Rabu, 30 April 2014

Hukum Arisan dalam Pandangan Islam

Bagaiamana hukum Arisan dalam islam?
Oleh :  Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini hafizhahullaah

Arisan dikenal oleh sebagian orang  Arab dengan istilah jam’iyyah (kumpulan peserta arisan). Ini termasuk masalah kontemporer yang tengah marak ditekuni oleh banyak kaum muslimin mengingat manfaat yang mereka rasakan darinya. Masalah ini diperselisihkan oleh ulama ahli fatwa masa kini.
1. Ada yang berpendapat haram.

Al-‘Allamah Shalih al-Fauzan hafizhahullah berfatwa, “Ini dinamakan pengutangan di antara sekumpulan orang (arisan) dan perkara ini kehalalannya diragukan. Sebab, arisan adalah piutang dengan syarat adanya timbal balik dengan diutangi pula dan termasuk piutang yang menarik manfaat. Karena dua alasan tersebut, arisan haram.

Di antara ulama ada yang berfatwa boleh dengan alasan manfaat yang ditarik karena pengutangan itu tidak khusus pada salah satu pihak (pemiutang) melainkan pada kedua belah pihak. Menurut saya, yang rajih (terkuat) adalah pendapat pertama (yang mengharamkan). Dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا.

“Setiap piutang yang menarik suatu manfaat, hal itu adalah riba.”1 (Lihat kitab Asna al-Mathalib hlm. 240, al- Ghammaz ‘ala al-Lammaz hlm. 173, dan Tamyiz al-Khabits min ath-Thayyib hlm. 124)

Seluruh ulama telah sepakat atas makna yang terkandung pada hadits ini, sementara itu arisan termasuk dalam makna ini. Selain itu, arisan termasuk pengutangan yang mengandung syarat diutangi pula sebagai timbal baliknya, padahal Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang adanya dua akad dalam satu akad.Wallahu a’lam.”2

2. Ada yang berpendapat boleh.

Ini adalah fatwa Ibnu Baz—bersama Haiat Kibar al-‘Ulama (Dewan Ulama Besar Kerajaan Arab Saudi) yang dipimpinnya—dan Ibnu ‘Utsaimin. Berikut kutipan fatwa mereka.

• Al-Imam Ibnu Baz  rahimahumullah ditanya mengenai hukum arisan. Gambarannya, sekelompok pengajar mengumpulkan sejumlah uang di akhir bulan dari gaji mereka, lalu mereka memberikannya kepada salah seorang dari mereka, lalu diberikan kepada orang berikutnya di akhir bulan berikutnya, demikian seterusnya sampai seluruh peserta mengambil uang yang telah dikumpulkannya selama ini. Beliau t menjawab, “Hal itu tidak mengapa. Arisan adalah piutang yang tidak mengandung syarat memberi tambahan manfaat kepada siapa pun. Majelis Haiat Kibar al-‘Ulama telah mempelajari masalah ini dan mayoritas  mereka membolehkannya mengingat adanya maslahat untuk seluruh peserta arisan tanpa mengandung mudarat. Hanya Allah Subhaanahu wa ta’ala yang memberi taufik.”

• Al-Imam Ibnu ‘Utsaimin berfatwa dalam syarah Bulughul Maram, “Terjadi masalah di kalangan para pegawai yang gajinya dipotong setiap bulan (untuk dikumpulkan) senilai tertentu menurut kesepakatan mereka. Uang itu lantas diberikan kepada salah seorang dari mereka di bulan pertama, lalu kepada orang kedua di bulan kedua, dan seterusnya hingga uang itu bergilir kepada seluruh peserta (arisan). Apakah masalah ini tergolong piutang yang menarik manfaat/riba?

Jawabannya, tidak. Hal itu bukan piutang yang menarik manfaat/ riba, karena tidak ada peserta yang mendapatkan uang lebih dari jumlah yang telah diberikannya. Ada yang berkata, ‘Bukankah disyaratkan piutang itu dibayar sepenuhnya kepadanya, yang berarti syarat pada piutang (yang menarik manfaat/riba)?’

Kami jawab bahwa hal itu bukan syarat adanya akad lain, tetapi semata-mata syarat agar utang itu dilunasi. Artinya, peserta memberikannya kepada peserta lainnya dengan syarat ia mengembalikannya kepadanya senilai itu juga, tidak lebih dari itu.

Berdasarkan keterangan ini, pendapat bahwa arisan termasuk piutang yang menarik manfaat/riba adalah anggapan yang keliru. Sebab, arisan adalah piutang yang tidak mengandung penarikan manfaat/riba sama sekali. Seandainya peserta memiutangi uang senilai seribu dengan syarat dikembalikan dua ribu, tentu saja hal itu tidak boleh, karena tergolong piutang yang menarik manfaat/riba.”

Alhasil, yang benar menurut kami adalah pendapat yang membolehkan. Adapun kedua alasan yang dikemukakan oleh al-‘Allamah al-Fauzan sebagai dasar untuk menghukumi haramnya arisan telah terbantah pada kedua fatwa ini. Arisan bukan piutang yang menarik manfaat/riba, karena setiap peserta arisan tidak mengambil uang lebih dari uangnya sendiri yang dikumpulkannya selama berjalannya arisan.

Arisan bukan pengutangan yang mengandung syarat diutangi pula sebagai timbal baliknya. Sebab, setiap peserta yang mendapat undian (giliran) untuk mendapatkan sejumlah uang arisan yang terkumpul berarti dia diutangi oleh peserta arisan berikutnya (yang belum dapat giliran).

Adapun peserta yang telah dapat giliran, setorannya untuk membayar utangnya kepada peserta-peserta yang belum dapat giliran. Demikianlah seterusnya hingga berakhir.

Jadi, tidak ada sama sekali persyaratan akad lain yang membonceng padanya untuk memetik riba.

Wallahu a’lam.

Namun, pada perkembangannya ada model-model arisan yang diboncengi dengan lelang motor atau semacamnya yang perlu diwaspadai. Sebab, boleh jadi itu tergolong pengutangan yang menarik manfaat/riba sehingga haram. Hal itu apabila peserta arisan yang mendapat giliran di putaran-putaran berikutnya atau putaran terakhir diuntungkan oleh peserta-peserta sebelumnya dengan mendapat kelebihan dari nilai uang yang dikumpulkannya selama arisan berlangsung. Wallahul musta’an.

Sumber: http://asysyariah.com/problem-anda-hukum-arisan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar