Pantalon
adalah istilah serapan dari bahasa asing (Inggris) pantaloons, yang
artinya : a man's close-fitting garment for the hips and legs,
worn especially in the 19th century, but varying in form from period
to period; trousers (pakaian ketat laki-laki untuk pinggul dan kaki,
terutama dipakai pada abad ke-19, akan tetapi bentuknya bervariasi dari waktu
ke waktu; celana).[1]
Ada juga yang mengartikan : Men's wide breeches extending from waist to
ankle, worn especially in England in the late 17th century
(celana lebar laki-laki yang memanjang dari pinggang hingga pergelangan kaki,
terutama dipakai di Inggris pada abad ke-17).[2]
Jadi, kalau kita tilik dari makna asalnya dalam bahasa Inggris, secara garis besar pantaloon ini artinya celana panjang bagi laki-laki. Ada yang model ketat, ada pula yang lebar. Orang ‘Arab kemudian mengadopsi istilah pantaloons menjadi banthaluun (البنطلون).
Jadi, kalau kita tilik dari makna asalnya dalam bahasa Inggris, secara garis besar pantaloon ini artinya celana panjang bagi laki-laki. Ada yang model ketat, ada pula yang lebar. Orang ‘Arab kemudian mengadopsi istilah pantaloons menjadi banthaluun (البنطلون).
Seperti
apa bentuk pantaloons itu ?. Berikut gambarnya :
Orang
‘Arab mempunyai istilah dan jenis pakaian tersendiri yang ‘serupa’ dengan
pantalon, yaitu : saraawiil (السراويل). Para pakar bahasa ‘Arab mengatakan bahwa saraawiil sebenarnya
merupakan kata dalam bahasa Persi yang di-Arab-kan (muannats), jamaknya
: saraawiilaat (سراويلات). Sebagian pakar bahasa yang lain mengatakan bahwa saraawiil
merupakan bentuk jamak dari kata sirwaal (سروال), sirwaalah (سروالة), dan sirwiil (سرويل). Namun yang lebih fasih dalam bahasa ‘Arab adalah kata saraawiil
(sebagai mufrad). Definisi saraawiil sendiri adalah
pakaian yang menutupi pusar dan kedua lutut, serta apa-apa yang berada di
antara keduanya [lihat : Al-Qaamuus Al-Muhiith, 1/1311; Al-Mu’jamul-Wasiith,
1/888; dan Lisaanul-‘Arab, 11/334].
Saraawiil
telah
dipakai oleh orang ‘Arab sejak jaman dulu, sebagaimana terdapat dalam banyak
riwayat. Diantaranya :
حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ يَحْيَى،
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْعَلَاءِ بْنِ زَبْرٍ، حَدَّثَنِي الْقَاسِمُ،
قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا أُمَامَةَ، يَقُولُ: خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَلَى مَشْيَخَةٍ مِنَ الْأَنْصَارٍ بِيضٌ لِحَاهُمْ، فَقَالَ: "
يَا مَعْشَرَ الْأَنْصَارِ، حَمِّرُوا، وَصَفِّرُوا، وَخَالِفُوا أَهْلَ
الْكِتَابِ "، قَالَ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ أَهْلَ
الْكِتَابِ يَتَسَرْوَلَونَ وَلَا يَأْتَزِرُونَ ! فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " تَسَرْوَلُوا وَائْتَزِرُوا، وَخَالِفُوا أَهْلَ
الْكِتَابِ ".....
Telah
menceritakan kepada kami Zaid bin Yahyaa : Telah menceritakan kepada kami
‘Abdullah bin Al-‘Alaa’ bin Zabr : Telah menceritakan kepadaku Al-Qaasim, ia
berkata : Aku mendengar Abu Umaamah berkata : Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam keluar menemui para sesepuh Anshaar yang jenggot-jenggot
mereka telah memutih. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wahai
sekalian kaum Anshaar, semirlah uban kalian dengan warna merah dan kuning,
selisihilah Ahlul-Kitaab”. Aku berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya
Ahlul-Kitaab memakai saraawiil namun tidak memakai kain sarung”. Maka
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Pakailah
saraawiil dan sarung. Selisihilah Ahlul-Kitaab”... [Diriwayatkan oleh
Ahmad, 5/264; Al-Arna’uth berkata : ‘Sanadnya shahih’].
Asy-Syaukaaniy
rahimahullah berkata :
وفيه الإذن بلبس السراويل وأن مخالفة أهل
الكتاب تحصل بمجرد الاتزار في بعض الأوقات لا بترك لبس السراويل في جميع الحالات
“Dalam
hadits tersebut terdapat izin memakai saraawiil. Dan bahwasannya
penyelisihan terhadap Ahlul-Kitaab tercapai dengan pemakaian sarung pada
sebagian waktu, tidak dengan meninggalkan pemakaian saraawiil dalam semua
keadaan....” [Nailul-Authaar, 2/123].
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ، وَمَحْمُودُ بْنُ
غَيْلَانَ، قَالَا: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ سِمَاكِ بْنِ
حَرْبٍ، عَنْ سُوَيْدِ بْنِ قَيْسٍ، قَالَ: جَلَبْتُ أَنَا وَمَخْرَفَةُ
الْعَبْدِيُّ بَزًّا مِنْ هَجَرَ، فَجَاءَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَسَاوَمَنَا بِسَرَاوِيلَ وَعِنْدِي وَزَّانٌ يَزِنُ بِالْأَجْرِ، فَقَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْوَزَّانِ : "زِنْ وَأَرْجِحْ
"
Telah
menceritakan kepada kami Hannaad dan Mahmuud bin Ghailaan, mereka berdua
berkata : Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Sufyaan, dari Simaak bin
Harb, dari Suwaid bin Qais, ia berkata : Aku dan Makhramah Al-‘Abdiy pernah
membawa pakaian dari Hajar. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendatangi
kami. Lalu beliau menawar saraawiil kepada kami (untuk dibeli), yang
waktu itu aku memiliki tukang timbang yang aku upah. Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda kepada tukang timbang : “Timbanglah dan
lebihkanlah” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1305, dan ia berkata :
“Hadits hasan shahih”[3]].
Sebagian
ulama mengatakan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam membeli saraawiil
namun tidak memakainya. Yang benar, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam membelinya
untuk beliau pakai. Inilah yang dikuatkan oleh Ibnu Hajar [Fathul-Baariy,
10/284] dan Ibnul-Qayyim [Zaadul-Ma’aad, 1/139].
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ،
قَالَ: حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ مُحَمَّدٍ، عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَامَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَسَأَلَهُ، عَنِ الصَّلَاةِ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ؟ فَقَالَ: "
أَوَكُلُّكُمْ يَجِدُ ثَوْبَيْنِ "، ثُمَّ سَأَلَ رَجُلٌ عُمَرَ، فَقَالَ:
إِذَا وَسَّعَ اللَّهُ فَأَوْسِعُوا، جَمَعَ رَجُلٌ عَلَيْهِ ثِيَابَهُ، صَلَّى
رَجُلٌ فِي إِزَارٍ وَرِدَاءٍ، فِي إِزَارٍ وَقَمِيصٍ، فِي إِزَارٍ وَقَبَاءٍ، فِي
سَرَاوِيلَ وَرِدَاءٍ فِي سَرَاوِيلَ وَقَمِيصٍ، فِي سَرَاوِيلَ وَقَبَاءٍ، فِي
تُبَّانٍ وَقَبَاءٍ، فِي تُبَّانٍ وَقَمِيصٍ، قَالَ: وَأَحْسِبُهُ، قَالَ: فِي
تُبَّانٍ وَرِدَاء
Telah
menceritakan kepada kami Sulaimaan bin Harb, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami Hammaad bin Zaid, dari Ayyuub, dari Muhammad, dari Abu Hurairah, ia
berkata : Seorang laki-laki berdiri dan bertanya kepada Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam tentang shalat yang hanya mengenakan satu pakaian saja.
Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Apakah setiap
orang di antara kalian bisa mendapatkan dua helai baju ?”. Kemudian orang
tersebut bertanya kepada ‘Umar, lalu ia (‘Umar) menjawab : “Apabila Allah
memberikan kelapangan, maka pergunakanlah. Seseorang yang dapat mengumpulkan
pakaiannya untuk shalat, hendaklah ia shalat dengan pakaian itu. Seseorang bisa
shalat dengan memakai sarung dan ridaa’[4],
sarung dan qamiish, sarung dan qubaa’ (pakaian luar), saraawiil
dan ridaa’, saraawiil dan qamiish, saraawiil dan
qubaa’, atau celana pendek dan qamiish”. Abu Hurairah berkata :
“Aku mengira ia (‘Umar) berkata : celana pendek dan ridaa’”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 365].
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا
سُفْيَانُ، عَنْ عَمْرٍو، عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ لَمْ يَجِدْ
إِزَارًا فَلْيَلْبَسْ سَرَاوِيلَ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ
خُفَّيْنِ "
Telah
menceritakan kepada kami Abu Nu’aim : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan,
dari ‘Amru, dari Jaabir bin Zaid, dari Ibnu ‘Abbaas, dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Barangsiapa yang tidak mendapatkan
sarung, hendaklah ia memakai saraawiil. Dan barangsiapa yang mendapatkan
sepasang sandal, hendaklah ia memakai khuff (ketika ihraam)” [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 5804].
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ
فَارِسٍ الذُّهْلِيُّ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا أَبُو
تُمَيْلَةَ يَحْيَى بْنُ وَاضِحٍ، حَدَّثَنَا أَبُو الْمُنِيبِ عُبَيْدُ اللَّهِ
الْعَتَكِيُّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: "
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُصَلِّيَ فِي
لِحَافٍ لَا يَتَوَشَّحُ بِهِ وَالْآخَرُ أَنْ تُصَلِّيَ فِي سَرَاوِيلَ وَلَيْسَ
عَلَيْكَ رِدَاءٌ "
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahyaa bin Faaris Adz-Dzuhliy : Telah
menceritakan kepada kami Sa’iid bin Muhammad : Telah menceritakan kepada kami
Abu Tumailah Yahyaa bin Waadlih : Telah menceritakan kepada kami Abul-Muniib
‘Ubaidullah Al-‘Atakiy, dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata :
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat dengan
menggunakan selimut tanpa mengikatkannya. Dan beliau juga melarang engkau
shalat dengan saraawiil tanpa mengenakan ridaa’” [Diriwayatkan
oleh Abu Daawud no. 636; dan dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan
Abi Daawud, 1/189].
حَدَّثَنَا أَبُو الْعَلَاءِ، قَالَ:
حَدَّثَنَا لَيْثٌ، عَنْ خَالِدِ بْنِ يَزِيدَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِلَالٍ،
عَنْ نُعَيْمٍ الْمُجْمِرِ، أَنَّهُ قَالَ: رَقِيتُ مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ عَلَى
ظَهْرِ الْمَسْجِدِ، وَعَلَيْهِ سَرَاوِيلُ مِنْ تَحْتِ قَمِيصِهِ، فَنَزَعَ
سَرَاوِيلَهُ، ثُمَّ تَوَضَّأَ، وَغَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ، وَرَفَعَ فِي
عَضُدَيْهِ الْوُضُوءَ، وَرِجْلَيْهِ، فَرَفَعَ فِي سَاقَيْهِ
Telah
menceritakan kepada kami Abul-‘Alaa’, ia berkata : Telah menceritakan kepada
kami Laits, dari Khaalid bin Yaziid, dari Sa’iid bin Hilaal, dari Nu’aim
Al-Mujmir, bahwasannya ia berkata : Aku pernah naik di atas punggung masjid bersama Abu Hurairah yang waktu itu ia
memakai saraawiil di bawah qamish (baju)-nya. Kemudian ia
mengangkat (melinting) saraawiil-nya, lalu berwudlu. Ia membasuh wajah
dan kedua tangannya. Ia melebihkan basuhan wudlunya pada tangan hingga lengan
atas, dan kaki hingga kedua betisnya....” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 2/400; dan
Al-Arna’uth berkata : “Sanadnya qawiy (kuat)”].
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ:
حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْحُبَابِ، عَنْ أَبِي خَلْدَةَ، قَالَ: رَأَيْتُ أَبَا
الْعَالِيَةِ عَلَيْهِ سَرَاوِيلُ، قَالَ: فَقُلْتُ لَهُ: قَالَ: " إِنَّهَا
مِنْ لِبَاسِ الرِّجَالِ "
Telah
menceritakan kepada kami Zaid bin Hubbaab, dari Abu Khaldah, ia berkata : Aku
pernah melihat Abul-‘Aaliyyah memakai saraawiil, lalu aku tanyakan hal
itu kepadanya, dan ia menjawab : “Ia adalah pakaian laki-laki” [Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Syaibah no. 25254; sanadnya hasan].
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ
عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنِ الْأَسْوَدِ أَنَّهُ بَالَ ثُمَّ
أَدْخَلَ يَدَهُ فِي سَرَاوِيلِهِ فَغَسَلَ ذَكَرَهُ "
Telah
menceritakan kepada kami Wakii’, dari Syu’bah, dari ‘Amru bin Murrah, dari
Ibraahiim, dari Al-Aswad : Bahwasannya ia pernah kencing, kemudian memasukkan
tangannya ke dalam saraawiil-nya, lalu mencuci dzakarnya” [Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Syaibah no. 603; sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَعْدٍ،
قَالَ: أخبرنا مَعْنُ بْنُ عِيسَى، قَالَ: حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، عَنْ
عُثَيْمِ بْنِ نِسْطَاسٍ، قَالَ: " رَأَيْتُ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ
شَهِدَ الْعَتَمَةَ فِي سَرَاوِيلَ وَرِدَاءٍ "
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Sa’d : Telah mengkhabarkan kepada kami
Ma’n bin ‘Iisaa, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Muslim,
dari ‘Utsaim bin Nisthaas, ia berkata : “Aku melihat Sa’iid bin Al-Musayyib
menghadiri shalat ‘Isya’ dengan mengenakan saraawiil dan ridaa’”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat, 5/72; sanadnya hasan].
Riwayat-riwayat
di atas menunjukkan bahwa saraawiil merupakan pakaian laki-laki yang
telah masyhur lagi biasa dikenakan semenjak jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam, dan turun-temurun di kalangan salaf.
Lantas,
seperti apa itu bentuk saraawiil ?. Berikut gambarnya :
Gambar di atas saya ambil dari kitab Libaasur-Rajul,
Ahkaamuhu wa Dlawaabithuhu fil-Fiqhil-Islaamiy (2/1468) oleh Naashir bin
Muhammad Al-Ghaamidiy – desertasi Univ. Ummul-Qurraa’, tahun 1422 H.
Kembali
bahasan yang terkait dengan judul.......
Bolehkah
kita (laki-laki) memakai pantalon/pantaloons dalam keseharian aktivitas
kita ?.
Para
ulama kontemporer berbeda pendapat. Ada yang melarang, ada pula yang
memperbolehkannya (dengan syarat). Berikut sebagian fatwa mereka :
Ulama
yang Melarang
a.
Asy-Syaikh
Al-Albaaniy rahimahullah.
“....... "Celana
pantalon mengandung dua cela. Pertama, orang yang menggunakannya berarti
bertasyabuh dengan kaum kafir. Pada mulanya kaum muslimin mengenakan celana
panjang yang luas dan longgar yang sekarang masih digunakan oleh sebagian orang
di Suriah dan Libanon. Mereka sama sekali tidak mengenal celana pantalon,
kecuali setelah mereka ditaklukkan dan dijajah. Kemudian setelah kaum penjajah
takluk dan mengundurkan diri mereka meninggalkan jejak yang buruk, lalu dengan
kebodohan dan kejahilan kaum muslimin melestarikan peninggalan mereka tadi. Kedua,
celana pantalon dapat membentuk aurat, sedangkan aurat laki-laki adalah dari
lutut hingga pusar. Ketika sholat seorang muslim seharusnya amat jauh dari
keadaan bermaksiat kepada RabbNya, namun bagi mereka yang menggunakan celana
pantalon, anda akan melihat kedua belahan pantatnya terbentuk, bahkan dapat
membentuk apa yang ada di antara kedua pantatnya tersebut. Bagaimana muungkin
orang yang dalam keadaannya semacam ini dikatakan sholat dan berdiri di hadapan
Rabbul 'Alamin?!
Anehnya banyak di
antara pemuda muslim yang mengingkari wanita-wanita berpakaian ketat atau
sempit karena membentuk bodinya sementara mereka sendiri lupa akan diri mereka.
Mereka sendiri terjatuh pada hal yang diingkari, sebab tidak ada perbedaan
antara wanita yang berpakaian sempit dan membentuk tubuhnya dengan pria yang
memakai celana pantalon yang juga membentuk pantatnya. Pantat pria dan pantat
wanita keduanya sama-sama aurat. Karena itu wajib bagi para pemuda untuk segera
menyadari musibah yang telah melanda mereka kecuali orang yang dipelihara
Allah, namun mereka sedikit”.
b.
Asy-Syaikh Yahyaa
Al-Hajuriy hafidhahullah.
Soal
:
Sebagian orang yang membolehkan celana pentalon
dan dasi berdalih
dengan kaidah: hukum asal segala sesuatunya itu adalah boleh, benarkah dalih
yang seperti ini?
Jawab
:
Ini tidaklah benar, ibarah “hukum asal segala sesuatunya itu adalah boleh” adalah
ibarah yang masih butuh diteliti lagi, hanya saja yang mereka (ulama) katakan
adalah: hukum asal dalam perkara makanan dan minuman dan seterusnya adalah
boleh, dan kemaluan hukum asalnya adalah haram, maka apakah kaidah tersebut
yang menghukumi dalil ataukah dalil-lah yang menghukumi kaidah? Tidaklah di
sana terdapat kaidah melainkan engkau perlu mencarikan dalil untuknya bukan
malah engkau berdalih dengannya,
Memakai celana
pentalon itu menyerupai orang-orang kafir Apakah Nabi sallallahu
‘alaihi wa sallam dulunya mengenakan pentalon, demikian juga Abu Bakr
Ash-Shiddiq dan khulafa’ur Rosyidin, demikian pula Ibnu Mubarak, Sufyanain
(Sufyan At-Tsaury dan Sufyan ibnu ‘Uyainah), Hammadain (Hammad bin Zaid dan
Hammad bin Salamah), dan Al-Auza’i, tidak satupun dari mereka yang
mengenakannya.
Andaikata celana
ini ada pada zaman mereka, tentulah mereka akan sangat membencinya, sebab
mereka itu sangat melarang untuk menyerupai orang-orang Eropa (barat) dan
orang-orang kafir, Allah subhanahu wa ta’ala berkata:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا
أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا
إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ
"Apakah
engkau tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwasanya mereka itu telah
beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu dan kepada apa yang
diturunkan sebelummu?mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka
telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu" [An-Nisaa': 60].
Sama saja apakah
itu dalam ucapan, perbuatan ataupun selainnya, dan berkata Allah ta’ala:
لا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
"Dan
janganlah kalian mengambil orang-orang kafir sebagai wali (teman akrab,
penolong, dan pelindung), dengan meninggalkan orang-orang mukminin"
[An-Nisaa': 144].
Nabi sallallahu
‘alaihi wa sallam berkata:
ومن تشبه بقوم فهو منهم
“Barangsiapa
yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari golongan kaum
tersebut” [HR. Abu Daud dari sahabat Ibnu
Umar radhiyallahu 'anhu, disahihkan oleh Al-Albani rahimahullah di Irwaa' (1269)
dengan syawahidnya]
Dan Syaikhul Islam
punya ungkapan yang kuat di “Iqtidhaa’ Shiratal Mustaqim Mukhalafat Ashhabil
Jahim“: Barangsiapa yang memakai pakaian orang-orang kafir dan berpendapat
bahwa pakaian itu lebih bagus dan lebih mendapat petunjuk daripada pakaian
muslimin maka dia kafir. -selesai- [Al-Iftaa' alal Asilah Al-Waridah min
Duwalin Syatta, hal. 200-201].
c.
Asy-Syaikh Rabii’
Al-Madkhaliy hafidhahullah.
“.......Dan potong
jenggot termasuk dari maksiat yang merupakan sebab kekalahan, dan tasyabbuh
(menyerupai orang kafir) dengan memakai pentalon adalah bentuk peniruan
terhadap musuh-musuh Allah –semoga Allah memberkahimu- sementara kalian
tahu bahwasanya para sahabat kalah pada perang Uhud dan Hunain, adapun hari
Uhud disebabkan penyelisihan pasukan pemanah yang akhirnya menimpa para sahabat
yang dipimpin oleh Rasulullah apa yang telah menimpa mereka.
Demikian juga hari
Hunain peristiwanya hampir sama:
وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ
عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الأرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ
مُدْبِرِينَ * ثُمَّ أَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَى رَسُولِهِ
“Dan (ingatlah)
peperangan Hunain, Yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah
kalian, Maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepada kalian
sedikitpun, dan bumi yang
luas itu telah terasa sempit oleh kalian, kemudian kalian lari kebelakang
dengan bercerai-berai. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada RasulNya
…” [At-Taubah: 25-26].
Jadi karena
sebagian di antara mereka ada yang mengatakan “Sekarang jumlah kita sungguh
banyak, kita tidak akan terkalahkan hari ini karena jumlah yang sedikit: Maka
Allah Tabaraka wa Ta’ala memberi mereka pelajaran karena apa
yang timbul pada diri mereka (dari ‘ujub), maka bagaimana kiranya dengan pasukan
yang memotong jenggotnya dan memakai pakaian orang-orang kafir, kemudian
mengharap pertolongan dari Allah Tabaraka wa Ta’ala?! Karena itulah
kita tidak mendapat pertolongan, seringnya musuh-musuh islam-lah yang meraih
kemenangan melawan kita.
Maka wajib bagi
kita untuk bersemangat dalam menaati Allah dan menetapi dan merealisasikan
perintah-perintah Allah, terutama di medan peperangan agar Allah Tabaraka
wa Ta’ala menolong kita:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ
يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
“Apabila kalian
menolong (agama) Allah niscaya Ia akan menolong kalian dan mengokohkan
kedudukan kalian.” [Muhammad 7].
Ketika itulah baru
kita berhak dan pantas meraih pertolongan dari Allah ‘Azza wa
Jalla yang telah Ia janjikan kepada kita. -selesai- [Ajwibah
Al-'Allamah Asy-Syaikh Rabi' bin Hadi Al-Madkhali As-Salafiyyah 'Ala Asilati
Abi Rawahah Al-Manhajiyyah, hal. 25-27].
Ketiga
fatwa ulama di atas saya ambilkan dari http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=59
dan http://isnad.net/fatwa-ulama-tentang-celana-pantalon.
Silakan merujuk ke sana.
Jika
kita cermati inti fatwa ketiga ulama tersebut, maka ‘illat larangan
memakai pantalon ada 2, yaitu tasyabbuh dengan orang kafir dan
menampakkan aurat (karena sempit).
Ulama
yang Membolehkan dengan Syarat
a.
Ulama Lajnah
Daaimah.
الأصل في أنواع اللباس الإباحة ؛ لأنه من أمور العادات ، قال تعالى :
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ
مِنَ الرِّزْقِ ويستثنى من ذلك ما دل الدليل الشرعي على تحريمه أو كراهته كالحرير
للرجال ، والذي يصف العورة ؛ لكونه شفافا يرى من ورائه لون الجلد أو لكونه ضيقا
يحدد العورة ، لأنه حينئذ في حكم كشفها وكشفها لا يجوز ، وكالملابس التي هي من
سيما الكفار الخاصة بهم ، فلا يجوز لبسها لا للرجال ولا للنساء ؛ لنهي النبي صلى
الله عليه وسلم عن التشبه بهم ، وكلبس الرجال ملابس النساء ولبس النساء ملابس
الرجال ؛ لنهي النبي صلى الله عليه وسلم عن تشبه الرجال بالنساء والنساء بالرجال.
وليس اللباس المسمى بالبنطلون والقميص مما يختص لبسه بالكفار ، بل هو لباس عام في المسلمين والكافرين في كثير من البلاد والدول ، وإنما تنفر النفوس من لبس ذلك في بعض البلاد لعدم الألف ومخالفة عادة سكانها في اللباس ، وإن كان ذلك موافقا لعادة غيرهم من المسلمين ، لكن الأولى بالمسلم إذا كان في بلد لم يعتد أهلها ذلك اللباس ألا يلبسه في الصلاة ولا في المجامع العامة ولا في الطرقات.
وبالله التوفيق ، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
وليس اللباس المسمى بالبنطلون والقميص مما يختص لبسه بالكفار ، بل هو لباس عام في المسلمين والكافرين في كثير من البلاد والدول ، وإنما تنفر النفوس من لبس ذلك في بعض البلاد لعدم الألف ومخالفة عادة سكانها في اللباس ، وإن كان ذلك موافقا لعادة غيرهم من المسلمين ، لكن الأولى بالمسلم إذا كان في بلد لم يعتد أهلها ذلك اللباس ألا يلبسه في الصلاة ولا في المجامع العامة ولا في الطرقات.
وبالله التوفيق ، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
“Hukum asal dari
berbagai jenis pakain adalah diperbolehkan, karena ia termasuk perkara ‘aadaat
(kebiasaan). Allah ta’ala berfirman : “Katakanlah: "Siapakah
yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk
hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?"
(QS. Al-A’raaf : 32). Dan dikecualikan dari hal tersebut jika ada dalil syar’iy
yang menunjukkan keharaman atau kemakruhannya, seperti sutera bagi laki-laki.
Pakaian yang dapat menampakkan aurat dikarenakan tipis sehingga menampakkan
warna kulit yang ada di balik pakaian, atau sempit sehingga membentuk aurat,
(maka itu tidak diperbolehkan), termasuk hukum menyingkap aurat, sedangkan
menyingkap aurat tidak diperbolehkan. Dan seperti pakaian yang menjadi
kekhususan orang kafir, maka tidak diperbolehkan memakainya, baik laki-laki
ataupun wanita dengan sebab larangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bertasyabbuh pada mereka. Dan juga seperti laki-laki yang memakai pakaian
wanita, dan wanita yang memakai pakaian laki-laki; dikarenakan larangan Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam dari laki-laki bertasyabbuh dengan wanita, dan wanita
bertasyabbuh dengan wali-laki.
Dan pakaian yang
disebut pantalon dan qamiish (kemeja) itu bukanlah termasuk kekhususan
pakaian orang kafir. Bahkan ia termasuk pakaian yang umum dipakai oleh kaum
muslimin dan orang kafir di banyak negeri. Hanya saja yang membuat jiwa enggan
memakainya di sebagian negeri adalah karena peniadaan kelembutan dan
penyelisihan terhadap kebiasaan berpakaian penduduk setempat, meskipun hal itu
berkesesuaian dengan kebiasaan kaum muslimin yang lainnya. Akan tetapi yang
lebih utama bagi seorang muslim apabila di satu negeri pakaian tersebut tidak
dianggap/dipakai oleh penduduknya, hendaknya ia tidak memakainya dalam shalat,
pertemuan umum, dan di jalan-jalan. Wabillaahit-taufiiq, wa shallallaahu
‘alaa nabiyyinaa Muhammadin wa shahbihi wa sallam” [Al-Fataawaa,
24/38-39 no. 1620; dengan ketua : Ibnu Baaz, wakil ketua : ‘Abdurrazzaaq
‘Afiifiy, anggota : ‘Abdullah Al-Ghudayyaan & ‘Abdullah Al-Qu’uud – lihat :
http://www.alifta.net/fatawa/fatawaDetails.aspx?BookID=3&View=Page&PageNo=9&PageID=9347].
b.
Asy-Syaikh Ibnu
‘Utsaimiin rahimahullah.
Beliau rahimahullah
ketika ditanya tentang batasan-batasan tasyabbuh dengan orang kafir,
menjawab :
التشبه بالكفار هو أن الإنسان يتزيا
بزيهم في اللباس, أو في الكلام, أو ما أشبه ذلك, بحيث إذا رآه الرائي يقول: هذا من
الكفار, أما ما يشترك فيه المسلمون والكفار فهذا ليس تشبهاً, مثل: الآن لبس
البنطلون للرجال لا نقول هذا تشبه؛ لأنه صار عادة للجميع, وأما مسألة السيارات
وغيرها فهذه ما فيها تشبه إطلاقاً
“Tasyabbuh dengan
orang kafir adalah seseorang yang meniru mode mereka dalam pakaian, perkataan,
atau yang semisalnya; dimana jika ada orang yang melihat hal tersebut akan
berkata : ‘hal ini (berasal) dari orang kafir’. Adapun hal-hal yang kaum
muslimin dan orang-orang kafir bersekutu di dalamnya, maka ini bukan tasyabbuh.
Misalnya sekarang ini memakai pantalon bagi laki-laki. Kita tidak mengatakannya
perbuatan ini tasyabbuh, karena hal itu telah menjadi kebiasaan bagi
semua orang (baik muslim atau kafir). Adapun masalah mobil dan yang lainnya,
maka ini bukan tasyabbuh secara mutlak” [Pertemuan Terbuka tanggal 16
Jumadits-Tsaaniy 1416 H; lihat : http://audio.islamweb.net/audio/index.php?page=FullContent&audioid=111742].
c.
Asy-Syaikh Abu
Ishaaq Al-Huwainiy hafidhahullah.
Beliau hafidhahullah
pernah ditanya : Apakah diperbolehkan bagi seseorang kadang-kadang memakai
baju dan pantalon, ataukah ia harus senantiasa memakai jubah panjang setiap
saat, dan apakah ia diharamkan dan termasuk tasyabbuh dengan orang kafir
?. Beliau menjawab :
أما لبس البنطلون فلست أراه من التشبه لأنه زي غلب على ديار المسلمين
وكما في القاعدة الفقهية إذا ضاق الأمر اتسع ومع ذلك ففيه حرج من جهة الصلاة فيه
ولذلك أرى ألا يلبسه المسلم اذا لم يكن هناك داع اليه
“Adapun memakai
pantalon, maka aku tidak memandang itu termasuk tasyabbuh (dengan orang
kafir), karena ia adalah pakaian yang umum dipakai di negeri-negeri kaum
muslimin. Dan sebagaimana kaedah fiqhiyyah : ‘apabila satu perkara menjadi
sempit, ia menjadi luas’. Bersamaan dengan hal itu, padanya terdapat kesempitan
(larangan) dari sisi shalat jika mengenakannya. Oleh karena itu aku
berpandangan seorang muslim tidak memakainya apabila tidak ada alasan yang
mendesak” [lihat : http://ar.islamway.com/fatwa/9814].
d.
Asy-Syaikh
Mushthafaa bin Al-‘Adawiy hafidhahullah.
Beliau hafidhahullah
pernah ditanya : “Apakah boleh memakai baju orang Eropa dan pantalon ?”. Dijawab
:
نعم، يجوز العمل في القميص (الإفرنجي) وفي (البنطلون) إذا كان واسعاً
وسابغاً
“Ya, diperbolehkan
memakai baju orang Eropa dan pantalon jika longgar dan besar” [Silsilatut-Tafsiir,
17/46].
Pendapat
yang Raajih
Dengan
mencermati pendapat para ulama di atas beserta alasan-alasan yang
dikemukakannya, maka kami lebih condong pada pendapat yang membolehkannya
dengan alasan (dimana ini merupakan sedikit rangkuman dari yang dijelaskan para
ulama di atas) :
1.
Hukum asal pakaian
adalah mubah, dan tidak ada dalil yang menunjukkan secara jelas tentang
pelarangannya.
2.
Tidak ada bedanya
secara hakekat antara saraawiil dengan pantalon. Ibnu Baaz rahimahullah
di atas juga menyamakan antara hakekat saraawiil dengan pantalon.
Dilihat dari bentuk keduanya pada asalnya memang sama sebagaimana ditampilkan
pada gambar di atas. Hanya saja, modelnya berlainan. Ada yang sempit, ada pula
yang longgar. Oleh karena itu, diperbolehkan bagi seorang muslim memakai
pantalon yang longgar sebagaimana kebolehan memakai saraawiil yang
semisal (longgar).
3.
Pantalon yang
longgar sudah merupakan pakaian yang dapat menutupi aurat laki-laki.[5]
Dr. Naashir bin
Muhammad Al-Ghaamidiy dalam desertasinya (1/176) menjelaskan bahwa saraawiil
adalah pakaian yang memenuhi syarat tersebut.
4.
Pantalon bukanlah
pakaian yang menyerupai (tasyabbuh) pakaian orang kafir, karena
ia sudah merupakan pakaian yang umum dipakai oleh kaum muslimin dan orang-orang
kafir, terlebih di negeri kita ini.
Hanya
saja yang menjadi permasalahan adalah memakainya ketika shalat. Satu point
penting yang perlu dibahas di sini adalah tentang batasan menutup ‘aurat, karena
sebagian ulama melarang seseorang shalat memakai pantalon adalah dengan alasan ini.
Menutup
aurat merupakan syarat keabsahan shalat[6],
dimana kain/pakaian yang dikenakan harus memenuhi syarat : tebal dan tidak
tipis, sehingga tidak menyifatkan warna kulit yang ada di bawahnya. Bila
keadaan ini tidak terpenuhi, maka pakaian/kain tersebut tidak boleh dipakai
untuk shalat menurut kesepakatan para ulama. Dan seandainya pakaian tersebut dapat
menutup warna kulitnya, namun masih menyifatkan bentuk badannya, sah shalatnya.
Meskipun demikian, tetap dibenci (makruuh)
pakaian yang dapat menggambarkan bentuk ‘aurat dan menyembulkannya. Ini
berlaku baik untuk laki-laki dan wanita. Berikut sebagian perkataan ulama madzhab
:
Ibnu ‘Aabidiin Al-Hanafiy rahimahullah
berkata :
( قَوْلُهُ لَا يَصِفُ مَا تَحْتَهُ ) بِأَنْ
لَا يُرَى مِنْهُ لَوْنُ الْبَشَرَةِ احْتِرَازًا عَنْ الرَّقِيقِ وَنَحْوِ
الزُّجَاجِ ( قَوْلُهُ وَلَا يَضُرُّ الْتِصَاقُهُ ) أَيْ بِالْأَلْيَةِ مَثَلًا ،
....... وَعِبَارَةُ شَرْحِ الْمُنْيَةِ : أَمَّا لَوْ كَانَ غَلِيظًا لَا يُرَى
مِنْهُ لَوْنُ الْبَشَرَةِ إلَّا أَنَّهُ الْتَصَقَ بِالْعُضْوِ وَتَشَكَّلَ
بِشَكْلِهِ فَصَارَ شَكْلُ الْعُضْوِ مَرْئِيًّا فَيَنْبَغِي أَنْ لَا يَمْنَعَ
جَوَازَ الصَّلَاةِ لِحُصُولِ السَّتْرِ
“(Perkataannya : Tidak menyifatkan
apa-apa yang ada di bawahnya), yaitu tidak terlihat darinya warna kulit,
terhindar dari sifat tipis dan transparan. (Perkataannya : Tidak memudlaratkan jika
pakaian/kain itu ‘ngepres’/menempel/ketat), yaitu dengan pantat misalnya.....
Dan ‘ibarat dalam kitab Syarh
Al-Mun-yah : Adapun jika kain/pakaian tersebut tebal tidak nampak darinya
warna kulit, namun ia ‘ngepres’/menempel dengan anggota badan dan tergambar bentuk/rupanya,
lalu terlihatlah bentuk tubuhnya; maka itu tidak menghalangi kebolehan (sahnya)
shalat dengan adanya penutup tadi” [Raddul-Muhtaar, 3/270 – via Syaamilah].
Ibnu Syaas Al-Maalikiy rahimahullah
berkata :
في صفة الساتر : وليكن صفيقا
كثيفا، ولا يكون شفا، ولا بحيث يصف، فإن كان شفا، فهو كالعدم مع الانفراد. وإن كان
بحيث يصف وليس يشف فهو مكروه، ولا يؤدي إلى بطلان الصلاة
“Tentang
sifat penutup (‘aurat) : Hendaknya tebal, tidak tipis, dan tidak bisa mensifati
(‘aurat). Apabila tipis, maka ia seperti ketiadaannya. Dan apabila dapat
menyifatkan ‘aurat, namun tidak tipis, maka makruh, dan shalatnya tidak batal
sehingga perlu diulang” [‘Iqdul-Jawaahir Ats-Tsamiinah fii Madzhab
‘Aalimil-Madiinah, 1/159].
An-Nawawiy
rahimahullah berkata :
قال أصحابنا يجب الستر بما يحول
بين الناظر ولون البشرة، فلا يكفي ثوب رقيق يُشاهد من ورائه سواد البشرة أو بياضها،
ولا يكفي أيضاً الغليظ المهلهل النسج الذي يُظهر بعض العورة من خلله. فلو ستر اللون
ووصف حجم البشرة كالركبة والإلية ونحوهما، صحت الصلاة فيه لوجود الستر
“Shahabat-shahabat
kami (kalangan ulama Syaafi’iyyah – Abul-Jauzaa’) berkata : wajib menutup
‘aurat dengan sesuatu yang dapat menghalangi antara orang yang memandang dengan
warna kulit. Maka, tidaklah mencukupi pakaian tipis yang dapat dilihat hitam
atau putihnya kulit yang ada dibaliknya. Dan tidak mencukupi juga kain tenun tebal
yang menampakkan sebagian ‘aurat dikarenakan tenunnya renggang. Seandainya ia dapat
menutupi warna kulit namun masih menyifatkan bentuk kulit luar (badan) seperti
lutut, pantat, dan yang semisalnya; maka sah shalatnya karena keberadaan
penutup (‘aurat) tersebut” [Majmuu’ Syarhul-Muhadzdzab, 3/170].
Al-Khathiib
Asy-Syarbiiniy Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata :
فلا يكفي ثوب رقيق ولا مهلهل
لا يمنع إدراك اللون ولا زجاج يحكي اللون لأن مقصود الستر لا يحصل بذلك. أما إدراك
الحجم فلا يضر لكنه للمرأة مكروه وللرجل خلاف الأولى
“Maka
tidaklah mencukupi pakaian tipis yang tidak menghalangi nampaknya warna kulit,
tidak pula (mencukupi) pakaian yang transparan yang dapat menggambarkan warna
kulit; karena tujuan menutupi ‘aurat tidak tercapai dengan hal itu. Adapun nampaknya
bentuk tubuh, tidak memudlaratkannya, akan tetapi bagi wanita adalah makruh dan
bagi laki-laki khilaaful-ulaa[7]
(meninggalkannya lebih baik)” [Mughnil-Muhtaaj, 1/398].
Ibnu
Qudaamah rahimahullah berkata :
وأن كان يستر لونها ويصف
الخلقة جازت الصلاة لأن هذا لا يمكن التحرز منه وإن كان الساتر صفيقا
“Dan
apabila pakaian tersebut menutup warna kulitnya, namun menyifatkan bentuk
badannya, maka shalatnya sah, karena tidak mungkin menghindarkan diri dari hal
tersebut meskipun pakaian/kain penutup itu tebal” [Al-Mughniy,
2/286-287].
Ibnu
Muflih Al-Hanbaliy rahimahullah berkata :
إذا وصف بياض الجلد، أو
حمرته فليس بساتر، وإذا ستر اللون، ووصف الخلقة، أي: حجم العضو، صحت الصلاة فيه،
لأن البشرة مستورة، وهذا لا يمكن التحرز منه
“Apabila
pakaian/kain dapat menyifatkan putih atau merahnya warna kulit, maka itu
bukanlah penutup. Dan apabila ia dapat menutupi warna kulit, namun masih
menyifati bentuk tubuh/anggota badan; sah shalatnya, karena kulit telah
tertutup. Dan yang demikian tidaklah mungkin untuk menghindarinya” [Al-Mubdi’
Syarh Al-Muqni’, 2/51 – via Maktabah Syaamilah].
Dalil
yang dipakai untuk membangun pendapat di atas di antaranya :
حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ، حَدَّثَنَا
زُهَيْرٌ يَعْنِي ابْنَ مُحَمَّدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ يَعْنِي ابْنَ مُحَمَّدِ بْنِ
عَقِيلٍ، عَنِ ابْنِ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ، أَنَّ أَبَاهُ أُسَامَةَ، قَالَ: كَسَانِي
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُبْطِيَّةً كَثِيفَةً كَانَتْ مِمَّا
أَهْدَاهَا دِحْيَةُ الْكَلْبِيُّ، فَكَسَوْتُهَا امْرَأَتِي، فَقَالَ لِي رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَا لَكَ لَمْ تَلْبَسْ الْقُبْطِيَّةَ
"، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَسَوْتُهَا امْرَأَتِي، فَقَالَ لِي رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مُرْهَا فَلْتَجْعَلْ تَحْتَهَا غِلَالَةً،
إِنِّي أَخَافُ أَنْ تَصِفَ حَجْمَ عِظَامِهَا "
Telah
menceritakan kepada kami Abu ‘Aamir : Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin
Muhammad, dari ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqiil, dari Ibnu Usaamah bin Zaid,
bahwasannya ayahnya yaitu Usaamah berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam pernah memberiku baju Qubthiyyah yang tipis yang dihadiahkan oleh
Dihyah Al-Kalbiy. Lalu aku memberikannya kepada istriku untuk dipakai. Setelah
itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku : “Mengapa
engkau tidak mengenakan baju Qubthiyyah ?”. Aku berkata : “Wahai
Rasulullah, aku telah memberikannya kepada istriku agar ia memakainya”. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku : “Perintahkanlah ia
agar ia mengenakan di bawahnya ghilaalah[8].
Sesungguhnya aku khawatir ia akan menyifatkan bentuk tulangnya”
[Diriwayatkan oleh Ahmad 5/205; sanadnya dla’iif dengan sebab ‘Abdullah
bin Muhammad bin ‘Aqiil. Al-Arna’uth mengatakan : “Kemungkinan untuk dihasankan”[9]].
Faedah
: Riwayat ini menunjukkan perintah menutup ‘aurat bagi wanita lebih keras/ketat
daripada perintah menutup ‘aurat bagi laki-laki, karena ketika Usaamah
memberitahukan pakaian/kain Qubthiyyah kepada istrinya, Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk melapisinya dengan ghilaalah.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan hal yang sama
ketika kain itu diberikan kepada Usaamah di kali pertama.
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ
يَحْيَى الْحُلْوَانِيُّ، ثنا سَعِيدُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ عَبَّادِ بْنِ
الْعَوَّامِ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ، عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي
حَازِمٍ، عَنْ جَرِيرٍ، قَالَ: " إِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْتَسِي وَهُوَ عَارٍ،
يَعْنِي الثِّيَابَ الرِّقَاقَ "
Telah
menceritakan kepada kami Ahmad bin Yahyaa Al-Hulwaaniy : Telah menceritakan
kepada kami Sa’iid bin Sulaimaan, dari ‘Abbaad bin Al-‘Awwaam, dari Ismaa’iil
bin Abi Khaalid, dari Qais bin Abi Haazim dari Jariir (bin ‘Abdillah
Al-Bajaliy) radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Sesungguhnya ada seorang
laki-laki yang berpakaian, namun hakekatnya telanjang. Yaitu pakaiannya tipis”
[Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath no. 2215; sanadnya
shahih].
Walhasil, jika
seseorang shalat dengan pakaian/kain yang dapat untuk menutupi kulit sehingga
tidak dapat terlihat dari luar, meskipun akan membentuk sebagian anggota tubuh;
maka shalat sah, walau sebagian ulama ada yang memakruhkannya.
Kembali
pada masalah pantalon. Seseorang yang shalat dengan memakai pantalon yang dapat
menutupi ‘auratnya sehingga warna kulitnya tidak terlihat, sah shalatnya. Jika
pantalonnya sempit[10]
hingga dapat membentuk anggota badannya, maka makruh. Bahkan jika
terlalu sempit, saya khawatir itu masuk dalam hukum : keberadaannya
seperti ketiadaannya. Jika longgar[11],
maka boleh. Yang lebih sempurna dan lebih menutupi ‘aurat (lagi terhindar dari
perselisihan pendapat), maka ia shalat dengan didobeli kain sarung atau gamis
panjang (model Pakistan, Saudi, atau yang semisalnya).
Asy-Syaafi’iy
rahimahullah berkata :
ويصلى الرجل في السراويل إذا
وارى ما بين السرة والركبة، والإزار أستر وأحب منه .قال وأحب إلى أن لا يصلى إلا
وعلى عاتقه شيء عمامة أو غيرها ولو حبلا يضعه
“Seorang
laki-laki boleh shalat dengan saraawiil apabila dapat menutupi apa-apa
yang terletak antara pusar dan lutut. Dan sarung lebih menutupi dan lebih aku
sukai darinya (saraawiil). Dan aku lebih suka jika ia tidak shalat
kecuali jika di atas pundaknya ada sesuatu berupa ‘imaamah atau yang
lainnya, meskipun hanya seutas tali yang ia letakkan padanya (pundak)” [Al-Umm,
1/89].
Al-Barbahaariy
rahimahullah berkata :
ولا بأس بالصلاة في السراويل
“Tidak
mengapa shalat dengan mengenakan saraawiil” [Syarhus-Sunnah, hal.
61 no. 37].
Asy-Syaikh
Ibnu Baaz rahimahullah pernah ditanya tentang hukum memakai celana
pantalon dimana sebagian pemakainya tersingkap sebagian auratnya ketika rukuk
dan sujud dalam shalat. Beliau rahimahullah menjawab :
إذا كان البنطلون - وهو
السراويل - ساتراً ما بين السرة والركبة للرجل، واسعاً غير ضيق صحت فيه الصلاة،
والأفضل أن يكون فوقه قميص يستر ما بين السرة والركبة، وينزل عن ذلك إلى نصف الساق
أو إلى الكعب؛ لأن ذلك أكمل في الستر.
والصلاة في الإزار الساتر
أفضل من الصلاة في السراويل إذا لم يكن فوقها قميص ساتر؛ لأن الإزار أكمل في الستر
من السراويل
“Apabila pantalon –
yaitu saraawiil – dapat menutupi apa-apa yang terdapat antara pusar dan
lutut bagi laki-laki, longgar lagi tidak sempit, maka sah shalatnya. Dan afdlal-nya
agar didobeli qamiish yang menutup antara pusar dan lutut, dan lebih
rendah lagi hingga pertengahan betis atau hingga mata kaki. Hal itu dikarenakan
lebih sempurna dalam menutup aurat. Dan shalat dengan memakai sarung penutup
aurat lebih utama daripada shalat dengan memakai saraawiil bila tanpa
didobeli qamiish sebagai penutup aurat. Karena, sarung lebih sempurna
untuk menutup aurat daripada saraawiil” [sumber : http://www.ibnbaz.org.sa/mat/2480].
Wallaahu
a’lam.
Ini
saja yang dapat dituliskan. Semoga ada manfaatnya.
[Abul-Jauzaa’
– sardonoharjo, ngaglik, sleman, yogyakarta, 24062012. Banyak mengambil faedah
dari Libaasur-Rajul, Ahkaamuhu wa Dlawaabithuhu fil-Fiqhil-Islaamiy oleh
Naashir bin Muhammad Al-Ghaamidiy dan Mukhtaarul-Ahaadiits wal-Aatsaar
wal-Aqaawiil li-Ba’dli Maa Yata’allaqa bis-Saraawiil oleh Khaalid bin
Muhammad Al-Ghurbaaniy, ditambah beberapa artikel dan fataawaa yang ada di
internet].
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2012/06/celana-pantalon.html
Sumber : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2012/06/celana-pantalon.html
[3] Simaak bin Harb adalah perawi yang jujur,
namun berubah hapalannya di kahir usianya. Namun Sufyaan Ats-Tsauriy
meriwayatkan hadits darinya sebelum ia berubah hapalannya [Al-Mukhtalithiin
oleh Al-‘Alaaiy, hal. 49 no. 20, beserta komentar muhaqqiq-nya].
[4] Ridaa’ menurut istilah adalah
sesuatu yang dipakai dari jenis pakaian yang tidak meliputi/mengelilingi tubuh
(ghairu muhiith), yang diletakkan di atas pundak/bahu atau di antara
kedua pundak/bahu [lihat: Fathul-Baariy, 10/277].
Sebagaimana
terdapat dalam riwayat :
حَدَّثَنَا
عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ
سَعْدٍ، عَنْ صَالِحِ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ
الزُّبَيْرِ، أَنَّ عَائِشَةَ، قَالَتْ: " لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسلَّمَ يَوْمًا عَلَى بَابِ حُجْرَتِي وَالْحَبَشَةُ يَلْعَبُونَ
فِي الْمَسْجِدِ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسلَّمَ يَسْتُرُنِي
بِرِدَائِهِ، أَنْظُرُ إِلَى لَعِبِهِمْ "
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah, ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Sa’d, dari Shaalih, dari Ibnu Syihaab,
ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Urwah bin Az-Zubair : Bahwasannya
‘Aaisyah berkata : “Sungguh aku pernah melihat Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam pada suatu hari di pintu kamarku, dan orang-orang
Habasyah saat itu sedang bermain-main di masjid. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam menutupiku dengan ridaa’-nya ketika aku melihat
permainan mereka” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 455].
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي
حَازِمٍ، عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: " جَاءَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْتَ فَاطِمَةَ فَلَمْ يَجِدْ
عَلِيًّا فِي الْبَيْتِ، فَقَالَ: أَيْنَ ابْنُ عَمِّكِ؟ قَالَتْ: كَانَ بَيْنِي
وَبَيْنَهُ شَيْءٌ فَغَاضَبَنِي فَخَرَجَ فَلَمْ يَقِلْ عِنْدِي، فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِإِنْسَانٍ: انْظُرْ أَيْنَ هُوَ،
فَجَاءَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هُوَ فِي الْمَسْجِدِ رَاقِدٌ، فَجَاءَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُضْطَجِعٌ قَدْ سَقَطَ
رِدَاؤُهُ عَنْ شِقِّهِ وَأَصَابَهُ تُرَابٌ، فَجَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُهُ عَنْهُ، وَيَقُولُ: قُمْ أَبَا تُرَابٍ، قُمْ
أَبَا تُرَابٍ "
Telah
menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin Abi Haazim, dari Abu Haazim, dari Sahl bin Sa’d,
ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang
ke rumah Faathimah namun tidak mendapatkan ‘Aliy dalam rumah tersebut. Beliau
bertanya : “Dimanakah anak pamanmu ?”. Faathimah menjawab : “Telah
terjadi sesuatu antara aku dengannya, lalu marah kepadaku kemudian ia keluar
dan tidak tidur siang bersamaku”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam berkata kepada seseorang : “Carilah, dimanakah ia berada !”.
Lalu orang tersebut datang dan berkata : “Wahai Rasulullah, ia sedang tiduran
di masjid “. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kemudian
mendatanginya, dimana waktu itu ‘Aliy sedang berbaring, dan ridaa’-nya
terjatuh dari sisinya dan terkena tanah. Lalu Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam membersihkan tanah tersebut darinya dan berkata : “Bangunlah
Abu Turaab, bangunlah Abu Turaab !” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy
no. 441].
حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ أَبِي بَكْرٍ، أَنَّهُ سَمِعَ عَبَّادَ بْنَ تَمِيمٍ يُحَدِّثُ أَبَاهُ عَنْ
عَمِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ، " أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى فَاسْتَسْقَى فَاسْتَقْبَلَ
الْقِبْلَةَ وَقَلَبَ رِدَاءَهُ، وَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ "
Telah
menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdillah, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami Sufyaan, dari ‘Abdullah bin Abi Bakr, bahwasannya ia mendengar
‘Abbaad bin Tamiim menceritakan dari ayahnya, dari pamannya yaitu ‘Abdullah bin
Zaid : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju
tanah lapang untuk memohon hujan (istisqaa’). Lalu beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam menghadap kiblat dan membalikkan ridaa’-nya dan
shalat dua raka’at” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1012].
[5] Pemutlakkan sebagian ulama bahwa pantalon
itu sempit, maka ini kurang tepat, karena kenyataannya pantalon itu ada yang
sempit, ada pula yang leonggar sebagaimana dijelaskan oleh para ulama lainnya.
Sebagian
rekan-rekan pun juga menganggap bahwa celana yang bukan jenis sirwal (saraawiil)
seperti celana yang jamak dipakai oleh orang untuk sekolah, kuliah, ngantor,
dan yang semisalnya; termasuk katagori ‘sempit’ yang tidak boleh dipakai. Saya
pribadi agak bingung dengan batasan ‘sempit’ yang dimaksudkan, karena celana
pantalon itu pun banyak yang mempunyai ukuran yang tidak jauh berbeda dengan
sirwal-sirwal yang lazim dipakai. Hanya saja tidak bertali, serta diberi
kancing dan resliting.
[6] Allah ta’ala berfirman :
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
“Hai
anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid”
[QS. Al-A’raaf : 31].
حَدَّثَنَا أَبِي، ثنا أَبُو صَالِحٍ، حَدَّثَنِي مُعَاوِيَةُ بْنُ
صَالِحٍ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: قَوْلُهُ:
" يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ، قَالَ: كَانُوا
يَطُوفُونَ بِالْبَيْتِ الْحَرَامِ عُرَاةٍ بِاللَّيْلِ، فَأَمَرَهُمُ اللَّهُ أَنْ
يَلْبَسُوا ثِيَابَهُمْ وَلا يَتَعَرُّوا "
Telah
menceritakan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami Abu Shaalih :
Telah menceritakan kepadaku Mu’aawiyyah bin Shaalih, dari ‘Aliy bin Abi
Thalhah, dari Ibnu ‘Abbaas tentang firman-Nya ‘azza wa jalla : ‘Hai
anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid” (QS.
Al-A’raaf : 31); ia berkata : “Dulu mereka (orang Arab Jaahiliyyah) melakukan
thawaf sambil telanjang di malam hari, lalu Allah memerintahkan mereka agar
memakai pakaian mereka dan jangan telanjang” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim
no. 8376. Sanad riwayat ini lemah karena keterputusan antara ‘Aliy bin Abi
Thalhah dengan Ibnu ‘Abbaas. Selain itu, Abu Shaalih (namanya : ‘Abdullah bin
Shaalih Al-Juhhaniy) banyak dikritik ulama. Akan tetapi periwayatan dari
perantaraan kitabnya adalah tsabt, dan ia sendiri mempunyai naskah
periwayatan yang besar dari Mu’aawiyyah bin Shaalih. Riwayat ini mempunyai
penguat].
نَا سُفْيَانُ، عَنْ عَمْرٍو، عَنْ طَاوُسٍ، فِي قَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ:
خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ قَالَ: " الثِّيَابُ "
Telah
mengkhabarkan kepada kami Sufyaan, dari ‘Amru, dari Thaawus (bin Kaisaan)
tentang firman Allah ‘azza wa jalla : ‘Hai anak Adam, pakailah
pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid” (QS. Al-A’raaf : 31); ia
berkata : “(Perhiasan tersebut) adalah pakaian” [Diriwayatkan oleh Sa’iid bin
Manshuur dalam Tafsiir-nya no. 947; sanadnya shahih].
وحَدَّثَنَا أَبُو طَاهِرٍ الْفَقِيهُ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو
الْعَبَّاسِ الأَصَمُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ، قَالَ:
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى، قَالَ: أَخْبَرَنَا عُثْمَانُ، عَنْ
مُجَاهِدٍ، فِي قَوْلِهِ: خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ. قَالَ:
" مَا وَارَى عَوْرَتَكَ، وَلَوْ عَبَاءَةً "
Telah
menceritakan kepada kami Abu Thaahir Al-Faqiih, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami Abul-‘Abbaas Al-Asham, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin ‘Aliy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin
Muusaa, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Utsmaan, dari Mujaahid
tentang firman-Nya ‘azza wa jalla : ‘Hai anak Adam, pakailah
pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid” (QS. Al-A’raaf : 31); ia
berkata : “Apa saja yang dapat menyembunyikan auratmu, meskipun ‘abaa’ah
(sejenis mantel)” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Ma’rifah 2/94;
sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ
مِنْهَالٍ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ،
عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ الْحَارِثِ، عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ
وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: " لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ حَائِضٍ إِلَّا
بِخِمَارٍ "
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsannaa : Telah menceritakan kepada
kami Hajjaaj bin Minhaal : Telah menceritakan kepada kami Hammaad, dari
Qataadah, dari Muhammad bin Siiriin, dari Shafiyyah binti Al-Haarits, dari
‘Aaisyah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Allah
tidak menerima shalat seorang wanita yang telah haidl, hingga ia mengenakan
khimaar (kerudung)” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 641; dishahihkan oleh
Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil no. 196].
Ayat
dan hadits di atas dijadikan dalil oleh jumhur ulama bahwa menutup aurat
termasuk syarat sahnya shalat.
Ibnu
Qudaamah rahimahullah berkata :
سَتْرَ الْعَوْرَةِ عَنْ النَّظَرِ ، بِمَا لَا يَصِفُ الْبَشَرَةَ ،
وَاجِبٌ , وَشَرْطٌ لِصِحَّةِ الصَّلَاةِ . وَبِهِ قَالَ الشَّافِعِيُّ
وَأَصْحَابُ الرَّأْي
“Menutup
‘aurat dari pandangan dengan sesuatu yang tidak menyifatkan kulit adalah wajib,
dan termasuk syarat sahnya shalat. Inilah yang dikatakan Asy-Syaafi’iy dan ashhaabur-ra’yi”
[Al-Mughniy, 1/336].
Ibnu
Hajar rahimahullah berkata :
ذهب الجمهور إلى أن ستر العورة من شروط الصلاة
“Jumhur
ulama berpendapat bahwa menutup ‘aurat termasuk syarat (sahnya) shalat” [Fathul-Baariy,
1/466].
[7] Istilah di sebagian kalangan ushuuliyyiin
– terutama Syaafi’iyyah – yang maknanya hampir sama dengan makruh.
[8] Yaitu pakaian dalam yang dikenakan di
bawah/di belakang pakaian luar.
[9] Abul-Jauzaa’ berkata : Ada riwayat lain
yang luput dari pengamatan Al-Arna’uth hafidhahullah :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْكَرِيمِ، حَدَّثَنَا
حَنْبَلُ بْنُ إِسْحَاقَ، حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ،
عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عُقْبَةَ، عَنْ كُرَيْبٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنْ أُسَامَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
" أَرْدَفَهُ مِنْ جَمْعٍ " فَذَكَرَهُ، وَقَالَ: إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَصِفَ
عُجْمَ عِظَامِهَا.قَالَ: وَإِنَّمَا هُوَ: حَجْم عِظَامِهَا
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdil-Kariim : Telah
menceritakan kepada kami Hanbal bin Ishaaq : Telah menceritakan kepada kami
Ahmad bin Hanbal : Telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Uyainah, dari Ibraahiim
bin ‘Uqbah, dari Kuraib, dari Ibnu ‘Abbaas, dari Usaamah radliyallaahu ‘anhumaa
: Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memboncengnya
dari sekelompokl orang. Lalu ia menyebutkannya. Dan beliau shallallaahu ‘alaihi
wa sallam bersabda : “Sesungguhnya aku khawatir ia akan menyifatkan
pangkal ekor (‘ujm) tulangnya”. Perawi berkata : Sesungguhnya perkataan
beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam hanyalah : ‘bentuk (hajm)
tulangnya” [Diriwayatkan oleh Al-Hasan bin ‘Abdillah Al-‘Askariy dalam Tashhiifaat
Al-Muhadditsiin hal. 30].
Sanad
hadits ini shahih.