Sabtu, 02 Juni 2012

Tentang Menempelkan Pundak dan Kaki dalam Shaff


Dikatakan, ini adalah sunnah yang dibuat-buat oleh Al-Albaaniy rahimahullah yang baru hidup di abad 14 H. Ini jelas tidak benar. Insya Allah, berikut akan dijelaskan secara ringkas tentang sunnah dalam shalat berjama’ah ini.

Al-Bukhaariy rahimahullah membuat bab:

بَاب إِلْزَاقِ الْمَنْكِبِ بِالْمَنْكِبِ وَالْقَدَمِ بِالْقَدَمِ فِي الصَّفِّ

وَقَالَ النُّعْمَانُ بْنُ بَشِيرٍ رَأَيْتُ الرَّجُلَ مِنَّا يُلْزِقُ كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ

حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ خَالِدٍ قَالَ حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ عَنْ حُمَيْدٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ

“Bab : Menempelkan pundak dengan pundak, kaki dengan kaki dalam shaff.

An-Nu’maan bin Basyiir berkata : Aku melihat seorang laki-laki dari kami menempelkan bahunya dengan bahu rekannya.

Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Khaalid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Zuhair, dari Humaid, dari Anas bin Maalik, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Tegakkanlah shaff-shaff kalian, karena sesungguhnya aku melihat kalian dari belakang punggungku”. Ada seorang diantara kami yang menempelkan bahunya dengan bahu temannya dan telapak kakinya dengan telapak kaki temannya [Shahiih Al-Bukhaariy, 1/238].

Hadits An-Nu’man bin Basyiir dibawakan Al-Bukhaariy secara mu’allaq dan disambungkan sanadnya oleh Abu Daawud:

عَنْ أَبِي الْقَاسِمِ الْجُدَلِيِّ، قَالَ: سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِير، يَقُولُ: أَقْبَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى النَّاسِ بِوَجْهِهِ، فَقَالَ: " أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ ثَلَاثًا، وَاللَّهِ لَتُقِيمُنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ "، قَالَ: فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ يَلْزَقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَرُكْبَتَهُ بِرُكْبَةِ صَاحِبِهِ وَكَعْبَهُ بِكَعْبِهِ

Dari Abul-Qaasim Al-Judaliy, ia berkata : Aku mendengar An-Nu’maan bin Basyiir berkata : Rasulullah  shalallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menghadap ke arah jama’ah shalat dan bersabda : “Tegakkanlah shaff-shaff kalian, tegakkanlah shaff-shaff kalian, tegakkanlah shaff-shaff kalian.  Demi Allah, kalian tegakkan shaff-shaff kalian atau Allah akan mencerai-beraikan hati-hati kalian”. An-Nu’man berkata : “Maka aku menyaksikan seorang laki-laki menempelkan bahunya dengan bahu temannya, lututnya dengan lutut temannya, dan mata kakinya dengan mata kaki temannya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 662; shahih].

Perkataan Al-Bukhaariy rahimahullah di atas menunjukkan fiqh (pemahaman) beliau terhadap hadits tersebut, yaitu cara menegakkan shaff adalah dengan menempelkan bahu dengan bahu dan kaki dengan kaki. Sama seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Hajar rahimahullah:

قوله : ( باب إلزاق المنكب بالمنكب والقدم بالقدم في الصف ) المراد بذلك المبالغة في تعديل الصف وسد خلله

“Dan perkataan Al-Bukhaariy : Bab Menempelkan Pundak dengan Pundak dan Kaki dengan Kaki dalam Shaff; maksudnya adalah berlebih-lebihan dalam meluruskan shaff dan menutup celah” [Fathul-Baariy, 2/211].

Yaitu : cara berlebih-lebihan dalam meluruskan dan menutup celah dalam shaff adalah dengan menempelkan pundak dengan pundak dan kaki dengan kaki. Jika tidak menempel, tentu akan ada celah sebagaimana hal itu telah ma’ruuf.

Dalam riwayat Abu Ya’laa ada tambahan dari perkataan Anas:

وَلَوْ ذَهَبْتَ تَفْعَلُ ذَلِكَ الْيَوْمَ لَتَرَى أَحَدَهُمْ كَأَنَّهُ بَغْلٌ شَمُوسٌ

“Dan seandainya engkau melakukan yang demikian itu pada hari ini, sungguh engkau akan melihat salah satu dari mereka seperti bighal yang melawan” [Musnad Abi Ya’laa no. 3720].

Perkataan Anas radliyallaahu ‘anhu ini merupakan pembenaran terhadap apa yang dilakukan oleh salah seorang shahabat yang menempelkan pundaknya dengan pundak temannya dan kakinya dengan kaki temannya. Selain itu juga perkataan Anas tersebut menunjukkan perbuatan tersebut adalah sesuatu yang lazim dilakukan di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan kemudian banyak ditinggalkan oleh orang-orang sepeninggal beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

عَنْ بُشَيْرِ بْنِ يَسَارٍ الْأَنْصَارِيِّ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّهُ قَدِمَ الْمَدِينَةَ، فَقِيلَ لَهُ: مَا أَنْكَرْتَ مِنَّا مُنْذُ يَوْمِ عَهِدْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَا أَنْكَرْتُ شَيْئًا، إِلَّا أَنَّكُمْ لَا تُقِيمُونَ الصُّفُوفَ

Dari Busyair bin Yasaar Al-Anshaariy, dari Anas bin Maalik, bahwasannya ia datang ke Madinah, lalu dikatakan kepadanya : "Apakah ada sesuatu yang engkau ingkari dari kami sejak engkau hidup bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam?". Anas bin Maalik menjawab : "Tidak ada sesuatu yang aku ingkari, kecuali kalian tidak meluruskan shaff-shaff” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 724].

Ibnu Hajar rahimahullah mengomentari lebih lanjut hadits Anas yang awal dengan perkataannya:

وَأَفَادَ هَذَا التَّصْرِيحُ أَنَّ الْفِعْلَ الْمَذْكُورَ كَانَ فِي زَمَنِ اَلنَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - ، وَبِهَذَا يَتِمُّ الِاحْتِجَاجُ بِهِ عَلَى بَيَان الْمُرَاد بِإِقَامَةِ الصَّفِّ وَتَسْوِيَتِهِ ، وَزَادَ مَعْمَرٌ فِي رِوَايَتِهِ " وَلَوْ فَعَلْت ذَلِكَ بِأَحَدِهِمْ الْيَوْمَ لَنَفَرَ كَأَنَّهُ بَغْل شُمُوس "

“Hadits ini memberikan faidah bahwa perbuatan yang disebutkan dalam hadits (yaitu perbuatan shahabat yang menempelkan bahunya dengan bahu temannya dan kakinya dengan kaki temannya) berlangsung di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan dengan hadits tersebut sempurnalah hujjah untuk  menjelaskan maksud meluruskan dan merapatkan shaff. Ma’mar menambahkan dalam riwayatnya : ‘Dan seandainya engkau melakukannya dengan salah seorang diantara mereka pada hari ini, niscaya ia akan lari seperti bighal yang melawan” [Fathul-Baariy, 2/211].

Syamsul-Haqq Al-‘Aadhiim Aabaadiy rahimahullah berkata:

قَالَ فِي التَّعْلِيق الْمُغْنِي : فَهَذِهِ الْأَحَادِيث فِيهَا دَلَالَة وَاضِحَة عَلَى اِهْتِمَام تَسْوِيَة الصُّفُوف وَأَنَّهَا مِنْ إِتْمَام الصَّلَاة ، وَعَلَى أَنَّهُ لَا يَتَأَخَّر بَعْض عَلَى بَعْض وَلَا يَتَقَدَّم بَعْضه عَلَى بَعْض ، وَعَلَى أَنَّهُ يُلْزِق مَنْكِبه بِمَنْكِبِ صَاحِبه وَقَدَمه بِقَدَمِهِ وَرُكْبَته بِرُكْبَتِهِ ، لَكِنْ الْيَوْم تُرِكَتْ هَذِهِ السُّنَّة ، وَلَوْ فُعِلَتْ الْيَوْم لَنَفَرَ النَّاس كَالْحُمُرِ الْوَحْشِيَّة . فَإِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

Al-Haafidh Al-'Aadiim Aabaadiy berkata dalam At-Ta’liiq Al-Mughniy : Hadits-hadits ini terdapat petunjuk yang jelas untuk memperhatikan kelurusan shaff, dan ia merupakan kesempurnaan shalat. Tidak boleh sebagian makmum mundur atau maju dari yang lain. Dan hendaknya menempelkan pundaknya ke pundak temannya dan kakinya ke kaki temannya. Akan tetapi pada hari ini sunnah ini telah ditinggalkan. Apabila sunnah ini dilakukan pada hari ini, niscaya orang-orang akan lari seperti keledai liar. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun” [‘Aunul-Ma’buud, 2/256].

Tentu saja, sunnah ini diamalkan tanpa berlebihan dengan berdesak-desakan sehingga membuat sulit bergerak dalam shalat. Mudah dilakukan bagi yang mau dan terbiasa.

Kembali ke paragraph awal, benarkah ini sunnah yang dibuat-buat oleh Al-Albaaniy ?. Benarkah ini hanya pemahaman Al-Albaaniy dan kaum Wahabiy semata ?

Dapatkah Anda membuat shaff yang rapat tanpa celah, dengan tanpa menempelkan bahu, kaki, atau bagian lain dari tubuh Anda ?.
Dalam riwayat lain disebutkan, 


عَنْ أَنَس، قَالَ: أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ فَأَقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ بِوَجْهِهِ، فَقَالَ: " أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ وَتَرَاصُّوا فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي "

Dari Anas, ia berkata : “Iqamat dikumandangkan, kemudian Rasulullah menghadap kami dengan wajahnya lalu bersabda : ‘Luruskan shaff-shaff kalian dan rapatkanlah, karena aku melihat kalian dari balik punggungku” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 719].

Ibnul-Atsiir rahimahullah berkata: “Makna tarashshuu fish-shufuuf, yaitu saling menempel/bersentuhan hingga tidak ada diantara kalian celah….. (رص البناء – يرصه - رصا), yaitu : ‘jika bangunan menempel satu dengan yang lainnya sehingga menyatu” [An-Nihaayah fii Ghariibil-Hadiits, hal. 360; Daar Ibnil-Jauziy, Cet. 1/1421 H].

Keterangan yang sama disampaikan oleh As-Sindiy rahimahullah dalam Hasyiyyah As-Sindiy ‘alaa Sunan An-Nasaa’iy 2/426 (Daarul-Ma’rifah, Cet. 1990 M).

Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah menjelaskan:

التراص : هوَ التضام والتداني والتلاصق . ومنه قوله تعالى : { إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفّاً كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ } [ الصف : 4 ] .

At-taraashsh maknanya bergabung, berdekatan, dan menempel. Dan darinya adalah firman Allah ta’ala : ‘Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh’ (QS. Ash-Shaff : 4)” [Fathul-Baariy, 6/719; Maktabah Al-Ghurabaa’ Al-Atsariyyah, Cet. 1/1416].

As-Suyuuthiy rahimahullah berkata:

وَفِي الصَّحِيح أَيْضا حَدِيث أقِيمُوا صفوفكم وتراصوا قَالَ الشُّرَّاح المُرَاد بأقيموا اعتدلوا وبتراصوا تلاصقوا بِغَيْر خلل

“Dalam juga kitab Ash-Shahiih, hadits ‘aqiimuu shufuufakum wa tarashshuu’, para pensyarah berkata : ‘Yang dimaksudkan dengan kata ‘aqiimuu’ adalah luruskanlah, dan kata ‘tarashshuu’ adalah saling menempel tanpa ada celah” [Basthul-Kaff fii Itmaamish-Shaff, hal. 13].

Perintah Nabi untuk merapatkan shaff dalam shalat berjama’ah adalah benar-benar merapatkan dengan menempelkan badan antara satu dengan yang lainnya sehingga tidak ada celah. Seperti halnya dalam hadits ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa tentang merapatkan tumit ketika sujud:

فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ وَكَانَ مَعِي عَلَى فِرَاشِي، فَوَجَدْتُهُ سَاجِدًا رَاصًّا عَقِبَيْهِ، مُسْتَقْبِلا بِأَطْرَافِ أَصَابِعِهِ الْقِبْلَةَ، فَسَمِعْتُهُ، يَقُولُ: " أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَبِعَفْوِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ، وَبِكَ مِنْكَ، أُثْنِيَ عَلَيْكَ لا أَبْلُغُ كُلَّ مَا فِيكَ

“Aku kehilangan Rasulullah yang sebelumnya bersamaku di tempat tidur. Lalu aku dapati beliau ternyata sedang bersujud dengan menempelkan tumitnya, ujung-ujung jemarinya menghadap kiblat. Aku mendengar beliau mengucapkan : ‘Aku berlindung dengan ridla-Mu dari murka-Mu, (berlindung) dengan ampunan-Mu dari siksa-Mu. Dengan-Mu (aku berlindung) dari (azab)-Mu, aku memujimu dan aku tidak dapat meraih semua apa yang ada pada-Mu” [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/328/no. 652].[1]

Makna rashshan ‘aqibaihi adalah benar-benar menempelkan/merapatkan tumit (ketika sujud). Oleh karena itu, Al-Baihaqiy rahimahullah memasukkan hadits tersebut dalam bab Maa Jaa-a fii Dlammil-‘Aqibaini fis-Sujuud (Beberapa Riwayat tentang Mengumpulkan/Menggabungkan Kedua Tumit Ketika Sujud).

Nabi telah menjelaskan sebab perintah merapatkan shaff tersebut dengan sabdanya:

رَاصُّوا صُفُوفَكُمْ وَقَارِبُوا بَيْنَهَا وَحَاذُوا بِالْأَعْنَاقِ فَوَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ إِنِّي لَأَرَى الشَّيَاطِينَ تَدْخُلُ مِنْ خَلَلِ الصَّفِّ كَأَنَّهَا الْحَذَفُ

Rapatkan shaff-shaff kalian, dekatkanlah antara shaf-shaf, dan sejajarkanlah leher-leher. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sesungguhnya aku melihat setan-setan masuk dari celah-celah shaff seperti seekor anak kambing kecil” [Diriwayatkan Abu Daawud no. 667, An-Nasaa’iy no. 815, Ahmad 3/260, dan lain-lain; shahih].

أَقِيمُوا الصُّفُوفَ وَحَاذُوا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ وَسُدُّوا الْخَلَلَ وَلِينُوا بِأَيْدِي إِخْوَانِكُمْ، لَمْ يَقُلْ عِيسَى: بِأَيْدِي إِخْوَانِكُمْ، وَلَا تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ، وَمَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللَّهُ

Tegakkanlah (luruskanlah) shaff-shaff, sejajarkanlah antara pundak-pundak, tutuplah celah-celah, dan berlemah-lembutlah terhadap kedua tangan saudara-saudara kalian[2]‘Iisaa (perawi) tidak menyebutkan ‘kedua tangan saudara kalian’ – . Dan janganlah kalian membiarkan celah-celah itu untuk setan. Barangsiapa yang menyambung shaff, maka Allah akan menyambungnya; dan barangsiapa yang memutusnya, maka Allah Allah akan memutusnya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 666; shahih].

Al-‘Iraaqiy rahimahullah saat menjelaskan hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu[3], berkata:

فِيهِ فَوَائِدُ: الأُولَى: فِيهِ الأَمْرُ بِإِقَامَةِ الصُّفُوفِ فِي الصَّلاةِ وَالْمُرَادُ بِالصَّفِّ الْجِنْسُ، وَيَدْخُلُ فِي إقَامَةِ الصَّفِّ اسْتِوَاءُ الْقَائِمِينَ عَلَى سَمْتٍ وَاحِدٍ وَالْتِصَاقُ بَعْضِهِمْ لِبَعْضٍ بِحَيْثُ لا يَكُونُ بَيْنَهُمْ خَلَلٌ وَتَتْمِيمُ الصُّفُوفِ الْمُقَدَّمَةِ أَوَّلا فَأَوَّلا

“Dalam hadits tersebut terdapat beberapa faedah. Pertama : Padanya terdapat perintah untuk menegakkan (meluruskan) shaff-shaff dalam shalat, sedangkan yang dimaksud dengan shaff adalah jenisnya. Dan yang masuk dalam perintah menegakkan (meluruskan) shaff adalah lurusnya orang-orang yang berdiri (makmum) di atas satu garis/barisan, saling menempel sebagian dengan sebagian yang lain tanpa ada celah di antara mereka, serta menyempurnakan shaff yang pertama baru shaff berikutnya” [Tharhut-Tatsriib, 2/509].

Peniadaan celah dalam shaff dengan menempelkan badan seseorang dengan yang lainnya merupakan perbuatan para shahabat di belakang Nabi sebagaimana diriwayatkan oleh Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu:

عَنْ أَنَسِ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: " أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي، وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ "

Dari Anas, dari Nabi yang bersabda : “Tegakkanlah (luruskanlah) shaff-shaff kalian, karena sesungguhnya aku melihat kalian dari belakang punggungku”. (Anas berkata) : “Seseorang diantara kami yang menempelkan bahunya dengan bahu temannya dan telapak kakinya dengan telapak kaki temannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 725].

Dalam riwayat Abu Ya’laa terdapat tambahan perkataan Anas setelah menceritakan apa yang diperbuat sahabat ketika melaksanakan perintah Nabi untuk merapatkan shaff:

لَقَدْ رَأَيْتُ أَحَدَنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ، وَلَوْ ذَهَبْتَ تَفْعَلُ ذَلِكَ الْيَوْمَ لَتَرَى أَحَدَهُمْ كَأَنَّهُ بَغْلٌ شَمُوسٌ

“Dan seandainya engkau melakukan yang demikian itu pada hari ini, sungguh engkau akan melihat salah satu dari mereka seperti bighal liar (yang melarikan diri)” [Musnad Abi Ya’laa no. 3720].

Dalam riwayat lain disebutkan dengan lafadh yulshiqu :

فَلَقَدْ رَأَيْتُ أَحَدَنَا يُلْصِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ....

“Dan sungguh aku melihat salah seorang diantara kami melekatkan/menempelkan pundaknya dengan pundak temannya, telapak kakinya dengan telapan kaki temannya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Fawaaris dalam Al-Fawaaid Al-Muntaqaah hal. 187 no. 92; shahih].

Dalam riwayat lain disebutkan perkataan Anas:

فَلَقَدْ يَتَبَارَى الرَّجُلُ بِلَزْقِ مَنْكِبِهِ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ إِذَا قَامَ فِي الصَّلاةِ

“Dan sungguh ada seorang sahabat berlomba-lomba menempelkan pundaknya kepada pundak temannya apabila berdiri dalam shalat (berjama’ah)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Basyraan dalam Al-Amaaliy no. 40; shahih].

Riwayat Anas di atas menunjukkan:

1.    kaifiyyah merapatkan shaff dalam shalat berjama’ah dan semangat para shahabat dalam melakukannya;

2.    persetujuan Nabi terhadap apa yang dilakukan dilakukan sahabat dalam hal menempelkan bahu dan telapak kaki[4];

3.    makna menempelkan antar bahu dan antar telapak kaki adalah sebagaimana dhahirnya;

4.    pengingkaran Anas terhadap fenomena yang terjadi di waktu itu – sepeninggal Nabi - berupa : tidak merapatkan shaff dengan menempelkan pundak dan telapak kakinya dalam shalat berjama’ah. Jika sunnah tersebut diamalkan, niscaya banyak orang yang enggan seperti bighal liar yang lari menjauh.[5]

‘Utsmaan Al-Bakriy Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:

يستحب إلصاق المناكب مع التسوية، بحيث لا يكون أحد متقدما على أحد ولا متأخرا عنه، فذلك هو السنة.

“Dan disunnahkan menempelkan bahu-bahu bersamaan dengan kelurusannya (dalam shaff) dimana tidak ada seorangpun yang lebih maju atau lebih mundur daripada yang lain. Maka itulah sunnah” [I’aanatuth-Thaalibiin, 2/28].

Adapun hadits:

عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَتَخَلَّلُ الصَّفَّ مِنْ نَاحِيَةٍ إِلَى نَاحِيَةٍ يَمْسَحُ صُدُورَنَا وَمَنَاكِبَنَا، وَيَقُولُ: لَا تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ، وَكَانَ يَقُولُ: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصُّفُوفِ الْأُوَلِ

Dari Al-Barraa’ bin ‘Aazib, ia berkata : “Rasulullah biasanya memasuki celah-celah shaff dari sisi/ujung shaff ke sisi/ujung lainnya dengan mengusap dada-dada dan pundak-pundak kami, seraya bersabda : ‘Janganlah kalian berselisih (dalam shaff), sehingga hati kalian akan berselisih juga’. Beliau juga bersabda : ‘Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada (orang-orang yang berada di) shaff-shaff pertama” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 664]

maknanya bukan : Nabi menerjang shaff-shaff sehingga dengannya menunjukkan adanya celah untuk orang lewat antara satu orang dengan orang sebelahnya dalam satu shaff.

Dalam riwayat lain disebutkan dalam bentuk jamak (ash-shufuuf):

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَتَخَلَّلُ الصُّفُوفَ مِنْ نَاحِيَةٍ إِلَى نَاحِيَةٍ يَمْسَحُ مَنَاكِبَنَا وَصُدُورَنَا

“Rasulullah biasanya memasuki celah-celah shaff-shaff dari sisi/ujung shaff ke sisi/ujung lainnya dengan mengusap dada-dada dan pundak-pundak kami” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 811].

Dalam riwayat lain disebutkan:

وَكَانَ يَأْتِي نَاحِيَةَ الصَّفِّ إِلَى نَاحِيَتِهِ، يُسَوِّي صُدُورَهُمْ، وَمَنَاكِبَهُمْ

“Dan beliau datang (berjalan) dari sisi/ujung shaff hingga ujung/sisi lainnya meluruskan dada-dada dan pundak-pundak-pundak mereka” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/285; shahih].

Maknanya, Rasulullah berjalan horizontal dari sisi/ujung shaf pertama ke sisi/ujung lainnya, lalu dilanjutkan ke berjalan ke shaff kedua, ketiga, dan seterusnya dengan cara yang sama. Celah yang dilewati adalah celah antar shaff, bukan di dalam shaff.

Al-Bukhaariy rahimahullah meletakkan hadits Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu dalam bab :

إِلْزَاقِ الْمَنْكِبِ بِالْمَنْكِبِ وَالْقَدَمِ بِالْقَدَمِ فِي الصَّفِّ

“Menempelkan pundak dengan pundak, kaki dengan kaki dalam shaff” [Shahiih Al-Bukhaariy, 1/238].

Bab ini menunjukkan dhahir fiqh beliau rahimahullah pada perkara merapatkan shaff dalam shalat berjama’ah, karena sesuai dengan metode pemberian judul bab yang lain dalam kitab Jaami’ush-Shahiih-nya. Bukan makna majaziy.

Al-Haafidh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan:

قوله : ( باب إلزاق المنكب بالمنكب والقدم بالقدم في الصف ) المراد بذلك المبالغة في تعديل الصف وسد خلله

“Dan perkataan Al-Bukhaariy : Bab Menempelkan Pundak dengan Pundak dan Kaki dengan Kaki dalam Shaff; maksudnya adalah berlebih-lebihan dalam meluruskan shaff dan menutup celah” [Fathul-Baariy, 2/211].

Sebagian orang ada yang memahami perkataan Al-Haafidh ‘al-mubaalaghah’ adalah majazi. Atau secara ringkas (menurut mereka) dikatakan : perkataan Al-Bukhaariy tersebut merupakan ungkapan majaz dalam meluruskan shaff dan menutup celah. Tidak benar-benar menempel. Justru ini tidak benar, karena menyalahi makna dhahirnya. Yang dimaksudkan Al-Haafidh dalam mubaalaghah di sini adalah penyangatan dan kesungguhan. Seakan-akan beliau rahimahullah berkata : Disyari’atkan menempelkan pundak dengan pundak dan telapak kaki dengan telapak kaki, dalam rangka mubaalaghah (berlebihan, bersungguh-sungguh) dalam pencapaian kelurusan shaff dan menutup celah [lihat : At-Tatimmaat li-ba'dli Masaailish-Shalaah oleh Asy-Syaikh Dr. Muhammad bin 'Umar Bazmuul, hal. 42].

Yang menguatkan makna ini, Al-Haafidh rahimahullah saat menjelaskan hadits Anas ‘aqiimush-shufuufakum wa tarashshuu’ berkata:

قوله وتراصوا بتشديد الصاد المهملة أي تلاصقوا بغير خلل

“Sabda beliau : ‘tarashshuu’ (rapatkanlah), maknanya saling menempelkan tanpa ada celah” [Fathul-Baariy, 2/208].

Nampak madzhab beliau rahimahullah dalam hal ini adalah rapat dengan saling menempelkan hingga tidak ada celah. Sangat selaras.

Setelah menyebutkan hadits An-Nu’maan bin Basyiir dan Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhumaa, Ibnu Baththaal rahimahullah berkata:

هذه الأحاديث تفسر قوله عليه السلام:  « تراصُّوا فى الصف » ، وهذه هيئة التراص

“Hadits-hadits ini menasfirkan sabda beliau : ‘Rapatkanlah shaff’, dan inilah bentuk merapatkan tersebut” [Syarh Shahiih Al-Bukhaariy oleh Ibnu Baththaal, 2/347-348].

Bukankah ketika Anas menyebutkan pengingkarannya : ‘Dan seandainya engkau melakukan yang demikian itu pada hari ini, sungguh engkau akan melihat salah satu dari mereka seperti bighal liar (yang melarikan diri)’; yang lebih pas dimaknai sesuai dengan dhahirnya ?. Dan inilah fakta yang banyak terjadi sekarang. Banyak orang enggan dan bahkan lari hanya sekedar untuk menempelkan bahu dan telapak kakinya. Silakan direnungkan !

Selain alasan makna yang dimaksud majazi (dan ini tidak valid), ada yang mengatakan bahwa sahabat yang menempelkan pundak dan telapak kakinya hanya satu orang saja, sedangkan yang lain tidak. Perbuatan seorang sahabat tidak menjadi dalil.

Dari mana disimpulkan sahabat yang lain tidak menempelkan pundak dan telapak kakinya ?. Tidak ada keterangan sama sekali dalam riwayat. Jika dikatakan ‘ahadunaa’ – dalam hadits Anas – bukan berarti yang lain tidak melakukannya. Misalnya saja hadits:

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِذَا أَمَرَنَا بِالصَّدَقَةِ انْطَلَقَ أَحَدُنَا إِلَى السُّوقِ فَيُحَامِلُ فَيُصِيبُ الْمُدَّ وَإِنَّ لِبَعْضِهِمْ الْيَوْمَ لَمِائَةَ أَلْفٍ

Dari Abu Mas’uud Al-Anshaariy radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Dulu apabila Rasulullah memerintahkan kami bershadaqah, maka salah seorang diantara kami akan berangkat menuju pasar lalu dia bekerja dengan sungguh-sungguh hingga mendapatkan rezeki satu mud (untuk dishadaqahkan). Adapun hari ini sebagian dari mereka bisa mendapatkan seratus ribu kalinya" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2273].

Hadits ini tidak menunjukkan hanya satu orang saja diantara banyak sahabat yang hadir yang mencari rizki dan bershadaqah darinya. Hadits ini hanya menunjukkan sifat/sikap para shahabat jika ketika mendengar perintah dari Nabi. Tentu aneh jika dipahami hanya satu orang saja dari banyak sahabat yang mendengar melaksanakan perintah beliau .

عَنْ زَيْدُ بْنُ أَرْقَمَ: إِنْ كُنَّا لَنَتَكَلَّمُ فِي الصَّلَاةِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ ﷺ يُكَلِّمُ أَحَدُنَا صَاحِبَهُ بِحَاجَتِهِ حَتَّى نَزَلَتْ: حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ، فَأُمِرْنَا بِالسُّكُوتِ "

Dari Zaid bin Arqam, ia berkata : “Dahulu kami di zaman Nabi saling berbicara ketika shalat. Salah seorang diantara kami mengajak temannya berbicara untuk satu keperluan, hingga kemudian turun ayat : ‘Peliharalah shalat-shalat-(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa’ (QS. Al-Baqarah : 283). Setelah itu, kami diperintahkan untuk diam (ketika shalat)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1199].

Hadits di atas menjelaskan bahwa fenomena berbicara ketika shalat sebelum turun larangan adalah jamak, umum dilakukan para shahabat. Ketika dikatakan oleh Zaid : ‘salah seorang diantara kami mengajak temannya berbicara untuk satu keperluan’, bukan artinya hanya satu orang saja yang berbicara dengan temannya.

Dan lain-lain.

Seandainya pun benar seperti yang mereka katakan bahwa hanya satu orang shahabat saja yang menempelkan pundak dan bahu mereka ketika meluruskan dan merapatkan shaff; bukankah menjadi janggal sementara mereka sendiri menguatkan makna perkataan Anas tersebut hanyalah majazi, bukan sebenarnya?. Perbuatan meluruskan dan merapatkan shaff tanpa menempelkan pun menjadi bukan hujjah karena hanya dilakukan oleh seorang shahabat saja.

Terakhir, sebagian orang mengatakan bahwa tidak mungkin untuk menempelkan lutut dengan lutut seperti dalam riwayat An-Nu’maan bin Basyiir radliyallaahu ‘anhu, sehingga makna yang terambil bukan pada dhahirnya, tapi majazi. Hadits An-Nu’maan bin Basyiir tersebut adalah:

عَنْ النُّعْمَان بْن بَشِير، يَقُولُ: أَقْبَلَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَلَى النَّاسِ بِوَجْهِهِ، فَقَالَ: " أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ ثَلَاثًا، وَاللَّهِ لَتُقِيمُنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ "، قَالَ: فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ يَلْزَقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَرُكْبَتَهُ بِرُكْبَةِ صَاحِبِهِ وَكَعْبَهُ بِكَعْبِهِ

Dari An-Nu’maan bin Basyiir, ia berkata : “Rasulullah  pernah menghadap ke arah jama’ah shalat dan bersabda : ‘Tegakkanlah (luruskanlah) shaff-shaff kalian’ – sebanyak tiga kali - .  Demi Allah, hendaklah kalian benar-benar menegakkan shaff-shaff kalian; atau jika tidak, maka Allah akan membuat hati-hati kalian saling berselisih’. An-Nu’maan berkata : “Aku melihat ada seorang laki-laki menempelkan bahunya dengan bahu temannya, lututnya dengan lutut temannya, dan mata kakinya dengan mata kaki temannya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 662; shahih].

Pada dasarnya hujjah ‘aqliyyah ini mudah dijawab. Pertama, menempelkan lutut dengan lutut bukannya tidak mungkin; akan tetapi bisa meski tidak setiap orang dapat melakukannya (tergantung bentuk kaki dan ukuran badan). Saya jawab demikian karena saya adalah pelakunya, sering melakukannya, walau tidak selalu. Kedua, perkataan An-Nu’maan ini menunjukkan bahwa merapatkan shalat dilakukan pada keseluruhan shalat. Menempelkan lutut dengan lutut mudah dilakukan ketika sujud dan duduk, sehingga dengannya seseorang berusaha tidak membiarkan adanya celah antara dirinya dengan saudaranya ketika shalat berjama’ah [At-Tatimmaat li-ba'dli Masaailish-Shalaah, hal. 44].

Sebagai penutup,…. menempelkan bahu dengan bahu, telapak kaki (mata kaki) dengan telapak kaki, atau bahkan lutut dengan lutut (sebagaimana keterangan di atas) mudah dilakukan bagi yang terbiasa, insyaallah. Justru saya tidak habis pikir ketika kita datang masuk ke dalam shaff dengan menempelkan bahu dan telapak kaki (mata kaki) kita dengan bahu dan telapak kaki (mata kaki) saudara kita muslim (tanpa ekstrim mepet dengan tubuhnya), ia malah menjauh. Saya pribadi malah pernah dihardik. Opo salahku ?. Kalau memang saudara kita menjauh atau bahkan ‘lari’, kita tak perlu kejar-kejaran karena kita bukan mau lari atletik. Urusan dia lah mau lari atau sprint….

Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya, wallaahu a’lam bish-shawwaab.

[abul-jauzaa’ – rnn – 13052018].



[1]    Keshahihan hadits ini diperbincangkan para ulama. Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah menshahihkannya dalam Shifatu Shalaatin-Nabiy, hal. 142; Maktabah Al-Ma’aarif. Adapun beberapa ulama lainnya melemahkannya.
[2]    Abu Daawud rahimahullah setelah menyebutkan hadits tersebut menjelaskan makna ‘berlemah-lembutlah terhadap kedua tangan saudara-saudara kalian’:
إِذَا جَاءَ رَجُلٌ إِلَى الصَّفِّ فَذَهَبَ يَدْخُلُ فِيهِ فَيَنْبَغِي أَنْ يُلِينَ لَهُ كُلُّ رَجُلٍ مَنْكِبَيْهِ حَتَّى يَدْخُلَ فِي الصَّفِّ
“Apabila seseorang datang dan kemudian hendak masuk shaff, hendaknya setiap orang agar melunakkan kedua pundaknya hingga ia dapat masuk ke dalam shaff” [Sunan Abi Daawud no. 666].
Hadits ini berkaitan dengan perintah/anjuran untuk menyambung/merapatkan shaff dan menutup celah (jika ada celah), karena konteks haditsnya adalah demikian. Maka, jika ada seseorang datang dan ingin masuk shaff untuk menutup celah; hendaknya orang-orang melunakkan pundaknya sehingga ia dapat masuk dan celah dapat tertutup.
 Senada dengan hadits yang lain:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: خِيَارُكُمْ أَلْيَنُكُمْ مَنَاكِبَ فِي الصَّلَاةِ
Dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Sebaik-baik kalian adalah yang mempunyai bahu paling lembut di dalam shalat” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 672; shahih].
Al-Manaawiy menjelaskan hadits ini semisal dengan penjelasan Abu Daawud rahimahumallah:
إذا جاء من يريد الدخول في الصف فوضع يده على منكبه لان وأوسع له ليدخل
“Apabila ada orang yang hendak masuk (mengisi) ke dalam shaff lalu ia meletakkan tangannya ke pundaknya, hendaknya ia memberikan kelonggaran untuknya agar dapat masuk (mengisi shaff)” [Faidlul-Qadiir, 2/96].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: خِيَارُكُمْ أَلْيَنُكُمْ مَنَاكِبًا فِي الصَّلاةِ، وَمَا مِنْ خُطْوَةٍ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنْ خُطْوَةٍ مَشَاهَا رَجُلٌ إِلَى فُرْجَةٍ فِي صَفٍّ فَسَدَّهَا
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling lunak pundaknya dalam shalat. Dan tidak ada satu langkah yang lebih agung pahalanya daripada langkah yang diayunkan seseorang untuk menuju celah dalam shaff lalu ia menutupnya” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath no. 5217; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Silsilah Ash-Shahiihah 2/368 no. 743].
Bukankah perbuatan ini sering kita lakukan menjelang shalat berjama’ah dimulai, yaitu kita saling mengisi dan merapatkan shaff yang kosong/longgar ?.
Adalah keliru jika kemudian hadits ini dimaknai bahwa shaff para shahabat di zaman Nabi adalah longgar sehingga orang dapat ‘keluar-masuk’ melewati shaff. Konteksnya bukan itu.
[3]    Yaitu hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ َقَالَ: " أَقِيمُوا الصَّفَّ فِي الصَّلَاةِ، فَإِنَّ إِقَامَةَ الصَّفِّ مِنْ حُسْنِ الصَّلَاةِ "
Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah , beliau bersabda : “Tegakkanlah (luruskanlah) shaff dalam shalat, karena tegaknya (lurusnya) shaff termasuk tanda kebagusan shalat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 689].
[4]    Karena Nabi bersabda dalam hadits tersebut:
فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي....
“Karena sesungguhnya aku melihat kalian dari belakang punggungku”.
Jika menempelkan bahu dan telapak kaki adalah kemunkaran (sebagaimana prasangka sebagian orang), tentu akan diingkari oleh Nabi .
[5]    PERSIS seperti fenomena sekarang, dan bahkan (yang sekarang) lebih parah.

http://abul-jauzaa.blogspot.com