Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda :
نَفْسُ الْـمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّىٰ يُقْضَى عَنْهُ
Jiwa seorang mukmin itu terkatung-katung dengan sebab utangnya sampai hutang dilunasi.
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh imam Ahmad dalam Musnad-nya
(II/440, 475, 508); Imam at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 1078-1079);
Imam ad-Darimi dalam Sunan-nya (II/262); Imam Ibnu Mâjah dalam Sunan-nya
(no. 2413); Imam al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 2147).
Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 6779).
SYARAH HADITS
Sesungguhnya agama Islam adalah agama yang sempurna, mudah dan mengatur
hubungan antara manusia dengan Khâliq (Allâh) Azza wa Jalla serta
mengatur hubungan antara manusia dengan manusia dan makhluk lainnya.
Islam mengatur mu’âmalah (intraksi) manusia dengan peraturan terbaik.
Agama Islam mengajarkan adab dan mu’amalah yang baik dalam semua
transaksi yang dibenarkan dan disyari’atkan dalam Islam, misalnya dalam
transaksi jual beli, sewa menyewa, gadai termasuk dalam transaksi pinjam
meminjam atau utang piutang yang akan kita bicarakan.
Utang piutang adalah mu’âmalah yang dibenarkan syari’at Islam. Mu’âmalah
ini wajib dilaksanakan sesuai syari’at Islam, tidak boleh menipu, tidak
boleh ada unsur riba, tidak boleh ada kebohongan dan kedustaan, dan
wajib diperhatikan bahwa utang wajib dibayar.
Utang-piutang banyak dilakukan kaum Muslimin, tetapi dalam prakteknya
banyak yang tidak sesuai dengan syari’at. Fakta seperti ini wajib
diluruskan, terutama bagi para penuntut ilmu dan para da’i.
Yang wajib diperhatikan oleh kaum Muslimin dan Muslimat, terutama para
penuntut ilmu bahwa utang dibolehkan dalam syari’at Islam, tetapi wajib
dibayar! Oleh karena itu, setiap utang piutang harus dicatat atau
ditulis nominal serta waktu pelunasannya. Ini sebagai janji dan janji
wajib ditepati. Kalau memang belum mampu bayar, maka sampaikanlah kepada
yang memberikan hutang bahwa kita belum mampu bayar pada hari atau
pekan ini atau bulan ini dan minta tempo lagi, agar diberi kelonggaran
waktu pada hari, atau pekan, atau bulan berikutnya.
Yang wajib diingat oleh setiap Muslim dan Muslimah bahwa utang wajib
dibayar dan kalau tidak dibayar akan dituntut sampai hari Kiamat. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau menshalatkan jenazah seorang
Muslim yang masih memiliki tanggungan hutang dua dinar sampai hutang itu
dilunasi.
Seorang yang meninggal dunia maka yang pertama kali diurus adalah
membayarkan utang-utangnya meskipun itu menghabiskan seluruh hartanya
dan tidak meninggalkan warisan. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ
“…Setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya...” [an-Nisâ'/4:11]
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَىٰ بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ ۚ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ
“…Setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar)
utangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah
ketentuan Allâh…” [an-Nisâ'/4:12]
Tentang makna hadits di atas, “Jiwa seorang mukmin itu terkatung-katung
dengan sebab utangnya sampai hutang dilunasi”, Imam ash-Shan’ani
rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa seseorang akan tetap
disibukkan dengan utangnya walaupun ia telah meninggal dunia. Hadits
ini menganjurkan agar kita melunasi utang sebelum meninggal dunia.
Hadits ini juga menunjukkan bahwa utang adalah tanggung jawab berat.
Jika demikian halnya maka alangkah besar tanggung jawab orang yang
mengambil barang orang lain tanpa izin, baik dengan cara merampas atau
merampoknya.”[1]
Imam al-Munâwi rahimahullah berkata, “Jiwa seorang mukmin, maksudnya:
ruhnya terkatung-katung setelah kematiannya dengan sebab utangnya.
Maksudnya, ia terhalangi dari kedudukan mulia yang telah disediakan
untuknya, atau (terhalang) dari masuk surga bersama rombongan
orang-orang yang shalih.”[2]
Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Yakni, jiwanya ketika di
dalam kubur tergantung pada utang atas dirinya seakan-akan –wallaahu
a’lam- merasa sakit karena menunda penyelesaian utangnya. Dia tidak
merasa gembira dan tidak lapang dada dengan kenikmatan untuknya karena
dirinya masih mempunyai kewajiban membayar utang. Oleh karena itu kita
katakan: Wajib atas para ahli waris untuk segera dan mempercepat
menyelesaikan utang-utang si mayit. [3]
Masalah utang memang dibenarkan dalam syari’at Islam, akan sebagai kaum
Muslimin kita wajib berhati-hati, karena banyak orang yang meremehkan
masalah utang, padahal utang adalah masalah besar, menyangkut masalah
agama, kehormatan, rumah tangga, dan dakwah. Dan bagi orang yang tidak
membayar atau tidak melunasi utang diancam dengan tidak masuk Surga.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berdo’a agar telindung dari
utang. Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwa Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallamberdo’a dalam shalatnya:
اَللّٰهُمَّ إِنِّـيْ أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ ، وَأَعُوذُ
بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْـمَسِيحِ الدَّجَّالِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ
فِتْنَةِ الْـمَحْيَا وَفِتْنَةِ الْـمَمَـاتِ ، اَللّٰهُمَّ إِنِّـيْ
أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْـمَأْثَمِ وَالْـمَغْرَمِ
Ya Allâh sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari adzab kubur, aku
berlindung kepadamu dari fitnah al-Masih ad-Dajjal, dan aku berlindung
kepada-Mu dari fitnah hidup dan fitnah mati. Ya Allâh, sesungguhnya aku
berlindung kepada-Mu dari dosa dan utang
Ada seorang yang bertanya kepada beliau, “Mengapa engkau sering kali berlindung kepada Allâh dari utang?” Beliau menjawab :
إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ ، وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ
Sesungguhnya, apabila seseorang terlilit utang, maka bila berbicara ia akan dusta dan bila berjanji ia akan pungkiri [4]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam berdiri di hadapan para Shahabat dan berbicara kepada mereka
bahwa jihad di jalan Allâh Azza wa Jalla dan iman kepada Allâh Azza wa
Jalla adalah amal yang paling utama. Lalu seorang laki-laki berdiri dan
berkata :
يَا رَسُولَ اللّٰـهِ ! أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِـيْ سَبِيْلِ اللّٰـهِ
تُكَفَّرُ عَنّـِيْ خَطَايَايَ ؟ فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللّٰـهِ صَلَّى
اللّٰـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( نَعَمْ إِنْ قُتِلْتَ فِـيْ سَبِيْلِ
اللّٰـهِ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُـحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ )) ،
ثُمَّ قَالَ رَسُوْلُ اللّٰـهِ صَلَّى اللّٰـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((
كَيْفَ قُلْتَ ؟ )) قَالَ : أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِـيْ سَبِيْلِ
اللّٰـهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّي خَطَايَايَ ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللّٰـهِ صَلَّى
اللّٰـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( نَعَمْ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُـحْتَسِبٌ
مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ ، إِلَّا الدَّيْنَ ، فَإِنَّ جِبْرِيْلَ
عَلَيْهِ السَّلَامُ قَالَ لِـيْ ذٰلِكَ )).
Wahai Rasûlullâh! Bagaimana menurutmu jika aku gugur di jalan Allâh,
apakah dosa-dosaku akan terhapus?” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallammenjawab, “Ya, asalkan engkau gugur di jalan Allâh dalam keadaan
sabar dan mengharapkan pahala, maju ke medan perang dan tidak melarikan
diri.” Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallamberkata
kepadanya, “Apa yang engkau katakan tadi?” ia mengulanginya, “Bagaimana
menurutmu jika aku gugur di jalan Allâh, apakah dosa-dosaku akan
terhapus?” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallammenjawab, “Ya,
asalkan engkau gugur di jalan Allâh dalam keadaan engkau sabar dan
mengharapkan pahala, maju ke medan perang dan tidak melarikan diri,
kecuali utang, karena itulah yang disampaikan Malaikat Jibril kepadaku
tadi.”[5]
Dari Muhammad bin Jahsy Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Pada suatu hari
kami duduk bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallamsedang
menguburkan jenazah. Beliau menengadahkan kepala ke langit kemudian
menepukkan dahi beliau dengan telapak tangan sambil bersabda :
(( سُبْحَانَ اللّٰـهِ ، مَاذَا نُزِّلَ مِنَ التَّشْدِيدِ ؟ ))
فَسَكَتْنَا وَفَزِعْنَا ، فَلَمَّـا كَانَ مِنَ الْغَدِ سَأَلْتُهُ : يَا
رَسُوْلَ اللّٰـهِ ! مَا هٰذَا التَّشْدِيْدُ الَّذِيْ نُزِّلَ ؟ فَقَالَ :
(( وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ ، لَوْ أَنَّ رَجُلًا قُتِلَ فِـيْ
سَبِيْلِ اللّٰـهِ ثُمَّ أُحْيِيَ ثُمَّ قُتِلَ ثُمَّ أُحْيِيَ ثُمَّ
قُتِلَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ مَا دَخَلَ الْـجَنَّـةَ حَتَّىٰ يُقْضَى عَنْهُ
دَيْنُهُ )).
‘SUBHÂNALLÂH, betapa berat ancaman yang diturunkan.’ Kami diam saja
namun sesungguhnya kami terkejut. Keesokan harinya aku bertanya kepada
beliau, ‘Wahai Rasûlullâh! Ancaman berat apakah yang turun?’ Beliau
menjawab, ‘Demi Allâh yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya
seorang laki-laki terbunuh fii sabiilillaah kemudian dihidupkan kembali
kemudian terbunuh kemudian dihidupkan kembali kemudian terbunuh
sementara ia mempunyai utang, maka ia tidak akan masuk surga hingga ia
melunasi utangnya.’” [6]
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُغْفَرُ لِلشَّهِيْدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلَّا الدَّيْنَ
Orang yang mati syahid diampuni seluruh dosanya, kecuali utang[7]
Dari Samurah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Kami bersama Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menguburkan jenazah. Beliau bersabda :
(( أَهَا هُنَا مِنْ بَنِي فُلَانٍ أَحَدٌ ؟ ثَلَاثًا ، فَقَامَ رَجُلٌ ،
فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللّٰـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( مَا
مَنَعَكَ فِـي الْـمَرَّتَيْنِ الْأُوْلَيَيْنِ أَنْ لَا تَكُوْنَ
أَجَبْتَنِيْ ؟ أَمَا إِنِّـيْ لَـمْ أُنَوِّهْ بِكَ إِلَّا بِخَيْرٍ ،
إِنَّ فُلَانًا لِرَجُلٍ مِنْهُمْ مَاتَ مَأْسُورًا بِدَيْنِهِ )).
“Adakah seseorang dari Bani Fulan di sini?’ Beliau mengulanginya tiga
kali. Lalu berdirilah seorang laki-laki. Rasûlullâh bertanya kepadanya,
‘Apa yang menghalangimu untuk menjawab seruanku pada kali yang pertama
dan kedua ? Adapun aku tidak menyebutkan sesuatu kepadamu melainkan
kebaikan. Sesungguhnya fulan -seorang laki-laki dari kalangan mereka
yang sudah mati- tertawan (tertahan) karena utangnya.’” [8]
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu bahwa ia mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
(( لَا تُـخِيْفُوْا أَنْفُسَكُمْ بَعْدَ أَمْنِهَا )) ، قَالُوْا : وَمَا ذَاكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ : (( الدَّيْنُ )).
Janganlah kalian membahayakan diri kalian setelah mendapatkan keamanan!”
mereka bertanya, “Bagaimana itu wahai Rasûlullâh?” Beliau menjawab,
“Yaitu dengan utang.” [9]
Dari Tsauban Radhiyallahu anhu, maula (bekas budak) Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallambahwa beliau Shaallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
مَنْ فَارَقَ الرُّوْحُ الْـجَسَدَ وَهُوَ بَرِيءٌ مِنْ ثَلَاثٍ : اَلْكِبْرِ ، وَالْغُلُوْلِ ، وَالدَّيْنِ دَخَلَ الْـجَنَّةَ.
Apabila ruh telah berpisah dari jasad (meninggal dunia), sedang ia
terbebas dari tiga perkara: kesombongan, ghulul (korupsi)[10], dan utang
niscaya ia masuk surge[11]
عَنْ جَابِرٍ قَالَ تُوُفِّـيَ رَجُلٌ ، فَغَسَّلْنَاهُ وَحَنَّطْنَاهُ
وَكَفَّنَّاهُ ، ثُمَّ أَتَيْنَا بِهِ رَسُوْلَ اللّٰـهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَيْهِ ، فَقُلْنَا : تُصَلِّي عَلَيْهِ ؟
فَخَطَا خُطًى ، ثُمَّ قَالَ : أَعَلَيْهِ دَيْنٌ ؟ قُلْنَا : دِينَارَانِ ،
فَانْصَرَفَ فَتَحَمَّلَهُمَـا أَبُوْ قَتَادَةَ ، فَأَتَيْنَاهُ ،
فَقَالَ أَبُوْ قَتَادَةَ : الدِّيْنَارَانِ عَلَيَّ ، فَقَالَ رَسُوْلُ
اللّٰـهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( أُحِقَّ الْغَرِيْمُ
وَبَرِئَ مِنْهُمَـا الْـمَيِّتُ ؟ )) قَالَ : نَعَمْ ، فَصَلَّى عَلَيْهِ.
ثُمَّ قَالَ بَعْدَ ذٰلِكَ بِيَوْمٍ : (( مَا فَعَلَ الدِّينَارَانِ ؟ ))
فَقَالَ : إِنَّمَـا مَاتَ أَمْسِ ، قَالَ : فَعَادَ إِلَيْهِ مِنَ الْغَدِ
، فَقَالَ : لَقَدْ قَضَيْتُهُمَـا ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللّٰـهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( الْآنَ بَرَدَتْ عَلَيْهِ جِلْدُهُ )).
Dari Jabir Radhiyallahu anhu ia berkata, “Seorang laki-laki meninggal
dunia dan kami pun memandikan jenazahnya, lalu kami mengkafaninya dan
memberinya wangi-wangian. Kemudian kami datang membawa mayit itu kepada
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami berkata, ‘Shalatkanlah
jenazah ini.’ Beliau melangkahkan kakinya, lalu bertanya, ‘Apakah dia
mempunyai tanggungan utang?’ kami menjawab, ‘Dua dinar.’ Lalu beliau
pergi. Abu Qatadah kemudian menanggung utangnya, kemudian kami datang
kepada beliau lagi, kemudian Abu Qatadah berkata, ‘Dua dinarnya saya
tanggung.” Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, ‘Kamu
betul akan menanggungnya sehingga mayit itu terlepas darinya? Dia
menjawab, ‘Ya.’ Maka Rasûlullâh pun menshalatinya. Kemudian setelah hari
itu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, ‘Apakah yang
telah dilakukan oleh dua dinar tersebut?’ Maka Abu Qatadah berkata,
“Sesungguhnya ia baru meninggal kemarin.’” Jabir berkata, ‘Maka
Rasûlullâh mengulangi pertanyaan itu keesokan harinya. Maka Abu Qatadah
berkata, ‘Aku telah melunasinya wahai Rasûlullâh!’ maka Rasûlullâh
bersabda, ‘Sekarang barulah dingin kulitnya!’”[12]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ ، فَلَيْسَ ثَمَّ دِيْنَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ ، وَلٰكِنَّهَا الْـحَسَنَاتُ وَالسَّيِّئَاتُ
Barangsiapa meninggal dunia sedangkan ia masih memiliki tanggungan
utang, sedang di sana tidak ada dinar dan tidak juga dirham, akan tetapi
yang ada hanya kebaikan dan kejelekan.[13]
Hadits-hadits di atas merupakan ancaman bagi orang yang berutang dan tidak membayar atau tidak melunasi utangnya.
ADAB-ADAB ORANG YANG BERUTANG
- Harus meluruskan niat dan tujuannya dalam berutang.
- Tidak berutang kecuali dalam kondisi darurat.
- Wajib berniat melunasi utangnya.
Dari Shuhaib bin al-Khair Radhiyallahu anhu, dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallambeliau bersabda :
أَيُّمَـا رَجُلٍ تَدَيَّنَ دَيْنًا وَهُوَ مُـجْمِعٌ أَنْ لَا يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِيَ اللّٰـهَ سَارِقًا
Siapa saja yang berutang, sedang ia berniat tidak melunasi utangnya maka ia akan bertemu Allâh sebagai seorang pencuri.”[14]
- Berusaha berutang kepada orang yang kaya atau mampu dan baik.
- Utang hanya sesuai kebutuhan.
- Wajib memenuhi janji dan berkata jujur, serta berlaku baik kepada orang yang meminjamkan uang atau barang kepada kita.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
ۚ وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ ۖ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا
“...Dan penuhilah janji karena janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya.” [al-Isrâ'/: 34]
- Wajib membayar utang tepat waktu dan tidak menunda-nundanya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَطْلُ الْـغَنِيِّ ظُلْمٌ
Menunda-nunda (pembayaran utang) dari orang yang mampu adalah kezhaliman.[15]
- Memberi kabar kepada orang yang memberi hutang jika belum mampu membayar.
- Harus berusaha keras mencari jalan keluar untuk segera melunasi utangnya.
- Mendo’akan kebaikan untuk orang yang telah meminjamkan sesuatu kepada kita dan berterima kasih kepadanya.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
مَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوْفًا فَكَافِئُوْهُ ، فَإِنْ لَـمْ
تَـجِدُوْا مَا تُكَافِئُوْنَهُ ؛ فَادْعُوْا لَهُ حَتَّىٰ تَرَوْا
أَنَّـكُمْ قَدْ كَافَأْتُـمُوْهُ
Barangsiapa telah berbuat kebaikan kepadamu, balaslah kebaikannya itu.
Jika engkau tidak mendapati apa yang dapat membalas kebaikannya itu,
maka berdo’alah untuknya hingga engkau menganggap bahwa engkau
benar-benar telah membalas kebaikannya.[16]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika membayar dan melunasi utang,
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan kebaikan dan barakah
kepada orang yang meminjamkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam . Ketika membayar utang, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
membaca doa:
بَارَكَ اللهُ لَكَ فِـيْ أَهْلِكَ وَمَالِكَ ، إِنَّمَـا جَزَاءُ السَّلَفِ الْـحَمْدُ وَالْوَفَاءُ
Semoga Allâh memberikan keberkahan kepadamu dan pada keluarga dan
hartamu. Sesungguhnya balasan salaf (pinjaman) itu adalah pelunasan
(dengan sempurna) dan pujian [17]
ADAB-ADAB ORANG YANG MEMBERIKAN UTANG
1. Memberi kelapangan, kemudahan, dan keringanan.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
... مَنْ يَـسَّـرَ عَلَـى مُـعْسِرٍ ، يَـسَّـرَ اللهُ عَلَـيْـهِ فِـي الدُّنْـيَـا وَالْآخِرَةِ...
...Barangsiapa memudahkan (urusan) orang yang kesulitan (dalam masalah
utang), maka Allâh memudahkan baginya (dari kesulitan) di dunia dan
akhirat...”[18]
2. Bersikap baik dalam menagih utang.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda :
رَحِمَ اللّٰـهُ رَجُلًا سَمْحًا إِذَا بَاعَ وَإِذَا اشْتَرَى وَإِذَا اقْتَضَى
Allâh merahmati orang yang mudah ketika menjual, membeli, dan meminta haknya.[19]
3. Memberikan tempo kepada yang tidak mampu bayar.
Berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan jika (orang berutang) itu dalam kesulitan, maka berilah tenggang
waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu
lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” [al-Baqarah/2:280]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا ، فَلَـهُ بِكُـّلِ يَوْمٍ صَدَقَـةٌ قَبْـلَ أَنْ
يَـحِلَّ الدَّيْنُ ، فَإِذَا حَلَّ الدَّيْنُ ، فَـأَنْظَرَهُ بَعْدَ
ذٰلِكَ ، فَلَهُ بِكُـّلِ يَـوْمٍ مِثْـلِهِ صَدَقَـةٌ.
Barangsiapa memberi tempo waktu kepada orang yang berutang yang
mengalami kesulitan membayar utang, maka ia mendapatkan (pahala) sedekah
pada setiap hari sebelum tiba waktu pembayaran. Jika waktu pembayaran
telah tiba kemudian ia memberi tempo lagi setelah itu kepadanya, maka ia
mendapat sedekah pada setiap hari semisalnya.[20]
Jika orang yang berutang tidak mungkin untuk membayar dan kita telah
melihat keadaan keluarga dan usahanya sulit, maka yang terbaik adalah
membebaskan utangnya.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda :
كَانَ تَاجِرٌ يُدَايِنُ النَّاسَ فَإِذَا رَأَى مُعْسِرًا قَالَ
لِفِتْيَانِهِ : تَجَاوَزُوْا عَنْهُ لَعَلَّ اللهَ أَنْ يَتَجَاوَزَ
عَنَّا فَتَجَاوَزَ اللهُ عَنْهُ.
“Dahulu ada seorang pedagang yang suka memberikan pinjaman kepada
manusia. Jika ia melihat orang kesulitan membayar utangnya, maka ia
berkata kepada para anak buahnya, ‘Maafkanlah darinya (bebaskanlah dari
utangnya) mudah-mudahan Allâh memaafkan kita.’ Maka Allâh pun
memaafkannya.”[21]
4. Tidak boleh menarik manfaat atau keuntungan dari pinjamannya tersebut
Para ulama membuat sebuah kaedah yang berbunyi:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا
Setiap pinjaman yang menghasilkan manfaat, maka itu adalah riba
FAWAAID HADITS
1. Peringatan keras tentang perkara utang. Utang adalah kegalauan pada
malam hari, kehinaan pada siang hari, dan penghalang masuk surga.
2. Ruh seorang mukmin tergantung dengan utangnya sampai utangnya itu dibayar.
3. Orang yang tidak berniat untuk membayar utangnya maka ia akan bertemu Allâh Azza wa Jallaelak sebagai pencuri.
4. Wajib memenuhi janji dan berkata jujur.
5. Wajib membayar utang tepat waktu dan tidak menundanya.
6. Orang yang mati syahid diampunkan seluruh dosanya kecuali utang.
7. Orang yang mati syahid tertunda masuk surga sampai dibayarkan utangnya.
8. Wajib segera membayar dan melunasi utang-utang sebelum ajal tiba.
9. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau menshalatkan jenazah yang masih mempunyai tanggungan utang.
10. Dianjurkan berdoa setiap shalat agar terhindar dari utang atau dapat melunasi utang.
11. Boleh melunasi utang orang yang sudah mati oleh selain anak-anaknya.
12. Hak-hak hamba wajib dilunasi atau minta dimaafkan sebelum meninggal dunia.
13. Utang yang belum dilunasi akan dituntut sampai hari Kiamat kecuali
jika orang yang meminjamkan membebaskan atau mengikhlaskannya.
14. Bila ada orang yang belum mampu membayar utang, maka hendaklah diberi tempo, sampai ada kelapangan untuk membayar.
15. Bila memang orang yang berutang tidak mampu bayar, maka hendaklah
bagi yang meminjamkan utang menyedekahkan hartanya alias dibebaskan
utangnya (pemutihan).
16. Tidak boleh menarik manfaat (lebih) dari utang karena itu riba.
17. Ancaman kepada orang yang zhalim dan melewati batas terhadap manusia.
18. Orang yang bangkrut yang sebenarnya adalah orang yang bangkrut pada hari Kiamat, karena berbuat zhalim kepada orang lain.
19. Pada hari Kiamat tidak ada lagi mata uang maka pahala kebaikannya
yang dipakai untuk membayar utang-utangnya dan kezhalimannya sampai
akhirnya ia bangkrut/pailit.
20. Orang yang tidak punya pahala kebaikan, maka kejelekan orang-orang
yang dia utang kepadanya atau orang yang dia zhalimi akan
ditimpakan/dilimpahkan kepadanya sehingga dia menjadi orang yang
bangkrut. Nas-alullaah al-‘Afwa wal ‘Aafiyah.
MARAAJI’:
1. Al-Qur-anul Karîm dan terjemahnya.
2. Al-Muwaththa' li Imam Mâlik.
3. Shahîh al-Bukhâri.
4. Shahîh Muslim.
5. Musnad Imam Ahmad.
6. Sunan Abu Dawud.
7. Sunan at-Tirmidzi.
8. Sunan an-Nasâi.
9. Sunan Ibni Mâjah.
10. Mustadrak al-Hâkim.
11. Shahiih Ibni Hibbân (at-Ta’liiqâtul Hisân).
12. Syarhus Sunnah lil Baghawi.
13. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, Syaikh al-Albâni.
14. Shahîh al-Jâmi’ish Shaghiir, Syaikh al-Albâni
15. Bulûghul Marâm, al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, tahqiq Samir az-Zuhairi.
16. Mausû’ah al-Adabil Islâmiyyah al-Murattabah ‘alal Huruufil Hija-iyyah, ‘Abdul ‘Aziz bin Fat-hi as-Sayyid Nada.
17. Hatta Lâ Taghriqa fid Duyûn, ‘Adil bin Muhammad Alu ‘Abdul ‘Ali.
18. Dan kitab-kitab lainnya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XV/Ramadhan - Syawal
1432/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197
Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Subulus Salam (II/250) cet. Darul ‘Ashimah, tahqiq Thariq bin ‘Awadhullah bin Muhammad.
[2]. Faidhul Qadîr (hlm. 375).
[3]. Lihat Syarh Riyâdhish Shâlihîn karya Syaikh al-‘Utsaimin (IV/553).
[4]. Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 832) dan Muslim, (no. 589), dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma
[5]. Shahih: HR. Muslim (no. 1885), Ahmad (V/297, 308), Mâlik dalam
al-Muwaththa' (II/no. 31), at-Tirmidzi (no. 1712), an-Nasa-i (VI/34),
ad-Dârimi (II/207), dan al-Baihaqi (IX/25).
[6]. Hasan: HR. An-Nasa-i (VII/314-315), Ahmad (V/289-290), al-Hakim
(II/25), dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 2145). Dishahihkan
oleh al-Hâkim dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Dihasankan oleh Syaikh
al-Albani dalam Sunan an-Nasa-i (no. 4684).
[7]. Shahih: HR. Muslim (no. 1886).
Faedah: Yang dimaksud dalam hadits-hadits tentang mati syahid adalah
orang yang mati syahid di medan perang menghadapi orang-orang kafir, dan
ia berperang bersama ulil amri. Bukan yang dimaksud adalah orang yang
membawa bom bunuh diri dengan merusak seperti sekarang ini dengan membom
tempat-tempat yang aman dan lainnya. Mati karena tindakan seperti itu
tidak bisa dikatakan mati syahid tetapi mati konyol dan tergolong bunuh
diri karena tindakannya tersebut melanggar syari’at dan membuat
kerusakan di muka bumi serta membunuh kaum muslimin dan orang-orang yang
dijamin oleh pemerintah.
[8]. Shahih: HR. Abu Dâwud (no. 3341), an-Nasa-i (VII/315) dan ini
lafazhnya, al-Hakim (II/25-26), Ahmad (V/11, 13, 20), dan al-Baihaqi
(VI/76). Lihat Ahkâmul Janâ-iz (hlm. 26-27).
[9]. Hasan: HR. Ahmad (IV/146, 154), Abu Ya’la (no. 1733), al-Hakim
(II/26), al-Baihaqi (V/355), dan selainnya. Dihasankan oleh Syaikh
al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 2420) dan Shahîh
al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 7259).
[10]. Pada asalnya arti ghulul ialah mengambil harta rampasan perang (ghanimah) sebelum dibagikan oleh komandan perang.
[11]. Shahih: HR. at-Tirmidzi (no. 1573), Ibnu Mâjah (no. 2412), Ahmad
(V/276, 281, 282), al-Hakim (II/26), al-Baihaqi (V/355; IX/101-102), dan
selainnya. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 2785).
[12]. Shahih: HR. Ahmad (III/330), Abu Dâwud (no. 3343), an-Nasa-i
(IV/65-66), dan Ibnu Hibbân (no. 3053-at-Ta’lîqâtul Hisân). Lihat
Bulûghul Marâm (no. 877 dan 878) tahqiq Samir az-Zuhairi.
[13]. Shahih: HR. Ahmad (II/70-72), al-Hâkim (II/27) dari Ibnu ‘Umar
Radhiyallahu anhuma. Al-Hakim menshahihkannya dan disepakati oleh
adz-Dzahabi. Lihat Ahkâmul Janâ-iz (hlm. 13) karya Syaikh al-Albâni
rahimahullah
[14]. Shahih: HR. Ibnu Mâjah (no. 2410).
[15]. Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 2287) dan Muslim (no. 1564).
[16]. Shahih: HR. Ahmad (II/99), Abu Dâwud (no. 1672) dan ini lafazhnya,
an-Nasâ-i (V/82), al-Bukhari dalam Adabul Mufrad (no. 216), Ibnu Hibbân
(no. 3400–at-Ta’lîqâtul Hisân), al-Hakim (I/412), dan ath-Thayalisi
(no. 2007), dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anuma. Lihat Silsilah
ash-Shahîhah (no. 254).
[17]. Hasan: HR. an-Nasâ-i (VII/314), Ibnu Mâjah (no. 2424), dan Ahmad
(IV/36). Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwâ-ul Ghalîl (no.
1388).
[18]. Shahih: HR. Muslim (no. 2699), dan lainnya, dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[19]. Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 2076) dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma .
[20]. Shahih: HR. Ahmad (V/351, 360), Ibnu Majah (no. 2418), dan
al-Hakim (II/29) dan ini lafazhnya, dari Buraidah Radhiyallahu anhu .
[21]. Shahih: HR. al-Bukhari (no. 2078) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Sumber : http://almanhaj.or.id/content/3350/slash/0/ruh-seorang-mukmin-terkatung-katung-tertahan-pada-hutangnya-hingga-dilunasi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar