Oleh : Al Ustadz Muhammad As Sewwed
Bukan riwayat hidup beliau yang akan saya tulis dalam kertas ini.
Sudah terlalu banyak orang yang menuliskannya dengan indah, bahkan
kadang berlebihan. Bukan pula perhitungan amal dan perbandingan antara
kebaikan dan kejelekan yang akan saya terangkan karena perhitungan amal
dan hisab akan Allah tegakkan di hari perhitungan kelak dengan teliti
dan akan Allah balas dengan seadil-adilnya.
Saya hanya menukilkan nasihat untuk seluruh kaum muslimin agar
berhati-hati dari pemikiran Sayid Quthb yang berbahaya dan telah
dituangkan kepada kaum muslimin dengan berbagai macam bahasa. Pemikiran
beliau ini laku keras di pasaran karena kekaguman kaum muslimin kepada
gerakan, keberanian dan digantungnya beliau oleh tirani Mesir. Sehingga
ketika mereka mendengar peringatan Ahlus Sunnah dari bahaya pemikiran
Sayid Quthb, mereka tersentak kaget. Jantung mereka seakan berhenti
sesaat. “Seorang pejuang Islam yang mati syahid di tiang gantungan
tirani Mesir dikatakan sesat?” Seakan-akan orang yang mati di tiang
gantungan tidak mungkin memiliki penyelewengan dan bahaya pemikiran.
Maka untuk Allah ‘Azza wa Jalla, kemudian untuk kebaikan dan
keselamatan manhaj kaum muslimin serta untuk kebaikan Sayid Quthb
sendiri yaitu agar penyelewengan dan kerancuan pemikirannya tidak
diikuti oleh orang yang lebih banyak yang berarti menambah dosanya, kami
akan jelaskan beberapa pemikiran beliau yang sangat berbahaya khususnya
dalam masalah pengkafiran kaum muslimin. Semoga dapat bermanfaat bagi
kita dan dapat berhati-hati darinya. Untuk membongkar kesesatan
pemikiran Sayid Quthb, maka saya memakai kitab Adlwa’ Islamiyah ‘ala
Aqidah Sayid Quthb oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafidhahullah
sebagai rujukan utamanya.
KERANCUAN PEMAHAMAN SAYID TERHADAP “LA ILAAHA ILLALLAH”
Pemikiran takfir Sayid Quthb merupakan akibat dari akidah dan keyakinan yang salah terhadap makna kalimat tauhid laa ilaaha illallah. Dia menafsirkan kata ilah dengan al-hakim (yang menghukumi). Penafsiran ini persis seperti pemikiran Abul A’la Al-Maududi yang ternyata mengambil pemahaman ini dari seorang ahli filsafat barat, yaitu Haigle dalam bukunya Al-Hukumah Al-Kulliyah (Pemerintahan yang Menyeluruh). Syaikh Nadzir Al-Kasymiri (seorang ulama salaf di India) berkata: “Syaikh Maududi menampilkan pemikiran filsafat barat dari buku Al-Hukumah Al-Kulliyah dengan dibungkus pemikiran Islam.” (Adlwa’ Islamiyah hal. 59)
Pemikiran takfir Sayid Quthb merupakan akibat dari akidah dan keyakinan yang salah terhadap makna kalimat tauhid laa ilaaha illallah. Dia menafsirkan kata ilah dengan al-hakim (yang menghukumi). Penafsiran ini persis seperti pemikiran Abul A’la Al-Maududi yang ternyata mengambil pemahaman ini dari seorang ahli filsafat barat, yaitu Haigle dalam bukunya Al-Hukumah Al-Kulliyah (Pemerintahan yang Menyeluruh). Syaikh Nadzir Al-Kasymiri (seorang ulama salaf di India) berkata: “Syaikh Maududi menampilkan pemikiran filsafat barat dari buku Al-Hukumah Al-Kulliyah dengan dibungkus pemikiran Islam.” (Adlwa’ Islamiyah hal. 59)
Sebagai contoh, kita nukilkan di sini terjemahan ucapan Sayid dalam
bukunya Al-Adalah Al-Ijtima’iyah (Keadilan Sosial) hal. 182 cet. 12:
“Sesungguhnya perkara yang menyakinkan dalam Dien ini adalah bahwasanya
tidak akan tegak di hati ini akidah dan tidak pula dalam kehidupan
dunia, kecuali dengan mempersaksikan bahwasanya laa ilaha illallah,
yaitu laa hakimiyata illa lillah (tidak ada kehakiman kecuali untuk
Allah), hakimiyah yang berujud qadla dan qadar-Nya sebagaimana terwujud
dalam syariat dan perintahnya.”
Demikian pula ucapannya dalam menafsirkan surat Al-Qashash:
Huwallahulladzi la ilaha illahuwa. Dia berkata: “Yaitu tidak ada sekutu
bagi-Nya dalam penciptaan dan ikhtiar.” (Fi Dhilalil Qur`an 5/2707)
Bahkan lebih jelas lagi dia berkata dalam tafsir surat An-Nas bahwa
Al-ilah adalah al-musta’li, al-mustauli, al-mutasallith. (Fi Dhilal
6/4010) yang semuanya itu bermakna kurang lebih sama yaitu “Yang
Menguasai”.
Demikianlah Sayid mempersempit makna ilah hanya kepada rububiyah dan
melalaikan makna yang hakiki dari kata ilah yang mengandung makna
uluhiyah yaitu “yang berhak untuk diibadahi”. Penafsiran Sayid ini jelas
bertentangan dengan penafsiran para ulama Ahlus Sunnah.
Ibnu Jarir berkata dalam menafsirkan ayat dalam surat Al-Qashash di atas: “Allah yang Maha Tinggi sebutannya, Rabb kamu –wahai Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam— adalah yang berhak untuk diibadahi yang tidak layak peribadatan itu diberikan kecuali kepadaNya dan tidak ada yang boleh diibadahi kecuali Dia.” (Tafsir At-Thabari 20/102)
Ibnu Jarir berkata dalam menafsirkan ayat dalam surat Al-Qashash di atas: “Allah yang Maha Tinggi sebutannya, Rabb kamu –wahai Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam— adalah yang berhak untuk diibadahi yang tidak layak peribadatan itu diberikan kecuali kepadaNya dan tidak ada yang boleh diibadahi kecuali Dia.” (Tafsir At-Thabari 20/102)
Demikian pula dalam Tafsir Ibnu Katsir dikatakan: “Yaitu yang
menyendiri dengan uluhiyah dan tidak ada yang berhak diibadahi kecuali
Dia. Sebagaimana tidak ada penguasa yang menciptakan apa yang
dikehendakinya dan memilih sekehendaknya kecuali Dia.” (Tafsir Ibnu
Katsir 3/398)
Demikianlah para ulama Ahlus Sunnah memahami kalimat tauhid seperti pemahaman para pendahulunya dari kalangan salafus shalih, yaitu tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah (uluhiyah) yang terkandung di dalamnya makna rububiyah dan asma wa sifat. Adapun pemahaman Sayid bahwa al-ilah adalah al-hakim atau al-musta’li, al-mustauli dan al-mutasallith (penguasa), maka perlu dipertanyakan dari mana dia mendapatkan pemahaman seperti ini. Siapa yang memahami demikian dari kalangan shahabat atau para ulama salaf?
Demikianlah para ulama Ahlus Sunnah memahami kalimat tauhid seperti pemahaman para pendahulunya dari kalangan salafus shalih, yaitu tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah (uluhiyah) yang terkandung di dalamnya makna rububiyah dan asma wa sifat. Adapun pemahaman Sayid bahwa al-ilah adalah al-hakim atau al-musta’li, al-mustauli dan al-mutasallith (penguasa), maka perlu dipertanyakan dari mana dia mendapatkan pemahaman seperti ini. Siapa yang memahami demikian dari kalangan shahabat atau para ulama salaf?
Pemahaman ini jelas menyimpang karena Ahlus Sunnah secara umum telah memahami bahwa tauhid rububiyah –yaitu mengakui bahwa Allah penguasa dan pencipta— telah diakui oleh sebagian besar orang-orang musyrik jahiliyah.
Allah berfirman tentang mereka:
قُلْ لِمَنِ الأَرْضُ وَمَنْ فِيهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلاَ تَذَكَّرُونَ قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ أَفَلاَ تَتَّقُونَ قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلاَ يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ قُلْ فَأَنَّى تُسْحَرُونَ
Katakanlah: ‘Kepunyaan siapakah bumi ini dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah: ‘Maka apakah kamu tidak ingat?’ Katakanlah: ‘Siapa pemilik langit yang tujuh dan pemilik ‘Arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah: ‘Maka apakah kamu tidak bertakwa?’ Katakanlah: ‘Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab: ‘Kepunyaan Allah.’ Katakanlah: ‘(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?’ (Al-Mukminun: 84-89)
Lupakah Sayid tentang ayat-ayat Allah yang menjelaskan makna kalimat
tauhid dengan tauhidul ibadah, mengesakan Allah dalam beribadah
kepada-Nya dan tidak beribadah kepada selain-Nya? Allah berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُونِ
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: ‘Bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.’ (Al-Anbiya: 25)
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُونِ
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: ‘Bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.’ (Al-Anbiya: 25)
Kita sama-sama mengetahui betapa luasnya makna ibadah yang mencakup
keyakinan, kecintaan, ketaatan, pengabdian, pengagungan, ketundukan,
kekhusyu’an, ketakutan, harapan dan juga mencakup amalan badan seperti
sujud, ruku’, thawaf, doa, istighatsah, isti’anah, serta mencakup
puji-pujian lisan seperti tasbih, tahmid, tahlil, takbir dan lain-lain.
Semua itu dilakukan oleh hamba karena rasa butuh hamba kepada Allah
dalam rangka (menghambakan diri) dan beribadah kepada Allah. Tidak
diberikan jenis-jenis peribadatan ini kecuali kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
Anehnya Sayid Quthb membawa nama Arab dan bahasa Arab dalam
“pemahaman”nya itu. Dia berkata: “…bahwasanya mereka (orang-orang Arab)
dahulu telah mengetahui dengan bahasa mereka apa makna ilah dan makna
laa ilaha illallah.… Mereka mengetahui bahwa uluhiyah adalah hakimiyah
yang paling tinggi.” (Fi Dhilal 2/1005).
Dia juga berkata pada halaman berikutnya: “Laa ilaha illallah
sebagaimana yang dipahami oleh orang Arab yang mengerti apa-apa yang
ditunjukkan oleh bahasanya yaitu: Tidak ada hakimiyah kecuali untuk
Allah dan tidak ada syariat kecuali dari Allah serta tidak ada kekuasaan
seseorang atas seseorang karena kekuasaan seluruhnya milik Allah.” (Fi
Dhilal 2/1006).
Syaikh Rabi’ dalam membantah ucapan ini berkata: “Sesungguhnya apa
yang dinisbahkan oleh Sayid kepada bahasa Arab yaitu tentang makna
uluhiyah adalah hakimiyah, tidak dikenal oleh orang Arab dan tidak pula
dikenal oleh pakar-pakar bahasa Arab ataupun selain mereka. Bahkan
al-ilah menurut orang-orang arab adalah al-ma’bud (yang diibadahi) yang
para hamba mendekatkan diri kepadaNya dengan ibadah disertai ketundukan,
penghinaan diri, kecintaan dan ketakutan, … Bukan bermakna sesuatu yang
mereka berhukum kepadanya.” (hal. 63)
Orang-orang Arab jahiliyah dahulu memiliki tokoh-tokoh dan pemimpin-pemimpin yang mereka berhukum kepadanya, tetapi mereka tidak menamakannya dengan ILAH (sesembahan). Bahkan sebaliknya, mereka memiliki berhala-berhala yang mereka namakan ILAH-ILAH. Seperti LATTA yang berbentuk kuburan. UZZA yang berbentuk tempat keramat, serta patung-patung lainnya yang mereka bertawasul, berkurban dan beribadah kepadanya, tetapi mereka tidak menamakan perbuatan mereka dengan berhukum, bertahkim, atau HAKIMIYAH!
Demikian pula di masa mereka terdapat raja-raja di timur dan di barat, tetapi mereka tidak menamakannya dengan ILAH.
Ingat! Yang kita bantah di sini bukan kewajiban bertahkim kepada
Allah, melainkan pemahaman sempit Sayid dengan mengatasnamakan bahasa
Arab dan orang-orang Arab. Padahal sama sekali tidak dikenal dalam
bahasa Arab bahwa makna ILAH adalah HAKIM.
KABURNYA PEMAHAMAN SAYID TERHADAP RUBUBIYAH DAN ULUHIYAH
Kadang-kadang Sayid menafsirkan makna uluhiyah dengan rububiyah. Terkadang pula sebaliknya. Sayid berkata dalam tafsir Surat Ibrahim ayat 52: “Makna al-ilah adalah Dzat yang berhak untuk menjadi RABB yaitu yang menghakimi, Yang memiliki, Yang berbuat, Yang membuat syariat dan Yang mengarahkan.” (Fi Dhilal 4/2114)
Kadang-kadang Sayid menafsirkan makna uluhiyah dengan rububiyah. Terkadang pula sebaliknya. Sayid berkata dalam tafsir Surat Ibrahim ayat 52: “Makna al-ilah adalah Dzat yang berhak untuk menjadi RABB yaitu yang menghakimi, Yang memiliki, Yang berbuat, Yang membuat syariat dan Yang mengarahkan.” (Fi Dhilal 4/2114)
Bahkan dia berkata bahwa pertikaian antara Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan kaum musyrikin jahiliyah adalah dalam masalah
rububiyah. Berbeda dengan apa yang disampaikan oleh seluruh ulama ahlus
sunnah. Dia mengatakan: “…perkara uluhiyah sedikit sekali menjadi bahan
pertikaian pada kebanyakan orang-orang jahiliyah, khususnya jahiliyah
Arab. Hanya saja yang selalu menjadi bahan pertikaian adalah masalah
rububiyah. Yaitu masalah penerapan Dien pada kehidupan dunia ini, berupa
amal nyata yang mempengaruhi kehidupan manusia.” (Fi Dhilal)
Dari ucapan ini terlihat bahwa Sayid tidak dapat membedakan antara
uluhiyah dan rububiyah. Kemudian apakah akibat dari kerancuan pemahaman
Sayid terhadap rububiyah dan uluhiyah dan sempitnya pandangan Sayid
terhadap laa ilaha illallah ini?!
PENGKAFIRAN SAYID TERHADAP KAUM MUSLIMIN
Akibatnya sungguh mengerikan! Dia mengkafirkan seluruh kaum muslimin dan umat Islam secara tersirat dan tersurat dan meremehkan kesyirikan dalam masalah ibadah. Perhatikanlah ucapannya: “…termasuk dalam lingkup masyarakat jahiliyah adalah masyarakat yang mengaku dirinya muslim. Masyarakat tersebut masuk ke dalam lingkungan ini bukan karena meyakini uluhiyah kepada selain Allah dan tidak pula karena menghadapkan syiar-syiar ibadah kepada selain Allah, tetapi mereka masuk ke dalam masyarakat jahiliyah ini karena tidak beragama dengan ‘peribadatan’ kepada Allah dalam undang-undang kehidupan mereka. Maka yang demikian –walaupun mereka tidak meyakini uluhiyah seorang pun kecuali Allah— tetapi mereka telah memberikan yang paling istimewa dari keistimewaan-keistimewaan ketuhanan kepada selain Allah dan beragama dengan HAKIMIYAH kepada selain Allah….” (Fi Dhilal)
Akibatnya sungguh mengerikan! Dia mengkafirkan seluruh kaum muslimin dan umat Islam secara tersirat dan tersurat dan meremehkan kesyirikan dalam masalah ibadah. Perhatikanlah ucapannya: “…termasuk dalam lingkup masyarakat jahiliyah adalah masyarakat yang mengaku dirinya muslim. Masyarakat tersebut masuk ke dalam lingkungan ini bukan karena meyakini uluhiyah kepada selain Allah dan tidak pula karena menghadapkan syiar-syiar ibadah kepada selain Allah, tetapi mereka masuk ke dalam masyarakat jahiliyah ini karena tidak beragama dengan ‘peribadatan’ kepada Allah dalam undang-undang kehidupan mereka. Maka yang demikian –walaupun mereka tidak meyakini uluhiyah seorang pun kecuali Allah— tetapi mereka telah memberikan yang paling istimewa dari keistimewaan-keistimewaan ketuhanan kepada selain Allah dan beragama dengan HAKIMIYAH kepada selain Allah….” (Fi Dhilal)
Tampak dari ucapannya bahwa masyarakat Islam hanya pengakuan, padahal
sebenarnya mereka adalah masyarakat jahiliyah. Terkesan pula bahwa
memberikan syiar-syiar ibadah kepada selain Allah adalah masalah sepele,
bahkan sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali
bahwa hampir pada semua tulisan Sayid dalam Fi Dhilalil Qur`an dan yang
lainnya tidak memperdulikan para penyembah kubur, orang-orang yang
melampaui batas terhadap ahlul bait dan para wali, serta orang-orang
yang memberikan sifat uluhiyah dan ubudiyah kepada mereka. Dia tidak
menghukumi manusia kecuali dengan penyelisihannya terhadap hakimiyah.
Dan penafsiran Sayid terhadap la ilaha illallah tidak keluar dari
HAKIMIYAH, KEKUASAAN dan KEPEMIMPINAN semata.
Juga ucapan Sayid ketika menafsirkan surat Yusuf ayat 106:
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلاَّ وَهُمْ مُشْرِكُونَ
Tidaklah kebanyakan mereka beriman kepada Allah kecuali dalam keadaan musyrik. (Yusuf: 106)
Setelah Sayid menyebutkan syirik yang samar dia mengatakan: “Dan di
sana ada syirik yang tampak jelas yaitu tunduk kepada selain Allah dalam
salah satu urusan kehidupan dan tunduk kepada aturan syariat yang
dijadikan (oleh manusia) sebagai hukum. Hal ini merupakan asas dalam
kesyirikan yang tidak bisa dibantah. Demikian pula tunduk kepada
adat-adat kebiasaan seperti mengadakan perayaan-perayaan, musim-musim
yang diatur oleh manusia padahal tidak disyariatkan oleh Allah, tunduk
kepada aturan pakaian yang menyelisihi apa yang diperintahkan oleh Allah
untuk ditutupi dan membuka aurat-aurat yang syariat Allah telah
menetapkan untuk ditutup[1]. Urusan seperti ini lebih dari sekedar
pelanggaran dan dosa penyelisihan syariat, karena urusan itu merupakan
ketaatan dan ketundukan kepada pemahaman yang umum pada masyarakat
berupa ciptaan hamba dan meninggalkan perkara jelas yang muncul dari
penguasa para hamba….
Sesungguhnya ketika itu bukan lagi dia sebagai dosa melainkan
pensyariatan karena yang demikian merupakan ketundukan kepada selain
Allah dalam perkara yang menyelisihi perintah Allah….” (Fi Dhilal
4/2023)
Dalam ucapan Sayid di atas terdapat dua bahaya besar: Pertama,
pengkafiran kaum muslimin karena dosa-dosa seperti mengikuti adat
kebiasaan, berpakaian yang menyelisihi syariat dan lain-lain. Kedua,
penafsiran Al-Qur`an tidak seperti apa yang dikehendaki Allah, khususnya
dalam masalah kesyirikan.
Hal ini terjadi karena Sayid bersikap ghuluw pada masalah hakimiyah
sampai-sampai dia berkata: “Sesungguhnya kesyirikian mereka (jahiliyah)
yang asasi bukan dalam keyakinan tetapi pada masalah hakimiyah.” (Fi
Dhilal 3/1492)
Sungguh aneh pemahaman Sayid ini. Bagaimana kira-kira dia menghukumi
raja Najasyi yang masuk Islam dengan keyakinannya dan belum sempat
mempraktekkan hukum-hukum Islam dan belum menerapkan al-hakimiyah di
negerinya? Kalau menurut pemahaman Sayid berarti dia tetap kafir karena
–menurutnya— kesyirikan yang hakiki adalah pada penerapan hakimiyah dan
bukan keyakinan!
Adapun pemahaman Ahlus Sunnah adalah pemahaman Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda kepada para shahabat ketika
mendengar Raja Najasyi meninggal:
قَدْ تُوُفِّيَ الْيَوْمَ رَجُلٌ صَالِحٌ مِنَ الْحَبَشَةِ فَهَلُمَّ فَصَلُّوْا عَلَيْهِ. (رواه البخاري)
Telah meninggal hari ini seorang yang shalih dari Habasyah. Marilah kemari! Shalatkanlah dia! (HR. Bukhari dengan Fathul Bari 3/1320)
قَدْ تُوُفِّيَ الْيَوْمَ رَجُلٌ صَالِحٌ مِنَ الْحَبَشَةِ فَهَلُمَّ فَصَلُّوْا عَلَيْهِ. (رواه البخاري)
Telah meninggal hari ini seorang yang shalih dari Habasyah. Marilah kemari! Shalatkanlah dia! (HR. Bukhari dengan Fathul Bari 3/1320)
Bagaimana pendapat anda kalau raja Najasyi menerapkan hakimiyah
tetapi tidak meyakini aqidah tauhid dan beribadah kepada
kuburan-kuburan? Apakah Rasulullah akan menganggap dia sebagai muslim?!
ANGGAPAN SAYID BAHWA UMAT ISLAM TELAH LENYAP
Saudaraku kaum muslimin, sesungguhnya Sayid Quthb tidak menganggap keberadaan kita sebagai muslimin. Dia menganggap umat Islam telah lenyap dengan lenyapnya kekhilafahan! Lihatlah dia berkata dalam bukunya Hadlirul Islam wa Mustaqbaluh (Islam kini dan esok): “Kami mengajak untuk mengembalikan kehidupan yang islami dalam masyarakat yang islami dengan hukum aqidah Islam dan pandangan yang islami, sebagaimana dihukumi pula oleh syariat Islam dan aturan yang islami. Kita telah mengetahui bahwa kehidupan Islam seperti ini telah berhenti sejak lama di seluruh permukaan bumi. Dan keberadaan Islam pun telah berhenti….”
Saudaraku kaum muslimin, sesungguhnya Sayid Quthb tidak menganggap keberadaan kita sebagai muslimin. Dia menganggap umat Islam telah lenyap dengan lenyapnya kekhilafahan! Lihatlah dia berkata dalam bukunya Hadlirul Islam wa Mustaqbaluh (Islam kini dan esok): “Kami mengajak untuk mengembalikan kehidupan yang islami dalam masyarakat yang islami dengan hukum aqidah Islam dan pandangan yang islami, sebagaimana dihukumi pula oleh syariat Islam dan aturan yang islami. Kita telah mengetahui bahwa kehidupan Islam seperti ini telah berhenti sejak lama di seluruh permukaan bumi. Dan keberadaan Islam pun telah berhenti….”
Tenanglah sebentar! Jangan tergesa-gesa menafsirkan dengan tafsiran
pembelaan, karena Sayid akan berkata lebih jelas lagi, yaitu: “…kami
menampakkan kenyataan yang terakhir ini walaupun akan menyebabkan
munculnya benturan keras dan keputus asaan dari orang-orang yang masih
tetap menginginkan untuk menjadi muslimin.”
Lihatlah dia menyebut kaum muslimin dengan ungkapan: “Orang-orang yang ingin menjadi muslimin!”
Ucapan yang hampir sama ia ucapkan pula dalam bukunya Al-Adalah
Al-Ijtima’iyah, setelah dia membawakan ayat-ayat tentang hakimiyah:
“Ketika kita memperhatikan seluruh permukaan bumi hari ini, di bawah
cahaya ketetapan ilahi terhadap pemahaman Dien ini, kita tidak
mendapatkan keberadaan Dien ini…. Sesungguhnya keberadaan Dien telah
lenyap sejak kelompok terakhir dari kaum muslimin melepaskan pengesaan
Allah dalam hakimiyah dalam kehidupan manusia. Yang demikian adalah
ketika mereka meninggalkan berhukum dengan syariat Allah semata dalam
segala aspek kehidupan.
Kita harus mengakui kenyataan pahit ini dan harus menampakkannya.
Janganlah kita khawatir munculnya “putus harapan” dalam hati-hati
kebanyakan orang-orang yang suka untuk menjadi muslimin. Mereka
seharusnya meyakini bagaimana mereka dapat menjadi muslimin.
Sesungguhnya musuh-musuh Dien ini telah menjalankan usaha sejak
beberapa abad dan masih tetap melaksanakan usaha-usaha maksimal yang
menipu dan jahat untuk merampas kehendak kebanyakan orang yang ingin
menjadi muslimin?” (Al-Adalah hal. 183-184)
Di sini terlihat pemikiran-pemikiran Sayid yang berbahaya di antaranya anggapan beliau bahwa:
1. Kehidupan Islam telah tiada.
2. Bahkan wujud Islam telah berhenti.
3. Anggapan bahwa kaum muslimin adalah orang-orang kafir jahiliyah yang menginginkan Islam.
4. Inti Islam yang hakiki adalah tauhid hakimiyah.
5. Dia mengharuskan dan menegaskan untuk mengumumkan pengkafiran umat Islam.
2. Bahkan wujud Islam telah berhenti.
3. Anggapan bahwa kaum muslimin adalah orang-orang kafir jahiliyah yang menginginkan Islam.
4. Inti Islam yang hakiki adalah tauhid hakimiyah.
5. Dia mengharuskan dan menegaskan untuk mengumumkan pengkafiran umat Islam.
Adakah pengkafiran yang lebih jelas daripada pengkafiran Sayid Quthb
ini?! Mana yang dinamakan pengkafiran kalau ucapan seperti ini tidak
dinamakan pengkafiran? Perhatikanlah wahai orang-orang yang memiliki
pandangan!
UMAT ISLAM TELAH MURTAD DAN ADZAB BAGI MEREKA LEBIH KERAS DARIPADA ORANG KAFIR LAINNYA
Sayid Quthb berkata: “Telah bergeser jaman, kembali seperti keadaan pada hari datangnya Dien ini kepada manusia (yaitu masa jahiliyah, pent). Telah murtad manusia menuju peribadatan kepada hamba-hamba dan menuju kerusakan agama-agama. Mereka telah berpaling dari la ilaha illallah, walaupun sekelompok dari mereka masih tetap mengumandangkan di menara-menara adzan la ilaha illallah tanpa memahami maksudnya, tanpa mengerti apa konsekwensinya, padahal dia mengulang-ulangnya. Juga tanpa menolak pensyariatan hakimiyah yang diaku oleh para hamba untuk diri-diri mereka. Hal ini sama dengan penuhanan (uluhiyah). Sama saja, apakah diaku oleh pribadi-pribadi atau team pensyariatan ataupun oleh masyarakat….” (Fi Dhilal 2/1057)
Sayid Quthb berkata: “Telah bergeser jaman, kembali seperti keadaan pada hari datangnya Dien ini kepada manusia (yaitu masa jahiliyah, pent). Telah murtad manusia menuju peribadatan kepada hamba-hamba dan menuju kerusakan agama-agama. Mereka telah berpaling dari la ilaha illallah, walaupun sekelompok dari mereka masih tetap mengumandangkan di menara-menara adzan la ilaha illallah tanpa memahami maksudnya, tanpa mengerti apa konsekwensinya, padahal dia mengulang-ulangnya. Juga tanpa menolak pensyariatan hakimiyah yang diaku oleh para hamba untuk diri-diri mereka. Hal ini sama dengan penuhanan (uluhiyah). Sama saja, apakah diaku oleh pribadi-pribadi atau team pensyariatan ataupun oleh masyarakat….” (Fi Dhilal 2/1057)
Bahkan lebih kejam lagi dia berkata: “…yaitu kemanusiaan seluruhnya,
termasuk di dalamnya mereka yang mengulang-ulang di menara-menara adzan
di timur atau di barat bumi ini kalimat laa ilaha illallah tanpa maksud
dan tanpa kenyataan….
Mereka paling berat dosanya dan paling keras adzabnya karena mereka
telah murtad kepada peribadatan para hamba setelah jelas baginya
petunjuk dan karena mereka sebelumnya berada dalam Dien Allah.” (Fi
Dhilal 2/1057)
Lihatlah betapa beraninya Sayid mengkafirkan kaum muslimin dan
menganggap mereka orang-orang murtad yang paling keras adzabnya. Padahal
mereka masih mengumandangkan adzan dan masih shalat. Lantas apa
anggapan dia tentang peribadatan mereka di masjid-masjid?
MASJID MENURUT SAYID ADALAH TEMPAT PERIBADATAN JAHILIYAH
Bertolak dari pengkafiran dia terhadap masyarakat Islam, maka Sayid menganggap masjid-masjid mereka sebagai tempat-tempat peribadatan jahiliyah. Dia berkata ketika menafsirkan ucapan Allah dalam surat Yunus:
وَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى وَأَخِيهِ أَنْ تَبَوَّآ لِقَوْمِكُمَا بِمِصْرَ بُيُوتًا وَاجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قِبْلَةً وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
Dan Kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya: ‘Ambillah olehmu berdua beberapa rumah di Mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu dan jadikanlah olehmu rumah-rumahmu itu tempat sembahyang dan dirikanlah olehmu sembahyang serta gembirakanlah orang-orang yang beriman. (Yunus: 87)
Bertolak dari pengkafiran dia terhadap masyarakat Islam, maka Sayid menganggap masjid-masjid mereka sebagai tempat-tempat peribadatan jahiliyah. Dia berkata ketika menafsirkan ucapan Allah dalam surat Yunus:
وَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى وَأَخِيهِ أَنْ تَبَوَّآ لِقَوْمِكُمَا بِمِصْرَ بُيُوتًا وَاجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قِبْلَةً وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
Dan Kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya: ‘Ambillah olehmu berdua beberapa rumah di Mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu dan jadikanlah olehmu rumah-rumahmu itu tempat sembahyang dan dirikanlah olehmu sembahyang serta gembirakanlah orang-orang yang beriman. (Yunus: 87)
Dia berkata: “…inilah pengalaman yang Allah tunjukkan kepada kelompok
mukmin agar menjadi teladan. Bukan khusus bagi Bani Israil. Tapi ini
adalah pengalaman iman yang murni. Kadang-kadang orang-orang beriman
mendapati diri-diri mereka terusir pada suatu hari dari masyarakat
jahiliyah, karena fitnah telah merata, thaghut telah bertambah sombong
dan manusia telah rusak, serta lingkungan telah membusuk.
Demikian pula
keadaan di jaman Fir’aun pada masa kini. Di sini Allah mengarahkan kita
pada beberapa perkara:
1. Memisahkan diri dari masyarakat jahiliyah, busuknya, rusaknya dan
kejelekannya sebisa mungkin. Dan mengumpulkan “kelompok mukmin” yang
baik dan bersih dirinya untuk mensucikan, membersihkan dan melatih serta
menyusun mereka hingga datang janji Allah untuk mereka.
2. Menghindari tempat-tempat peribadatan jahiliyah dan menjadikan rumah-rumah “kelompok muslim” sebagai masjid yang di sana mereka dapat merasakan keterpisahan mereka dari masyarakat jahiliyah. Kemudian di sana mereka melangsungkan peribadatan kepada Rabb mereka dengan cara yang benar. Dan melanjutkan dengan ibadah tersebut menuju semacam keteraturan (tandhim) dalam lingkungan suasana ibadah yang suci.” (Fi Dhilal 3/1816)
2. Menghindari tempat-tempat peribadatan jahiliyah dan menjadikan rumah-rumah “kelompok muslim” sebagai masjid yang di sana mereka dapat merasakan keterpisahan mereka dari masyarakat jahiliyah. Kemudian di sana mereka melangsungkan peribadatan kepada Rabb mereka dengan cara yang benar. Dan melanjutkan dengan ibadah tersebut menuju semacam keteraturan (tandhim) dalam lingkungan suasana ibadah yang suci.” (Fi Dhilal 3/1816)
Apa yang terjadi kalau dakwah Sayid yang seperti ini dibiarkan?!
Jelas penafsiran yang batil ini akan mengakibatkan ditinggalkannya masjid-masjid dan munculnya Khawarij-Khawarij gaya baru yang memisahkan diri dari masyarakat Islam dan mengkafirkan mereka. Kemudian siapa yang dimaksud “kelompok mukmin”, “kelompok muslim” dalam masyarakat jahiliyah ini? Tentu pembaca dapat menebak dengan melihat akidah dan pemikiran Sayid yang telah dijelaskan. Ya tentunya yang dia maksud adalah dirinya dan orang-orang yang mengikuti pemikirannya.
Jelas penafsiran yang batil ini akan mengakibatkan ditinggalkannya masjid-masjid dan munculnya Khawarij-Khawarij gaya baru yang memisahkan diri dari masyarakat Islam dan mengkafirkan mereka. Kemudian siapa yang dimaksud “kelompok mukmin”, “kelompok muslim” dalam masyarakat jahiliyah ini? Tentu pembaca dapat menebak dengan melihat akidah dan pemikiran Sayid yang telah dijelaskan. Ya tentunya yang dia maksud adalah dirinya dan orang-orang yang mengikuti pemikirannya.
JALAN KELUAR MENURUT SAYID QUTB
Islam telah lenyap, muslimin telah murtad, masyarakat muslim telah kembali menjadi jahiliyah. Masjid-masjid telah menjadi tempat-tempat peribadatan jahiliyah….
Lalu apa yang harus kita perbuat? Dan bagaimana jalan keluar bagi yang ingin menjadi “kelompok muslim”? Dengarlah apa kata Sayid Quthb berkenaan dengan pertanyaan ini: “Sesungguhnya tidak ada keselamatan bagi ‘kelompok muslim’ di seluruh dunia dari adzab yang Allah sebutkan:
… أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعًا وَيُذِيقَ بَعْضَكُمْ بَأْسَ بَعْضٍ…
…atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan sebagian kamu keganasan sebagian yang lain…. (Al-An’am: 65)
Islam telah lenyap, muslimin telah murtad, masyarakat muslim telah kembali menjadi jahiliyah. Masjid-masjid telah menjadi tempat-tempat peribadatan jahiliyah….
Lalu apa yang harus kita perbuat? Dan bagaimana jalan keluar bagi yang ingin menjadi “kelompok muslim”? Dengarlah apa kata Sayid Quthb berkenaan dengan pertanyaan ini: “Sesungguhnya tidak ada keselamatan bagi ‘kelompok muslim’ di seluruh dunia dari adzab yang Allah sebutkan:
… أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعًا وَيُذِيقَ بَعْضَكُمْ بَأْسَ بَعْضٍ…
…atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan sebagian kamu keganasan sebagian yang lain…. (Al-An’am: 65)
kecuali jika mereka memisahkan keyakinan, perasaan dan juga prinsip
hidup mereka dari masyarakat jahiliyah dan memisahkan diri dari kaumnya.
Hingga Allah mengijinkan bagi mereka untuk mendirikan negara Islam yang
mereka berpegang padanya. Kalau tidak, maka hendaknya mereka merasakan
dengan seluruh perasaannya bahwa mereka sendirilah umat Islam dan
merasakan bahwa apa dan siapa yang di sekelilingnya yang tidak masuk
kepada apa yang mereka masuki adalah jahiliyah dan masyarakat
jahiliyah….” (Fi Dhilal 2/1125)
Inilah jalan keluar menurut Sayid, yaitu dengan menjadi Khawarij,
mengkafirkan dan memisahkan diri dari umat Islam! Inna lillahi wa inna
ilaihi raji’un.
Tidakkah Sayid melihat dakwah Ahlus Sunnah dan para ulamanya di
jazirah Arab, Yaman, India atau yang lainnya? Tidakkah dia melihat
perjuangan dakwah mereka dalam memurnikan ajaran Islam? Bahkan apakah
Sayid tidak melihat di sampingnya seorang ulama yang berjuang membela
tauhid dan sunnah, yaitu Syaikh Muhibbuddin Al-Khatib rahimahullah?!
PEMIKIRAN TAKFIR SAYID DIAKUI TOKOH-TOKOH IKHWAN SENDIRI
Sesungguhnya pemikiran takfir Sayid Quthb tidak mungkin dipungkiri lagi. Bahkan telah diakui pula oleh beberapa tokoh Ikhwanul Muslimin sendiri. Berikut ini kita dengar beberapa ucapan mereka:
1. Berkata Yusuf Al-Qardlawi dalam bukunya Awlawiyat Al-Harakah Al-Islamiyah:
“Dalam fase ini muncul buku-buku As-Syahid Sayid Quthb yang merupakan fase terakhir dari pemikirannya yang mengkafirkan masyarakat dan menunda dakwah sampai kepada keteraturan Islam dengan pembaharuan fikih dan perkembangannya. Menghidupkan ijtihad serta mengajak untuk memisahkan diri secara perasaan dari masyarakat, memutus hubungan dengan orang lain, mengumumkan jihad fisik melawan seluruh manusia….” (Awlawiyat hal. 110)
Sesungguhnya pemikiran takfir Sayid Quthb tidak mungkin dipungkiri lagi. Bahkan telah diakui pula oleh beberapa tokoh Ikhwanul Muslimin sendiri. Berikut ini kita dengar beberapa ucapan mereka:
1. Berkata Yusuf Al-Qardlawi dalam bukunya Awlawiyat Al-Harakah Al-Islamiyah:
“Dalam fase ini muncul buku-buku As-Syahid Sayid Quthb yang merupakan fase terakhir dari pemikirannya yang mengkafirkan masyarakat dan menunda dakwah sampai kepada keteraturan Islam dengan pembaharuan fikih dan perkembangannya. Menghidupkan ijtihad serta mengajak untuk memisahkan diri secara perasaan dari masyarakat, memutus hubungan dengan orang lain, mengumumkan jihad fisik melawan seluruh manusia….” (Awlawiyat hal. 110)
2. Berkata Farid Abdul Khaliq, salah seorang tokoh besar Ikhwan dalam kitabnya Ikhwanul Muslimun fi Mizanil Haq hal. 115: “Kita mengetahui dari apa yang telah lewat bahwa munculnya pemikiran takfir (pengkafiran) di kalangan beberapa ikhwan bermula dari penjara Qanathir di akhir tahun lima puluhan dan awal enam puluhan. Mereka terpengaruh oleh Sayid Quthb dan pemikiran-pemikirannya. Mereka mengambil pemahaman darinya bahwa masyarakat ini dalam keadaan jahiliyah dan bahwasanya dia telah mengkafirkan pemerintah yang merasa asing dengan hakimiyah Allah karena tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah. Juga mengkafirkan rakyatnya karena mereka ridla dengan hal itu.”
3. Berkata Ali Gharisah –juga salah seorang tokoh besar Ikhwan— sebagai berikut:
“Dalam kejadian ini, terpecah satu kelompok dari kelompok Islam yang besar ketika keberadaan mereka di penjara-penjara… bersamaan dengan itu kelompok tersebut bertameng dengan pengkafiran kelompok Islam yang besar. Mereka masih tetap dalam pendapatnya tentang pengkafiran pemerintah, penolong-penolongnya serta masyarakat seluruhnya. Kemudian kelompok tersebut berpecah kembali menjadi beberapa kelompok, yang masing-masing mengkafirkan yang lain….” (Lihat kembali kitab beliau Al-Ittijahat Al-Fikriyah Al-Mu’ashirah hal. 279)
Ucapan-ucapan mereka ini menunjukkan bahwa pemikiran takfir Sayid
Quthb telah dikenal oleh kawan dan lawannya. Hanya saja ketika bantahan
itu dari “kawan” satu harakah, selalu diiringi basa-basi atau penyamaran
agar tidak terlihat seakan-akan permasalahan ini adalah permasalahan
besar. Seperti Qardlawi setelah ucapan di atas dia berkata: “…Dan
buku-buku beliau tersebut memiliki keutamaan-keutamaan dan
pengaruh-pengaruh positif yang besar di samping pengaruh-pengaruh
negatif.” (hal. 110)
Atau seperti ucapan Ali Gharishah yang tidak menyebutkan siapa atau
buku apa atau jamaah apa, dia hanya mengatakan “kelompok kecil” dan
“kelompok besar”.
Saudara-saudaraku kaum muslimin, bisa jadi sikap basa-basi dan
penyamaran yang menyebabkan terasa kecilnya bahaya-bahaya besar ini
adalah karena mereka satu hizb. Mereka menjaga persatuan dan kesatuan
Hizibnya dengan prinsip mereka yang terkenal: KITA SALING TOLONG
MENOLONG ATAS APA YANG KITA SEPAKATI DAN SALING TOLERANSI ATAS APA YANG
KITA BERBEDA.
Kalau begitu bagaimana dengan saudara-saudara kita yang mengaku
sebagai Ahlus Sunnah, salafiyah tetapi memiliki prinsip yang sama dengan
mereka?
SIKAP SAYID TERHADAP UTSMAN BIN AFFAN radliallahu ‘anhu
Ikhwani fiddien a’azzakumullah, sesungguhnya pemikiran takfir Sayid Quthb bukan permasalahan sepele. Sikap mengkafirkan seluruh manusia hanya karena dosa-dosa sungguh sangat berbahaya. Tidakkah kita mendengar bagaimana Ali bin Abi Thalib menyikapi Khawarij, kemudian memerangi mereka? Tidakkah kita mendengar ucapan beberapa shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka sejelek-jelek makhluk?
Ikhwani fiddien a’azzakumullah, sesungguhnya pemikiran takfir Sayid Quthb bukan permasalahan sepele. Sikap mengkafirkan seluruh manusia hanya karena dosa-dosa sungguh sangat berbahaya. Tidakkah kita mendengar bagaimana Ali bin Abi Thalib menyikapi Khawarij, kemudian memerangi mereka? Tidakkah kita mendengar ucapan beberapa shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka sejelek-jelek makhluk?
Pemikiran Sayid yang berbahaya ini juga mengakibatkan celaan dan tuduhan kepada para shahabat Nabi seperti para pendahulunya dari kalangan Khawarij dan Syiah, khususnya terhadap Utsman bin Affan dan Muawiyah radliallahu ‘anhuma.
Sayid Quthb tidak mengakui keberadaan khilafah Utsman radliallahu
‘anhu, padahal masa kekhilafahannya paling panjang. Dia berkata: “Kami
condong kepada anggapan bahwa khilafah Ali radliallahu ‘anhu adalah
kelanjutan dari khilafah dua syaikh sebelumnya (Abu Bakar dan Umar,
pent). Adapun masa Utsman merupakan celah antara keduanya.” (Al-Adalah,
hal. 206). Mengapa?
Hal ini setelah Sayid mengatakan pada halaman sebelumnya tentang
Utsman sebagai berikut: “Sesungguhnya di antara kejelekan yang muncul
adalah bahwa Utsman mencapai khilafah dalam keadaan tua, telah lemah
semangat Islamnya dan lemah keinginannya untuk tetap tegar menghadapi
tipu daya Marwan dan tipu daya Bani Umayah di dalamnya.” (Al-Adalah
dalam terjemahan terbitan pustaka hal. 270)
Bahkan dengan terang-terangan dia meragukan ruh Islam yang ada pada
Utsman, yaitu setelah Sayid menyebutkan cerita-cerita tentang Utsman
yang membagi-bagikan harta pada keluarga dan kerabatnya (korupsi). Juga
setelah menceritakan bahwa Utsman mengangkat gubernur-gubernurnya dari
keluarganya sendiri, seperti Muawiyah dan Al-Hakam radliallahu
‘anhum…dst. Kemudian dia berkata: “…Dan bahwasanya para shahabat
mengetahui penyelewengan dari ruh Islam ini. Maka mereka saling
memanggil untuk menyelamatkan Islam dan menyelamatkan khalifah dari
bencana ini. Khalifah –dengan ketuaan dan kepikunannya— tidak dapat
memegang urusannya dari Marwan. Sesungguhnya sangat susah meragukan ruh
Islam di dalam hati Utsman. Tetapi juga sangat sulit memaafkan
kesalahan-kesalahannya yang merupakan kesalahan fatal mengenai wilayah
dan khilafahnya. Sedangkan dia seorang tua renta yang dikelilingi oleh
jajaran orang-orang jelek dari Bani Umayah….” (Al-Adalah hal. 187, cet
kelima dan secara makna pada cet. ke 12 hal 159, dan dalam terjemahan
PUSTAKA hal. 272)
Sebaliknya Sayid Quthb justru memuji dan membela para pemberontak
yang membunuh Utsman. Dia berkata: “…akhirnya, terjadilah pemberontakan
atas Utsman. Tercampur padanya kebenaran dan kebatilan, kebaikan dan
kejelekan. Tetapi bagi yang memandang perkara ini dengan “kaca mata
Islam” dan merasakan urusan ini dengan ruh Islam, pasti dia akan
menetapkan bahwa pemberontakan tersebut secara keumuman lebih dekat
kepada ruh Islam dan arahannya daripada sikap Utsman atau lebih tepatnya
sikap Marwan dan orang-orang yang di belakangnya dari Bani Umayyah.”
(Al-Adalah hal. 189 cet. ke 5 dan hal. 161, 162 cet. ke 12 dengan
beberapa perubahan tetapi intinya sama, hanya pada cetakan terakhir ini
dia menyebut bahwa hal itu karena pengaruh tipu daya Ibnu Saba’ dan
dalam terjemahan, hal. 275)[2]
Seharusnya dia mengucapkan: “Barangsiapa memandang dengan kacamata
saya dan merasakan dengan ruh saya….” Karena kesimpulan dan pandangan
seperti itu sama sekali bukan dari Islam. Dan saya (penulis) sudah
menulis pada edisi ke-4 tentang pembelaan terhadap Utsman dan sekaligus
pembelaan para shahabat terhadap Utsman. Silahkan simak kembali tulisan
tersebut. Adapun pandangan Sayid adalah pandangan Khawarij, Syiah dan
Ahli Bid’ah!
Semoga Allah menyelamatkan kaum muslimin dari penyelewengannya dan membuka mata kaum hizbiyah agar melihat bahayanya serta menghilangkan sikap fanatik mereka kepadanya. Amin.
Semoga Allah menyelamatkan kaum muslimin dari penyelewengannya dan membuka mata kaum hizbiyah agar melihat bahayanya serta menghilangkan sikap fanatik mereka kepadanya. Amin.
——————————————————————————–
[1] Lantas bagaimana dia menghukumi dirinya yang mengikuti kebiasaan
orang-orang kafir barat dengan memotong habis jenggotnya dan memakai jas
dan berdasi?
[2] Terjemahan buku ini diterbitkan oleh pustaka (Salman) Bandung dengan judul Keadilan Sosial dalam Islam cet. I th. 1984M/1404 H. Semua apa yang kami nukil di sini ada dalam terjemahan ini. Walaupun kadang-kadang sedikit berbeda terjemahan dengan apa yang saya tulis. Tetapi pada intinya sama. Wallahu A’lam.
[2] Terjemahan buku ini diterbitkan oleh pustaka (Salman) Bandung dengan judul Keadilan Sosial dalam Islam cet. I th. 1984M/1404 H. Semua apa yang kami nukil di sini ada dalam terjemahan ini. Walaupun kadang-kadang sedikit berbeda terjemahan dengan apa yang saya tulis. Tetapi pada intinya sama. Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar