Mari kita perhatikan penjelasan tentang hadits “Larangan Meminta
Jabatan” berikut :
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَمُرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ :
قَالَ لِيْ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ
بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُوتِيتَهَا عَنْ
مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُوتِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ
أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا
خَيْرًا مِنْهَا فَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ وَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ
Dari Abdurrahman bin Samurah dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah bersabda kepadaku, “Wahai Abdurrahman bin
Samurah, janganlah kamu meminta jabatan! Karena sesungguhnya jika
diberikan jabatan itu kepadamu dengan sebab permintaan, pasti jabatan
itu (sepenuhnya) akan diserahkan kepadamu (tanpa pertolongan dari
Allâh). Dan jika jabatan itu diberikan kepadamu bukan dengan permintaan,
pasti kamu akan ditolong (oleh Allâh Azza wa Jalla) dalam melaksanakan
jabatan itu. Dan apabila kamu bersumpah dengan satu sumpah kemudian kamu
melihat selainnya lebih baik darinya (dan kamu ingin membatalkan
sumpahmu), maka bayarlah kaffârah (tebusan) dari sumpahmu itu dan
kerjakanlah yang lebih baik (darinya)”.
Hadits shahih. Telah dikeluarkan oleh al-Bukhâri (6622, 6722, 7146,
& 7147) dan Muslim (1652) dan Abu Dâwud (2929 dan 3277 diringkas
hanya dengan sumpah atau bagian kedua dari hadits) dan Tirmidzi (1529)
dan an-Nasâ-i (5384 dan 3782, 3783, 3784 diringkas hanya berkaitan
dengan sumpah atau bagian kedua dari hadits) dan yang selai mereka.
Diantara Fiqih Dari Hadits Yang Mulia Ini Ialah:
Larangan meminta jabatan. Jika larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia ini tidak dilanggar, maka akan menghasilkan kemaslahatan yang sangat besar, baik bagi yang memimpin yaitu pejabat itu sendiri maupun yang dipimpin yaitu rakyat. Karena dia akan selalu mendapat pertolongan dari Rabbul ‘alamin dalam melaksanakan tugasnya. Bentuk pertolongan dari Allah Azza wa Jalla itu bermacam-macam, misalnya:
Larangan meminta jabatan. Jika larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia ini tidak dilanggar, maka akan menghasilkan kemaslahatan yang sangat besar, baik bagi yang memimpin yaitu pejabat itu sendiri maupun yang dipimpin yaitu rakyat. Karena dia akan selalu mendapat pertolongan dari Rabbul ‘alamin dalam melaksanakan tugasnya. Bentuk pertolongan dari Allah Azza wa Jalla itu bermacam-macam, misalnya:
1. Beban yang berat menjadi terasa ringan
2. Hal yang sulit menjadi mudah
3. Kesempitan akan menjadi lapang
4. Teguran, koreksi dan perbaikan dari kesalahan yang dia lakukan, sehingga dia tetap berada di jalan yang benar dalam melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin, baik sebagai pemimpin tertinggi, wakil, sebagai menteri, sebagai gubernur dan seterusnya.
2. Hal yang sulit menjadi mudah
3. Kesempitan akan menjadi lapang
4. Teguran, koreksi dan perbaikan dari kesalahan yang dia lakukan, sehingga dia tetap berada di jalan yang benar dalam melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin, baik sebagai pemimpin tertinggi, wakil, sebagai menteri, sebagai gubernur dan seterusnya.
Namun, apabila larangan Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam
ini dilanggar, pasti akan menimbulkan bahaya dan beban yang sangat
besar bagi pemimpin dan yang dipimpin.
Perhatikanlah!
Sesungguhnya sabda yang agung ini keluar dari mata air nabawiyyah yang merupakan salah satu asas kepemimpinan dan kerakyatan, yang semuanya berujung kepada kemashlahatan bersama.
Sesungguhnya sabda yang agung ini keluar dari mata air nabawiyyah yang merupakan salah satu asas kepemimpinan dan kerakyatan, yang semuanya berujung kepada kemashlahatan bersama.
Kemudian…
Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah ketika mensyarahkan (menjelaskan) hadits ini dalam kitab beliau Fat-hul Bâri’, Syarah Shahîh al-Bukhâri di bagian Kitâbul Ahkâm, bab ke-5 dan 6 (no: 7146 dan 7147), beliau mengatakan bahwa zhahir hadits ini bertentangan dengan hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dâwud dari jalan Abu Hurairah Radhiyallahu anhu secara marfû’:
Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah ketika mensyarahkan (menjelaskan) hadits ini dalam kitab beliau Fat-hul Bâri’, Syarah Shahîh al-Bukhâri di bagian Kitâbul Ahkâm, bab ke-5 dan 6 (no: 7146 dan 7147), beliau mengatakan bahwa zhahir hadits ini bertentangan dengan hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dâwud dari jalan Abu Hurairah Radhiyallahu anhu secara marfû’:
مَنْ طَلَبَ قَضَاءَ الْمُسْلِمِيْنَ حَتَّى يَنَالَهُ ثُمَّ غَلَبَ
عَدْلُهُ جَوْرَهُ فَلَهُ الْجَنَّةُ وَمَنْ غَلَبَ جَوْرُهُ عَدْلَهُ
فَلَهُ النَّارُ
Barangsiapa meminta menjadi qadhi (hakim) bagi kaum Muslimin sampai
dia memperoleh jabatannya itu, kemudian keadilannya (dalam memutuskan
hukum) mengalahkan kecurangannya, maka baginya adalah surga. Dan
barangsiapa kecurangannya (dalam memutuskan hukum) mengalahkan
keadilannya, maka baginya adalah neraka.
Kemudian al-hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah mencoba untuk menjama’
(memadukan) di antara kedua hadits di atas yakni hadits Abdurrahman bin
Samurah Radhiyallahuanhu dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
dengan mengatakan, “Tidak mesti orang yang meminta jabatan sampai
kemudian berhasil meraihnya tidak bisa berlaku adil dengan sebab dia
meminta jabatan…”
Menjama’ (memadukan) adalah salah satu cara untuk menyelesaikan
(permasalahan yang muncul) di antara dua buah hadits yang zahirnya
seakan-akan bertentangan dengan syarat keduanya hadits shahih.
Sehubungan dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang zahirnya
membolehkan meminta jabatan telah dicoba untuk dijama’ dengan hadits
Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu anhu yang zhahirnya melarang
meminta jabatan, apakah keduanya telah shah atau salah satunya dha’if?
Kenyataannya sanad dari Abu Hurairah dha’îf.
Sanadnya demikian:
حَدَّثَنَا عَبَّاسٌ الْعَنْبَرِى حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ يُوْنُسَ
حَدَّثَنَا مُلاَزِمُ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنِى مُوْسَى بْنُ نَجْدَةَ عَنْ
جَدِّهِ يَزِيْدَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَهُوَ أَبُوْ كَثِيْرٍ قَالَ
حَدَّثَنِى أَبُوْ هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ- قَالَ : ….
Berkata Imam Abu Dawud (3575), “Telah menceritakan kepada kami
al-Abbâs al ‘Anbariy (dia berkata), ‘Telah menceritakan kepada kami Umar
bin Yûnus (dia berkata), ‘Telah menceritakan kepada kami Mulâzim bin
‘Amr (dia berkata), ‘Telah menceritakan kepadaku Musa bin Najdah dari
kakeknya yaitu Yazid bin Abdurrahman yaitu Abu Katsir, dia berkata,
‘Telah menceritakan kepadaku Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersaba: …. ”.
Sanad hadits ini dha’îf karena Musa bin Najdah al-Hanafiy adalah
seorang rawi yang majhûl sebagaimana dikatakan sendiri oleh al-hâfizh di
kitab Taqrîb-nya. Karena hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ini
dha’îf, maka tidak mungkin bisa dijama’ (dipadukan) dengan hadits
Samurah yang sangat shahih. Walillahil hamd.
Adalagi hadits yang semakna dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu
anhu dari jalan Anas bin Mâlik yang telah dikeluarkan oleh Abu Dawud dan
Tirmidzi dan Ibnu Mâjah dan lain-lain tetapi juga dha’if sebagaimana
telah diterangkan oleh al-hafizh Ibnu Hajar rahimahullah.
Berdasarkan uraian di atas, maka hadits Samurah di atas tetap dalam
keumuman dan kemutlakkannya tentang larangan meminta jabatan.
Imam Tidak Mengangkat Orang yang Meminta Jabatan
عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: دَخَلْتُ عَلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا وَرَجُلاَنِ مِنْ
قَوْمِي، فَقَالَ أَحَدُ الرَّجُلَيْنِ: أَمِّرْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ،
وَقَالَ الآخَرُ مِثْلَهُ، فَقَالَ: «إِنَّا لاَ نُوَلِّي هَذَا مَنْ
سَأَلَهُ، وَلاَ مَنْ حَرَصَ عَلَيْه
Dari Abu Musa Radhiyallahu anhu dia berkata, “Saya masuk menemui Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama dengan dua orang dari kaumku,
lalu salah seorang dari kedua orang itu berkata, “Jadikanlah (angkatlah)
kami sebagai amir (pejabat) wahai Rasulullâh!” Kemudian yang seorang
lagi juga meminta hal yang sama. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Sesungguhnya kami tidak akan mengangkat sebagai
pejabat orang yang memintanya dan tidak juga orang yang tamak terhadap
jabatan itu”
Hadits Shahih. Telah dikeluarkan oleh al-Bukhâri (2261, 6923, 7149,
7156 & 7157) dan Abu Dâwud (2930, 3579 & 4354) dan an-Nasâ-i
(5382) dan yang lainna.
Diantara Fiqih Dari Hadits Yang Mulia Ini Adalah:
1. Bahwa yang mengangkat seorang sebagai pejabat adalah pemimpin
tertinggi atau orang yang diizinkan dan diwakilkan oleh pemimpin
tertinggi. Bukan orang banyak atau masyarakat yang beramai-ramai memilih
pemimpin!!!
2. Bahwa pemimpin tidak mengangkat orang seseorang yang meminta jabatan dan tamak akan jabatan dan kekuasaan.
Masih berkaitan dengan permasalahan di atas, juga didapatkan riwayat dari Abu Dzar al-Ghifari radhiallahu ‘anhu.
Ia berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku sebagai
pemimpin?” Mendengar permintaanku tersebut, beliau menepuk pundakku
seraya bersabda:
يَا
أَبَا ذَرٍّ، إِنَّكَ ضَعِيْفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ
الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا
وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيْهَا
“Wahai Abu Dzar,
engkau seorang yang lemah sementara kepemimpinan itu adalah amanat. Dan
nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali
orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya
ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut.” (Sahih, HR. Muslim no. 1825)
Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا
أَبَا ذَرٍّ، إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيْفًا، وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ
لِنَفْسِي، لاَ تَأَمَّرَنَّ اثْنَينِ وَلاَ تَوَلَّيْنَ مَالَ يَتِيْمٍ
“Wahai Abu Dzar,
aku memandangmu seorang yang lemah dan aku menyukai untukmu apa yang
kusukai untuk diriku. Janganlah sekali-kali engkau memimpin dua orang[1] dan jangan sekali-kali engkau menguasai pengurusan harta anak yatim.” (Sahih, HR. Muslim no. 1826)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah membawakan kedua hadits Abu Dzar radhiallahu ‘anhu
di atas dalam kitab beliau Riyadhush Shalihin, bab “Larangan meminta
jabatan kepemimpinan dan memilih untuk meninggalkan jabatan tersebut
jika ia tidak pantas untuk memegangnya atau meninggalkan ambisi terhadap
jabatan.”
Kepemimpinan yang Diimpikan dan Diperebutkan
Menjadi seorang pemimpin dan memiliki
sebuah jabatan merupakan impian semua orang kecuali sedikit dari mereka
yang dirahmati oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Mayoritas orang
justru menjadikannya sebagai ajang rebutan khususnya jabatan yang
menjanjikan lambaian rupiah (uang dan harta) serta kesenangan dunia
lainnya.
Sungguh benar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menyampaikan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُوْنَ عَلَى الْإِمَارَةِ، وَسَتَكُوْنُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Sesungguhnya
kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kelak
di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 7148)
Bagaimana tidak, dengan menjadi seorang
pemimpin, memudahkannya untuk memenuhi tuntutan hawa nafsunya berupa
kepopuleran, penghormatan dari orang lain, kedudukan atau status sosial
yang tinggi di mata manusia, menyombongkan diri di hadapan mereka,
memerintah dan menguasai, kekayaan, kemewahan serta kemegahan.
Wajar bila kemudian untuk mewujudkan
ambisinya ini, banyak elite politik atau “calon pemimpin” di bidang
lainnya, tidak segan-segan melakukan politik uang dengan membeli suara
masyarakat pemilih atau mayoritas anggota dewan. Atau “sekadar” uang
tutup mulut untuk meminimalisir komentar miring saat berlangsungnya masa
pencalonan atau kampanye, dan sebagainya. Bahkan yang ekstrem, ia pun
siap menghilangkan nyawa orang lain yang dianggap sebagai rival dalam
perebutan kursi kepemimpinan tersebut, atau seseorang yang dianggap
sebagai duri dalam daging yang dapat menjegal keinginannya meraih posisi
tersebut. Nas’alullah as-salamah wal ‘afiyah.
Al-Muhallab rahimahullah berkata sebagaimana dinukilkan dalam Fathul Bari
(13/135); “Ambisi untuk memperoleh jabatan kepemimpinan merupakan
faktor yang mendorong manusia untuk saling membunuh. Hingga tertumpahlah
darah, dirampasnya harta, dihalalkannya kemaluan-kemaluan wanita (yang
itu semuanya sebenarnya diharamkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala), dan karenanya terjadi kerusakan yang besar di permukaan bumi.”
Seseorang yang menjadi penguasa dengan
tujuan seperti di atas, tidak akan mendapatkan bagiannya nanti di
akhirat kecuali siksa dan azab. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
تِلۡكَ ٱلدَّارُ ٱلۡأٓخِرَةُ نَجۡعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوّٗا فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فَسَادٗاۚ وَٱلۡعَٰقِبَةُ لِلۡمُتَّقِينَ ٨٣
“Itulah negeri
akhirat yang Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin
menyombongkan diri di muka bumi dan tidak pula membuat kerusakan. Dan
akhir yang baik itu hanya untuk orang-orang yang bertakwa.” (al-Qashash: 83)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan, “Allah subhanahu wa ta’ala
mengabarkan bahwasanya negeri akhirat dan kenikmatannya yang kekal yang
tidak akan pernah lenyap dan musnah, disediakan-Nya bagi
hamba-hamba-Nya yang beriman, yang tawadhu’ (merendahkan diri), tidak
ingin merasa tinggi di muka bumi yakni tidak menyombongkan diri di
hadapan hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang lain, tidak merasa besar, tidak bertindak sewenang-wenang, tidak zalim, dan tidak membuat kerusakan di tengah mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/412)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah
berkata, “Seseorang yang meminta jabatan seringnya bertujuan untuk
meninggikan dirinya di hadapan manusia, menguasai mereka, memerintah dan
melarangnya. Tentunya tujuan yang demikian ini jelek adanya. Maka
sebagai balasannya, ia tidak akan mendapatkan bagiannya di akhirat. Oleh
karena itu, seseorang dilarang untuk meminta jabatan.” (Syarh Riyadhush Shalihin, 2/469)
Sedikit sekali orang yang berambisi
menjadi pemimpin, kemudian berpikir tentang kemaslahatan umum serta
bertujuan memberikan kebaikan kepada hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala
dengan kepemimpinan yang kelak bisa dia raih. Kebanyakan mereka justru
sebaliknya, mengejar jabatan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Program perbaikan dan janji-janji muluk yang digembar-gemborkan
sebelumnya, tak lain hanyalah ucapan yang manis di bibir. Hari-hari
setelah mereka menjadi pemimpin yang kemudian menjadi saksi bahwa mereka
hanyalah sekadar mengobral janji kosong dan ucapan dusta yang menipu.
Bahkan yang ada, mereka berbuat zalim dan aniaya kepada orang-orang yang
dipimpinnya. Ibaratnya ketika belum mendapatkan posisi yang diincar
tersebut, yang dipamerkan hanya kebaikannya. Namun ketika kekuasaan
telah berada dalam genggamannya, mereka lantas mempertontonkan apa yang
sebenarnya diinginkannya dari jabatan tersebut. Hal ini sesuai dengan
ungkapan ‘serigala berbulu domba’. Ini sungguh merupakan perbuatan yang
memudaratkan diri mereka sendiri dan nasib orang-orang yang dipimpinnya.
Betapa rakus dan semangatnya orang-orang yang menginginkan jabatan ini, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menggambarkan kerakusan terhadap jabatan melebihi dua ekor serigala
yang kelaparan lalu dilepas di tengah segerombolan kambing. Beliau
bersabda:
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِيْنِهِ
“Tidaklah dua
ekor serigala yang lapar dilepas di tengah gerombolan kambing lebih
merusak daripada merusaknya seseorang terhadap agamanya karena ambisinya
untuk mendapatkan harta dan kedudukan yang tinggi.” (HR. at-Tirmidzi no. 2482, disahihkan asy-Syaikh Muqbil dalam ash-Shahihul Musnad, 2/178)
Padahal Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
Sifat Seorang Pemimpin
إِنْ شِئْتُمْ أَنْبَأْتُكُمْ عَنِ
الإِمَارَةِ وَمَا هِيَ؟ أَوَّلُهَا مَلامَةٌ، وَثَانِيهَا نَدَامَةٌ،
وثَالِثُهَا عَذَابٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلا مَنْ عَدَلَ وَكَيْفَ
يَعْدِلُ مَعَ أَقْرِبِيهِ؟
“Kalau kalian mau niscaya akan kukabarkan
tentang kekuasaan, apakah itu? Kekuasaan itu awalnya adalah celaan,
keduanya adalah penyesalan dan ketiganya adalah azab di hari kiamat,
kecuali orang yang adil, dan betapa sulitnya ia berlaku adil tatkala
berkaitan dengan orang terdekatnya.”
[HR. Al-Bazzar dan Ath-Thabrani dari ‘Auf bin Malik radhiyallahu’anhu, Ash-Shahihah: 1562]Sifat Seorang Pemimpin
Di tengah gencarnya para elite politik
menambang suara dalam rangka memperoleh kursi ataupun jabatan, maka
layak sekali apabila hadits yang diriwayatkan dari Abdurrahman bin
Samurah dan Abu Dzar radhiallahu ‘anhuma di atas dihadapkan kepada mereka, khususnya lagi pada hadits Abu Dzar radhiallahu ‘anhu yang menyebutkan kriteria yang harus diperhatikan dan merupakan hal mutlak jika ingin menjadi pemimpin.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Abu Dzar radhiallahu ‘anhu, “Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah.”
Ucapan seperti ini bila disampaikan
secara terang-terangan memang akan memberatkan bagi yang bersangkutan
dan akan membekas di hatinya. Namun amanahlah yang menuntut hal
tersebut. Maka hendaknya dijelaskan kepada orang tersebut mengenai sifat
lemah yang melekat pada dirinya. Namun jika seseorang itu kuat, maka
dikatakan kepadanya ia seorang yang kuat. Sebaliknya, bila ia seorang
yang lemah maka dikatakan sebagaimana adanya. Yang demikian ini
merupakan suatu nasihat. Tidaklah berdosa orang yang mengucapkan seperti
ini bila tujuannya untuk memberikan nasihat, bukan untuk mencela atau
mengungkit aib yang bersangkutan.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Makna ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Dzar radhiallahu ‘anhu
adalah beliau melarang Abu Dzar menjadi seorang pemimpin karena ia
memiliki sifat lemah, sementara kepemimpinan membutuhkan seorang yang
kuat lagi tepercaya. Kuat dari sisi ia punya kekuasaan dan perkataan
yang didengar/ditaati, tidak lemah di hadapan manusia. Karena apabila
manusia menganggap lemah seseorang, maka tidak tersisa kehormatan
baginya di sisi mereka, dan akan berani kepadanya orang yang paling
dungu sekalipun, sehingga jadilah ia tidak teranggap sedikit pun. Akan
tetapi apabila seseorang itu kuat, dia dapat menunaikan hak Allah subhanahu wa ta’ala, tidak melampaui batasan-batasan-Nya, dan punya kekuasaan. Maka inilah sosok pemimpin yang hakiki.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 2/472)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyatakan kepada Abu Dzar radhiallahu ‘anhu
bahwa kepemimpinan itu adalah sebuah amanat. Karena memang kepemimpinan
itu memiliki dua rukun, kekuatan dan amanah. Hal ini dikatakan oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dengan dalil:
إِنَّ خَيۡرَ مَنِ ٱسۡتَٔۡجَرۡتَ ٱلۡقَوِيُّ ٱلۡأَمِينُ ٢٦
“Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (al-Qashash: 26)
Penguasa Mesir berkata kepada Yusuf ‘alaihissalam:
إِنَّكَ ٱلۡيَوۡمَ لَدَيۡنَا مَكِينٌ أَمِينٞ ٥٤
“Sesungguhnya kamu mulai hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami.” (Yusuf: 54)
Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan sifat Jibril dengan menyatakan:
إِنَّهُۥ لَقَوۡلُ رَسُولٖ كَرِيمٖ ١٩ ذِي قُوَّةٍ عِندَ ذِي ٱلۡعَرۡشِ مَكِينٖ ٢٠ مُّطَاعٖ ثَمَّ أَمِينٖ ٢١
“Sesungguhnya
Al-Qur’an itu benar-benar firman Allah yang dibawa oleh utusan yang
mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi
di sisi Allah yang memiliki ‘Arsy. Yang ditaati di kalangan malaikat
lagi dipercaya.” (at-Takwir: 19—21)
Beliau rahimahullah berkata, “Amanah itu kembalinya kepada rasa takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tidak menjual ayat-ayat Allah subhanahu wa ta’ala dengan harga yang sedikit, dan tidak takut kepada manusia. Inilah tiga perangai yang Allah subhanahu wa ta’ala tetapkan terhadap setiap orang yang memutuskan hukuman atas manusia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
فَلَا تَخۡشَوُاْ ٱلنَّاسَ وَٱخۡشَوۡنِ وَلَا تَشۡتَرُواْ بَِٔايَٰتِي ثَمَنٗا قَلِيلٗاۚ وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ ٤٤
“Maka janganlah
kalian takut kepada manusia, tapi takutlah kepada-Ku. Dan jangan pula
kalian menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Siapa yang tidak
berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itu adalah
orang-orang kafir.” (al-Ma’idah: 44) [as-Siyasah asy-Syar’iyyah, hlm. 12—13]
Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah menyebutkan beberapa sifat dari seorang pemimpin ketika menafsirkan ayat:
وَإِذِ ٱبۡتَلَىٰٓ إِبۡرَٰهِۧمَ رَبُّهُۥ بِكَلِمَٰتٖ فَأَتَمَّهُنَّۖ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامٗاۖ قَالَ وَمِن ذُرِّيَّتِيۖ قَالَ لَا يَنَالُ عَهۡدِي ٱلظَّٰلِمِينَ ١٢٤
“Dan ingatlah
ketika Ibrahim diuji Rabbnya dengan beberapa kalimat (perintah dan
larangan), kemudian Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman,
‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu sebagi imam (pemimpin) bagi seluruh
manusia.’ Ibrahim berkata, ‘(Dan saya mohon juga) dari keturunanku’.
Allah berfiman, ‘Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim’.”
(al-Baqarah: 124)
Beliau berkata, “Sekelompok ulama
mengambil dalil dengan ayat ini untuk menyatakan seorang imam (pemimpin)
itu harus dari kalangan orang yang adil, memiliki kebaikan dan
keutamaan, juga dengan kekuatan yang dimilikinya untuk menunaikan tugas
kepemimpinan tersebut.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 2/74)
Sebenarnya masih ada beberapa syarat
pemimpin yang tidak disebutkan di sini karena ingin kami ringkas.
Mudah-mudahan, pada kesempatan yang lain bisa kami paparkan.
Nasihat bagi yang Sedang Berlomba Merebut Jabatan/Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah amanat, sehingga
orang yang menjadi pemimpin berarti ia tengah memikul amanat. Tentunya,
yang namanya amanat harus ditunaikan sebagaimana mestinya. Dengan
demikian tugas menjadi pemimpin itu berat, sehingga sepantasnya yang
mengembannya adalah orang yang cakap dalam bidangnya. Karena itulah,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang yang
tidak cakap untuk memangku jabatan karena ia tidak akan mampu mengemban
tugas tersebut dengan semestinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
إِذَا
ضُيِّعَتِ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ. قَالَ: كَيْفَ
إِضَاعَتُهَا؟ قَالَ: إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهَا
فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
“Apabila amanah telah disia-siakan, maka nantikanlah tibanya hari kiamat.
Ada yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan menyia-nyiakan amanat?’
Beliau menjawab, ‘Apabila perkara itu diserahkan kepada selain ahlinya, maka nantikanlah tibanya hari kiamat’.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 59)
Selain itu, jabatan tidak boleh diberikan kepada seseorang yang memintanya dan berambisi untuk mendapatkannya. Abu Musa radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku dan dua orang laki-laki dari kaumku pernah masuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka salah seorang dari keduanya berkata, ‘Angkatlah kami sebagai
pemimpin, wahai Rasulullah’. Temannya pun meminta hal yang sama.
Bersabdalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّا لاَ نُوَلِّي هَذَا مَنْ سَأَلَهُ وَلَا مَنْ حَرَصَ عَلَيْهِ
“Kami tidak
menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula
kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya.” (HR. al-Bukhari no. 7149 dan Muslim no. 1733)
Hikmah dari hal ini, kata para ulama,
adalah orang yang memangku jabatan karena permintaannya, maka urusan
tersebut akan diserahkan kepada dirinya sendiri dan tidak akan ditolong
oleh Allah subhanahu wa ta’ala, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abdurrahman bin Samurah radhiallahu ‘anhu di atas, ”Bila
engkau diberi tanpa memintanya niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah
subhanahu wa ta’ala dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun bila
diserahkan kepadamu karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu
(tidak akan ditolong).” Siapa yang tidak ditolong maka ia tidak akan mampu. Tidak mungkin suatu jabatan itu diserahkan kepada orang yang tidak cakap. (Syarh Shahih Muslim, 12/208, Fathul Bari, 13/133, Nailul Authar, 8/294)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah
berkata, “Sepantasnya bagi seseorang tidak meminta jabatan apa pun.
Namun bila ia diangkat bukan karena permintaannya, maka ia boleh
menerimanya. Akan tetapi jangan ia meminta jabatan tersebut dalam rangka
wara’ dan kehati-hatiannya, karena jabatan dunia itu bukanlah apa-apa.”
(Syarh Riyadhush Shalihin, 2/470)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata ketika mengomentari hadits Abu Dzar radhiallahu ‘anhu,
“Hadits ini merupakan pokok yang agung untuk menjauhi kepemimpinan,
terlebih lagi bagi seseorang yang lemah untuk menunaikan tugas-tugas
kepemimpinan tersebut. Adapun kehinaan dan penyesalan akan diperoleh
bagi orang yang menjadi pemimpin sementara ia tidak pantas dengan
kedudukan tersebut, atau ia mungkin pantas namun tidak berlaku adil
dalam menjalankan tugasnya. Maka Allah subhanahu wa ta’ala menghinakannya pada hari kiamat, membuka kejelekannya, dan ia akan menyesali kesia-siaan yang dilakukannya.
Adapun orang yang pantas menjadi
pemimpin dan bisa berlaku adil, maka akan mendapatkan keutamaan yang
besar sebagaimana ditunjukkan oleh hadits-hadits yang sahih seperti
hadits, ‘Ada tujuh golongan yang Allah lindungi mereka pada hari kiamat, di antaranya imam (pemimpin) yang adil.’ Juga hadits yang disebutkan setelah ini tentang orang-orang yang berbuat adil nanti di sisi Allah subhanahu wa ta’ala
(pada hari kiamat) berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Demikian
pula hadits-hadits lainnya. Kaum muslimin sepakat akan keutamaan hal
ini. Namun bersamaan dengan itu, karena banyaknya bahaya dalam
kepemimpinan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memperingatkan darinya, demikian pula ulama. Beberapa orang yang saleh
dari kalangan pendahulu kita mereka menolak tawaran sebagai pemimpin dan
mereka bersabar atas gangguan yang diterima akibat penolakan tersebut.”
(Syarah Shahih Muslim, 12/210—211)
Ada sebagian orang menyatakan bolehnya meminta jabatan dengan dalil permintaan Nabi Yusuf ‘alaihissalam kepada penguasa Mesir:
قَالَ ٱجۡعَلۡنِي عَلَىٰ خَزَآئِنِ ٱلۡأَرۡضِۖ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٞ ٥٥
“Jadikanlah aku bendahara negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” (Yusuf: 55)
Maka dijawab, bahwa permintaan beliau ‘alaihissalam
ini bukan karena ambisi beliau untuk memegang jabatan kepemimpinan.
Namun semata karena keinginan beliau untuk memberikan kemanfaatan kepada
manusia secara umum, sementara beliau melihat dirinya memiliki
kemampuan, kecakapan, amanah, dan menjaga terhadap apa yang tidak mereka
ketahui. (Taisir al-Karimirrahman, hlm. 401)
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Nabi Yusuf ‘alaihissalam meminta demikian karena kepercayaan para nabi terhadap diri mereka dengan sebab adanya penjagaan dari Allah subhanahu wa ta’ala terhadap dosa-dosa mereka (ma’shum). Sementara syariat kita yang sudah kokoh (tsabit) tidak bisa ditentang oleh syariat umat yang terdahulu sebelum kita, karena bisa jadi meminta jabatan dalam syariat Nabi Yusuf ‘alaihissalam pada waktu itu dibolehkan.” (Nailul Authar, 8/ 294)
Ketahuilah, wahai mereka yang sedang
memperebutkan kursi jabatan dan kepemimpinan sementara dia bukan orang
yang pantas untuk mendudukinya, kelak pada hari kiamat kedudukan itu
nantinya akan menjadi penyesalan karena ketidakmampuannya dalam
menunaikan amanat sebagaimana mestinya.
Al-Qadhi al-Baidhawi rahimahullah
berkata, “Karena itu, tidak sepantasnya orang yang berakal, bergembira,
dan bersenang-senang dengan kelezatan yang diakhiri dengan penyesalan
dan kerugian.” (Fathul Bari, 13/134)
Faedah Hadits
- Kepemimpinan, jabatan, kekuasaan, dan kedudukan tidak boleh diberikan kepada orang yang memintanya, berambisi untuk meraihnya, dan menempuh segala cara untuk bisa mendapatkannya.
- Orang yang paling berhak menjadi pemimpin, penguasa, dan memangku jabatan/ kedudukan adalah orang yang menolak ketika diserahkan kepemimpinan, jabatan, dan kedudukan tersebut dalam keadaan ia benci dan tidak suka dengannya.
- Kepemimpinan adalah amanat yang besar dan tanggung jawab yang berat. Maka wajib bagi yang menjadi pemimpin untuk memerhatikan hak orang-orang yang di bawah kepemimpinannya dan tidak boleh mengkhianati amanat tersebut.
- Keutamaan dan kemuliaan bagi seseorang yang menjadi pemimpin dan penguasa apabila memang ia pantas memegang kepemimpinan dan kekuasaan tersebut. Sama saja, baik ia seorang pemimpin negara yang adil, bendahara yang tepercaya, ataukah karyawan yang menguasai bidangnya.
- Ajakan kepada manusia untuk tidak berambisi meraih kedudukan tertentu, khususnya bila ia tidak pantas mendapat kedudukan tersebut.
- Kerasnya hukuman bagi orang yang tidak menunaikan kepemimpinan dengan semestinya, tidak memerhatikan hak orang-orang yang dipimpin, dan tidak melakukan upaya optimal dalam memperbagus urusan kepemimpinannya.
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Ishaq Muslim al-Atsari
Wabillahit taufiq