Segala puji hanya milik Allâh Ta'ala, shalawat
dan salam semoga senantiasa terlimpahkan
kepada Nabi Muhammad
Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan sahabatnya. Harta benda beserta seluruh kenikmatan dunia
diciptakan untuk kepentingan manusia, agar mereka bersyukur kepada Allâh
Ta’ala dan rajin beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu tatkala Nabi
Ibrahim 'alaihissalam, meninggalkan putranya, Nabi Ismail 'alaihissalam di sekitar bangunan Ka’bah, beliau berdoa:
Ya Rabb kami,
sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku
di lembah yang tidak mempunyai tanaman di dekat rumah-Mu yang dihormati.
Ya Rabb kami,
(yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat,
maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka
dan berilah mereka rizki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.
(Qs. Ibrâhîm/14:37)
sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku
di lembah yang tidak mempunyai tanaman di dekat rumah-Mu yang dihormati.
Ya Rabb kami,
(yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat,
maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka
dan berilah mereka rizki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.
(Qs. Ibrâhîm/14:37)
Inilah hikmah diturunkannya rizki kepada umat
manusia, sehingga bila mereka tidak
bersyukur, maka seluruh harta tersebut akan berubah menjadi petaka dan siksa baginya.
bersyukur, maka seluruh harta tersebut akan berubah menjadi petaka dan siksa baginya.

…Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak
dan tidak menafkahkannya pada jalan Allâh,
maka beritahukanlah kepada mereka
(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.
Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahannam,
lalu dahi, lambung dan punggung mereka dibakar dengannya,
(lalu dikatakan) kepada mereka:
“Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri,
maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.
(Qs. at-Taubah/9:34-35)
dan tidak menafkahkannya pada jalan Allâh,
maka beritahukanlah kepada mereka
(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.
Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahannam,
lalu dahi, lambung dan punggung mereka dibakar dengannya,
(lalu dikatakan) kepada mereka:
“Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri,
maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.
(Qs. at-Taubah/9:34-35)
Ibnu Katsir rahimahullâh berkata:
“Dinyatakan bahwa setiap
orang yang mencintai sesuatu dan lebih mendahulukannya
dibanding ketaatan kepada Allâh, niscaya ia akan disiksa dengannya. Dan
dikarenakan orang-orang yang disebut pada ayat ini lebih suka untuk
menimbun harta kekayaannya daripada mentaati keridhaan Allâh, maka mereka
akan disiksa dengan harta kekayaannya. Sebagaimana halnya Abu Lahab, dengan
dibantu oleh istrinya, ia tak henti-hentinya memusuhi Rasûlullâh Shallallâhu '
Alaihi Wasallam, maka kelak pada hari kiamat, istrinya akan berbalik ikut
serta menyiksa dirinya. Di leher istri Abu Lahab akan terikatkan tali dari sabut,
dengannya ia mengumpulkan kayu-kayu bakar di neraka, lalu ia menimpakannya
kepada Abu Lahab. Dengan cara ini, siksa Abu Lahab semakin terasa pedih,
karena dilakukan oleh orang yang semasa hidupnya di dunia paling ia cintai.
Demikianlah halnya para penimbun harta kekayaan. Harta kekayaan yang sangat
ia cintai, kelak pada hari kiamat menjadi hal yang paling menyedihkannya.
Di neraka Jahannam, harta kekayaannya itu akan dipanaskan, lalu digunakan
untuk membakar dahi, perut, dan punggung mereka”.[1]
dibanding ketaatan kepada Allâh, niscaya ia akan disiksa dengannya. Dan
dikarenakan orang-orang yang disebut pada ayat ini lebih suka untuk
menimbun harta kekayaannya daripada mentaati keridhaan Allâh, maka mereka
akan disiksa dengan harta kekayaannya. Sebagaimana halnya Abu Lahab, dengan
dibantu oleh istrinya, ia tak henti-hentinya memusuhi Rasûlullâh Shallallâhu '
Alaihi Wasallam, maka kelak pada hari kiamat, istrinya akan berbalik ikut
serta menyiksa dirinya. Di leher istri Abu Lahab akan terikatkan tali dari sabut,
dengannya ia mengumpulkan kayu-kayu bakar di neraka, lalu ia menimpakannya
kepada Abu Lahab. Dengan cara ini, siksa Abu Lahab semakin terasa pedih,
karena dilakukan oleh orang yang semasa hidupnya di dunia paling ia cintai.
Demikianlah halnya para penimbun harta kekayaan. Harta kekayaan yang sangat
ia cintai, kelak pada hari kiamat menjadi hal yang paling menyedihkannya.
Di neraka Jahannam, harta kekayaannya itu akan dipanaskan, lalu digunakan
untuk membakar dahi, perut, dan punggung mereka”.[1]
Ibnu Hajar al-Asqalâni rahimahullâh berkata:
“Dan hikmah
dikembalikannya seluruh harta yang pernah ia miliki, padahal
hak Allâh (zakat) yang wajib dikeluarkan hanyalah sebagiannya saja, ialah
karena zakat yang harus dikeluarkan menyatu dengan seluruh harta dan tidak
dapat dibedakan. Dan karena harta yang tidak dikeluarkan zakatnya adalah
harta yang tidak suci”.[2]
hak Allâh (zakat) yang wajib dikeluarkan hanyalah sebagiannya saja, ialah
karena zakat yang harus dikeluarkan menyatu dengan seluruh harta dan tidak
dapat dibedakan. Dan karena harta yang tidak dikeluarkan zakatnya adalah
harta yang tidak suci”.[2]
Singkat kata, zakat adalah persyaratan dari Allâh
Ta’ala kepada orang-orang yang
menerima karunia berupa harta kekayaan agar harta kekayaan tersebut menjadi halal
baginya.
menerima karunia berupa harta kekayaan agar harta kekayaan tersebut menjadi halal
baginya.
NISHAB ZAKAT EMAS DAN PERAK
Emas dan perak adalah harta kekayaan utama umat
manusia. Dengannya, harta benda
lainnya dinilai. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya akan membahas nishab
keduanya dan harta yang semakna dengannya, yaitu uang kertas.
lainnya dinilai. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya akan membahas nishab
keduanya dan harta yang semakna dengannya, yaitu uang kertas.

Dari Sahabat ‘Ali radhiyallâhu'anhu, ia meriwayatkan dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi
Wasallam, Beliau bersabda:
Wasallam, Beliau bersabda:
“Bila
engkau memiliki dua ratus dirham dan telah berlalu satu tahun (sejak
memilikinya),
maka padanya engkau dikenai zakat sebesar lima dirham. Dan engkau tidak
berkewajiban membayar zakat sedikitpun – maksudnya zakat emas- hingga engkau
memiliki dua puluh dinar. Bila engkau telah memiliki dua puluh dinar dan telah
berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat setengah
dinar. Dan setiap kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan
hitungan itu”.
(Riwayat Abu Dawud, al-Baihaqi, dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni)
maka padanya engkau dikenai zakat sebesar lima dirham. Dan engkau tidak
berkewajiban membayar zakat sedikitpun – maksudnya zakat emas- hingga engkau
memiliki dua puluh dinar. Bila engkau telah memiliki dua puluh dinar dan telah
berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat setengah
dinar. Dan setiap kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan
hitungan itu”.
(Riwayat Abu Dawud, al-Baihaqi, dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni)

Dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallâhu'anhu, ia menuturkan:
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Tidaklah ada kewajiban zakat pada uang perak yang kurang dari lima Uqiyah “.
(Muttafaqun ‘alaih)
“Tidaklah ada kewajiban zakat pada uang perak yang kurang dari lima Uqiyah “.
(Muttafaqun ‘alaih)
Dalam hadits riwayat Abu Bakar radhiyallâhu'anhu dinyatakan:

Dan pada perak, diwajibkan zakat sebesar seperdua puluh (2,5 %).
(Riwayat al-Bukhâri)
(Riwayat al-Bukhâri)
Hadits-hadits di atas adalah sebagian dalil tentang
penentuan nishab zakat emas dan
perak, dan darinya, kita dapat menyimpulkan beberapa hal:
perak, dan darinya, kita dapat menyimpulkan beberapa hal:
1. |
Nishab adalah batas minimal dari harta
zakat. Bila seseorang telah memiliki harta sebesar itu, maka ia wajib
untuk mengeluarkan zakat. Dengan demikian, batasan nishab hanya
diperlukan oleh orang yang hartanya sedikit, untuk mengetahui apakah
dirinya telah berkewajiban membayar zakat atau belum. Adapun orang yang
memiliki emas dan perak dalam jumlah besar, maka ia tidak lagi perlu
untuk mengetahui batasan nishab, karena sudah dapat dipastikan bahwa ia
telah berkewajiban membayar zakat. Oleh karena itu, pada hadits riwayat
Ali radhiyallâhu'anhu di atas, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menyatakan: “Dan setiap kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu”.
|
2. |
Nishab emas, adalah 20 (dua puluh) dinar, atau seberat 91 3/7 gram emas.[3]
|
3. |
Nishab perak, yaitu sebanyak 5 (lima) ‘uqiyah, atau seberat 595 gram.[4]
|
4. |
Kadar zakat yang harus dikeluarkan dari emas dan perak bila telah mencapai nishab adalah atau 2,5%.
|
5. |
Perlu diingat, bahwa yang dijadikan batasan nishab emas dan perak tersebut, ialah emas dan perak murni (24 karat).[5]
Dengan demikian, bila seseorang memiliki emas yang tidak murni, misalnya emas 18 karat, maka nishabnya harus disesuaikan dengan nishab emas yang murni (24 karat), yaitu dengan cara membandingkan harga jualnya, atau dengan bertanya kepada toko emas, atau ahli emas, tentang kadar emas yang ia miliki. Bila kadar emas yang ia miliki telah mencapai nishab, maka ia wajib membayar zakatnya, dan bila belum, maka ia belum berkewajiban untuk membayar zakat. |
Orang yang hendak membayar zakat emas atau perak yang ia miliki, dibolehkan untuk
memilih satu dari dua cara berikut.
Cara pertama, membeli emas atau perak sebesar zakat yang harus ia bayarkan, lalu
Cara pertama, membeli emas atau perak sebesar zakat yang harus ia bayarkan, lalu
memberikannya langsung kepada yang berhak menerimanya.
Cara kedua, ia membayarnya dengan uang kertas yang berlaku di negerinya sejumlah
Cara kedua, ia membayarnya dengan uang kertas yang berlaku di negerinya sejumlah
harga zakat (emas atau perak) yang harus ia bayarkan pada saat itu.
Sebagai contoh, bila seseorang memiliki emas seberat 100 gram dan telah berlalu satu
Sebagai contoh, bila seseorang memiliki emas seberat 100 gram dan telah berlalu satu
haul, maka ia boleh mengeluarkan zakatnya dalam bentuk perhiasan emas
seberat 2,5 gram. Sebagaimana ia juga dibenarkan untuk mengeluarkan uang seharga
emas 2,5 gram tersebut. Bila harga emas di pasaran Rp. 200.000, maka, ia
berkewajiban untuk membayarkan uang sejumlah Rp. 500.000,- kepada yang berhak
menerima zakat.
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin rahimahullâh berkata:
“Aku berpendapat, bahwa tidak mengapa bagi seseorang membayarkan zakat emas
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin rahimahullâh berkata:
“Aku berpendapat, bahwa tidak mengapa bagi seseorang membayarkan zakat emas
dan perak dalam bentuk uang seharga zakatnya. Ia tidak harus mengeluarkannya dalam
bentuk emas. Yang demikian itu, lebih bermanfaat bagi para penerima zakat. Biasanya,
orang fakir, bila engkau beri pilihan antara menerima dalam bentuk kalung emas atau
menerimanya dalam bentuk uang, mereka lebih memilih uang, karena itu lebih berguna
baginya.”[6]
Catatan Penting Pertama.
Perlu diingat, bahwa harga emas dan perak di pasaran setiap saat mengalami
Catatan Penting Pertama.
Perlu diingat, bahwa harga emas dan perak di pasaran setiap saat mengalami
perubahan, sehingga bisa saja ketika membeli, tiap 1 gram seharga Rp 100.000,-
dan ketika berlalu satu tahun, harga emas telah berubah menjadi Rp. 200.000,-
Atau sebaliknya, pada saat beli, 1 gram emas harganya sebesar Rp. 200.000,-
sedangkan ketika jatuh tempo bayar zakat, harganya turun menjadi Rp. 100.000,-
Pada kejadian semacam ini, yang menjadi pedoman dalam pembayaran zakat adalah
Pada kejadian semacam ini, yang menjadi pedoman dalam pembayaran zakat adalah
harga pada saat membayar zakat, bukan harga pada saat membeli.[7]
NISHAB ZAKAT UANG KERTAS
Pada zaman dahulu, umat manusia menggunakan berbagai cara untuk bertransaksi
NISHAB ZAKAT UANG KERTAS
Pada zaman dahulu, umat manusia menggunakan berbagai cara untuk bertransaksi
dan bertukar barang, agar dapat memenuhi kebutuhannya. Pada awalnya, kebanyakan
menggunakan cara barter, yaitu tukar-menukar barang. Akan tetapi, tatkala manusia
menyadari bahwa cara ini kurang praktis - terlebih bila membutuhkan dalam jumlah
besar maka manusia berupaya mencari alternatif lain. Hingga akhirnya, manusia
mendapatkan bahwa emas dan perak sebagai barang berharga yang dapat dijadikan
sebagai alat transaksi antar manusia, dan sebagai alat untuk mengukur nilai suatu barang.
Dalam perjalanannya, manusia kembali merasakan adanya berbagai kendala dengan
Dalam perjalanannya, manusia kembali merasakan adanya berbagai kendala dengan
uang emas dan perak, sehingga kembali berpikir untuk mencari barang lain yang dapat
menggantikan peranan uang emas dan perak itu. Hingga pada akhirnya ditemukanlah
uang kertas. Dari sini, mulailah uang kertas tersebut digunakan sebagai alat transaksi
dan pengukur nilai barang, menggantikan uang dinar dan dirham.
Berdasarkan hal ini, maka para ulama menyatakan bahwa uang kertas yang diberlakukan
Berdasarkan hal ini, maka para ulama menyatakan bahwa uang kertas yang diberlakukan
oleh suatu negara memiliki peranan dan hukum, seperti halnya yang dimiliki uang dinar
dan dirham. Dengan demikian, berlakulah padanya hukum-hukum riba dan zakat.[8]
Bila demikian halnya, maka bila seseorang memiliki uang kertas yang mencapai harga
Bila demikian halnya, maka bila seseorang memiliki uang kertas yang mencapai harga
nishab emas atau perak, ia wajib mengeluarkan zakatnya, yaitu 2,5% dari total uang yang
ia miliki. Dan untuk lebih jelasnya, maka saya akan mencoba mejelaskan hal ini
dengan contoh berikut.
Misalnya satu gram emas 24 karat di pasaran dijual seharga Rp.200.000,- sedangkan
Misalnya satu gram emas 24 karat di pasaran dijual seharga Rp.200.000,- sedangkan
1 gram perak murni dijual seharga Rp. 25.000,- Dengan demikian, nishab zakat emas
adalah 91 3/7 x Rp. 200.000 = Rp. 18.285.715,- sedangkan nishab perak adalah
595 x Rp 25.000 = Rp. 14.875.000,-.
Apabila pak Ahmad (misalnya), pada tanggal 1 Jumadits-Tsani 1428 H memiliki
Apabila pak Ahmad (misalnya), pada tanggal 1 Jumadits-Tsani 1428 H memiliki
uang sebesar Rp. 50.000.000,- lalu uang tersebut ia tabung dan selama satu tahun
(sekarang tahun 1429H) uang tersebut tidak pernah berkurang dari batas minimal
nishab di atas, maka pada saat ini pak Ahmad telah berkewajiban membayar
zakat malnya. Total zakat mal yang harus ia bayarkan ialah:
Rp. 50.000.000 x 2,5 % = Rp 1.250.000,-
(atau Rp. 50.000.000 dibagi 40)
Pada kasus pak Ahmad di atas, batasan nishab emas ataupun perak, sama sekali tidak
Rp. 50.000.000 x 2,5 % = Rp 1.250.000,-
(atau Rp. 50.000.000 dibagi 40)
Pada kasus pak Ahmad di atas, batasan nishab emas ataupun perak, sama sekali tidak
diperhatikan, karena uang beliau jelas-jelas melebihi nishab keduanya. Akan tetapi,
bila uang pak Ahmad berjumlah Rp. 16.000.000,- maka pada saat inilah kita
mempertimbangkan batas nishab emas dan perak. Pada kasus kedua ini, uang pak
Ahmad telah mencapai nishab perak, yaitu Rp. 14.875.000,- akan tetapi belum
mancapai nishab emas yaitu Rp 18.285.715.
Pada kasus semacam ini, para ulama menyatakan bahwa pak Ahmad wajib
Pada kasus semacam ini, para ulama menyatakan bahwa pak Ahmad wajib
menggunakan nishab perak, dan tidak boleh menggunakan nishab emas.
Dengan demikian, pak Ahmad berkewajiban membayar zakat mal sebesar :
Rp. 16.000.000 x 2,5 % = Rp. 400.000,-
(atau Rp. 16.000.000,- dibagi 40)
Komisi Tetap Untuk Fatwa Kerajaan Saudi Arabia dibawah kepemimpinan Syaikh
Rp. 16.000.000 x 2,5 % = Rp. 400.000,-
(atau Rp. 16.000.000,- dibagi 40)
Komisi Tetap Untuk Fatwa Kerajaan Saudi Arabia dibawah kepemimpinan Syaikh
‘Abdul-’Aziz bin Bâz rahimahullâh pada keputusannya no. 1881 menyatakan:
“Bila uang kertas yang dimiliki seseorang telah mencapai batas nishab salah satu dari
“Bila uang kertas yang dimiliki seseorang telah mencapai batas nishab salah satu dari
keduanya (emas atau perak), dan belum mencapai batas nishab yang lainnya, maka
penghitungan zakatnya wajib didasarkan kepada nishab yang telah dicapai tersebut”.[9]
Catatan Penting Kedua.
Dari pemaparan singkat tentang nishab zakat uang di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
Catatan Penting Kedua.
Dari pemaparan singkat tentang nishab zakat uang di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
nishab dan berbagai ketentuan tentang zakat uang adalah mengikuti nishab dan ketentuan
salah satu dari emas atau perak. Oleh karena itu, para ulama menyatakan bahwa nishab
emas atau nishab perak dapat disempurnakan dengan uang atau sebaliknya.[10]
Berdasarkan pemaparan di atas, bila seseorang memiliki emas seberat 50 gram
Berdasarkan pemaparan di atas, bila seseorang memiliki emas seberat 50 gram
seharga Rp. 10.000.000, (dengan asumsi harga 1 gram emas adalah Rp. 200.000,-)
dan ia juga memiliki uang tunai sebesar Rp. 13.000.000, maka ia berkewajiban
membayar zakat 2,5 %. Dalam hal ini walaupun masing-masing dari emas dan
uang tunai yang ia miliki belum mencapai nishab, akan tetapi ketika keduanya
digabungkan, jumlahnya (Rp. 23.000.000,-) mencapai nishab.
Dengan demikian orang tersebut berkewajiban membayar zakat sebesar Rp. 575.000,-
Dengan demikian orang tersebut berkewajiban membayar zakat sebesar Rp. 575.000,-
berdasarkan perhitungan sebagai berikut:
(Rp 10.000.000,- + Rp. 13.000.000,-) x 2,5 % = Rp. 575.000,-
(atau Rp. 23.000.000,- dibagi 40)
ZAKAT PROFESI
(Rp 10.000.000,- + Rp. 13.000.000,-) x 2,5 % = Rp. 575.000,-
(atau Rp. 23.000.000,- dibagi 40)
ZAKAT PROFESI
Pada zaman sekarang ini, sebagian orang mengadakan zakat baru yang disebut dengan
zakat profesi, yaitu bila seorang pegawai negeri atau perusahaan yang memiliki gaji
besar, maka ia diwajibkan untuk mengeluarkan 2,5 % dari gaji atau penghasilannya.
Orang-orang yang menyerukan zakat jenis ini beralasan, bila seorang petani yang
dengan susah payah bercocok tanam harus mengeluarkan zakat, maka seorang pegawai
yang kerjanya lebih ringan dan hasilnya lebih besar dari hasil panen petani, tentunya
lebih layak untuk dikenai kewajiban zakat. Berdasarkan qiyas ini, para penyeru
zakat profesi mewajibkan seorang pegawai untuk mengeluarkan 2,5 % dari gajinya
dengan sebutan zakat profesi.
Bila pendapat ini dikaji dengan seksama, maka kita akan mendapatkan banyak
Bila pendapat ini dikaji dengan seksama, maka kita akan mendapatkan banyak
kejanggalan dan penyelewengan. Berikut secara sekilas bukti kejanggalan dan
penyelewengan tersebut:
1. |
Zakat hasil pertanian adalah
(seper-sepuluh) hasil panen bila pengairannya tanpa memerlukan biaya,
dan (seper-duapuluh) bila pengairannya membutuhkan biaya. Adapun zakat
profesi, maka zakatnya adalah 2,5 % sehingga Qiyas semacam ini merupakan
Qiyas yang sangat aneh (ganjil) dan menyeleweng.
|
2. |
Gaji diwujudkan dalam bentuk uang,
maka gaji lebih tepat bila dihukumi dengan hukum zakat emas dan perak,
karena sama-sama sebagai alat jual beli dan standar nilai barang.
|
3. |
Gaji bukanlah hal baru dalam kehidupan
manusia secara umum dan umat Islam secara khusus. Keduanya telah ada
sejak zaman dahulu kala. Berikut beberapa bukti yang menunjukkan hal
itu:
Sahabat ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallâhu'anhu
pernah menjalankan suatu tugas dari Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi
Wasallam. Lalu ia pun diberi upah oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi
Wasallam. Pada awalnya, Sahabat ‘Umar radhiyallâhu'anhu menolak upah tersebut, akan tetapi Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda kepadanya:
“Bila engkau diberi sesuatu tanpa engkau minta, maka makan (ambil) dan sedekahkanlah”.
(Riwayat Muslim)
Seusai Sahabat Abu Bakar radhiyallâhu'anhu
dibai’at untuk menjabat khilafah, beliau berangkat ke pasar untuk
berdagang sebagaimana kebiasaan beliau sebelumnya. Di tengah jalan
beliau berjumpa dengan ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallâhu'anhu, maka ‘Umar pun bertanya kepadanya:
“Hendak kemanakah engkau?”
Abu Bakar menjawab:
“Ke pasar”.
‘Umar kembali bertanya:
“Walaupun engkau telah mengemban tugas yang menyibukanmu?”
Abu Bakar menjawab:
“Subhanallah, tugas ini akan menyibukkan diriku dari menafkahi keluargaku?”
Umar pun menjawab:
“Kita akan memberimu secukupmu”.
(Riwayat Ibnu Sa’ad dan al-Baihaqi)
Imam al-Bukhâri juga meriwayatkan pengakuan Sahabat Abu Bakar radhiyallâhu'anhu tentang hal ini. ![]()
Sungguh, kaumku telah mengetahui
bahwa pekerjaanku dapat mencukupi kebutuhan keluargaku. Sedangkan sekarang aku disibukkan oleh urusan kaum muslimin, maka sekarang keluarga Abu Bakar akan makan sebagian dari harta ini (harta baitul-mâl), sedangkan ia akan bertugas mengatur urusan mereka. (Riwayat Bukhâri) Riwayat-riwayat ini semua membuktikan, bahwa gaji dalam kehidupan umat Islam bukan sesuatu yang baru, akan tetapi, selama 14 abad lamanya tidak pernah ada satu pun ulama yang memfatwakan adanya zakat profesi atau gaji. Ini membuktikan bahwa zakat profesi tidak ada. Yang ada hanyalah zakat mal, yang harus memenuhi dua syarat, yaitu hartanya mencapai nishab dan telah berlalu satu haul (1 tahun). |
Oleh karena itu, ulama ahlul-ijtihad yang ada pada zaman kita mengingkari pendapat ini.
Salah satunya ialah Syaikh Bin Bâz rahimahullâh, beliau berkata:
Salah satunya ialah Syaikh Bin Bâz rahimahullâh, beliau berkata:
“Zakat gaji yang
berupa uang, perlu diperinci, bila gaji telah ia terima, lalu berlalu
satu tahun dan telah mencapai satu nishab, maka wajib dizakati. Adapun bila gajinya
kurang dari satu nishab, atau belum berlalu satu tahun, bahkan ia belanjakan
sebelumnya, maka tidak wajib dizakati”.[11]
satu tahun dan telah mencapai satu nishab, maka wajib dizakati. Adapun bila gajinya
kurang dari satu nishab, atau belum berlalu satu tahun, bahkan ia belanjakan
sebelumnya, maka tidak wajib dizakati”.[11]
Fatwa serupa juga telah diedarkan oleh Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan
Saudi Arabia, dan berikut ini fatwanya:
Saudi Arabia, dan berikut ini fatwanya:
“Sebagaimana telah
diketahui bersama, bahwa di antara harta yang wajib dizakati
adalah emas dan perak (mata uang). Dan di antara syarat wajibnya zakat pada
emas dan perak (uang) adalah berlalunya satu tahun sejak kepemilikan uang tersebut.
Mengingat hal itu, maka zakat diwajibkan pada gaji pegawai yang berhasil
ditabungkan dan telah mencapai satu nishab, baik gaji itu sendiri telah mencapai
satu nishab atau dengan digabungkan dengan uangnya yang lain dan telah berlalu
satu tahun. Tidak dibenarkan untuk menyamakan gaji dengan hasil bumi, karena
persyaratan haul (berlalu satu tahun sejak kepemilikan uang) telah ditetapkan
dalam dalil, sehingga tidak boleh ada Qiyas. Berdasarkan itu semua, maka
zakat tidak wajib pada tabungan gaji pegawai hingga telah berlalu satu tahun (haul)”.[12]
adalah emas dan perak (mata uang). Dan di antara syarat wajibnya zakat pada
emas dan perak (uang) adalah berlalunya satu tahun sejak kepemilikan uang tersebut.
Mengingat hal itu, maka zakat diwajibkan pada gaji pegawai yang berhasil
ditabungkan dan telah mencapai satu nishab, baik gaji itu sendiri telah mencapai
satu nishab atau dengan digabungkan dengan uangnya yang lain dan telah berlalu
satu tahun. Tidak dibenarkan untuk menyamakan gaji dengan hasil bumi, karena
persyaratan haul (berlalu satu tahun sejak kepemilikan uang) telah ditetapkan
dalam dalil, sehingga tidak boleh ada Qiyas. Berdasarkan itu semua, maka
zakat tidak wajib pada tabungan gaji pegawai hingga telah berlalu satu tahun (haul)”.[12]
Sebagai penutup tulisan singkat ini, saya mengajak pembaca untuk senantiasa
merenungkan janji Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berikut:
merenungkan janji Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berikut:

Tidaklah shadaqah itu akan mengurangi harta kekayaan.
(HR. Muslim)
(HR. Muslim)
Semoga pemaparan singkat di atas dapat
membantu pembaca memahami metode
penghitungan zakat maal yang benar menurut syari’at Islam. Wallahu Ta’ala A’lam.
penghitungan zakat maal yang benar menurut syari’at Islam. Wallahu Ta’ala A’lam.

[1] |
Tafsir Ibnu Katsir (2/351-352). Hal semakna juga diungkapkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalâni dalam kitabnya, Fathul-Bâri (3/305).
|
[2] |
Lihat Fathul-Bâri, 3/305.
|
[3] |
Penentuan nishab emas dengan 91 3/7
gram, berdasarkan keputusan Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia no.
5522. Adapun Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin menyatakan, bahwa
nishab zakat emas adalah 85 gram, sebagaimana beliau tegaskan dalam
bukunya, Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ‘il, 18/130 dan 133).
|
[4] |
Penentuan nishab perak dengan 595 gram, berdasarkan penjelasan
Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin pada berbagai kitab beliau, di
antaranya Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ‘il, 18/141.
|
[5] |
Lihat Subulus-Salâm, ash-Shan’ani, 2/129.
|
[6] |
Lihat Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ‘il 18/155. Demikian juga difatwakan
oleh Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia pada fatwanya no. 9564.
|
[7] |
Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ‘il, 18/96.
|
[8] |
Sebagaimana ditegaskan pada keputusan
konferensi Komisi Fiqih Islam di bawah Rabithah ‘Alam al-Islami, no. 6,
pada rapatnya ke 5, tanggal 8 s/d 16 Rabiul-Akhir, Tahun 1402 H. Dan
juga pada keputusan Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia no. 1881,
1728, dan difatwakan oleh Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin dalam
Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ`il, 18/173.
|
[9] |
Lihat Majmu’ Fatâwâ, Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia
(9/254 fatwa no. 1881) dan Majmu’ Fatâwâ wa Maqalât al-Mutanawwi‘ah oleh
Syaikh ‘Abdul-’Aziz bin Bâz (14/125).
|
[10] |
Lihat Maqalaat a- Mutanawwi’ah, Syaikh ‘Abdul-’Aziz bin Bâz, 14/125.
|
[11] |
Maqalât al-Mutanawwi’ah, Syaikh
‘Abdul-’Aziz bin Bâz, 14/134. Pendapat serupa juga ditegaskan oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin dalam Majmu’ Fatâwâ wa
ar-Rasâ`il, 18/178.
|
[12] |
Majmu’ Fatâwâ, Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, 9/281 fatwa no. 1360.
|
(Majalah As-sunnah Edisi 05/Tahun XII)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar