Rabu, 05 Oktober 2011

Al-Qur'an Di Mata Syi’ah (2)

Ternyata ada ulama Syi’ah yang belum menelaah riwayat perubahan Al-Qur’an, mungkinkah demikian? atau hanya kura-kura dalam perahu..."


Dari makalah bagian pertama, akhirnya kita ketahui bahwa perubahan Al-Qur’an adalah salah satu aksioma (hal yang tidak bisa lagi ditawar-tawar) dalam madzhab Syi’ah Imamiyah. Ini merupakan konsekwensi logis dari keterangan di atas barusan. Di antara ulama Syi’ah yang “konsekuen” pada konsekuensi logis di atas adalah:

Abu Hasan Al-‘Amili, dia mengatakan:

“Bagi saya, perubahan Al-Qur’an telah demikian jelasnya, karena saya telah mengkonfirmasi dan menelusuri seluruh riwayat, yang mana dapat dikatakan bahwa keyakinan terhadap perubahan Al-Qur’an adalah salah satu keyakinan pokok (aksioma) dalam madzhab Syi’ah dan salah satu tujuan perebutan khilafah –dari yang berhak–. (Lihat Muqaddimah kedua pasal ke empat dari tafsir Miraatul Anwar wa Mishkatul Asrar, dicetak sebagai pengantar bagi Tafsir Al-Burhan karya Al-Bahrani).

Ternyata demikian jelas, bahwa meyakini perubahan Al-Qur’an adalah wajib bagi penganut Syi’ah, jika masih ingin dianggap sebagai Syi’ah. Karena riwayat yang begitu banyaknya –sampai derajat mutawatir bahkan lebih– harus diterima oleh penganut Syi’ah yang katanya mengikuti Ahlul Bait Nabi. Bagaimana dia mau mengikuti Nabi dan tetap berada dalam madzhab Syi’ah sementara dia menolak isi riwayat yang jelas mutawatir –bahkan lebih–? Bagaimana bisa menjadi Syi’ah dengan menolak isi kitab literaturnya? Menolak meyakini perubahan Al-Qur’an berarti menolak madzhab Syi’ah.

Begitu juga Al-‘Allamah Al-Hujjah Sayyid Adnan Al-Bahrani mengatakan:

“Meyakini perubahan Al-Qur’an adalah salah satu aksioma madzhab mereka –Syi’ah–. (Lihat: Masyariq Syumus Ad-Durriyah, hal. 126).

Karena banyaknya riwayat tentang perubahan Al-Qur’an, akhirnya ulama Syi’ah “yang konsekuen” menyimpulkan bahwa seseorang tidak bisa menjadi Syi’ah jika masih meyakini keaslian Al-Qur’an yang ada saat ini. Begitu juga ulama Syi’ah menyatakan bahwa seluruh Syi’ah bersepakat meyakini bahwa Al-Qur’an telah diubah. Di antaranya:

Al-‘Allamah Al-Hujjah Sayyid Adnan Al-Bahrani

Setelah menukilkan banyak riwayat yang menunjukkan perubahan Al-Qur’an, Adnan mengatakan: “Riwayat telah begitu banyak tak terhitung jumlahnya, bahkan telah melebihi syarat mutawatir, sehingga tidak berguna lagi untuk disampaikan setelah keyakinan tentang perubahan Al-Qur’an tersebar luas di kalangan kedua kelompok, bahkan sudah dijadikan aksioma oleh sahabat dan tabi’in, dan ijma’ (kesepakatan) golongan yang benar (Syi’ah Imamiyah), dan keyakinan itu menjadi sebuah pokok madzhab mereka dan banyak riwayat dari kitab Syi’ah yang menyatakan demikian. (Lihat: Masyariq Syumus Ad-Durriyah fi Ahaqqiyyati Madzhabil Akhbariyyah, hal. 126).

Muhammad bin Nu’man (juga dijuluki dengan Al-Mufid) mengatakan:

“Penganut Imamiyah sepakat meyakini bahwa banyak orang yang sudah mati akan kembali hidup lagi di dunia sebelum hari kiamat, mereka juga bersepakat meyakini Allah bersifat bada’, Imamiyah juga bersepakat meyakini bahwa pemimpin sesat telah menyelewengkan ayat Al-Qur’an, mereka juga menyimpang dari ajaran Al-Qur’an dan sunnah Nabi. (Lihat: Awa’ilul Maqalat, hal. 48-49).

Semua ini menguatkan kesimpulan bahwa: Seseorang tidak mungkin menjadi Syi’ah tanpa meyakini perubahan Al-Qur’an.

Mengapa seperti itu?

Karena mengingkari perubahan Al-Qur’an sama dengan mengingkari prinsip Imamah, karena hadits yang menyatakan perubahan Al-Qur’an dan Imamah sama-sama banyak dan dimuat dalam kitab yang sama. Mengingkari prinsip Imamah sama saja dengan keluar dari madzhab Syi’ah Imamiyah.

Di atas kita telah singgung ulama Syi’ah yang konsekuen dengan madzhabnya, yaitu menyatakan bahwa Al-Qur’an telah diubah. Jika ada ulama Syi’ah yang konsekuen, ada juga ulama Syi’ah yang tidak konsekuen karena mereka menolak meyakini perubahan Al-Qur’an, padahal mereka juga meyakini Imamah. Padahal semestinya mereka juga meyakini perubahan Al-Qur’an.

Salah satu ulama yang “tidak konsekuen” adalah Muhammad Ridha Muzaffar. Dalam karyanya yang berjudul Aqaidul Imamiyah, hal. 59, Muzaffar mengatakan:

Kami meyakini bahwa Al-Qur’an adalah wahyu ilahi yang diturunkan dari Allah Ta’ala melalui lisan Nabi-Nya yang mulia, memuat keterangan tentang segala sesuatu. Al-Qur’an adalah mu’jizat yang kekal sepanjang masa, yang mana manusia tidak mampu meniru balaghah dan kefasihannya, juga tidak mampu meniru isinya yang mengandung hakekat dan ilmu yang tinggi, tidak mengalami perubahan dan penyelewengan.

Di sini Muzaffar menandaskan bahwa Syi’ah meyakini Al-Qur’an yang ada sekarang ini terjaga dari penyelewengan dan perubahan. Di atas telah kita lihat bahwa Syi’ah Imamiyah sepakat bahwa Al-Qur’an telah diubah. Berarti ada dua kemungkinan, yang pertama Muzaffar memang tidak memiliki pengetahuan yang mendalam tentang Syi’ah.


Dalam pengantar kitabnya itu “Aqaid Al-Imamiyah” tertulis sekelumit biografi penulisnya “Muhammad Ridha Muzaffar” kita simak sedikit kutipannya:

“… Dia mengikuti seluruh pelajaran yang harus ditempuh di tingkat “sutuh” (tingkatan pendidikan ala Hauzah Ilmiyah Syi’ah di Najaf) Syaikh (Muhammad Ridha Muzaffar) unggul dalam seluruh pelajaran tingkatan itu… Dia juga mengikuti pelajaran yang disampaikan oleh kakaknya Muhammad Hasan dan Muhammad Husein, begitu juga mengikuti pelajaran Syaikh Aqa Dhiya’uddin Al-Iraqi yang mengajarkan ushul fiqh, juga mengikuti pelajaran Syaikh Mirza Muhammad Husein An-Na’ini yang mengajarkan fiqh dan ushul fiqh, mengikuti pelajaran Syaikh Muhammad Husein Al-Asfahani secara privat dan intensif…”

Artinya Syaikh Muhammad Ridha Muzaffar bukanlah seorang santri biasa atau Syi’ah amatiran (seperti teman-teman Syi’ah indonesia yang baru pulang dari Iran) yang asal menulis buku. Tak lupa kita nukilkan sedikit dari muqadimah “kata pengantar” bukunya “Aqaidul Imamiyah”:

“Saya menuliskan keyakinan-keyakinan ini, saya hanya berniat untuk menuliskan seluruh pengetahuan saya tentang pemahaman Islam ala Ahlul Bait.”

Tetapi pembaca telah melihat sendiri bahwa riwayat mutawatir, bahkan lebih dari mutawatir dari jalan periwayatan Syi’ah Imamiyah, telah menegaskan bahwa Al-Qur’an telah diubah. Sedangkan Muhammad Ridha Muzaffar adalah seorang figur yang jelas tidak memiliki kredibilitas untuk “melawan” riwayat yang banyak itu.

Atau Muzaffar hanya “kura-kura dalam perahu” pura-pura tidak tahu?

Wallahu A’lam, hanya Allah yang tahu apa isi hati Muzaffar, tapi yang jelas pernyataannya dalam kitab itu harus kita teliti lagi validitasnya karena menyelisihi riwayat dari Ahlul Bait yang sudah jelas-jelas maksum, ditambah pula riwayat itu memiliki banyak jalur sehingga disebut mutawatir.

Masih ada lagi contoh dari ulama Syi’ah yang “tidak mau konsekuen” terhadap keyakinan Imamah, yaitu tidak mau menyatakan bahwa Al-Qur’an yang ada saat ini telah diubah, seperti ditegaskan oleh riwayat Syi’ah yang lebih dari mutawatir. Dialah Muhammad Husein Al-Kasyiful Ghita, yang menulis kitab Ashel Syi’ah wa Ushuluha. Dia menyebutkan bahwa riwayat yang menyatakan perubahan Al-Qur’an adalah riwayat yang lemah lagi menyimpang dari kebanyakan riwayat yang valid. Dalam kitabnya itu pada hal. 220, terbitan Mu’assasah Imam Ali ‘Alaihis salam, cet. Sitarah dia menyatakan:

“Kitab Al-Qur’an yang ada di tengah kaum muslimin hari ini adalah kitab yang diturunkan oleh Allah untuk membuktikan kebesaran Allah dan menantang kaum kafir untuk membuat kitab seperti Al-Qur’an, juga untuk mengajarkan hukum-hukum agama, menjelaskan yang halal dan yang haram, tidak pernah mengalami pengurangan, penyelewengan atau penambahan, pendapat ini adalah kesepakatan seluruh kaum muslimin. Kelompok mana saja di kalangan kaum muslimin yang beranggapan bahwa ada isi Al-Qur’an hari ini telah mengalami penyelewengan dan pengurangan, maka pendapatnya itu adalah keliru, dibantah oleh ayat Al-Qur’an: ‘Sungguh Kami telah menurunkan peringatan, dan Kami akan menjaganya.’ Seluruh riwayat dari kitab kami maupun mereka yang menyatakan perubahan Al-Qur’an adalah menyimpang dan lemah, dan hadits ahad tidak dapat menjadi dasar ilmu maupun amal.”

Ada beberapa hal yang harus dikomentari dari kutipan ini, yang paling mencolok adalah pernyataan bahwa riwayat-riwayat perubahan Al-Qur’an dalam kitab Syi’ah adalah dha’if dan menyimpang. Padahal pembaca sudah melihat sendiri pernyataan yang dikutip dari ulama-ulama besar Syi’ah masa lampau bahwa riwayat perubahan Al-Qur’an adalah mutawatir, sama seperti riwayat Imamah. akhirnya kita bertanya-tanya, apakah Al-Kasyiful Ghita bersikap pura-pura tidak tahu? Atau memang dia benar-benar tidak tahu? Jika kita lihat ajaran taqiyah di kalangan Syi’ah, kita semakin yakin bahwa Al-Kasyiful Ghita hanya berpura-pura tidak tahu, untuk menghibur kaum muslimin yang “intelek tapi bodoh” dan “bodoh tapi intelek (bergelar sarjana S2 dan S3)” bahwa Syi’ah dan Sunni tidaklah berbeda, dan tuduhan seperti itu hanyalah tuduhan yang tanpa bukti. Sayangnya para intelek-intelek itu mau saja ditipu. Bahkan ada seorang “intelek” bergelar DOKTOR yang sering muncul di TV, menulis buku membela Syi’ah dengan berdasar pada buku Al-Kasyiful Ghita ini.

Mungkin pembaca heran, bagaimana mengingkari kenyataan begitu mudah bagi Al-Kasyiful Ghita, atau jangan-jangan Al-Kasyiful Ghita hanyalah seorang Syi’ah “amatiran”?

Bagaimana dia bisa tidak tahu bahwa riwayat Syi’ah yang menyatakan perubahan Al-Qur’an adalah mutawatir seperti pernyataan ulama-ulama yang lebih senior?

Ini sungguh membuat malu madzhab Syi’ah, karena bagaimana orang seperti itu bisa jadi ulama? Ini pertanyaan yang mungkin timbul dari pembaca yang awam.

Begitu juga katanya ada riwayat tahrif dalam buku Sunni, tetapi kita tidak pernah melihat hal itu, kecuali riwayat yang menyatakan adanya nasakh tilawah, sedangkan nasakh tilawah boleh dan terjadi dalam Al-Qur’an, dan nasakh tilawah adalah perubahan dari Allah semasa hidup Nabi, bukan perubahan dari tangan-tangan sahabat Nabi, seperti dalam riwayat Syi’ah. Apakah kita menyamakan nasakh tilawah dengan tahrif (perubahan) versi Syi’ah? Nyatanya banyak tokoh “intelek” menyamakannya.

Akhirnya orang awam yang tidak tahu terpengaruh, tapi Insya Allah setelah membaca makalah ini anda tidak lagi terpengaruh.

Juga orang awam akan bertanya-tanya, apakah setiap pernyataan ulama Syi’ah masa kini harus dicek dulu agar kita tahu apakah pernyataan itu sesuai dengan literatur Syi’ah atau tidak. Lebih jauh lagi, sebuah pertanyaan "berbahaya" akan muncul;

Kalau begitu, apakah kita layak mempercayai ucapan ulama Syi’ah? Siapa yang menjamin bahwa mereka tidak akan mengatakan hal yang berbeda dengan isi kitab literatur Syi’ah? (seperti contoh kasus adalah masalah perubahan Al-Qur’an yang sedang kita bahas).

(Masih bersambung lagi Insya Allah…