Minggu, 22 April 2012

Antara Syura' dan Demokrasi

Dalam demokrasi, orang mengenal istilah one man one vote. Dengan satu orang satu suara, maka tak ada lagi istilah muslim atau kafir, ulama atau juhala, ahli maksiat atau orang shalih, dan seterusnya. Semua suara bernilai sama di hadapan ‘hukum’. Walhasil, keputusan yang terbaik adalah keputusan yang diperoleh dengan suara mayoritas. Lalu bagaimana dengan sistem Islam? Siapakah yang patut didengar suaranya?

Bukan Dari Rakyat

Menjelang pesta demokrasi alias pemilu, begitu banyak persiapan yang dilakukan para pengusungnya, dari kota sampai ke desa; berjajar partai-partai yang akan turun ke kancah politik. Mulai dari partai senior sampai partai junior, bahkan partai yang menisbahkan dirinya kepada Islam pun tidak mau ketinggalan mengambil posisi dalam memeriahkan pesta demokrasi. Tak ada satu jalan pun kecuali telah dipenuhi dengan baleho-baleho para caleg, spanduk-spanduk partai, stiker, dan atribut lainnya. Beribu-ribu ungkapan dan janji yang tertulis hampir di setiap sudut kota. Semuanya terkadang buat bingung; yang mana harus dipilih?

Hukum Meminta Jabatan

Meminta jabatan atau mencalonkan diri dalam etika politik merupakan hal lumrah. Padahal Islam melarang keras perbuatan yang berakar dari budaya Barat ini. Hadits berikut memberikan penjelasan secara gamblang bagaimana sesungguhnya Islam memandang sebuah jabatan yang telah menjadi simbol status sosial ini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menasehatkan kepada Abdurrahman bin Samurah radliallahu ‘anhu :
“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan.

Apakah Nabi Yusuf 'Alaihis Salam Meminta Jabatan?

Penjelasan Asy-Syaikh Abdul Malik Ramadhani tentang Kisah Nabi Yusuf 


Orang yang berdalil dengan kisah masuknya Nabi Yusuf dalam siyasah (pemerintahan) telah tenggelam dalam kesalahan. Yaitu ketika beliau mengatakan:
اجْعَلْنِي عَلَىٰ خَزَائِنِ الْأَرْضِ

“Jadikanlah aku bendaharawan negara Mesir.” (Yusuf: 55)

Padahal beliau tidak memasuki tugas ini kecuali setelah mendapatkan persaksian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tertulis pada persaksian tersebut:

Rabu, 18 April 2012

Contoh Pendapat Al-Imam An-Nawawy Yang Berbeda Dengan Al-Imam Asy-Syafi'ie

Tulisan berikut ini menunjukkan beberapa contoh pendapat al-Imam anNawawy yang berbeda dengan pendapat Al-Imam asy-Syafi’i. Semoga Allah merahmati mereka berdua. Padahal, telah dimaklumi bahwa Al-Imam An-Nawawy adalah salah seorang Ulama Syafi’iyyah.



Hal tersebut menunjukkan bahwa metode bermadzhab yang diterapkan oleh para Ulama’ bukanlah fanatik buta dan taklid sepenuhnya terhadap madzhab yang diikutinya. Tidak sedikit di antara mereka mengikuti pendapat yang menurutnya lebih dekat pada kebenaran, lebih sesuai dengan dalil yang shahih, meski bertentangan dengan pendapat Imam Madzhab yang diikutinya.

Jumat, 06 April 2012

MAU KEMANA PARTAI ISLAM


Umat Islam belumlah lupa, beberapa waktu silam pascareformasi, kala hendak memilih pemimpin negeri ini, sebuah fatwa diteguhkan oleh sejumlah partai politik (parpol) Islam, ”haram memilih pemimpin wanita”. Namun beberapa waktu kemudian, ”fatwa” itu dimentahkan kembali. Bak bola salju, perkara ini terus menggelinding dan membesar. Hingga pada pemilihan kepala daerah (pilkada), tak cuma soal wanita, sejumlah parpol Islam bahkan sudah tidak malu mendukung kepala/wakil kepala daerah non-muslim.