Oleh : Muhammad ‘Ashim bin Musthafa
Kebenaran pemahaman dan itikad yang baik merupakan tonggak penting
dalam mengaplikasikan ajaran Islam secara benar. Dua perkara ini harus
seiring-sejalan. Ketika salah satunya tidak terpenuhi, maka tabiat
orang-orang Yahudi -yang tidak mempunya itikad baik di hadapan hukum
Allah Subhanahu wa Ta’ala -, dan penganut Nashâra -yang berjalan tanpa
petunjuk ilmu- akan berkembang di tengah umat. Akibatnya timbullah
kerusakan.
Contoh perihal bahaya dari pemahaman yang tidak lurus ini, dapat
dilihat pada diri ‘Abdur- Rahmaan bin Muljam. Sosok ini telah teracuni
pemikiran Khawaarij. Yaitu satu golongan yang kali pertama keluar dari
jama’atul-muslimîn. Sejarah mencatat kejahatan kaum Khawaarij ini telah
melakukan pembunuhan terhadap Amîrul-Mu`minîn ‘Ali bin Abi Thâlib, yang
juga kemenakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
SIAPAKAH ‘ABDUR-RAHMÂN BIN MULJAM?
Merupakan kekeliruan jika ada yang menganggap ‘Abdur-Rahmân bin Muljam dahulu seorang yang jahat. Sebelumnya, ‘Abdur-Rahmân bin Muljam ini dikenal sebagai ahli ibadah, gemar berpuasa saat siang hari dan menjalankan shalat malam. Namun, pemahamannya tentang agama kurang menguasai.
Merupakan kekeliruan jika ada yang menganggap ‘Abdur-Rahmân bin Muljam dahulu seorang yang jahat. Sebelumnya, ‘Abdur-Rahmân bin Muljam ini dikenal sebagai ahli ibadah, gemar berpuasa saat siang hari dan menjalankan shalat malam. Namun, pemahamannya tentang agama kurang menguasai.
Meski demikian, ia mendapat gelar al-Muqri`. Dia mengajarkan
Al-Qur`ân kepada orang lain. Tentang kemampuannya ini, Khalifah ‘Umar
bin al Khaththab sendiri mengakuinya. Dia pun pernah dikirim Khaliifah
‘Umar ke Mesir untuk memberi pengajaran Al-Qur`ân di sana, untuk
memenuhi permintaan Gubernur Mesir, ‘Amr bin al-‘Aash, karena mereka
sedang membutuhkan seorang qâri.
Dalam surat balasannya, ‘Umar menulis: “Aku telah mengirim kepadamu
seorang yang shâlih, ‘Abdur-Rahmân bin Muljam. Aku merelakan ia bagimu.
Jika telah sampai, muliakanlah ia, dan buatkan sebuah rumah untuknya
sebagai tempat mengajarkan Al-Qur`ân kepada masyarakat”.
Sekian lama ia menjalankan tugasnya sebagai muqri`, sampai akhirnya
benih-benih pemikiran Khawârij mulai berkembang di Mesir, dan berhasil
menyentuh ‘âthifah (perasaan)nya, hingga kemudian memperdayainya.[1]
MERENCANAKAN PEMBUNUHAN TERHADAP ‘ALI BIN ABI THÂLIB [2]
Inilah salah satu keanehan ‘Abdur-Rahmân yang sudah terjangkiti pemikiran Khawârij. Tiga orang penganut paham Khawârij – ‘Abdur-Rahmân bin Muljam al-Himyari, al-Burak bin ‘Abdillah at-Tamîmi dan ‘Amr bin Bakr at-Tamîmi – mereka berkumpul bersama, sambil mengingat-ingat tentang ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu yang telah menghabisi kawan-kawan mereka di perang Nahrawân. Mereka pun berdoa memohon rahmat kebaikan bagi orang-orang yang telah menemui ajalnya itu.
Inilah salah satu keanehan ‘Abdur-Rahmân yang sudah terjangkiti pemikiran Khawârij. Tiga orang penganut paham Khawârij – ‘Abdur-Rahmân bin Muljam al-Himyari, al-Burak bin ‘Abdillah at-Tamîmi dan ‘Amr bin Bakr at-Tamîmi – mereka berkumpul bersama, sambil mengingat-ingat tentang ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu yang telah menghabisi kawan-kawan mereka di perang Nahrawân. Mereka pun berdoa memohon rahmat kebaikan bagi orang-orang yang telah menemui ajalnya itu.
Peristiwa peperangan Nahrawân sangat membekaskan luka mendalam pada
hati mereka. Salah seorang dari mereka berkata: “Apa lagi yang akan kita
perbuat setelah kepergian mereka? Mereka tidak takut terhadap apapun di
jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebaiknya kita mengorbankan jiwa dan
mendatangi orang-orang yang sesat itu [3]. Kita bunuh mereka, sehingga
negeri ini terbebas dari mereka, dan kita pun telah melunasi balas
dendam?”
Akhirnya, mereka merencanakan balas dendam dengan merancang
pembunuhan terhadap tiga orang yang mereka anggap bertanggung jawab atas
peristiwa tersebut. Pembunuhan ini mereka anggap sebagai tangga untuk
mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka sepakat
melakukan pembunuhan terhadap tiga orang itu, yaitu ‘Ali bin Abi Thâlib,
Mu’awiyyah dan ‘Amr bin al ‘Âsh Radhiyallahu ‘anhum, dan mereka berani
mempertaruhkan nyawa untuk mewujudkan rencana keji itu.
Rencana ‘Abdur- Rahmân bin Muljam untuk membunuh ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu kian menguat setelah didorong oleh seorang perempuan.
Dikisahkan, adalah Fithâm nama wanita itu. Kecantikannya yang masyhur
di tengah kaum muslimin telah berhasil merebut hati ‘Abdur-Rahmân bin
Muljam. Hingga ia melupakan misi jahatnya di Kufah, yaitu membunuh
Amirul-Mu`minin ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu ‘anhu. Namun tak
terduga, hasratnya memperistri wanita yang terkenal cantik itu, justru
memicu niatnya yang sempat terlupakan.
Pasalnya, selain permintaan mas kawin yang berupa kekayaan duniawi,
wanita ini juga memasukkan pembunuhan terhadap ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu
sebagai syarat, jika Ibnu Muljam ingin memperistrinya. Syarat pinangan
yang aneh ini yang kemudian mengingatkan Ibnu Muljam dengan niat jahat
itu, dan ia bertambah semangatnya untuk segera mewujudkan niat buruknya.
Katanya,”Ya, ia adalah bagianku. Demi Allah, tidaklah aku datang ke
tempat ini kecuali dengan niat untuk membunuh ‘Ali”. Syarat ini
terpenuhi dan pernikahan pun dilaksanakan. Semenjak itu, sang wanita ini
selalu membakar semangat suaminya untuk merealisasikan niatnya. Bahkan
ia memberi bantuan kepada Ibnu Muljam seorang lelaki yang bernama Wardân
untuk mewujudkan rencana jahat itu.
Setelah itu, Ibnu Muljam pun mengajak seseorang yang Syabiib bin
Najdah al Asyja’i. Katanya,”Maukah engkau memperoleh kemuliaan dunia dan
akhirat?”
Tetapi, begitu mendengar yang dimaksud ialah membunuh ‘Ali
Radhiyallahu ‘anhu, maka Syabîb menampiknya. Karena ia mengetahui, ‘Ali
Radhiyallahu ‘anhu memiliki jasa yang sangat besar bagi Islam dan kaum
muslimin, dan ia memiliki kedekatan dalam hal kekerabatan dengan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
.
Melihat penolakan ini, Ibnu Muljam tak kalah cerdik. Dengan agresifitasnya, ia membakar emosi Syabîb dengan menyebut kematian orang-orang Khawarij di tangan ‘Ali. Yang akhirnya, ia berhasil menjinakkan hati Syabîb. Padahal Khalifah ‘Ali bin Thâlib -pada masa itu- ialah orang yang paling tekun beribadah kepada Allah Azza wa Jalla, paling zuhud terhadap dunia, paling berilmu dan paling bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla.
.
Melihat penolakan ini, Ibnu Muljam tak kalah cerdik. Dengan agresifitasnya, ia membakar emosi Syabîb dengan menyebut kematian orang-orang Khawarij di tangan ‘Ali. Yang akhirnya, ia berhasil menjinakkan hati Syabîb. Padahal Khalifah ‘Ali bin Thâlib -pada masa itu- ialah orang yang paling tekun beribadah kepada Allah Azza wa Jalla, paling zuhud terhadap dunia, paling berilmu dan paling bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla.
Mereka bertiga kemudian bergerak melancarkan niatnya pada malam 17
Ramadhan 41 H . Hari yang sudah diputuskan oleh Ibnu Muljam, al-Burk dan
‘Amr bin Bakr untuk menyudahi nyawa tiga orang sahabat Rasulullah,
yaitu ‘Ali, Mu’awiyyah, dan Amr bin al-‘Âsh Radhiyallahu ‘anhum.
Begitu waktu subuh tiba, sebagaimana biasa Amirul-Mu`minin ‘Ali bin
Thâlib keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat Subuh dan
membangunkan manusia. Saat itulah pedang Khawarij yang beracun
menciderai ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu. Ketika Ibnu Muljam menyabetkan
pedangnya pada bagian pelipis ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu, ia berseru:
“Tidak ada hukum kecuali hukum Allah, bukan milikmu atau orang-orangmu
(wahai ‘Ali),” lantas ia membaca ayat :
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena
mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada
hamba-hamba-Nya”. [al Baqarah/2:207].[4]
Mendapat serangan ini, Amirul-Mu`minin berteriak meminta tolong. Dan
akhirnya Ibnu Muljam berhasil ditangkap hidup-hidup. Adapun Wardân, ia
langsung terbunuh. Sedangkan Syabîb berhasil meloloskan diri.
AKHIR KEHIDUPAN ‘ABDUR-RAHMAAN BIN MULJAM
Ketika Amirul-Mu`minin ‘Ali bin Thâlib Radhiyallahu ‘anhu dipastikan meninggal karena serangan Ibnu Muljam, maka diputuskanlah hukuman mati bagi Ibnu Muljam. Hukuman ini diawali dengan memotong kedua kaki dan tangannya dan menusuk dua matanya, kemudian dilanjutkan dengan membakar jasadnya.
Ketika Amirul-Mu`minin ‘Ali bin Thâlib Radhiyallahu ‘anhu dipastikan meninggal karena serangan Ibnu Muljam, maka diputuskanlah hukuman mati bagi Ibnu Muljam. Hukuman ini diawali dengan memotong kedua kaki dan tangannya dan menusuk dua matanya, kemudian dilanjutkan dengan membakar jasadnya.
Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata tentang Ibnu Muljam:
“Sebelumnya, ia adalah seorang ahli ibadah, taat kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Akan tetapi, akhir kehidupannya ditutup dengan kejelekan
(su`ul khâtimah). Dia membunuh Amirul-Mu’minin ‘Ali Radhiyallahu ‘anhu
dengan alasan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui
tetesan darahnya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi ampunan dan
keselamatan bagi kita”.[5]
Berbeda dengan anggapan kalangan Khawârij. Di tengah mereka,
‘Abdur-Rahmân bin Muljam ini dielu-elukan bak pahlawan. Dia mendapatkan
pujian dan sanjungan. Di antaranya keluar dari ‘Imrân bin Haththân.
Orang ini, sebelumnya dikenal sebagai ahli ilmu dan ahli ibadah. Namun,
perkawinannya dengan seorang wanita yang memiliki pemikiran Khawârij,
menjadikannya berubah secara drastis. Dia mengikuti pemahaman istrinya.
Dia merangkai bait-bait sya’ir sebagai pujian yang ditujukan kepada
‘Abdur-Rahmân bin Muljam:
Oh, sebuah sabetan dari orang bertakwa, tiada yang ia inginkan
selain untuk menggapai keridhaan di sisi Dzat Pemilik ‘Arsyi
Suatu waktu akan kusebut namanya, dan aku meyakininya
(sebagai) insan yang penuh timbangan (kebaikannya) di sisi Allah.[6]
selain untuk menggapai keridhaan di sisi Dzat Pemilik ‘Arsyi
Suatu waktu akan kusebut namanya, dan aku meyakininya
(sebagai) insan yang penuh timbangan (kebaikannya) di sisi Allah.[6]
Pujian ini tentu merupakan perbuatan ghuluw (berlebih-lebihan),
sehingga dapat menyeret seseorang menjadi keliru dalam memandang
kebatilan hingga terlihat sebagai kebenaran di matanya. Na’ûdzu billahi
min dzâlik. Golongan lain yang juga memberi sanjungan kepada pembunuh
‘Ali Radhiyallahu ‘anhu, yaitu golongan Nushairiyyah. Konon katanya,
karena Ibnu Muljam telah melepaskan “ruh ilâhi” dari tanah.[7]
BEBERAPA PELAJARAN DARI KISAH DI ATAS
1. Pemahaman yang benar dalam mengaplikasikan Islam merupakan keharusan bagi seorang muslim. Dalam hal ini, para sahabat merupakan generasi Islam pertama, yang pastinya paling memahami Islam. Mereka mereguknya langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
1. Pemahaman yang benar dalam mengaplikasikan Islam merupakan keharusan bagi seorang muslim. Dalam hal ini, para sahabat merupakan generasi Islam pertama, yang pastinya paling memahami Islam. Mereka mereguknya langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketika muncul pergolakan yang disulut kaum Khawaarij, tidak ada satu
pun dari sahabat yang merapat ke barisan mereka. Pemahaman-pemahaman
terhadap Islam yang tidak mengacu kepada para sahabat -sebagai generasi
pertama umat Islam- hanya akan berakhir dengan kekelaman. Motif mereka
sesat, karena beranggapan pembunuhan ini sebagai ibadah untuk
mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Alasan demikian tentu
menjatuhkan citra Islam, dan menjadi ternoda karenanya. Hal ini bisa
menimpa siapa pun yang berbuat tanpa dasar ilmu, tanpa pemahaman yang
lurus, dan hanya mengandalkan perasaan atau hawa nafsu semata.
2. Kebodohan itu berbahaya, lantaran menyebabkan ketidakjelasan
barometer syar’i bagi seseorang, sehingga membuat kelemahan dalam
tashawwur (pendeskripsian) dalam memandang suatu masalah.[8]
3. Bahaya teman dekat (istri, suami) yang berpemikiran buruk atau menyimpang. Wallahu a’lam
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03//Tahun XII/1429H/2008M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Nukilan dari Al Ghuluww, Mazhâhiruhu, Asbâbuhu, ‘Ilâjuhu, Muhammad bin Nâshir al ‘Uraini, Pengantar: Syaikh Shâlih al Fauzân, Tanpa Penerbit, Cetakan I, Tahun 1426 H.
[2]. Lihat al-Bidayah wan-Nihâyah, Imam Ibnu Katsîr rahimahullah, Maktabah ash-Shafâ, Cetakan I, Tahun 1423H-2003 M (7/266-268)
[3]. Maksudnya ialah ‘Ali bin Abi Thâlib, Mu’awiyyah dan ‘Amr bin al-‘Âsh Radhiyallahu ‘anhum.
[4]. Ibnu Muljam mengira dirinya masuk dalam konteks ayat yang ia baca itu, Pen.).
[5]. Mizânul-I’tidâl, Abu ‘Abdillah Muhammad adz-Dzahabi, Darul-Ma’rifah, Beirut, tanpa tahun, 2/592.
[6]. Al-Farqu bainal-Firaq, ‘Abdul-Qâhir al-Baghdâdi, Darul-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun, hlm. 62-63.
[7]. Al-Mausû’atul-Muyassaratu fil Ad-yâni wal-Mazhâhibi wal-Ahzâbil-Mu’âshirah, Cetakan V, Tahun 1424 H / 2003 M, 1/392.
[8]. Asbâbu Ziyâdatil-‘Imân wa Nuqshânihi, Prof Dr. ‘Abdur-Razzâq al-‘Abbâd, Ghirâs, Cetakan III, Tahun 2003M, hlm. 62.
_______
Footnote
[1]. Nukilan dari Al Ghuluww, Mazhâhiruhu, Asbâbuhu, ‘Ilâjuhu, Muhammad bin Nâshir al ‘Uraini, Pengantar: Syaikh Shâlih al Fauzân, Tanpa Penerbit, Cetakan I, Tahun 1426 H.
[2]. Lihat al-Bidayah wan-Nihâyah, Imam Ibnu Katsîr rahimahullah, Maktabah ash-Shafâ, Cetakan I, Tahun 1423H-2003 M (7/266-268)
[3]. Maksudnya ialah ‘Ali bin Abi Thâlib, Mu’awiyyah dan ‘Amr bin al-‘Âsh Radhiyallahu ‘anhum.
[4]. Ibnu Muljam mengira dirinya masuk dalam konteks ayat yang ia baca itu, Pen.).
[5]. Mizânul-I’tidâl, Abu ‘Abdillah Muhammad adz-Dzahabi, Darul-Ma’rifah, Beirut, tanpa tahun, 2/592.
[6]. Al-Farqu bainal-Firaq, ‘Abdul-Qâhir al-Baghdâdi, Darul-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun, hlm. 62-63.
[7]. Al-Mausû’atul-Muyassaratu fil Ad-yâni wal-Mazhâhibi wal-Ahzâbil-Mu’âshirah, Cetakan V, Tahun 1424 H / 2003 M, 1/392.
[8]. Asbâbu Ziyâdatil-‘Imân wa Nuqshânihi, Prof Dr. ‘Abdur-Razzâq al-‘Abbâd, Ghirâs, Cetakan III, Tahun 2003M, hlm. 62.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar