahkan engkau lebih paham terhadap
Kitab Allah dan lebih mengetahui tentang sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Percakapan yang sangat indah. Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu
mengingatkan kepada Thalq sebelum beliau menjelaskan syubhat
(kerancuan) berpikir yang ada pada diri Thalq. Beliau ingatkan bahwa
para sahabat adalah orang yang paling mengerti al-Kitab dan as-Sunnah.
Ini pula yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau mengabarkan akan adanya perselisihan dan perpecahan umat di akhir zaman. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam
membimbing umatnya untuk berpegang teguh dengan sunnah beliau dan
sunnah al-Khulafaar-Rasyidin, serta memerintah mereka untuk mengikuti
jalan sahabat, generasi terbaik yang telah diridhai oleh AllahSubhanahu wata’ala. Ketika Thalq menyadari hal itu dan mau mendengar perkataan Jabir, selamatlah beliau dari pemikiran Khawarij.
Meninggalkan Majelis Ahlul Bid’ah
Di antara pokok penting yangm terkandung dari hadits Abu Musa radhiyallahu ‘anhu—
dan ini termasuk pokok Ahlus Sunnah wal Jamaah—adalah wajibnya
meninggalkan ahlul bid’ah dan majelis mereka. Pokok ini ditunjukkan oleh
banyak dalil al-Kitab dan as-Sunnah. Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wata’ala,
وَإِذَا
رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّىٰ
يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ ۚ وَإِمَّا يُنسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ
فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَىٰ مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Dan
apabila kamu melihat orangorang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka
tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang
lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka
janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat
(akan larangan itu).” (al-An’am: 68)
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah (wafat 1250 H) berkata dalam tafsirnya, Fathul Qadir,
“Dalam ayat ini ada nasihat (peringatan) yang agung bagi orang yang
masih saja membolehkan duduk bersama ahli bid’ah yang biasa mengubah
Kalam Allah, mempermainkan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam,
serta memahami al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai dengan hawa nafsu mereka
yang menyesatkan dan sesuai dengan bid’ah-bid’ah mereka yang rusak.
Sungguh jika seseorang tidak dapat mengingkari mereka dan tidak mampu
mengubah keadaan mereka, ia harus meninggalkan majelis mereka. Hal itu
mudah baginya dan tidak sulit. Bisa jadi, para ahli bid’ah memanfaatkan
hadirnya seseorang di majelis mereka, meskipun ia dapat terhindar dari
syubhat yang mereka lontarkan, tetapi mereka dapat mengaburkannya kepada
orang-orang awam.
Jadi, hadirnya
seseorang dalam majelis ahli bid’ah adalah kerusakan yang lebih besar
daripada sekadar kerusakan yang berupa mendengarkan kemungkaran. Kami
telah melihat di majelis-majelis terlaknat ini—yang banyak sekali
jumlahnya—dan kami bangkit untuk membela kebenaran, melawan kebatilan
semampu kami, dan mencapai puncak kemampuan kami.
Barang
siapa mengetahui syariat yang suci ini dengan sebenar-benarnya, dia
akan mengetahui bahwa bermajelis dengan orang yang bermaksiat kepada
Allah Subhanahu wata’ala bisa jadi akan melakukan hal-hal yang
diharamkan. Lebih-lebih lagi bagi orang yang belum mapan ilmunya
tentang al-Qur’an dan as- Sunnah, sangat mungkin terpengaruhdengan
kedustaan-kedustaan mereka berupa kebatilan yang sangat jelas lalu
kebatilan tersebut akan tertanam di dalam hatinya sehingga sangat sulit
mencari penyembuh dan pengobatannya, meskipun ia telah berusaha
sepanjang hidupnya. Ia akan menemui Allah Subhanahu wata’ala dengan
kebatilan yang ia yakini tersebut sebagai kebenaran, padahal itu adalah
sebesar-besar kebatilan dan sebesarbesar kemungkaran.” (Fathul Qadir)
Karena
pentingnya pokok ini, menjauhkan diri dari ahlul bid’ah dan
majelis-majelis mereka, para ulama memasukkan masalah ini dalam pokok
keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, demikian pula ulama ahlul hadits
mencantumkan bab-bab khusus terkait pokok yang agung ini.
1. Al-Imam Abu Dawud as-Sijistani rahimahullah (wafat 275 H), membuat sebuah bab dalam Sunan Abi Dawud (4/198) dengan judul “Mujanabatu Ahlil Ahwa’ wa Bughdhuhum” (bab “Menjauhi Pengikut Hawa Nafsu dan Membenci Mereka”).
2. Al-Imam Ibnu Baththah al-Akburi rahimahullah (wafat 387 H), dalam kitabnya al-Ibanah (2/429)
mencantumkan sebuah bab berjudul “at-Tahdzir min Shuhbati Qaumin
Yumridhunal Quluba wa Yufsidunal Imaan” (bab “Peringatan dan Ancaman
dari Bergaul dengan Kaum yang Dapat Membuat Hati Menjadi Sakit dan
Merusak Iman”).
3. Al-Imam al-Baihaqi rahimahullah (wafat 458 H) dalam Kitabul I’tiqad membuat sebuah bab berjudul “an-Nahyu ‘an Mujalasati Ahlil Bida” (bab “Larangan Bermajelis dengan Ahlul Bid’ah”).
4. Al-Imam al-Baghawi rahimahullah (wafat 516 H) dalam Syarhus Sunnah (1/219) menyebutkan bab “Mujanabah Ahlil Ahwa” (bab “Menjauhi Pengikut Hawa Nafsu”).
5. Al-Imam Al-Mundziri rahimahullah (wafat 656 H), dalam kitabnya at-Targhib wat Tarhib (3/378)
membuat bab “at-Tarhib min Hubbil Asyrar wa Ahlil Bida” (“Ancaman
Mencintai Orang- Orang yang Melakukan Kejelekan dan Bid’ah”).
6. Al-Imam an-Nawawi asy-Syafi’i rahimahullah (wafat 676 H) dalam kitabnya, al-Adzkar,
menyebutkan bab “at-Tabarri min Ahlil Bid’ah wal Ma’ashi” (bab
“Berlepas Diri dari Ahlul Bida’ dan Pelaku Maksiat”). Hal yang semisal
ini banyak kita jumpai dalam kitab-kitab hadits dan kitab-kitab i’tiqad
Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Manusia dan Media
Ketika
kita berbicara teman duduk, bukan manusia saja yang perlu diwaspadai.
Termasuk media-media yang dahulu tidak terbayang akan menjadi teman
dalam kesendirian. Sang anak bersendiri dengan ponsel di tangannya
berselancar mengarungi samudra dunia maya. Teman duduk ini bisa menjadi
bahaya laten muncul dan berkembangnya pemikiranpemikiran sesat, paham
takfir, dan semisalnya. Seandainya pemerintah atau pihakpihak yang
terkait mampu menutup situs-situs yang membahayakan akidah dan akhlak,
tentu hal ini termasuk tugas dan kewajiban mereka. Semoga Allah Subhanahu wata’ala
memperbaiki diri-diri kita, masyarakat kita, pemerintah kita, dan
memberikan rezeki berupa teman duduk yang baik, yang membantu kita dalam
hal ketaatan dan membantu kita menjauhi kejelekan.
Walhamdulillah, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.
Sumber : http://forumsalafy.net/selektif-memilih-teman-duduk/
(ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc)
Dengan segala hikmah dan kasih sayang-Nya, Allah l menciptakan manusia dari sepasang insan; lelaki dan perempuan. Allah l menjadikan mereka hidup berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya dapat saling mengenal. Kemudian Allah l memuliakan orang yang paling bertakwa di antara mereka. Demikianlah suratan takdir dari Allah l Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Allah l berfirman:
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al-Hujurat: 13)
Lebih dari itu, Allah l menjadikan manusia mempunyai kemampuan sebagai makhluk sosial yang pandai berbicara, bisa mendengar dan melihat. Kemudian pandai berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesamanya serta lingkungannya. Allah l berfirman:
“Dia menciptakan manusia, mengajarnya pandai berbicara.” (Ar-Rahman: 3-4)
Allah l juga berfirman:
“Maka Kami jadikan dia mendengar dan melihat.” (Al-Insan: 2)
Berbagai anugerah pun Allah l bentangkan untuk umat manusia demi keberlangsungan hidup mereka di muka bumi ini. Allah l berfirman:
“Bukankah telah Kami jadikan bumi sebagai hamparan dan gunung-gunung sebagai pasak? Dan Kami jadikan kalian berpasang-pasangan, dan Kami jadikan tidur kalian untuk istirahat, dan Kami jadikan malam sebagai pakaian, dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan, dan Kami bangun di atas kalian tujuh buah (langit) yang kokoh, dan Kami jadikan pelita yang amat terang (matahari), dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah, supaya Kami tumbuhkan dengan air itu biji-bijan dan tumbuh-tumbuhan, serta kebun-kebun yang lebat?” (An-Naba’: 6-16)
Manusia senantiasa membutuhkan teman
Manusia yang lekat dengan berbagai kekurangan dan keterbatasan senantiasa membutuhkan teman dalam hidupnya. Mahasuci Allah, manakala di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah diciptakan-Nya para istri sebagai teman dekat (pendamping) bagi kaum lelaki. Dia l menjadikan kecenderungan dan ketenteraman bagi kaum lelaki kala bersanding dengan istrinya. Dia l menjadikan pula rasa kasih dan sayang di antara keduanya. Sebagaimana dalam firman-Nya l:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Ar-Rum: 21)
Kebutuhan manusia akan teman tak hanya sebatas istri. Teman selain istri pun mempunyai pengaruh yang besar bagi seseorang dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi. Allah l Yang Maha Pemurah tak membiarkan manusia hidup dengan berbekal kekurangan dan keterbatasannya. Berbagai bimbingan terbaik seputar permasalahan ini pun Allah l sampaikan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi-Nya n. Kupasannya pun luas, mencakup topik saling membutuhkan dalam hal maslahat duniawi dan juga ukhrawi.
Para pembaca yang mulia, jatidiri seorang teman sendiri bermacam-macam, ada yang baik dan ada pula yang buruk. Masing-masing sangat kuat pengaruhnya dalam kehidupan seseorang, di dunia maupun di akhirat. Sungguh bahagia seseorang yang diberi kemudahan dan taufik oleh Allah l untuk mendapatkan teman-teman yang baik. Sebaliknya, betapa merugi seseorang yang terhalangi dari teman-teman yang baik, bahkan dikitari oleh teman-teman yang buruk. Allah l berfirman:
“Dan Kami tetapkan bagi mereka teman-teman yang menjadikan mereka memandang bagus apa yang ada di hadapan dan di belakang mereka. Dan tetaplah atas mereka keputusan azab pada umat-umat yang terdahulu sebelum mereka dari kalangan jin dan manusia. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang merugi.” (Fushshilat: 25)
Dalam mutiara kenabian, terpancar satu permisalan indah tentang jatidiri seorang teman dan pengaruhnya bagi seseorang. Sebagaimana dalam sabda beliau n:
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً
“Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat penjual minyak wangi dan pandai besi. Si penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan aroma harum semerbak darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 5534 dan Muslim dalam Shahih-nya no. 2628 dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari z)
Hal penting yang harus diketahui oleh setiap insan muslim juga, bahwa semua teman akrab, sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain di hari kiamat kecuali orang-orang yang bertakwa. Allah l berfirman:
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (Az-Zukhruf: 67)
Hati-hati memilih teman!
Selektif dalam memilih teman merupakan prinsip utama dalam Islam. Sejarah pun menunjukkan bahwa para ulama terdahulu (as-salafush shalih) benar-benar memerhatikan prinsip ini. Karena sosok teman sangat berpengaruh bagi kehidupan seseorang baik di dunia maupun di akhirat.
Di dalam Shahih Al-Bukhari (no. 3742) disebutkan bahwa Alqamah t seorang tabi’in yang mulia berkisah: “Ketika aku masuk ke Negeri Syam, maka aku (langsung menuju masjid dan) shalat dua rakaat. Kemudian kupanjatkan sebuah doa: ‘Ya Allah, berilah aku kemudahan untuk mendapatkan teman yang baik (di negeri ini)’. Usai berdoa kudatangi sekelompok orang yang sedang duduk-duduk dan turut bergabung bersama mereka. Lalu datanglah seorang syaikh dan duduk di sebelahku. Aku bertanya kepada mereka, ‘Siapakah orang ini?’ Mereka menjawab: ‘Beliau adalah Abud Darda’ (seorang sahabat Nabi n).’ Maka aku katakan kepada beliau, ‘Aku telah berdoa kepada Allah l agar diberi kemudahan untuk mendapatkan teman yang baik (di negeri ini). Sungguh Allah l telah memudahkanku untuk bertemu denganmu.’ Abud Darda’ berkata: ‘Dari manakah engkau’. Maka kukatakan: ‘Aku dari negeri Kufah’.”
Selektif dalam memilih teman merupakan kewajiban setiap insan muslim. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t berkata: “Memerhatikan teman merupakan kewajiban setiap insan muslim. Jika mereka itu orang-orang yang buruk, maka hendaknya dijauhi, karena (penyakit) mereka itu lebih kuat penularannya daripada kusta. Atau jika mereka itu teman-teman yang baik, yang senantiasa memerintahkan kepada kebaikan, mencegah (anda) dari kemungkaran dan membimbing kepada pintu-pintu kebaikan, bergaullah (dengan mereka).” (Al-Qaulul Mufid Syarh Kitabit Tauhid 1/224)
Selektif memilih teman harus diupayakan sejak dini. Karena pergaulan di masa muda sangat menentukan kelanjutan hidup pada fase-fase berikutnya. Al-Imam Ahmad bin Hanbal t berkata: “Jika engkau melihat seorang pemuda di awal pertumbuhannya bersama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka harapkanlah kebaikannya (di kemudian hari). Jika engkau melihat di awal pertumbuhannya bersama ahlul bid’ah, maka berputusasalah akan kebaikannya (di kemudian hari).” (Al-Adab Asy-Syar’iyyah karya Al-Imam Ibnu Muflih, 3/77)
Demikian halnya yang dikatakan Al-Imam Amr bin Qais Al-Mula’i t, namun ada sedikit tambahan: “…karena (perjalanan) seorang pemuda sangat ditentukan oleh masa awal pertumbuhannya.” (Al-Ibanah karya Al-Imam Ibnu Baththah t, 2/481-482)
Tak kalah pentingnya pula selektif dalam memilih teman saat menuntut ilmu. Al-Imam Badruddin Ibnu Jama’ah Al-Kinani t berkata: “Bila dia (seorang penuntut ilmu) membutuhkan teman, hendaknya memilih orang yang shalih, beragama, bertakwa, wara’, cerdas, banyak kebaikannya lagi sedikit keburukannya, santun dalam bergaul, dan tak suka berdebat. Bila dia lupa, teman tersebut bisa mengingatkannya. Bila dalam keadaan ingat (kebaikan), teman tersebut mendukungnya. Bila dia butuh bantuan, teman tersebut siap membantunya. Dan bila dia sedang marah, maka teman tersebut pun menyabarkannya.” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, hal. 83-84)
Para pembaca yang mulia, teman adalah potret tentang jatidiri seseorang. Bahkan ia sebagai barometer bagi agamanya. Rasulullah n bersabda:
الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang tergantung agama teman akrabnya. Maka hendaknya salah seorang dari kalian memerhatikan siapa yang dijadikan sebagai teman akrab.” (HR. Abu Dawud dalam As-Sunan juz 2, hal. 293, At-Tirmidzi dalam As-Sunan juz 2, hal. 278, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak juz 4, hal. 171, dan Ahmad dalam Al-Musnad juz 2, hal. 303 dan 334 dari sahabat Abu Hurairah z. Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 927)
Sahabat Abdullah bin Mas’ud z berkata: “Seseorang akan berjalan dan berteman dengan orang yang dicintainya dan sejenis dengannya.” (Al-Ibanah karya Al-Imam Ibnu Baththah t, juz 2 hal. 476)1
Al-Imam Qatadah t berkata: “Demi Allah l, sungguh tidaklah kami melihat seseorang berteman kecuali dengan yang sejenisnya. Maka bertemanlah dengan orang-orang shalih dari hamba-hamba Allah l, semoga kalian senantiasa bersama mereka atau menjadi seperti mereka.” (Al-Ibanah karya Al-Imam Ibnu Baththah t, 2/480)2
Ketika Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri t datang ke Kota Bashrah dan melihat posisi Ar-Rabi’ bin Shubaih yang tinggi di tengah umat, beliau pun menanyakan prinsip agamanya. Maka orang-orang menjawab: “Prinsip agamanya tidak lain adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”
Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri bertanya lagi: “Siapakah teman-teman dekatnya?” Mereka menjawab: “Orang-orang Qadariyyah (pengingkar takdir, pen.).”
Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri t pun berkata: “Kalau begitu dia adalah seorang qadari.” (Al-Ibanah karya Al-Imam Ibnu Baththah t, 2/453)3
Mewaspadai teman yang buruk
Teman yang buruk sangat berbahaya bagi kehidupan seseorang baik di dunia maupun di akhirat. Karena bersahabat dengannya tidaklah membuahkan apapun kecuali penyesalan:
“Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya Dia telah menyesatkan aku dari Al-Qur’an ketika Al-Qur’an itu telah datang kepadaku, dan adalah setan itu tidak mau menolong manusia.” (Al-Furqan: 28-29)
Sikap berhati-hati dari teman yang buruk, sesungguhnya berlaku juga bagi para pejabat pemerintahan. Mengingat, betapa besarnya pengaruh teman yang buruk bagi berbagai kebijakan mereka. Di dalam kitab Riyadhush Shalihin, Al-Imam An-Nawawi t menyebutkan bab khusus terkait dengan hal ini. Beliau berkata: “Bab: Hasungan terhadap hakim dan pemimpin bangsa serta pejabat pemerintahan lainnya dari agar mencari teman yang baik dan berhati-hati dari teman yang buruk.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t berkata: “Engkau bisa mendapati bahwa di antara para pemimpin itu ada yang baik dan suka dengan kebaikan. Namun, manakala Allah l memberinya teman-teman yang buruk, lalu wal’iyadzu billah mereka menghalanginya dari kebaikan yang diinginkannya, menghiasi sesuatu yang buruk hingga nampak baik, dan menanamkan kepadanya kebencian kepada para hamba Allah l.
Engkau pun bisa mendapati di antara para pemimpin itu ada yang kurang baik. Namun tatkala teman-temannya dari kalangan orang-orang baik, yang selalu menunjukinya kepada kebaikan, memberikan motivasi dan mengarahkannya kepada segala hal/kebijakan yang membuahkan rasa cinta antara dia dengan rakyatnya, akhirnya menjadi baik keadaannya. Dan orang yang terjaga itu adalah yang dijaga oleh Allah l.” (Syarh Riyadhish Shalihin)
Teman yang buruk itu bermacam-macam. Terkadang dari jenis pelaku kemaksiatan (pengekor syahwat), atau dari jenis ahlul bid’ah4 dan orang-orang yang menyimpang agamanya. Semuanya harus diwaspadai. Pelaku kemaksiatan (pengekor syahwat) dapat menyeret siapa saja yang berteman dengannya ke dalam kemaksiatan dan syahwat. Demikian pula ahlul bid’ah dan orang-orang yang menyimpang agamanya akan menyesatkan siapa saja yang berteman dengannya.
Bahkan menurut Al-Imam Ahmad bin Hanbal t, berteman atau bermajelis bersama ahlul bid’ah dan orang-orang yang menyimpang dengan alasan untuk mengembalikan mereka kepada al-haq tidak dibenarkan juga. Karena mereka akan menyampaikan kerancuan-kerancuan berpikirnya (syubhat) dan enggan untuk kembali kepada al-haq.5 (Lihat Al-Ibanah 2/472)6
Mungkin di antara pembaca ada yang bertanya: “Adakah contoh kasus tentang orang-orang yang tersesat (agamanya) karena teman?” Maka jawabnya adalah: “Ada, bahkan banyak.”
Diantaranya adalah:
1. Abu Thalib terhalang dari Islam karena pengaruh temannya.
Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari (no. 3884): “Saat menjelang kematian Abu Thalib, Rasulullah n datang menjenguknya. Ternyata di sisi Abu Thalib telah ada Abu Jahl dan Abdullah bin Abu Umayyah bin Al-Mughirah. Rasulullah n berkata: ‘Wahai pamanku, ucapkanlah Laa ilaaha illallah (tiada yang berhak diibadahi dengan sebenarnya kecuali Allah, pen.), sebuah kalimat yang akan kujadikan hujjah (pembelaan) untukmu di hadapan Allah’. Maka berkatalah Abu Jahl dan Abdullah bin Abu Umayyah bin Al-Mughirah: ‘Apakah kamu benci terhadap agama Abdul Muththalib (agama berhala, pen.)?!’ Setiap kali Rasulullah n menawarkan kalimat Laa ilaaha illallah kepada Abu Thalib, maka setiap kali pula Abu Jahl dan Abdullah bin Abu Umayyah bin Al-Mughirah menimpalinya dengan perkataan di atas. Hingga kata terakhir yang diucapkan Abu Thalib kepada mereka adalah: ‘(Aku) di atas agama Abdul Muththalib (menyembah berhala)’.”
Demikian pula secara lebih tegas disebutkan dalam Shahih Muslim (no. 39): “…Dia (Abu Thalib) berada di atas agama Abdul Muththalib (menyembah berhala) dan tidak mau mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallaah.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t berkata: “Betapa bahayanya teman yang buruk terhadap seseorang. Kalau tidak ada pengaruh dari dua orang tersebut (Abu Jahl dan Abdullah bin Abu Umayyah bin Al-Mughirah, pen.) bisa jadi Abu Thalib menerima ajakan Nabi n untuk mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallaah dan wafat sebagai pemeluk agama Islam.” (Al-Qaulul Mufid Syarh Kitabit Tauhid 1/224)
2. Abu Dzar Al-Harawi terseret ke dalam madzhab Asy’ari karena kedekatannya dengan Al-Qadhi Abu Bakr Ath-Thayyib
Di dalam kitab Siyar A’lamin Nubala’ (17/558-559) dan Tadzkiratul Huffazh (3/1104-1105) karya Al-Imam Adz-Dzahabi t disebutkan bahwa Abu Dzar Al-Harawi, seorang ulama terkemuka di masanya terseret ke dalam madzhab sesat Asy’ari, disebabkan kedekatannya dengan tokoh madzhab tersebut yang bernama Al-Qadhi Abu Bakr Ath-Thayyib. Bermula dari pertemuan pertama di Kota Baghdad, kemudian disusul dengan pertemuan kedua, dan demikian seterusnya. Hingga akhirnya terseret ke dalam madzhab Asy’ari, sebagaimana yang dinyatakan Abu Dzar Al-Harawi sendiri: “Akhirnya aku mengikuti madzhabnya.”
Tidak sampai di situ, ia pun kemudian menyebarkan madzhab Asy’ari tersebut di Kota Makkah. Al-Imam Adz-Dzahabi t berkata: “Dia mendapatkan ilmu kalam dan madzhab Asy’ari dari Al-Qadhi Abu Bakr Ath-Thayyib, kemudian menyebarkannya di Kota Makkah. Orang-orang yang berasal dari negeri-negeri maghrib arabi (magharibah) menyambutnya dan membawa akidah sesat tersebut ke Negeri Maroko dan Andalusia (Spanyol). Padahal sebelumnya para ulama di beberapa negeri tersebut tidak menyukai ilmu kalam. Bahkan mereka adalah orang-orang yang mumpuni di bidang ilmu fiqh, hadits, atau bahasa Arab.” (Siyar A’lamin Nubala’ 17/557)
3. ‘Imran bin Hiththan menjadi khawarij karena pengaruh istrinya
Imran bin Hiththan adalah seorang yang hidup di masa tabi’in. Dia meriwayatkan hadits dari sekelompok sahabat Nabi n. Dia kesohor akan kesungguhan dalam menuntut ilmu dan hadits. Dahulunya berakidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, namun di akhir hayatnya terseret ke dalam akidah sesat Khawarij. Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata: “Adalah Imran bin Hiththan tergolong orang yang terkenal di kalangan madzhab Khawarij, padahal sebelumnya dia kesohor akan kesungguhan dalam menuntut ilmu dan hadits, kemudian terseret ke dalam fitnah (Khawarij).”
Al-Imam Ya’qub bin Syaibah t berkata: “Dia berjumpa dengan sekelompok sahabat Nabi n, namun di akhir hayatnya terseret ke dalam akidah Khawarij. Sebabnya adalah bahwa sepupu wanita/anak pamannya (yang bernama Hamnah, pen.) yang memiliki akidah sesat, akidah Khawarij, maka dia menikahinya dengan tujuan mengembalikannya ke dalam akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Akan tetapi, justru sang istrilah yang menyeretnya ke dalam akidah Khawarij.”
Hal senada juga disampaikan oleh Al-Imam Muhammad bin Sirin t. (Lihat Tahdzibut Tahdzib karya Al-Hafizh Ibnu Hajar, 8/108-109)
Para pembaca yang mulia, belajar dari uraian di atas, maka sudah seharusnya bagi kita semua selektif dan berhati-hati dalam memilih teman. Mewaspadai teman yang buruk dan berteman dengan teman yang baik. Mengingat, seorang teman itu sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan beragama kita.
Wallahu a’lam bish-shawab.
1, 2, 3 Lihat kitab Ijma’ul Ulama’ ‘Alal Hajri wat Tahdzir Min Ahlil Ahwa’, karya Asy-Syaikh Khalid bin Dhahwi Azh-Zhafiri.
4 Bid’ah adalah segala hal yang diada-adakan dalam agama (tidak ada syariat/dalilnya dalam Islam). Ahlul bid’ah/mubtadi’ adalah orang yang bersemangat mempelajari dan melakukan kebid’ahan serta mendakwahkan/mengajak manusia untuk melakukan bid’ah.
Namun demikian, seseorang yang melakukan sesuatu yang menyelisihi syariat dalam keadaan tidak tahu, maka dia diberi udzur karena ketidaktahuannya tersebut. Dia tidak dihukumi mubtadi’. Hanya saja amalan yang dilakukannya disebut bid’ah.
5 Diantara buktinya adalah kasus Imran bin Hiththan yang akan disebutkan insya Allah.
6 Sebagai tambahan faedah tentang sikap terhadap ahlul bid’ah dan orang-orang yang menyimpang agamanya, silakan lihat kitab Ijma’ul Ulama’ ‘Alal Hajri wat Tahdzir min Ahlil Ahwa’, karya Asy-Syaikh Khalid bin Dhahwi Azh-Zhafiri.
Sumber : http://asysyariah.com/teman-dan-pengaruhnya-dalam-kehidupan-beragama-seseorang/
SELEKTIF DALAM MEMILIH TEMAN
Sebagai mahluk sosial, kita tentunya membutuhkan teman karib atau sahabat. Tapi satu hal yang perlu kita ketahui, bahwa diantara prinsip islam adalah prinsip selektif dalam memilih teman. Teman atau sahabat memiliki pengaruh yang besar dalam membentuk, mengubah, dan menanamkan segala hal kepada temannya. Termasuk dalam hal keyakinan atau agama.
Rasulullah shallallahu alaihi wa shallam bersabda :
“Seseorang itu akan mengikuti agama teman karibnya. Maka
hendaknya salah seorang diantara kalian melihat dengan siapa ia menjalin
pertemanan.” [H.R. At Tirmidzi]
Teman-teman yang jahat akan mengenalkan kepada kemaksiatan dan dosa.
Selanjutnya mereka mengajak kita untuk melakukannya. Jika kita terjatuh
dalam dosa, mereka menganggap ringan apa yang kita lakukan. Atau malah
justru mereka akan bertepuk tangan mendukung dan memotivasi kita untuk
terus berada dalam gelapnya dosa yang kita lakukan.
Allah ta’ala berfirman,
وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي
اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا يَا وَيْلَتَا لَيْتَنِي لَمْ
أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ
جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنْسَانِ خَذُولًا
“Di hari orang-orang yang zalim menggigit jari-jari mereka seraya
mengatakan, ‘Aduhai andaikan aku dahulu mengikuti jalannya Rasul.
Aduhai, celaka aku, andaikan aku dahulu tidak menjadikan dia sebagai
temanku. Sungguh dia telah memalingkanku dari petunjuk ketika ia
mendatangiku. Dan adalah setan itu suka membiarkan manusia terjatuh
dalam dosa dan kemaksiatan.” (QS. al-Furqan : 27-29)
Teman yang baik laksana pintu kebaikan. Bagaimana tidak, jika ia
berucap, maka ucapannya adalah ucapan yang baik atau mengandung
kebaikan. Jika ia bertindak, yang ia lakukan juga kabaikan. Jika ia
datang, ia datang membawa kabaikan. Jika ia pergi, yang ia tinggalkan
pun kebaikan. Bahkan, ketikka ia diam, diamnya pun karena kabaikan.
[dikutip dari Tashfiyah edisi 47 vol.4]
sumber : https://pemudasalafy.wordpress.com/2015/06/01/pilih-temanmu-sebelum-datang-sesalmu/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar