Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya):
“Tidak ada paksaan untuk beragama (Islam), sesungguhnya telah jelas
jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang
ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia
telah berpegang teguh kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan
putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 256)
Islam adalah satu-satunya agama yang benar. Memeluk agama Islam
berarti memilih jalan hidup yang benar, yang dapat mengantarkan kepada
kehidupan bahagia, di dunia dan akhirat. Tidak ada satu pun agama yang
diridhai oleh Allah subhanahu wa ta’ala Pemilik alam semesta ini kecuali
agama Islam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya),
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali Imran: 19)
Agama apapun selain Islam, maka pemeluknya adalah orang-orang yang
terjatuh dalam kekufuran di dunia ini, sebelum akhirnya di akhirat nanti
ia akan dimasukkan ke dalam neraka jahannam dan kekal di dalamnya.
Itulah kerugian yang nyata sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala
(artinya),
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imran: 85)
Tentu, agama Islam yang dimaksud di sini adalah agama Islam yang
didakwahkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, Rasul
terakhir yang diutus oleh Allah subhanahu wa ta’ala di muka bumi.
Siapapun yang enggan menyambut seruan dakwah beliau, kemudian
mengingkari risalah dan ajaran beliau, maka ia termasuk orang-orang yang
terancam sebagai penghuni neraka selama-lamanya. Walaupun seseorang
mengaku pengikut ajaran Nabi Musa maupun Nabi Isa ‘alaihimas salam dan
mengimani dua rasul yang mulia tersebut, maka keimanannya tidaklah
bermanfaat kalau ia tidak beriman terhadap Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam dan memeluk agama Islam yang beliau serukan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Demi Dzat Yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya (Demi Allah),
tidaklah ada seorang pun di kalangan umat manusia ini, baik Yahudi
maupun Nasrani, yang mendengar tentang (risalah kenabian)ku, kemudian ia
meninggal dunia dalam keadaan tidak beriman dengan risalah yang aku
diutus dengannya (risalah agama Islam), kecuali ia pasti termasuk
penghuni neraka.” (HR. Muslim no. 153)
Maksud hadits ini adalah bahwa siapapun di kalangan umat manusia ini,
baik orang-orang Yahudi (yang mengaku beriman kepada Nabi Musa ‘alaihis
salam) maupun orang-orang Nasrani (yang mengaku beriman kepada Nabi Isa
‘alaihis salam), ketika mendengar serta mengetahui tentang kenabian dan
kerasulan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta mendengar
pula dakwah dan seruan Islam, kalau ternyata mereka tidak mau masuk
Islam dan beriman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka mereka adalah orang-orang kafir yang pasti akan menjadi penghuni
neraka karena mereka mati dalam keadaan berada di atas kekafiran.
Inilah yang harus diyakini oleh setiap muslim. Kebenaran mutlak ada
pada agama Islam yang ia peluk. Jangan ada sedikit pun keraguan bahwa
Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan diridhai oleh Allah
subhanahu wa ta’ala.
Salah Memahami Ayat ke-256 Surah Al-Baqarah
Musuh-musuh Islam senantiasa berupaya memurtadkan umat Islam dari
agamanya. Kalau tidak mampu mengajak seorang muslim menjadi nonmuslim
(murtad), minimalnya dapat menanamkan keraguan pada umat Islam tentang
agamanya. Mereka tebarkan di tengah-tengah umat ini pemikiran dan
pemahaman bahwa Islam bukanlah satu-satunya agama yang benar, setiap
orang bebas memilih dan memeluk agama apapun tanpa ada paksaan, bahkan
Islam membebaskan bagi siapa saja untuk tidak beragama.
Mereka melakukan perbuatan jahat itu bukan tanpa dalil. Ayat ke-256
surah Al-Baqarah mereka comot sebagai senjata untuk menebarkan pemikiran
yang menyimpang tersebut. Akibatnya, tidak sedikit dari umat Islam yang
salah dalam memahami ayat di atas, sehingga terjebak dalam lumpur hitam
pluralisme agama, yaitu suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama
adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Oleh
sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya
agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme
juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk surga dan hidup
berdampingan di dalamnya. (Lihat Keputusan Fatwa MUI no. 7/MUNAS
VII/MUI/II/2005)
Benarkah Ayat ke-256 Surah Al-Baqarah Menjamin Kebebasan Beragama?
Tentu jawabannya tidak. Ini jika kebebasan beragama di sini
mengandung makna bahwa setiap orang bebas memeluk agama yang diingini
karena semua agama sama dan semua pemeluknya akan masuk surga.
Kemudian bagaimana dengan ayat di atas? Bukankah tidak adanya paksaan
dalam beragama Islam, berarti seseorang bebas memilih agama yang
dikehendaki dan selain Islam juga sebagai agama yang sah?
Para pembaca rahimakumullah, bagaimanakah sesungguhnya penjelasan ulama ahli tafsir tentang ayat di atas?
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan bahwa firman Allah
subhanahu wa ta’ala, “Tidak ada paksaan untuk beragama (Islam)” bermakna
janganlah kalian memaksa seorangpun untuk memeluk agama Islam karena
agama Islam ini telah jelas tanda dan bukti (kebenaran)nya, sehingga
tidak perlu bagi seseorang untuk dipaksa memeluknya. Orang yang diberi
hidayah oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk memeluk agama Islam,
dilapangkan dadanya, dan dicerahkan pandangannya, maka ia akan
memeluknya dengan ilmu yang nyata. Namun, orang yang hatinya dibutakan
oleh Allah subhanahu wa ta’ala, pendengaran dan pandangannya telah
ditutup oleh-Nya subhanahu wa ta’ala, maka tidak ada manfaat baginya
memasuki agama Islam ini dalam keadaan terpaksa. (Tafsir Ibnu Katsir).
Penafsiran semakna juga diungkapkan oleh al-Imam Abdurrahman as-Sa’di
rahimahullah dalam tafsirnya. Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala
mengabarkan bahwa tidak ada paksaan dalam memasuki agama Islam karena
memang (dalam memeluk Islam ini) tidak perlu pemaksaan, karena pemaksaan
itu biasanya tidak terjadi kecuali pada perkara yang samar dan
tersembunyi tanda-tandanya atau pada perkara yang dibenci. Adapun agama
(Islam) yang lurus ini telah jelas sekali tanda-tanda (kebenaran)nya.
Telah diketahui pula jalan yang benar dan jalan yang sesat. (Diringkas
dari Taisirul Karimirrahman).
Dari penjelasan dua ulama ahli tafsir di atas, kita dapat
menyimpulkan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama Islam ini
dilatarbelakangi oleh dua hal:
Pertama, bahwa Islam tidak mengajarkan dan bahkan
melarang pemeluknya memaksa orang nonmuslim untuk masuk agama Islam
karena telah jelas mana jalan yang benar dan mana jalan yang sesat.
Jalan yang benar adalah Islam, dan jalan yang sesat adalah selain Islam.
Sehingga dalam memilih jalan Islam yang benar ini tidak perlu
pemaksaan.
Sama halnya, ketika sudah jelas mana yang madu dan mana yang racun,
maka tidak perlu memaksa seseorang untuk memilih madu. Bukan suatu
tindakan yang bijak manakala seseorang memaksa orang lain untuk memilih
satu di antara dua minuman yang disodorkan kepadanya itu, sementara
orang tadi sudah tahu mana minuman yang akan memberikan manfaat dan
keselamatan, dan mana minuman yang akan membinasakannya. Ya, tidak ada
paksaan atas seseorang untuk memilih segelas madu, karena sudah demikian
jelasnya antara madu dan racun, serta akibat dari mengonsumsi
masing-masing jenis minuman tersebut. Silakan memilih minuman yang
diinginkan, namun akibatnya akan ditanggung sendiri.
Ketika seseorang memilih jalan yang benar, pasti ia akan sampai di
tempat tujuan dengan selamat. Demikian sebaliknya bagi orang yang
memilih jalan yang sesat. Allah subhanahu wa ta’ala sendiri telah
memberikan pilihan kepada hamba-hamba-Nya apakah ingin menjadi mukmin
ataukah kafir, namun tentu pilihan tersebut mengandung konsekuensi
sebagaimana disebutkan dalam ayat-Nya (artinya),
“Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Rabb kalian, maka
barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa
yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.” Sesungguhnya Kami telah sediakan
bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka.”
(Al-Kahfi: 29)
Orang kafir, termasuk orang zalim yang terkena ancaman dalam ayat di
atas. Silakan memilih kekafiran, namun azab Allah subhanahu wa ta’ala
pasti akan dirasakan.
Kedua, istilah pemaksaan itu biasanya digunakan pada
sesuatu yang tidak disukai. Sementara, Islam menghendaki pelakunya
benar-benar lapang dada dan tulus ketika memeluk agama ini. Dengan itu
ia benar-benar siap untuk berserah diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala
serta tunduk dalam menjalankan syariat dan hukum-Nya.
Berbeda dengan orang yang memeluk Islam dengan terpaksa. Pasti ia
akan merasa keberatan dan cenderung tidak menerima hukum dan syariat
yang telah Allah subhanahu wa ta’ala tetapkan. Maka ia akan enggan
menerapkan aturan dan norma agama yang telah digariskan dalam Islam.
Orang yang seperti ini tidak akan membawa manfaat sama sekali, baik bagi
dirinya sendiri terlebih lagi bagi umat Islam.
Catatan Sejarah
Sejarah mencatat bahwa masuk Islamnya generasi pertama umat ini (para
shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), tidak dengan paksaan.
Shahabat Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan para shahabat yang lain
dengan lapang dada menerima Islam karena mereka melihat kebenaran
padanya dan kebatilan pada agama yang sebelumnya mereka anut. Mereka
masuk ke dalam agama Islam karena hidayah Allah subhanahu wa ta’ala,
bukan karena paksaan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bahkan, peperangan yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para shahabatnya, bukan dalam rangka memaksa musuh agar masuk
Islam, akan tetapi karena musuhlah yang terlebih dahulu memerangi umat
Islam.
Demikian pula ketika umat ini dipimpin oleh para khalifah sepeninggal
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada di antara rakyatnya yang
bukan muslim. Namun mereka tetap memiliki hak hidup di wilayah kaum
muslimin dengan membayar jizyah (semacam upeti) sebagai bentuk jaminan
perlindungan terhadap mereka. Tidak pernah disebutkan dalam catatan
sejarah bahwa para khalifah tersebut memaksa mereka untuk memeluk agama
Islam.
Wallahu a’lam bish shawab.
Penulis: Ustadz Abu Abdillah hafizhahullah
Sumber Buletin Al-Ilmu Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar