Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal hafizhahullah
“Sesungguhnya hanyalah yang takut kepada Allah di antara para hamba-Nya adalah ulama.” (Fathir: 28)
Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat
“Sesungguhnya hanyalah.”
Lafadz ini menunjukkan pembatasan. Pembatasan dalam satu kalimat
bermakna istitsna’ (pengecualian/pengkhususan). Adapun istitsna’ dalam
konteks kalimat penafian, menurut jumhur ulama, mengandung makna
penetapan (itsbat). (Lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam, 16/177)
“Ulama.”
Ia adalah bentuk jamak dari alim. Yang dimaksud adalah orang yang
berilmu tentang syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala serta mengerti tentang
hukum halal dan haram. Inilah yang dimaksud ilmu apabila disebut secara
mutlak (tanpa pengait) dalam kitabullah dan sunnah Rasul Shallallahu
`alaihi wa sallam. Ini pula ilmu yang jika kita mempelajari dan
mengamalkannya akan mendapat keutamaan. Hal ini karena selain ilmu
syariat, tidak ada perbedaan dalam mengetahuinya antara seorang mukmin
dan kafir.
Al-Hafizh Ibnu Rajab Rahimahullah menjelaskan bahwa ilmu yang bermanfaat adalah yang menunjukkan dua perkara:
1. Ma’rifatullah (mengenal Allah
Subhanahu wa Ta’ala), Asmaul Husna yang dimiliki-Nya, sifat-sifat-Nya
Yang Mahaagung, dan perbuatan-perbuatan-Nya yang menakjubkan.
Hal ini menumbuhkan sikap pengagungan, pemuliaan, rasa takut
kepada-Nya, rasa cinta, berharap, bertawakal, dan ridha dengan
ketetapan-Nya, serta bersabar atas musibah yang menimpa.
2. Berilmu tentang apa yang
dicintai dan diridhai-Nya, serta apa yang dibenci dan dimurkai-Nya,
berupa berbagai keyakinan, amalan, dan ucapan, baik yang lahir maupun
batin. (Lihat Fadhlu Ilmis Salaf, al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hambali Rahimahullah, hlm. 73)
Syaikhul Islam Rahimahullah berkata menjelaskan ayat ini, “Mereka
adalah para ulama yang beriman kepada apa yang dibawa oleh para rasul.
Merekalah yang takut kepada-Nya.” (Majmu’ al-Fatawa, 16/177)
Tafsir Ayat
Ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mulia ini menjelaskan bahwa orang
yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah seorang yang alim
(berilmu). Sebaliknya, seseorang yang tidak memiliki rasa takut kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah orang yang jahil.
Rasa takut manusia kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala bertingkat-tingkat sesuai dengan kadar keilmuan dan keyakinan
seseorang kepada Rabbnya.
Mujahid Rahimahullah berkata, “Sesungguhnya, orang yang alim adalah yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Beliau Rahimahullah juga berkata, “Orang yang fakih adalah orang yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau
berkata, “Cukuplah rasa takut seseorang kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala sebagai ilmu, dan cukuplah kelalaian seseorang kepada-Nya sebagai
kejahilan.”
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau
berkata, “Sesungguhnya, orang fakih yang sebenar-benarnya adalah orang
yang tidak menyebabkan manusia putus asa dari rahmat Allah Subhanahu wa
Ta’ala, tidak memberi kemudahan kepada mereka untuk bermaksiat
kepada-Nya, tidak memberi rasa aman kepada mereka dari siksaan-Nya,
serta tidak menyebabkan manusia meninggalkan al-Qur’an dan mencari
alternatif selainnya. Sesungguhnya, tidak ada kebaikan dalam satu ibadah
yang tidak dibarengi ilmu, tidak pula ada kebaikan pada satu ilmu yang
tidak terkandung pemahaman, dan tidak ada kebaikan dalam membaca
al-Qur’an yang tidak disertai tadabbur.” (Lihat atsar-atsar ini dalam
Tafsir Ibnu Katsir tatkala menjelaskan ayat ini)
Syaikhul Islam Rahimahullah berkata ketika menjelaskan ayat ini,
“Tidaklah seseorang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali dia
seorang alim. Oleh karena itu, setiap yang takut kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala maka dialah alim. Demikianlah konteks ayat ini. Para ulama
salaf dan kebanyakan para ulama mengatakan bahwa setiap alim berarti dia
takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana ayat yang lain juga
menunjukkan bahwa siapa yang bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala berarti dia jahil.
Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Abul Aliyah Rahimahullah,
‘Aku bertanya kepada para sahabat Muhammad Shallallahu `alaihi wa
sallam tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Sesungguhnya, tobat di sisi Allah hanyalah tobat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan.” (an-Nisa: 17)
Mereka (para sahabat Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam) berkata
kepadaku, ‘Setiap orang yang bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala maka dia jahil.’
Demikian pula yang dikatakan oleh Mujahid, al-Hasan al-Bashri, dan
yang lainnya dari kalangan ulama tabi’in dan yang setelahnya,
rahimahumullah.” (Majmu Fatawa, 16/176—177)
As-Sa’di Rahimahullah berkata, “Semakin seseorang berilmu tentang
Allah Subhanahu wa Ta’ala, semakin besar pula rasa takut kepada-Nya.
Rasa takutnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebabkannya
meninggalkan kemaksiatan serta mempersiapkan diri untuk bertemu dengan
Dzat yang dia takuti. Ini adalah dalil yang menunjukkan keutamaan ilmu,
karena ia akan menumbuhkan rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Orang-orang yang takut kepada-Nya adalah orang-orang yang mendapatkan
kemuliaan-Nya, sebagaimana firman-Nya,
“Balasan mereka di sisi Rabb mereka ialah surga Adn yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah
ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Hal itu adalah
(balasan) bagi orang yang takut kepada Rabbnya.” (al-Bayyinah: 8)
(Taisir al-Karim ar-Rahman)
Al-Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya, yang
takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebenar-benarnya adalah
para ulama yang memiliki ma’rifat (pengetahuan) tentang-Nya. Hal ini
karena setiap kali bertambah pengetahuan seseorang kepada Yang
Mahaagung, Mahakuasa, dan Maha Berilmu, yang memiliki sifat-sifat
kesempurnaan dengan asmaul husna, semakin bertambah dan sempurna
pengetahuan seseorang kepada-Nya. Maka dari itu, rasa takut kepada-Nya
pun semakin bertambah dan semakin kuat.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata menjelaskan ayat
ini, “Maknanya, tidak ada yang takut kepada-Nya selain seorang alim.
Sungguh, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabarkan bahwa setiap yang
takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala berarti dia adalah seorang alim,
sebagaimana firman-Nya di dalam ayat yang lain,
(Apakah kamu, hai orang musyrik, yang lebih beruntung) ataukah orang
yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedangkan
ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabbnya?
Katakanlah, “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang
yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat
menerima pelajaran. (az-Zumar: 9)
Rasa takut (khasy-yah) selalu mengandung sifat berharap (raja’). Jika
tidak demikian, dia akan menjadi seorang yang berputus asa (dari
rahmat-Nya). Sejalan dengan itu, perasaan berharap mengharuskan adanya
rasa takut, sebab ketiadaan hal tersebut dapat menyebabkan seseorang
merasa aman (dari kemurkaan-Nya). Jadi, orang yang memiliki rasa takut
dan berharap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah para ulama yang
dipuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam,
7/21)
Tanda Ilmu adalah Khasy-yah
Ayat ini menjelaskan bahwa ilmu yang hakiki, yang akan memberi
manfaat kepada pemiliknya, adalah yang menumbuhkan rasa takut seorang
hamba kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semakin bertambah ilmu yang
bermanfaat yang dimiliki oleh seorang hamba, semakin besar pula rasa
takutnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, para nabi,
orang-orang saleh, para shiddiqin, dan para syuhada, memiliki rasa takut
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lebih daripada selain mereka yang
tingkat keimanannya lebih rendah.
Disebutkan dalam Shahih al-Bukhari dari hadits Aisyah Radhiyallahu
‘anhuma yang mengatakan bahwa apabila Rasulullah Shallallahu `alaihi wa
sallam memerintah kaum muslimin, beliau memerintah mereka dengan sesuatu
yang mampu mereka lakukan. Mereka berkata, “Sesungguhnya kami tidak
seperti engkau, wahai Rasulullah. Sesungguhnya, Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah mengampuni apa yang telah lalu dari dosamu dan yang akan
datang.” Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam marah mendengar hal
itu hingga kemarahan tersebut tampak di wajah beliau Shallallahu `alaihi
wa sallam, lalu bersabda:
إِنَّ أَتْقَاكُمْ وَأَعْلَمَكُمْ بِاللهِ أَنَا
“Sesungguhnya orang yang paling bertakwa dan paling berilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’alaadalah aku.” (HR. al-Bukhari, 1/20)
Dalam riwayat Muslim Rahimahullah dengan lafadz,
وَاللهِ إِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَخْشَاكُمْ لِلهِِ وَأَعْلَمَكُمْ بِمَا أَتَّقِي
“Demi Allah, sesungguhnya aku berharap menjadi orang yang paling
takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan yang paling berilmu dengan
apa yang aku tinggalkan.” (HR. Muslim no. 1110)
Dalam riwayat Muslim Rahimahullah dari hadits Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anhuma,
أَمَا وَاللهِ إِنِّي لَأَتْقَاكُمْ لِلهِ وَأَخْشَاكُمْ لَهُ
“Ketahuilah, demi Allah, sesungguhnya aku adalah hamba yang paling
bertakwa di antara kalian dan yang paling takut kepada-Nya.” (HR. Muslim
no. 1108)
Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam menggandengkan rasa takutnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan ilmu.
Al-Allamah asy-Syinqithi Rahimahullah berkata, “Telah dimaklumi bahwa
nabi Shallallahu `alaihi wa sallam dan para sahabatnya adalah orang
yang berilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan paling mengetahui
tentang hak-hak dan sifat-sifat-Nya, serta pengagungan yang menjadi hak
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bersamaan dengan itu, mereka menjadi hamba
yang paling banyak ibadahnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan yang
paling takut serta berharap mendapat rahmat-Nya.” (Adhwaul Bayan, 2/325)
Tumbuhnya rasa khasy-yatullah dalam diri seorang hamba akan
memberikan pengaruh pada keimanan dan amalannya. Di antara pengaruh
tersebut adalah:
- Ia akan semakin giat menjalankan ibadah dengan penuh rasa takut dan berharap.
- Ia akan meninggalkan kemaksiatan baik di keramaian maupun saat sendirian.
- Senantiasa mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berzikir, membaca al-Qur’an, dan yang semisalnya.
- Tidak memasukkan ke dalam perutnya sesuatu yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
- Merasa yakin dengan apa yang dijanjikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala berupa kenikmatan bagi orang yang bertakwa dan siksaan bagi yang durhaka.
- Tidak berkata tanpa ilmu dalam urusan agama.
Gelar Bukan Ilmu
Sebagian orang menyangka bahwa tanda seorang yang berilmu adalah jika
dia memiliki banyak hafalan dan riwayat. Sebagian lagi ada yang
menyangka bahwa tanda seorang alim adalah jika dia memiliki gelar
akademis seperti Lc, MA, doktor, profesor, dan yang lain. Ini adalah
pemahaman yang keliru.
Jika seseorang memiliki semua yang disebutkan, namun ilmu yang
dimilikinya tidak menumbuhkan rasa takut kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala dalam dirinya dan tidak memberikan perubahan ke arah yang baik
dalam kehidupannya—dengan menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai
pedoman hidupnya—, dia bukanlah seorang yang berilmu. Ilmu yang
dimilikinya justru akan menjadi hujah yang dapat membinasakannya.
Wallahul musta’an.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau
berkata, “Ilmu itu bukanlah dengan banyak meriwayatkan hadits, namun
ilmu adalah khasy-yah.”
Al-Imam Malik Rahimahullah berkata, “Ilmu itu bukan dengan sekadar
banyak menghafal riwayat, namun ilmu adalah cahaya yang diletakkan oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hati seorang hamba.” (Tafsir Ibnu Katsir,
3/555)
Abu Hayyan at-Taimi berkata, “Ulama itu ada tiga: (1) seorang yang
berilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tentang perintah Allah
Subhanahu wa Ta’ala, (2) seorang yang berilmu tentang Allah Subhanahu wa
Ta’ala, namun tidak berilmu tentang perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala,
dan (3) seorang yang berilmu tentang perintah Allah Subhanahu wa
Ta’ala, namun tidak berilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Yang berilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan perintah-Nya,
dialah yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sekaligus mengerti
tentang sunnah-Nya, batasan-batasan-Nya, dan apa-apa yang
diwajibkan-Nya.
Adapun yang berilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, namun tidak
berilmu tentang perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, dia adalah orang
yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, namun tidak mengerti
tentang sunnah-Nya, batasan-batasan-Nya, dan apa-apa yang
diwajibkan-Nya.
Sementara itu, yang berilmu tentang perintah Allah Subhanahu wa
Ta’ala, namun tidak berilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, adalah
orang yang mengerti sunnah-Nya, batasan-batasan-Nya, dan apa-apa yang
diwajibkan-Nya, namun dia tidak takut kepada-Nya.” (Jami’ Bayani Ilmi wa
Fadhlihi, Ibnu Abdil Barr, 2/47)
Al-Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin Rahimahullah mengingatkan
para pelajar yang belajar agama di bangku universitas, “Hal yang
menyedihkan di zaman kita sekarang ini adalah yang menjadi tolok ukur
menentukan keilmuan manusia adalah gelar-gelar. Anda punya gelar, maka
Anda akan diberi pekerjaan dan jabatan sesuai dengan gelar tersebut.
Bisa jadi, seseorang bergelar doktor lalu diberi pekerjaan sebagai
pengajar di sebuah universitas, padahal dia adalah orang yang paling
jahil.
Sementara itu, ada seorang pelajar setingkat sekolah menengah yang
jauh lebih baik darinya, dan ini kenyataan. Sekarang ini, ada orang yang
bergelar doktor namun dia tidak mengerti ilmu sedikit pun. Bisa jadi,
dia lulus dengan cara menipu atau lulus dalam keadaan ilmu tersebut
belum melekat pada dirinya. Namun, dia tetap diangkat sebagai pegawai
karena memiliki ijazah doktor. Di sisi lain, ada seorang penuntut ilmu
yang baik, lebih baik daripada manusia lainnya dan lebih baik seribu
kali daripada doktor ini, namun dia tidak diberi jabatan. Dia tidak
mengajar di perguruan tinggi. Mengapa? Karena dia tidak berijazah
doktor.” (Syarah Riyadhus Shalihin, 3/436).
Wallahul muwaffiq.
Sumber: Majalah Asy Syariah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar