Umat Islam belumlah lupa, beberapa waktu silam pascareformasi, kala hendak memilih pemimpin negeri ini, sebuah fatwa diteguhkan oleh sejumlah partai politik (parpol) Islam, ”haram memilih pemimpin wanita”. Namun beberapa waktu kemudian, ”fatwa” itu dimentahkan kembali. Bak bola salju, perkara ini terus menggelinding dan membesar. Hingga pada pemilihan kepala daerah (pilkada), tak cuma soal wanita, sejumlah parpol Islam bahkan sudah tidak malu mendukung kepala/wakil kepala daerah non-muslim.
Itulah sebuah ironi bernama politik yang dipertontonkan kepada umat.
Politik nyata-nyata tak hanya mengubah lawan menjadi kawan atau
sebaliknya, tapi terbukti bisa membongkar pasang syariat sekehendak
hati. Dewan syuro partai bukan mengawal syariat namun justru menjadi
stempel untuk melegalisasi penyimpangan syariat. Loyalitas tidak lagi
dibangun di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah namun oleh fatwa Dewan Syuro,
AD/ART parpol, bahkan sekadar ucapan tokoh sentralnya.
Makanya menjadi ”maklum” jika ada fenomena caleg non-muslim, koalisi
dengan parpol non-muslim ataupun sekuler, dsb, karena kamus politik
memang menghalalkannya. Juga tak perlu heran jika ada pengurus partai
yang kelabakan, ketika partainya dituding anti yasinan, tahlilan,
barzanji, dsb. Minder disebut partai Islam yang eksklusif, kemudian
tergopoh-gopoh menyatakan bahwa partainya plural, inklusif, bahkan
menampilkan kesan nasionalis. Lebih takut kehilangan suara daripada
menampakkan al-haq, lebih khawatir simpatisan lari ketimbang mendapat
murka Allah l. Na’udzubillah.
Lagi-lagi sebuah ironi. Di panggung politik, mereka bisa mesra dengan
kalangan orang kafir, para preman dan ahli maksiat, para penyembah
kubur, dll, namun di balik itu mereka justru menebar kebencian kepada
dakwah yang mengajak kepada kemurnian Islam. Islam yang diusung
sebagaimana yang diajarkan Rasulullah n kepada para sahabatnya justru
dianggap memecah-belah umat. Sementara mereka sendiri tidak mau berkaca
diri bahwa dengan partai mereka telah membuat umat terkotak-kotak,
membuat umat berloyalitas kepada partai bukan kepada Islam. Alhasil,
fenomena saling aniaya dan membunuh hanya karena beda partai, tak pernah
dianggap memecah-belah umat.
Yang memilukan kemudian, umat malah disodori ”fatwa” haram golput.
Ini sama saja orang yang tidak memilih karena paham akan
kemungkaran-kemungkaran demokrasi divonis ”berdosa”. Na’udzubillah. Di
saat umat dilingkupi pemahaman agama yang jauh dari Islam yang murni,
umat justru disuguhi politikus-politikus bodoh yang hanya pandai
bertutur dan nampak santun tapi lancang mengaduk-aduk agama untuk
kepentingan politik praktis. Konyolnya lagi, ada yang malah menganggap
berdemokrasi sebagai bagian dari jihad. Begitu mudahnya menggunakan
istilah jihad, sama mudahnya saat mereka menggelari tokoh ideologis
mereka dengan asy-syahid.
Yang disayangkan tentu, masih saja ada kaum muslimin yang bisa
dibodohi sedemikian rupa. Padahal orang-orang yang fanatik partai itu
hanya menggunakan jaring laba-laba sebagai pijakan. ”Dalil”-nya, itupun
kalau bisa disebut dalil, sangat lemah dan klasik. ”Kita sudah berada
dalam sistem yang mau tidak mau kita harus ikut. Kalau kita tidak
memilih partai Islam, maka kekuasaan akan berada di tangan orang-orang
kafir.”
”Si parpol” ini bisa jadi memang tak mau berkaca. Bagaimana mungkin
mereka berkoar-koar mau memenangkan Islam sementara mereka justru
mengangkat caleg non-muslim, mengusung pasangan kepala daerah yang salah
satunya non-muslim, berkoalisi dengan parpol non-Islam, dan seabrek
pelanggaran syariat lainnya. Bagaimana pula jika pemerintah yang
berkuasa atau parlemen dikuasai muslim tapi bukan dari kader partainya
atau hasil “tarbiyah” mereka, atau taruhlah pemerintah yang berkuasa
telah menegakkan sebagian dari syariat Islam, apakah mereka mau
berhenti? Jawabnya, tentu saja tidak.
Makanya jangan pernah tertipu mereka yang bergelut dengan parpol,
dianggap telah berbuat sesuatu untuk umat sementara yang berkiprah di
luar itu tak memberikan kontribusi apapun bagi umat. Padahal kesibukan
mereka dalam ingar-bingar politik justru menjadikan mereka melalaikan
perbaikan umat. Bahkan perbaikan diri-diri mereka sendiri. Adanya
petinggi parpol ”Islam” yang percaya angka hoki serta banyaknya
politikus muslim yang terlibat skandal amoral serta jauh dari akhlak
Islam adalah contoh nyata.
Oleh karena itu, jangan pernah terselip asa, melalui sistem
demokrasi, umat Islam bisa meraih kejayaannya. Melalui sistem politik
kotor hasil adopsi filsafat Yunani, kemuliaan Islam dan muslimin bisa
kita tegakkan. Tak bakal ada kebaikan yang dibangun di atas kemungkaran.
Yang ada hanyalah pertanyaan, ”Mau kemana partai Islam?”
http://asysyariah.com/mau-kemana-partai-islam/