Minggu, 24 Juni 2012

LARANGAN MEMINTA JABATAN

oper-tongkat-estafet
Mari kita perhatikan penjelasan tentang hadits “Larangan Meminta Jabatan” berikut :
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَمُرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ لِيْ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُوتِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُوتِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ وَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ
Dari Abdurrahman bin Samurah dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda kepadaku, “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan! Karena sesungguhnya jika diberikan jabatan itu kepadamu dengan sebab permintaan, pasti jabatan itu (sepenuhnya) akan diserahkan kepadamu (tanpa pertolongan dari Allâh). Dan jika jabatan itu diberikan kepadamu bukan dengan permintaan, pasti kamu akan ditolong (oleh Allâh Azza wa Jalla) dalam melaksanakan jabatan itu. Dan apabila kamu bersumpah dengan satu sumpah kemudian kamu melihat selainnya lebih baik darinya (dan kamu ingin membatalkan sumpahmu), maka bayarlah kaffârah (tebusan) dari sumpahmu itu dan kerjakanlah yang lebih baik (darinya)”. 

Hadits shahih. Telah dikeluarkan oleh al-Bukhâri (6622, 6722, 7146, & 7147) dan Muslim (1652) dan Abu Dâwud (2929 dan 3277 diringkas hanya dengan sumpah atau bagian kedua dari hadits) dan Tirmidzi (1529) dan an-Nasâ-i (5384 dan 3782, 3783, 3784 diringkas hanya berkaitan dengan sumpah atau bagian kedua dari hadits) dan yang selai mereka.

Diantara Fiqih Dari Hadits Yang Mulia Ini Ialah:
Larangan meminta jabatan. Jika larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia ini tidak dilanggar, maka akan menghasilkan kemaslahatan yang sangat besar, baik bagi yang memimpin yaitu pejabat itu sendiri maupun yang dipimpin yaitu rakyat. Karena dia akan selalu mendapat pertolongan dari Rabbul ‘alamin dalam melaksanakan tugasnya. Bentuk pertolongan dari Allah Azza wa Jalla itu bermacam-macam, misalnya:

1. Beban yang berat menjadi terasa ringan
2. Hal yang sulit menjadi mudah
3. Kesempitan akan menjadi lapang
4. Teguran, koreksi dan perbaikan dari kesalahan yang dia lakukan, sehingga dia tetap berada di jalan yang benar dalam melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin, baik sebagai pemimpin tertinggi, wakil, sebagai menteri, sebagai gubernur dan seterusnya. 

Namun, apabila larangan Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini dilanggar, pasti akan menimbulkan bahaya dan beban yang sangat besar bagi pemimpin dan yang dipimpin.

Perhatikanlah!
Sesungguhnya sabda yang agung ini keluar dari mata air nabawiyyah yang merupakan salah satu asas kepemimpinan dan kerakyatan, yang semuanya berujung kepada kemashlahatan bersama.
Kemudian…
Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah ketika mensyarahkan (menjelaskan) hadits ini dalam kitab beliau Fat-hul Bâri’, Syarah Shahîh al-Bukhâri di bagian Kitâbul Ahkâm, bab ke-5 dan 6 (no: 7146 dan 7147), beliau mengatakan bahwa zhahir hadits ini bertentangan dengan hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dâwud dari jalan Abu Hurairah Radhiyallahu anhu secara marfû’:
مَنْ طَلَبَ قَضَاءَ الْمُسْلِمِيْنَ حَتَّى يَنَالَهُ ثُمَّ غَلَبَ عَدْلُهُ جَوْرَهُ فَلَهُ الْجَنَّةُ وَمَنْ غَلَبَ جَوْرُهُ عَدْلَهُ فَلَهُ النَّارُ
Barangsiapa meminta menjadi qadhi (hakim) bagi kaum Muslimin sampai dia memperoleh jabatannya itu, kemudian keadilannya (dalam memutuskan hukum) mengalahkan kecurangannya, maka baginya adalah surga. Dan barangsiapa kecurangannya (dalam memutuskan hukum) mengalahkan keadilannya, maka baginya adalah neraka.

Kemudian al-hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah mencoba untuk menjama’ (memadukan) di antara kedua hadits di atas yakni hadits Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahuanhu dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dengan mengatakan, “Tidak mesti orang yang meminta jabatan sampai kemudian berhasil meraihnya tidak bisa berlaku adil dengan sebab dia meminta jabatan…”

Menjama’ (memadukan) adalah salah satu cara untuk menyelesaikan (permasalahan yang muncul) di antara dua buah hadits yang zahirnya seakan-akan bertentangan dengan syarat keduanya hadits shahih. Sehubungan dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang zahirnya membolehkan meminta jabatan telah dicoba untuk dijama’ dengan hadits Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu anhu yang zhahirnya melarang meminta jabatan, apakah keduanya telah shah atau salah satunya dha’if?

Kenyataannya sanad dari Abu Hurairah dha’îf.
Sanadnya demikian:
حَدَّثَنَا عَبَّاسٌ الْعَنْبَرِى حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ يُوْنُسَ حَدَّثَنَا مُلاَزِمُ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنِى مُوْسَى بْنُ نَجْدَةَ عَنْ جَدِّهِ يَزِيْدَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَهُوَ أَبُوْ كَثِيْرٍ قَالَ حَدَّثَنِى أَبُوْ هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- قَالَ : ….
Berkata Imam Abu Dawud (3575), “Telah menceritakan kepada kami al-Abbâs al ‘Anbariy (dia berkata), ‘Telah menceritakan kepada kami Umar bin Yûnus (dia berkata), ‘Telah menceritakan kepada kami Mulâzim bin ‘Amr (dia berkata), ‘Telah menceritakan kepadaku Musa bin Najdah dari kakeknya yaitu Yazid bin Abdurrahman yaitu Abu Katsir, dia berkata, ‘Telah menceritakan kepadaku Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersaba: …. ”.
Sanad hadits ini dha’îf karena Musa bin Najdah al-Hanafiy adalah seorang rawi yang majhûl sebagaimana dikatakan sendiri oleh al-hâfizh di kitab Taqrîb-nya. Karena hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ini dha’îf, maka tidak mungkin bisa dijama’ (dipadukan) dengan hadits Samurah yang sangat shahih. Walillahil hamd.

Adalagi hadits yang semakna dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari jalan Anas bin Mâlik yang telah dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dan Ibnu Mâjah dan lain-lain tetapi juga dha’if sebagaimana telah diterangkan oleh al-hafizh Ibnu Hajar rahimahullah.

Berdasarkan uraian di atas, maka hadits Samurah di atas tetap dalam keumuman dan kemutlakkannya tentang larangan meminta jabatan.
Imam Tidak Mengangkat Orang yang Meminta Jabatan
عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا وَرَجُلاَنِ مِنْ قَوْمِي، فَقَالَ أَحَدُ الرَّجُلَيْنِ: أَمِّرْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَقَالَ الآخَرُ مِثْلَهُ، فَقَالَ: «إِنَّا لاَ نُوَلِّي هَذَا مَنْ سَأَلَهُ، وَلاَ مَنْ حَرَصَ عَلَيْه
Dari Abu Musa Radhiyallahu anhu dia berkata, “Saya masuk menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama dengan dua orang dari kaumku, lalu salah seorang dari kedua orang itu berkata, “Jadikanlah (angkatlah) kami sebagai amir (pejabat) wahai Rasulullâh!” Kemudian yang seorang lagi juga meminta hal yang sama. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kami tidak akan mengangkat sebagai pejabat orang yang memintanya dan tidak juga orang yang tamak terhadap jabatan itu”
Hadits Shahih. Telah dikeluarkan oleh al-Bukhâri (2261, 6923, 7149, 7156 & 7157) dan Abu Dâwud (2930, 3579 & 4354) dan an-Nasâ-i (5382) dan yang lainna.

Diantara Fiqih Dari Hadits Yang Mulia Ini Adalah:
1. Bahwa yang mengangkat seorang sebagai pejabat adalah pemimpin tertinggi atau orang yang diizinkan dan diwakilkan oleh pemimpin tertinggi. Bukan orang banyak atau masyarakat yang beramai-ramai memilih pemimpin!!!

2. Bahwa pemimpin tidak mengangkat orang seseorang yang meminta jabatan dan tamak akan jabatan dan kekuasaan.

Masih berkaitan dengan permasalahan di atas, juga didapatkan riwayat dari Abu Dzar al-Ghifari radhiallahu ‘anhu. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku sebagai pemimpin?” Mendengar permintaanku tersebut, beliau menepuk pundakku seraya bersabda:
يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنَّكَ ضَعِيْفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيْهَا
“Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah sementara kepemimpinan itu adalah amanat. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut.” (Sahih, HR. Muslim no. 1825)
Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيْفًا، وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِي، لاَ تَأَمَّرَنَّ اثْنَينِ وَلاَ تَوَلَّيْنَ مَالَ يَتِيْمٍ
“Wahai Abu Dzar, aku memandangmu seorang yang lemah dan aku menyukai untukmu apa yang kusukai untuk diriku. Janganlah sekali-kali engkau memimpin dua orang[1] dan jangan sekali-kali engkau menguasai pengurusan harta anak yatim.” (Sahih, HR. Muslim no. 1826)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah membawakan kedua hadits Abu Dzar radhiallahu ‘anhu di atas dalam kitab beliau Riyadhush Shalihin, bab “Larangan meminta jabatan kepemimpinan dan memilih untuk meninggalkan jabatan tersebut jika ia tidak pantas untuk memegangnya atau meninggalkan ambisi terhadap jabatan.”

Kepemimpinan yang Diimpikan dan Diperebutkan
Menjadi seorang pemimpin dan memiliki sebuah jabatan merupakan impian semua orang kecuali sedikit dari mereka yang dirahmati oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Mayoritas orang justru menjadikannya sebagai ajang rebutan khususnya jabatan yang menjanjikan lambaian rupiah (uang dan harta) serta kesenangan dunia lainnya.
Sungguh benar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menyampaikan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُوْنَ عَلَى الْإِمَارَةِ، وَسَتَكُوْنُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 7148)
Bagaimana tidak, dengan menjadi seorang pemimpin, memudahkannya untuk memenuhi tuntutan hawa nafsunya berupa kepopuleran, penghormatan dari orang lain, kedudukan atau status sosial yang tinggi di mata manusia, menyombongkan diri di hadapan mereka, memerintah dan menguasai, kekayaan, kemewahan serta kemegahan.
Wajar bila kemudian untuk mewujudkan ambisinya ini, banyak elite politik atau “calon pemimpin” di bidang lainnya, tidak segan-segan melakukan politik uang dengan membeli suara masyarakat pemilih atau mayoritas anggota dewan. Atau “sekadar” uang tutup mulut untuk meminimalisir komentar miring saat berlangsungnya masa pencalonan atau kampanye, dan sebagainya. Bahkan yang ekstrem, ia pun siap menghilangkan nyawa orang lain yang dianggap sebagai rival dalam perebutan kursi kepemimpinan tersebut, atau seseorang yang dianggap sebagai duri dalam daging yang dapat menjegal keinginannya meraih posisi tersebut. Nas’alullah as-salamah wal ‘afiyah.
Al-Muhallab rahimahullah berkata sebagaimana dinukilkan dalam Fathul Bari (13/135); “Ambisi untuk memperoleh jabatan kepemimpinan merupakan faktor yang mendorong manusia untuk saling membunuh. Hingga tertumpahlah darah, dirampasnya harta, dihalalkannya kemaluan-kemaluan wanita (yang itu semuanya sebenarnya diharamkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala), dan karenanya terjadi kerusakan yang besar di permukaan bumi.”
Seseorang yang menjadi penguasa dengan tujuan seperti di atas, tidak akan mendapatkan bagiannya nanti di akhirat kecuali siksa dan azab. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

تِلۡكَ ٱلدَّارُ ٱلۡأٓخِرَةُ نَجۡعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوّٗا فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فَسَادٗاۚ وَٱلۡعَٰقِبَةُ لِلۡمُتَّقِينَ ٨٣

“Itulah negeri akhirat yang Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri di muka bumi dan tidak pula membuat kerusakan. Dan akhir yang baik itu hanya untuk orang-orang yang bertakwa.” (al-Qashash: 83)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan, “Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan bahwasanya negeri akhirat dan kenikmatannya yang kekal yang tidak akan pernah lenyap dan musnah, disediakan-Nya bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, yang tawadhu’ (merendahkan diri), tidak ingin merasa tinggi di muka bumi yakni tidak menyombongkan diri di hadapan hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang lain, tidak merasa besar, tidak bertindak sewenang-wenang, tidak zalim, dan tidak membuat kerusakan di tengah mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/412)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Seseorang yang meminta jabatan seringnya bertujuan untuk meninggikan dirinya di hadapan manusia, menguasai mereka, memerintah dan melarangnya. Tentunya tujuan yang demikian ini jelek adanya. Maka sebagai balasannya, ia tidak akan mendapatkan bagiannya di akhirat. Oleh karena itu, seseorang dilarang untuk meminta jabatan.” (Syarh Riyadhush Shalihin, 2/469)
Sedikit sekali orang yang berambisi menjadi pemimpin, kemudian berpikir tentang kemaslahatan umum serta bertujuan memberikan kebaikan kepada hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala dengan kepemimpinan yang kelak bisa dia raih. Kebanyakan mereka justru sebaliknya, mengejar jabatan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Program perbaikan dan janji-janji muluk yang digembar-gemborkan sebelumnya, tak lain hanyalah ucapan yang manis di bibir. Hari-hari setelah mereka menjadi pemimpin yang kemudian menjadi saksi bahwa mereka hanyalah sekadar mengobral janji kosong dan ucapan dusta yang menipu. Bahkan yang ada, mereka berbuat zalim dan aniaya kepada orang-orang yang dipimpinnya. Ibaratnya ketika belum mendapatkan posisi yang diincar tersebut, yang dipamerkan hanya kebaikannya. Namun ketika kekuasaan telah berada dalam genggamannya, mereka lantas mempertontonkan apa yang sebenarnya diinginkannya dari jabatan tersebut. Hal ini sesuai dengan ungkapan ‘serigala berbulu domba’. Ini sungguh merupakan perbuatan yang memudaratkan diri mereka sendiri dan nasib orang-orang yang dipimpinnya.
Betapa rakus dan semangatnya orang-orang yang menginginkan jabatan ini, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan kerakusan terhadap jabatan melebihi dua ekor serigala yang kelaparan lalu dilepas di tengah segerombolan kambing. Beliau bersabda:
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِيْنِهِ
“Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas di tengah gerombolan kambing lebih merusak daripada merusaknya seseorang terhadap agamanya karena ambisinya untuk mendapatkan harta dan kedudukan yang tinggi.” (HR. at-Tirmidzi no. 2482, disahihkan asy-Syaikh Muqbil dalam ash-Shahihul Musnad, 2/178)
Padahal Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
إِنْ شِئْتُمْ أَنْبَأْتُكُمْ عَنِ الإِمَارَةِ وَمَا هِيَ؟ أَوَّلُهَا مَلامَةٌ، وَثَانِيهَا نَدَامَةٌ، وثَالِثُهَا عَذَابٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلا مَنْ عَدَلَ وَكَيْفَ يَعْدِلُ مَعَ أَقْرِبِيهِ؟
“Kalau kalian mau niscaya akan kukabarkan tentang kekuasaan, apakah itu? Kekuasaan itu awalnya adalah celaan, keduanya adalah penyesalan dan ketiganya adalah azab di hari kiamat, kecuali orang yang adil, dan betapa sulitnya ia berlaku adil tatkala berkaitan dengan orang terdekatnya.”
[HR. Al-Bazzar dan Ath-Thabrani dari ‘Auf bin Malik radhiyallahu’anhu, Ash-Shahihah: 1562]

Sifat Seorang Pemimpin
Di tengah gencarnya para elite politik menambang suara dalam rangka memperoleh kursi ataupun jabatan, maka layak sekali apabila hadits yang diriwayatkan dari Abdurrahman bin Samurah dan Abu Dzar radhiallahu ‘anhuma di atas dihadapkan kepada mereka, khususnya lagi pada hadits Abu Dzar radhiallahu ‘anhu yang menyebutkan kriteria yang harus diperhatikan dan merupakan hal mutlak jika ingin menjadi pemimpin.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Abu Dzar radhiallahu ‘anhu, “Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah.”
Ucapan seperti ini bila disampaikan secara terang-terangan memang akan memberatkan bagi yang bersangkutan dan akan membekas di hatinya. Namun amanahlah yang menuntut hal tersebut. Maka hendaknya dijelaskan kepada orang tersebut mengenai sifat lemah yang melekat pada dirinya. Namun jika seseorang itu kuat, maka dikatakan kepadanya ia seorang yang kuat. Sebaliknya, bila ia seorang yang lemah maka dikatakan sebagaimana adanya. Yang demikian ini merupakan suatu nasihat. Tidaklah berdosa orang yang mengucapkan seperti ini bila tujuannya untuk memberikan nasihat, bukan untuk mencela atau mengungkit aib yang bersangkutan.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Makna ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Dzar radhiallahu ‘anhu adalah beliau melarang Abu Dzar menjadi seorang pemimpin karena ia memiliki sifat lemah, sementara kepemimpinan membutuhkan seorang yang kuat lagi tepercaya. Kuat dari sisi ia punya kekuasaan dan perkataan yang didengar/ditaati, tidak lemah di hadapan manusia. Karena apabila manusia menganggap lemah seseorang, maka tidak tersisa kehormatan baginya di sisi mereka, dan akan berani kepadanya orang yang paling dungu sekalipun, sehingga jadilah ia tidak teranggap sedikit pun. Akan tetapi apabila seseorang itu kuat, dia dapat menunaikan hak Allah subhanahu wa ta’ala, tidak melampaui batasan-batasan-Nya, dan punya kekuasaan. Maka inilah sosok pemimpin yang hakiki.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 2/472)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyatakan kepada Abu Dzar radhiallahu ‘anhu bahwa kepemimpinan itu adalah sebuah amanat. Karena memang kepemimpinan itu memiliki dua rukun, kekuatan dan amanah. Hal ini dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dengan dalil:

إِنَّ خَيۡرَ مَنِ ٱسۡتَ‍ٔۡجَرۡتَ ٱلۡقَوِيُّ ٱلۡأَمِينُ ٢٦

“Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (al-Qashash: 26)
Penguasa Mesir berkata kepada Yusuf ‘alaihissalam:

إِنَّكَ ٱلۡيَوۡمَ لَدَيۡنَا مَكِينٌ أَمِينٞ ٥٤

“Sesungguhnya kamu mulai hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami.” (Yusuf: 54)
Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan sifat Jibril dengan menyatakan:

إِنَّهُۥ لَقَوۡلُ رَسُولٖ كَرِيمٖ ١٩  ذِي قُوَّةٍ عِندَ ذِي ٱلۡعَرۡشِ مَكِينٖ ٢٠ مُّطَاعٖ ثَمَّ أَمِينٖ ٢١

“Sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar firman Allah yang dibawa oleh utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang memiliki ‘Arsy. Yang ditaati di kalangan malaikat lagi dipercaya.” (at-Takwir: 19—21)
Beliau rahimahullah berkata, “Amanah itu kembalinya kepada rasa takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tidak menjual ayat-ayat Allah  subhanahu wa ta’ala dengan harga yang sedikit, dan tidak takut kepada manusia. Inilah tiga perangai yang Allah subhanahu wa ta’ala tetapkan terhadap setiap orang yang memutuskan hukuman atas manusia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

فَلَا تَخۡشَوُاْ ٱلنَّاسَ وَٱخۡشَوۡنِ وَلَا تَشۡتَرُواْ بِ‍َٔايَٰتِي ثَمَنٗا قَلِيلٗاۚ وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ ٤٤

“Maka janganlah kalian takut kepada manusia, tapi takutlah kepada-Ku. Dan jangan pula kalian menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (al-Ma’idah: 44) [as-Siyasah asy-Syar’iyyah, hlm. 12—13]
Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah menyebutkan beberapa sifat dari seorang pemimpin ketika menafsirkan ayat:

وَإِذِ ٱبۡتَلَىٰٓ إِبۡرَٰهِ‍ۧمَ رَبُّهُۥ بِكَلِمَٰتٖ فَأَتَمَّهُنَّۖ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامٗاۖ قَالَ وَمِن ذُرِّيَّتِيۖ قَالَ لَا يَنَالُ عَهۡدِي ٱلظَّٰلِمِينَ ١٢٤

“Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Rabbnya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), kemudian Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman, ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu sebagi imam (pemimpin) bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata, ‘(Dan saya mohon juga) dari keturunanku’. Allah berfiman, ‘Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim’.” (al-Baqarah: 124)
Beliau berkata, “Sekelompok ulama mengambil dalil dengan ayat ini untuk menyatakan seorang imam (pemimpin) itu harus dari kalangan orang yang adil, memiliki kebaikan dan keutamaan, juga dengan kekuatan yang dimilikinya untuk menunaikan tugas kepemimpinan tersebut.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 2/74)
Sebenarnya masih ada beberapa syarat pemimpin yang tidak disebutkan di sini karena ingin kami ringkas. Mudah-mudahan, pada kesempatan yang lain bisa kami paparkan.
Nasihat bagi yang Sedang Berlomba Merebut Jabatan/Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah amanat, sehingga orang yang menjadi pemimpin berarti ia tengah memikul amanat. Tentunya, yang namanya amanat harus ditunaikan sebagaimana mestinya. Dengan demikian tugas menjadi pemimpin itu berat, sehingga sepantasnya yang mengembannya adalah orang yang cakap dalam bidangnya. Karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang yang tidak cakap untuk memangku jabatan karena ia tidak akan mampu mengemban tugas tersebut dengan semestinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
إِذَا ضُيِّعَتِ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ. قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا؟ قَالَ: إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهَا فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
“Apabila amanah telah disia-siakan, maka nantikanlah tibanya hari kiamat.
Ada yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan menyia-nyiakan amanat?’
Beliau menjawab, ‘Apabila perkara itu diserahkan kepada selain ahlinya, maka nantikanlah tibanya hari kiamat’.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 59)
Selain itu, jabatan tidak boleh diberikan kepada seseorang yang memintanya dan berambisi untuk mendapatkannya. Abu Musa radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku dan dua orang laki-laki dari kaumku pernah masuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka salah seorang dari keduanya berkata, ‘Angkatlah kami sebagai pemimpin, wahai Rasulullah’. Temannya pun meminta hal yang sama.
Bersabdalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّا لاَ نُوَلِّي هَذَا مَنْ سَأَلَهُ وَلَا مَنْ حَرَصَ عَلَيْهِ
“Kami tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya.” (HR. al-Bukhari no. 7149 dan Muslim no. 1733)
Hikmah dari hal ini, kata para ulama, adalah orang yang memangku jabatan karena permintaannya, maka urusan tersebut akan diserahkan kepada dirinya sendiri dan tidak akan ditolong oleh Allah subhanahu wa ta’ala, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abdurrahman bin Samurah radhiallahu ‘anhu di atas, ”Bila engkau diberi tanpa memintanya niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah subhanahu wa ta’ala dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun bila diserahkan kepadamu karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong).” Siapa yang tidak ditolong maka ia tidak akan mampu. Tidak mungkin suatu jabatan itu diserahkan kepada orang yang tidak cakap. (Syarh Shahih Muslim, 12/208, Fathul Bari, 13/133, Nailul Authar, 8/294)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sepantasnya bagi seseorang tidak meminta jabatan apa pun. Namun bila ia diangkat bukan karena permintaannya, maka ia boleh menerimanya. Akan tetapi jangan ia meminta jabatan tersebut dalam rangka wara’ dan kehati-hatiannya, karena jabatan dunia itu bukanlah apa-apa.” (Syarh Riyadhush Shalihin, 2/470)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata ketika mengomentari hadits Abu Dzar radhiallahu ‘anhu, “Hadits ini merupakan pokok yang agung untuk menjauhi kepemimpinan, terlebih lagi bagi seseorang yang lemah untuk menunaikan tugas-tugas kepemimpinan tersebut. Adapun kehinaan dan penyesalan akan diperoleh bagi orang yang menjadi pemimpin sementara ia tidak pantas dengan kedudukan tersebut, atau ia mungkin pantas namun tidak berlaku adil dalam menjalankan tugasnya. Maka Allah subhanahu wa ta’ala menghinakannya pada hari kiamat, membuka kejelekannya, dan ia akan menyesali kesia-siaan yang dilakukannya.
Adapun orang yang pantas menjadi pemimpin dan bisa berlaku adil, maka akan mendapatkan keutamaan yang besar sebagaimana ditunjukkan oleh hadits-hadits yang sahih seperti hadits, ‘Ada tujuh golongan yang Allah lindungi mereka pada hari kiamat, di antaranya imam (pemimpin) yang adil.’ Juga hadits yang disebutkan setelah ini tentang orang-orang yang berbuat adil nanti di sisi Allah subhanahu wa ta’ala (pada hari kiamat) berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Demikian pula hadits-hadits lainnya. Kaum muslimin sepakat akan keutamaan hal ini. Namun bersamaan dengan itu, karena banyaknya bahaya dalam kepemimpinan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan darinya, demikian pula ulama. Beberapa orang yang saleh dari kalangan pendahulu kita mereka menolak tawaran sebagai pemimpin dan mereka bersabar atas gangguan yang diterima akibat penolakan tersebut.” (Syarah Shahih Muslim, 12/210—211)
Ada sebagian orang menyatakan bolehnya meminta jabatan dengan dalil permintaan Nabi Yusuf ‘alaihissalam kepada penguasa Mesir:

قَالَ ٱجۡعَلۡنِي عَلَىٰ خَزَآئِنِ ٱلۡأَرۡضِۖ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٞ ٥٥

“Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” (Yusuf: 55)
Maka dijawab, bahwa permintaan beliau ‘alaihissalam ini bukan karena ambisi beliau untuk memegang jabatan kepemimpinan. Namun semata karena keinginan beliau untuk memberikan kemanfaatan kepada manusia secara umum, sementara beliau melihat dirinya memiliki kemampuan, kecakapan, amanah, dan menjaga terhadap apa yang tidak mereka ketahui. (Taisir al-Karimirrahman, hlm. 401)
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Nabi Yusuf ‘alaihissalam meminta demikian karena kepercayaan para nabi terhadap diri mereka dengan sebab adanya penjagaan dari Allah  subhanahu wa ta’ala terhadap dosa-dosa mereka (ma’shum). Sementara syariat kita yang sudah kokoh (tsabit) tidak bisa ditentang oleh syariat umat yang terdahulu sebelum kita, karena bisa jadi meminta jabatan dalam syariat Nabi Yusuf ‘alaihissalam pada waktu itu dibolehkan.” (Nailul Authar, 8/ 294)
Ketahuilah, wahai mereka yang sedang memperebutkan kursi jabatan dan kepemimpinan sementara dia bukan orang yang pantas untuk mendudukinya, kelak pada hari kiamat kedudukan itu nantinya akan menjadi penyesalan karena ketidakmampuannya dalam menunaikan amanat sebagaimana mestinya.
Al-Qadhi al-Baidhawi rahimahullah berkata, “Karena itu, tidak sepantasnya orang yang berakal, bergembira, dan bersenang-senang dengan kelezatan yang diakhiri dengan penyesalan dan kerugian.” (Fathul Bari, 13/134)
Faedah Hadits
  1. Kepemimpinan, jabatan, kekuasaan, dan kedudukan tidak boleh diberikan kepada orang yang memintanya, berambisi untuk meraihnya, dan menempuh segala cara untuk bisa mendapatkannya.
  2. Orang yang paling berhak menjadi pemimpin, penguasa, dan memangku jabatan/ kedudukan adalah orang yang menolak ketika diserahkan kepemimpinan, jabatan, dan kedudukan tersebut dalam keadaan ia benci dan tidak suka dengannya.
  3. Kepemimpinan adalah amanat yang besar dan tanggung jawab yang berat. Maka wajib bagi yang menjadi pemimpin untuk memerhatikan hak orang-orang yang di bawah kepemimpinannya dan tidak boleh mengkhianati amanat tersebut.
  4. Keutamaan dan kemuliaan bagi seseorang yang menjadi pemimpin dan penguasa apabila memang ia pantas memegang kepemimpinan dan kekuasaan tersebut. Sama saja, baik ia seorang pemimpin negara yang adil, bendahara yang tepercaya, ataukah karyawan yang menguasai bidangnya.
  5. Ajakan kepada manusia untuk tidak berambisi meraih kedudukan tertentu, khususnya bila ia tidak pantas mendapat kedudukan tersebut.
  6. Kerasnya hukuman bagi orang yang tidak menunaikan kepemimpinan dengan semestinya, tidak memerhatikan hak orang-orang yang dipimpin, dan tidak melakukan upaya optimal dalam memperbagus urusan kepemimpinannya.
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Ishaq Muslim al-Atsari

Wabillahit taufiq


Sumber:  http://asysyariah.com dengan sedkit tambahan dari blogger