Ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdulmu’thi, Lc.
Manusia umumnya gemar menumpuk atau menimbun harta. Namun mungkin tak
pernah disadari bahwa harta mereka yang hakiki adalah yang disuguhkan
pada kebaikan.
Banyak orang berlomba-lomba mencari harta dan menabungnya untuk
simpanan di hari tuanya. Menyimpan harta tentunya tidak dilarang selagi
ia mencarinya dari jalan yang halal dan menunaikan apa yang menjadi
kewajibannya atas harta tersebut, seperti zakat dan nafkah yang wajib.
Namun ada simpanan yang jauh lebih baik dari itu, yaitu amal ketaatan
dengan berbagai bentuknya yang ia suguhkan untuk hari akhir. Suatu hari
yang tidak lagi bermanfaat harta, anak, dan kedudukan. Harta memang
membuat silau para pecintanya dan membius mereka sehingga seolah harta
segala-galanya. Tak heran jika banyak orang menempuh cara yang tidak
dibenarkan oleh syariat dan fitrah kesucian seperti korupsi, mencuri,
dan menipu. Padahal betapa banyak orang bekerja namun ia tidak bisa
mengenyam hasilnya. Tidak sedikit pula orang menumpuk harta namun belum
sempat ia merasakannya, kematian telah menjemputnya sehingga hartanya
berpindah kepada orang lain.
Orang seperti ini jika tidak memiliki amal kebaikan maka ia rugi di dunia dan di akhirat. Sungguh betapa sengsaranya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi
amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi
Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Al-Kahfi: 46)
Dan firman-Nya:
“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” (An-Nahl: 96)
Al-Imam At-Tirmidzi Rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya dari sahabat Tsauban Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Tatkala turun ayat:
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak…” (At-Taubah: 34)
Tsauban Radhiyallahu ‘anhu berkata: Dahulu kami bersama Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam pada
sebagian safarnya. Lalu sebagian sahabat berkata: “Telah diturunkan
ayat mengenai emas dan perak seperti apa yang diturunkan. Kalau
seandainya kita tahu harta apa yang terbaik yang kita akan
mengambilnya?” Maka Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
أَفْضَلُهُ لِسَانٌ ذَاكِرٌ وَقَلْبٌ شَاكِرٌ وَزَوْجَةٌ مُؤْمِنَةٌ تُعِينُهُ عَلىَ إِيْمَانِهِ
“Yang utama adalah lisan yang berdzikir, hati yang syukur dan istri
mukminah yang membantunya (dalam melaksanakan) agamanya.” (Shahih Sunan
At-Tirmidzi, 3/246-247, no. 3094, cet. Al-Ma’arif)
Tingkatan-tingkatan Amalan
Amal ketaatan yang dijadikan sebagai simpanan memiliki tingkatan
keutamaan dari sisi penekanan dalam pelaksanaannya dan dari sisi
pengaruh yang muncul darinya. Adapun dari sisi penekanan, amal-amal yang
wajib didahulukan dari yang sunnah. Disebutkan dalam hadits qudsi bahwa
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيِءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ
“Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang
paling Aku cintai dari apa yang Aku wajibkan atasnya.” (HR. Al-Bukhari,
no. 6502)
Demikian pula, sesuatu yang maslahatnya lebih besar didahulukan dari yang lebih kecil. Al-Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah berkata: “Menimba ilmu lebih utama daripada shalat sunnah.” (Mawa’izh Al-Imam Asy-Syafi’i, hal. 53)
Hal itu karena manfaat dari ilmu sangat luas, yaitu untuk dia dan
orang lain. Demikian pula suatu amalan lebih mulia dari yang lainnya
karena kondisi, waktu, tempat, dan orang yang melakukannya. Suatu
contoh, shadaqah yang dikeluarkan oleh sahabat Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam,
walaupun sebesar dua cakupan tangan tidak bisa tertandingi nilainya
dengan shadaqah kita, meskipun sebesar gunung Uhud. Dalam kondisi
seorang tidak bisa menggabungkan antara amalan yang mulia dengan yang di
bawahnya, maka dia mendahulukan yang lebih mulia. Termasuk kesalahan
jika seorang mementingkan amalan yang sunnah sehingga meninggalkan yang
wajib.
Luasnya Rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala
Kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap hamba-Nya begitu luas. Kalau saja orang kafir dan ahli maksiat di dunia ini masih selalu diberi rizki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala,
padahal mereka berada di atas kesesatannya, maka tentunya orang yang
beriman dan beramal shalih akan mendapatkan berbagai limpahan nikmat dan
karunia-Nya di dunia ini, serta terus bersambung hingga di hari kiamat
nanti. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.” (An-Nahl: 97)
Orang yang menggabungkan antara iman dan amal shalih akan Allah Subhanahu wa Ta’ala beri
kehidupan yang baik di dunia ini, berupa tentramnya jiwa dan rizki yang
halal lagi baik. Adapun di akhirat kelak, dia akan memperoleh berbagai
kelezatan yang mata belum pernah melihatnya, telinga belum pernah
mendengarnya, dan belum pernah terbetik dalam hati manusia.
Termasuk bentuk luasnya rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah dilipatgandakannya pahala amalan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh
kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang jahat
maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya,
sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya(dirugikan).” (Al-An’am: 160)
Demikian pula, amal kebaikan akan mengangkat derajat pelakunya dan menghapus dosa yang dilakukannya.
Barakah Keikhlasan
Tidak akan pernah merugi orang yang mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan
amalan yang sesuai petunjuk syariat dan dibarengi dengan keikhlasan
hati. Orang yang memiliki sifat tersebut akan mendapat barakah pada
hartanya, anak keturunannya, dirinya, serta akan diselamatkan dari
marabahaya. Dahulu, di zaman Bani Israil ada seorang lelaki yang shalih
lalu wafat dan meninggalkan dua anaknya sebagai anak yatim. Kedua anak
tersebut, karena kecil dan lemahnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala jaga harta warisan dari orangtuanya sehingga tidak hilang atau rusak, seperti dalam surat Al-Kahfi ayat 82.
Suatu ketika ada tiga orang dari umat sebelum Nabi Muhammad Shallallahu `alaihi wa sallam bermalam
di suatu goa. Ketika mereka berada di dalamnya, tiba-tiba jatuh batu
besar hingga menutupi pintunya. Mereka yakin bahwa mereka tidak akan
bisa keluar kecuali dengan ber-tawassul (menjadikan amal sebagai
perantara) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Masing-masing menyebutkan amalannya yang ia pandang paling ikhlas. Allah Subhanahu wa Ta’ala kabulkan permohonan mereka. Batu tersebut bergeser sehingga mereka bisa keluar dari goa.
Perhatikanlah wahai saudaraku, bahwa orang yang mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan melakukan berbagai ketaatan di saat lapang maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan
mengenalnya di saat dia susah. Sungguh manusia mendambakan kedamaian
hidup dan terhindar dari berbagai bencana, tetapi mereka tidak
mendapatkannya kecuali ketika mereka tunduk terhadap aturan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bersimpuh di hadapan-Nya.
Tidak Meremehkan Kebaikan Sekecil Apapun
Allah Maha Adil dan tidak mendzalimi hamba-Nya. Barangsiapa yang
melakukan kebaikan sekecil apapun pasti dia akan melihat balasan
kebaikannya. Sebagaimana kalau ia berbuat dosa selembut apapun niscaya
dia melihat pembalasannya. Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
يِا نِسَاءَ الْـمُسْلِمَاتِ، لاَ تَحْقِرْنَ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ
“Wahai wanita muslimah, janganlah seorang tetangga menganggap remeh
(pemberian) tetangganya, walaupun sekadar kaki kambing.” (HR. Al-Bukhari
dalam Kitabul Adab dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu)
Hadits ini adalah larangan bagi yang akan memberikan hadiah untuk
menganggap remeh apa yang akan ia berikan kepada tetangganya, walaupun
sesuatu yang sedikit. Karena yang dinilai adalah keikhlasan dan
kepedulian terhadap tetangganya. Juga, karena memberi sesuatu yang
banyak tidak bisa dimampu setiap saat. Demikian pula, hadits ini
melarang orang yang diberi hadiah dari meremehkan pemberian tetangganya.
(Lihat Fadhlullah Ash-Shamad, 1/215-216)
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam (yang
artinya): “Tatkala ada seekor anjing berputar-putar di sekitar sumur
yang hampir mati karena haus, tiba-tiba ada seorang wanita pezina dari
para pezina Bani Israil. Lalu ia melepas khuf (sepatu dari kulit yang
menutupi mata kaki) miliknya, kemudian ia mengambil air dengannya dan
memberi minum anjing tersebut. Maka ia diampuni (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala) karenanya.” (Riyadhush Shalihin, Bab ke-13, hadits no. 126)
Lihatlah wahai saudaraku, karena memberi minum seekor binatang yang kehausan, dia mendapatkan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Maka, orang yang memberi minum manusia, baik dengan cara menggali sumur
atau mengalirkan parit dan semisalnya, tentunya sangat besar pahalanya
di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam (yang
artinya): “Tujuh (perkara) yang pahalanya mengalir bagi hamba sedangkan
dia berada di kuburannya setelah matinya: (yaitu) orang yang
mengajarkan ilmu, atau mengalirkan sungai, atau menggali sumur, atau
menanam pohon kurma, atau membangun masjid atau mewariskan
(meninggalkan) mushaf (Al-Qur`an) atau meninggalkan anak yang memintakan
ampunan baginya setelah matinya.” (HR. Al-Bazzar dan dihasankan oleh
Al-Albani Rahimahullah dalam Shahih Al-Jami’, no. 3602)
Dan tersebut dalam hadits:
مَرَّ رَجُلٌ بِغُصْنِ شَجَرَةٍ عَلَى ظَهْرِ طَرِيقٍ فَقَالَ: وَاللهِ
لَأُنْحِيَنَّ هَذَا عَنِ الْمُسْلِمِينَ لاَ يُؤْذِيْهِمْ. فَأُدْخِلَ
الْجَنَّةَ
“Ada seorang lelaki melewati suatu dahan pohon di tengah jalan, lalu
dia mengatakan: ‘Demi Allah, aku akan menyingkirkan dahan ini dari kaum
muslimin sehingga tidak mengganggu mereka.’ Maka orang tersebut
dimasukkan (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala) ke dalam jannah (surga).” (HR. Muslim, Riyadhus Shalihin Bab Fi Bayani Katsrati Thuruqil Khair)
Coba renungkan hadits tadi dengan baik. Bagaimana orang tersebut
dimasukkan ke dalam jannah karena melakukan cabang keimanan yang
terendah, yaitu menyingkirkan gangguan dari jalan. Bagaimana kiranya
orang yang melakukan cabang iman yang lebih tinggi dari itu?
Inti dari ini semua, lapangan untuk kita beramal shalih sangatlah
banyak. Jika kita tidak mampu mengamalkan suatu kebaikan, maka ada pintu
lain yang bisa kita masuki. Juga, terkadang seseorang menganggap suatu
amalan itu remeh padahal di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala itu
besar. Kemudian yang terpenting pula dari itu, bahwa pahala akhirat itu
tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan dunia. Inilah Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda dalam haditsnya:
رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا
“Dua rakaat fajar lebih baik dari dunia dan seisinya.” (HR. Muslim dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha)
Shalat sunnah sebelum shalat subuh lebih baik daripada dunia dan seisinya, karena apa yang ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala akan kekal. Sedangkan dunia, seberapapun seorang mendapatkannya maka ia akan lenyap.
Harta Kita yang Sesungguhnya
Umumnya, kita menganggap bahwa harta yang disimpan itulah harta kita
yang sesungguhnya. Padahal sebenarnya harta kita adalah yang telah kita
suguhkan untuk kebaikan. Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّكُمْ مَالُ وَارِثِهُ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنْ مَالِهِ؟ قَالُوا: يَا
رَسُولَ اللهِ، مَا مِنَّا أَحَدٌ إِلَّا مَالُهُ أَحَبُّ إِلَيْهِ.
قَالَ: فَإِنَّ مَالَهُ مَا قَدَّمَ وَمَالُ وَارِثِهِ مَا أَخَّرَ
“Siapa di antara kalian yang harta ahli warisnya lebih dia cintai
dari hartanya (sendiri)?” Mereka (sahabat) menjawab: “Wahai Rasulullah,
tidak ada dari kita seorangpun kecuali hartanya lebih ia cintai.” Nabi
bersabda: “Sesungguhnya hartanya adalah yang ia telah suguhkan,
sedangkan harta ahli warisnya adalah yang dia akhirkan.” (HR. Al-Bukhari
Ibnu Baththal Rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini ada
anjuran untuk menyuguhkan apa yang mungkin bisa disuguhkan dari harta
pada sisi-sisi taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
kebaikan. Supaya ia nantinya bisa mengambil manfaat darinya di akhirat.
Karena segala sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang, maka akan
menjadi hak milik ahli warisnya. Jika nantinya ahli waris menggunakan
harta itu dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka
hanya ahli warisnya yang dapat pahala dari itu. Sedangkan yang
mewariskannya hanya dia yang lelah mengumpulkannya….” (Fathul Bari,
11/260)
‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha pernah menuturkan bahwa dahulu sahabat menyembelih kambing, maka Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam bertanya: “Apa yang masih tersisa dari kambing itu?” ‘Aisyah berkata: “Tidak tersisa darinya kecuali tulang bahunya.” Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: “Semuanya tersisa, kecuali tulang bahunya.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2470)
Maksudnya, apa yang kamu sedekahkan maka itu sebenarnya yang kekal di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan yang belum disedekahkan maka itu tidak kekal di sisi-Nya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Sumber: Majalah Asy Syariah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar