Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,
وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ
إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الْأَكْبَرِ أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ
الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ فَإِنْ تُبْتُمْ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَإِنْ
تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ غَيْرُ مُعْجِزِي اللَّهِ وَبَشِّرِ
الَّذِينَ كَفَرُوا بِعَذَابٍ أَلِيمٍ.
“Dan (inilah) suatu pemakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat
manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya
berlepas diri dari orang-orang musyrikin. Kemudian jika kalian (kaum
musyrikin) bertaubat, maka bertaubat itu lebih baik bagi kalian; tetapi
jika kalian berpaling, ketahuilah bahwa sesungguhnya kalian tidak dapat
melemahkan Allah. Dan beritakanlah kepada orang-orang kafir (bahwa
mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” [At-Taubah: 3]
Dalam menafsirkan haji Akbar pada ayat di atas, para ulama tafsir menyebut tiga pendapat:
Pertama, haji Akbar adalah hari ‘Arafah. Ini adalah
pendapat Umar bin Al-Khattâb, Ibnuz Zubair, Abu Juhaifah, Thâwûs,
dan ‘Athâ` rahimahumullâh.
Kedua, haji Akbar adalah hari Nahr (hari Idul Adhha,
10 Dzulhijjah). Ini adalah pendapat Abu Musa Al-Asy’ary, Al-Mughîrah
bin Syu’bah, Abdullah bin Abi Aufa, Abdullah bin Syaddâd, Ibnul
Musayyab, Ibnu Jubair, Ikrimah, Asy-Sya’by, An-Nakhâ’iy, Az-Zuhry, Ibnu
Zaid, As-Suddy, dan selainnya rahimahumullâh.
Dua pendapat di atas telah disebutkan juga merupakan pendapat Ali bin Abi Thalib dan Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ.
Ketiga, haji Akbar adalah seluruh hari-hari Mina. Ini adalah pendapat Mujâhid dan Sufyân Ats-Tsaury rahimahumallâh.
Demikian simpulan dari keterangan Ibnu Jarîr, Ibnu Katsîr, dan Ibnul Jauzy dalam tafsir mereka tentang ayat di atas.
Ibnu Jarîr, Ibnu Katsîr, dan selainnya menguatkan bahwa yang dimaksud dengan haji Akbar adalah hari Nahr.
Memang banyak riwayat yang menguatkan bahwa hari Nahr adalah hari
haji Akbar. Di antaranya adalah hadits seorang lelaki dari shahabat
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Beliau berkata,
خَطَبَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ النَّحْرِ عَلَى نَاقَةٍ لَهُ حَمْرَاءَ
مُخَضْرَمَةٍ، فَقَالَ: هَذَا يَوْمُ النَّحْرِ، وَهَذَا يَوْمُ الْحَجِّ
الْأَكْبَرِ
“Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah
kepada Kami pada hari Nahr di atas seekor unta merah yang ujung
telinganya terpotong. Beliau berucap, ‘Ini adalah hari Nahr dan hari
haji Akbar.’.”[1]
Juga, dalam hadits Ibnu Umar radhiyâllahu ‘anhumâ, beliau bertutur,
وَقَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ النَّحْرِ بَيْنَ الجَمَرَاتِ فِي الحَجَّةِ
الَّتِي حَجَّ بِهَذَا، وَقَالَ: هَذَا يَوْمُ الحَجِّ الأَكْبَرِ
“Pada hari Nahr, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam berhenti antara
pelemparan-pelemparan jamrah pada haji yang beliau berhaji dengan ini.
Beliau bersabda, ‘Ini adalah hari haji Akbar.’.”[2]
Dalam hadits lain, hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu bahwa beliau berkata,
بَعَثَنِي أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ، فِيمَنْ يُؤَذِّنُ يَوْمَ النَّحْرِ بِمِنًى: لاَ يَحُجُّ
بَعْدَ العَامِ مُشْرِكٌ، وَلاَ يَطُوفُ بِالْبَيْتِ عُرْيَانٌ، وَيَوْمُ
الحَجِّ الأَكْبَرِ يَوْمُ النَّحْرِ
“Abu Bakr radhiyallâhu ‘anhu mengutus Saya untuk mengumumkan
kepada orang-orang yang berada di Mina pada hari Nahr, ‘Tidak boleh
seorang musyrik berhaji setelah tahun ini, dan jangan ada seseorang yang
telanjang yang thawaf di Ka’bah, serta haji Akbar adalah hari
Nahr.’.”[3]
Selain itu, di antara makna yang mendukung hari Nahr sebagai haji Akbar adalah keutamaan hari Nahr yang Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam jelaskan. Dari Abdullah bin Qurath radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَعْظَمُ الأَيَّامِ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمُ النَّحْرِ ثُمَّ يَوْمُ الْقَرِّ
“Hari yang paling agung di sisi Allah adalah hari An-Nahr kemudian hari Al-Qarr.” [4]
Dari keterangan-keterangan di atas, tampaklah kekeliruan yang
tersebar pada hari-hari ini di berbagai media bahwa haji, bila hari
‘Arafahnya bertepatan dengan hari Jum’at, dianggap sebagai haji Akbar.
Al-Mubârakfury rahimahullâh berkata, “Telah tersohor di
kalangan orang-orang awam bahwa hari ‘Arafah, jika bertepatan dengan
hari Jum’at, hajinya menjadi haji Akbar, padahal tidak ada dasar
(pijakan) dalam hal tersebut. Betul bahwa Razîn meriwayatkan dari
Thalhah bin ‘Ubaidullah bin Karz secara mursal (bahwa),
أَفْضَلُ الْأَيَّامِ يَوْمُ
عَرَفَةَ وَإِذَا وَافَقَ يَوْمَ جُمُعَةٍ فَهُوَ أَفْضَلُ مِنْ سَبْعِينَ
حَجَّةً فِي غَيْرِ يَوْمِ جُمُعَةٍ
‘Sebaik-baik hari adalah hari ‘Arafah, dan apabila bertepatan (hari
‘Arafah) bertepatan dengan hari Jum’at, itu lebih afdhal daripada tujuh
puluh haji pada selain hari Jum’at.’ Demikian (disebutkan) pada Majma’ Al-Fawâ`id, padahal itu adalah hadits mursal, sedang Saya tidak menemukan sanadnya.”[5]
Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata, “Adapun yang tersohor
melalui lisan orang-orang awam (haji pada hari ‘Arafah bertepatan dengan
Jum’at) senilai 72 haji, hal itu adalah batil dan tidak memiliki asal
dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, tidak pula dari shahabat dan tabi’in. Wallâhu A’lam.”[6]
Hadits yang disebutkan oleh Al-Mubârakfury dari Majma’ Al-Fawâ`id disebutkan pula oleh Ibnu Hajar dan As-Sakhâwy dengan lafazh,
خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ فِيْهِ
الشَّمْسُ يَوْمُ عَرَفَةَ وَافَقَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَهُوَ أَفْضَلُ
مِنَ سَبْعِيْنَ حَجَّةً فِيْ غَيْرِهَا
“Sebaik-baik hari yang matahari terbit pada (hari) itu adalah hari
‘Arafah yang bertepatan dengan hari Jum’at. (Hari) itu lebih baik
daripada tujuh puluh haji pada selain (hari) tersebut.”
Setelah menyebutkan bahwa hadits di atas disebutkan secara marfu’
oleh Razîn, Ibnu Hajar berkata, “Saya tidak mengetahui keadaannya karena
(Razîn) tidak menyebutkan shahabat (perawi hadits) dan siapa saja yang
meriwayatkan (hadits) tersebut.”[7]
Demikian pula penegasan As-Sakhawy dalam Al-Fatawâ Al-Hadîtsiyyah.
Ibnu Nashiruddin Ad-Dimasyqy menyatakan bahwa hadits tersebut batil, tidak sah.[8]
Oleh karena itu, setiap muslim tidaklah diperbolehkan menggunakan
istilah-istilah yang tidak memiliki dasar syariat yang kuat. Apalagi,
menamakan bertepatannya hari ‘Arafah dan hari Jum’at dengan nama haji
Akbar tentu akan membawa kepada kerusakan lain berupa mengganti
penggunaan nama yang disyariatkan. Telah berlalu silang pendapat ulama
tentang makna haji Akbar, tetapi tidak seorang pun yang membawa penamaan
haji Akbar untuk hari ‘Arafah yang bertepatan dengan hari Jum’at.
Kendati demikian, Ibnul Qayyim rahimahullâh juga menyebut sepuluh kelebihan hari ‘Arafah yang bertepatan dengan hari Jum’at:
Pertama, bertemunya dua hari yang merupakan sebaik-baik hari.
Kedua, pada hari itu, terdapat waktu yang dipastikan
mustajabah, yang menurut kebanyakan pendapat ulama adalah pada akhir
waktu setelah Ashar saat seluruh orang yang berada di ‘Arafah berdiri
berdoa dan memohon dengan sangat.
Ketiga, bertepatan dengan hari wuquf Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
Keempat, seluruh kaum muslimin di berbagai belahan
dunia menghadiri khutbah Jum’at atau wuquf, sementara hal itu tidak
terjadi pad waktu lain.
Kelima, hari tersebut bertepatan dengan hari disempurnakannya agama dan disempurnakannya nikmat untuk kaum muslimin.
Keenam, hari Jum’at adalah hari Id, sedang hari
‘Arafah adalah hari Id untuk mereka yang berada di ‘Arafah. Jika hari
‘Arafah bertepatan dengan hari Jum’at, berarti dua hari Id terkumpul.
Ketujuh, hari tersebut bertepatan dengan hari
perkumpulan akbar dan berdirinya manusia pad ahari Kiamat. Oleh karena
itu, keberadaan hari Jum’at adalah untuk mengingat awal permulaan
makhluk dan hari kebangkitan.
Kedelapan, ketaatan-ketaatan untuk kaum
musliminbanyak terjadi pada malam dan hari Jum’at. Tidaklah diragukan
bahwa hari Jum’at keistimewaannya akan semakin bertambah jika bertepatan
dengan hari ‘Arafah.
Kesembilan, hari Jum’at adalah hari penambahan untuk
penduduk surga. Tentu, jika bertepatan dengan hari ‘Arafah, keutamaan,
kekhususan, dan keistimewaannya akan semakin bertambah yang tidak
terdapat pada hari lain.
Kesepuluh, Allah ‘Azza wa Jalla mendekat
kepada orang-orang di ‘Arafah pada sore hari ‘Arafah, kemudian
mempersaksikan bahwa mereka telah diampuni. Kedekatan Allah kepada
makhluk pada hari Jum’at sore yang merupakan waktu mustajabah tentu
lebih membawa mereka agar senantiasa berdoa dan penuh harapan.[9]
Semoga Allah memberi taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua untuk
selalu menapaki jalan yang lurus dan memudahkan Kita semua kepada segala
pintu ketaatan serta menjadikan hari-hari bulan Dzulhijjah ini sebagai
penggugur dosa dan penyebab datangnya rahmat dan ridha Allah. Amin.
Wallâhu A’lam.
[1] Diriwayatkan oleh Ahmad.
[2] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry secara mu’allaq, Abu Dawud, dan Ibnu Mâjah.
[3] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim. Lafazh hadits adalah milik Al-Bukhâry.
[4] Diriwayatkan oleh Ahmad,Abu Dâwud, An-Nasâ`iy, Ibnu Abi ‘Âshim,
Ibnu Khuzaimah,Al-Hâkim, dan Al-Baihaqy, serta dishahihkan oleh
Al-Albâny dalamlrwâ’ul Ghalîl.
[5] Tuhfatul Ahwâdzy 4/27.
[6] Zâdul Ma’âd 1/65.
[7] Fathul Bâry 8/204.
[8] Bacalah seluruh nukilan di atas pada kitab Silsilah Ahâdîts Adh-Dha’îfah no. 207, 1193, dan 3144 karya Syaikh Al-Albâny.
[9] Dibahasakan dari Zâdul Ma’âd 1/60-64.
Sumber : http://dzulqarnain.net/meluruskan-salah-paham-seputar-haji-akbar.html
Sumber : http://dzulqarnain.net/meluruskan-salah-paham-seputar-haji-akbar.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar