Pengantar admin, Pemberitaan
yang cukup mengejutkan di media massa, bahwa komunitas Salafy
disebut-sebut mendukung salah satu pasangan capres-cawapres pada PILPRES
2014 !! Ternyata, setelah ditelisik lebih jauh, yang dibilang sebagai
“Komunitas Salafy” itu, sebenarnya orang-orang yang telah nyempal dari
Manhaj Salafy yang lurus. Mereka sebenarnya adalah orang yang telah
terjatuh dalam fitnah Halabiyyah, atau yang lainnya.
Apa
“dasar hukum” mereka dalam mendukung salah satu capres dan menghimbau
kaum muslimin untuk mencoblos? Fatwa ‘Ulama Kibar mereka
salahgunakan untuk membenarkan ambisi mereka. Maka untuk mendudukan
permasalahan ini secara ilmiah, berikut pembahasan ringkas tentangnya.
Semoga bermanfaat.
♦ ♦ ♦
al-Ustadz Muhammad Ihsan hafizhahullah
Sebagian
pendukung pemilu, baik dari kalangan partai politik maupun bukan,
melegitimasi keikutsertaan mereka dalam pesta demokrasi berdalihkan
fatwa sebagian ulama Ahlus Sunnah, seperti asy-Syaikh al-Albani,
asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah.
Mengapa
mereka tidak mengambil dan menyebarkan fatwa ulama mereka sendiri
tentang disyariatkannya pemilu, namun justru menyebarkan fatwa para
ulama Ahlus Sunnah?
Asy-Syaikh Muhammad al-Imam hafizahullah
menjawabnya. Menurut beliau, ulama pemerintah dan partai di negeri
muslimin memiliki sifat fanatik terhadap kelompok/partai. Karena
penyakit hizbiyah itu membinasakan, umat manusia pun tidak merasa puas
dengan fatwa mereka. Sebab, kaum muslimin paham bahwa ulama tersebut
adalah orang-orang yang senantiasa mengaburkan berbagai urusan agama.
Demikianlah, termasuk talbis
(pengaburan) mereka ialah menggunakan fatwa ulama Ahlus Sunnah demi
kepentingannya tatkala mereka terdesak. Namun, tatkala tidak
membutuhkannya, mereka akan berkata, “Para ulama Ahlus Sunnah adalah
orang-orang yang bodoh, tidak memahami fiqhul waqi’ (realitas masyarakat).” Selain itu, mereka juga melontarkan berbagai tuduhan lain terhadap ulama Ahlus Sunnah.
Semestinya,
kalau mau bersandar terhadap fatwa al-Albani, Ibnu Baz, dan Ibnu
‘Utsaimin; mereka harus mau menerima fatwa para ulama tersebut dalam
permasalahan haramnya hizbiyah (fanatisme terhadap kelompok, golongan,
atau partai), maulid Nabi, menyembelih binatang sembelihan bukan karena
Allah Subhanahu wa Ta’ala, taklid (membebek) kepada Yahudi dan
Nasrani, serta hal lainnya. Namun, la haula wa la quwwata illa billah.
(Tanwir azh-Zhulumat, hlm. 248—249)
Adapun
sebagian fatwa para ulama Ahlus Sunnah yang berkaitan dengan pemilu yang
mereka sebarkan adalah fatwa asy-Syaikh al-Albani rahimahullah berikut.
Fatwa asy-Syaikh al-Albani rahimahullah
Pertanyaan: Apa
hukum syar’i tentang pemilu untuk memilih anggota parlemen? Kita akan
berusaha dari celah ini untuk menegakkan daulah Islam (negara Islam) dan
khilafah yang terbimbing (dengan syariat)?
Jawaban:
Sesungguhnya
hal yang paling membahagiakan kaum muslimin di negeri mereka adalah
ditinggikannya bendera kalimat tauhid, Laa ilaha illallah, dan hukum
yang berlaku di negeri itu adalah hukum syariat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan.
Termasuk
sesuatu yang tidak ada diragukan lagi adalah wajibnya seluruh kaum
muslimin (sesuai dengan kemampuan mereka) untuk terus berusaha
menegakkan daulah Islam yang berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Suatu hal
yang pasti (tidak bisa ditawar lagi) menurut setiap muslim, hal itu
tidak mungkin akan terealisasi kecuali (dengan dua hal), yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal shalih. Golongan yang paling berhak menegakkan kedua hal penting tersebut adalah para ulama.
Para ulama
mengajarkan ilmu yang bermanfaat kepada kaum muslimin yang ada di
sekitar mereka. Tidak ada jalan untuk melakukan hal ini kecuali dengan
melakukan tashfiyah (penyaringan) ilmu yang telah mereka warisi
dari berbagai hal susupan (padahal itu bukan dari Islam), seperti
kesyirikan dan keberhalaan, sampai mayoritas masyarakat memahami ucapan
kalimat tauhid, Laa ilaha illa Allah, dan memahami bahwa kalimat
thayyibah ini berkonsekuensi mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam
hal peribadatan, sehingga tidak memohon pertolongan kecuali kepada-Nya,
tidak menyembelih binatang kurban, dan tidak bernazar kecuali
karena-Nya. Sampai kaum muslimin tidak beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali dengan syariat-Nya yang diturunkan melalui lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ini adalah konsekuensi syahadat mereka, “Muhammad adalah Rasulullah.”
Prinsip
ini menuntun mereka untuk membersihkan kitab-kitab fikih dari berbagai
pendapat dan ijtihad yang menyelisihi sunnah yang shahih, sehingga
ibadah mereka akan diterima. Hal itu juga menuntut untuk dibersihkannya
sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hal yang
dimasukkan (disusupkan) ke dalamnya dari waktu ke waktu, seperti hadits
dhaif dan palsu. Hal itu juga menuntut dibersihkannya suluk
dari penyimpangan yang ada di thariqah syafi’iyah dan ghuluw dalam
ibadah dan zuhud, serta hal lain yang bertentangan dengan ilmu yang
bermanfaat.
Mereka
mendidik diri mereka, keluarga, dan masyarakat muslimin di sekitarnya di
atas ilmu yang bermanfaat ini. Dengan demikian, ilmu mereka kelak
menjadi ilmu yang bermanfaat dan amalan adalah amalan yang saleh.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Barang
siapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah ia mengerjakan amal
yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah
kepada Rabbnya.” (al-Kahfi: 110)
Ketika kaum muslimin menegakkan tashfiyah (pembersihan) dan tarbiyah
yang syar’i ini, kelak tidak akan Anda dapati orang yang
mencampuradukkan wasilah/cara-cara syirik dengan wasilah yang syar’i.
Sebab, mereka meyakini bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang membawa syariat yang sempurna berikut tujuan dan jalannya.
Di antara
tujuan diturunkannya syariat, sebagai contoh, adalah melarang
tasyabuh/menyerupai orang-orang kafir. Padahal demokrasi membangun
sarana dan peraturan yang sesuai dengan sikap taklid/membebek terhadap
orang kafir dan adat-istiadat mereka.
Di antara bukti taklid/membebek terhadap orang-orang kafir adalah cara memilih pemimpin negara dan anggota legislatif dengan pemungutan suara (pemilu).
Ini adalah tata cara yang selaras dengan kekafiran dan kebodohan
mereka. Mereka tidak membedakan antara iman dan kafir, antara saleh dan
tidak, laki-laki dan perempuan. Rabb kita berfirman,
“Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)?” (al-Qalam: 35)
Dia l berfirman tentang ucapan istri Imran,
“Dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.” (Ali Imran: 32)
Demikian
pula kaum muslimin (yang terus memerhatikan dua perkara yang mulia
tersebut, yakni ilmu yang bermanfaat dan amal saleh) meyakini bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai menegakkan negara Islam
hanyalah dengan dakwah kepada tauhid, memperingatkan umat dari berbagai
peribadatan yang ditujukan kepada thaghut (segala sesuatu selain Allah Ta’ala),
dengan mentarbiyah siapa saja yang sudah mau menerima dakwahnya di atas
hukum-hukum syar’i, sampai mereka bersatu layaknya satu jasad. Apabila
salah satu anggota tubuh merintih, rasa sakitnya akan dirasakan oleh
anggota tubuh yang lain dengan demam dan tidak bisa tidur pada malam
harinya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits yang sahih. Tidak
ada di antara mereka yang terus-menerus melakukan dosa besar, riba,
zina, dan mencuri, kecuali sedikit sekali.
Barang
siapa benar-benar ingin menegakkan daulah Islam, janganlah ia menyatukan
dan mengumpulkan umat di atas perbedaan pemikiran dan pendidikan
(tarbiyah) sebagaimana yang terjadi pada partai Islam sekarang ini.
Mereka harus menyatukan pemikiran dan pemahaman mereka di atas prinsip
Islam yang sahih, yaitu kitab dan sunnah di atas manhaj salafus shalih.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah.” (ar-Rum: 4—5)
Barang
siapa berpaling dari manhaj ini ketika berupaya menegakkan daulah Islam
lantas menempuh jalan orang kafir, dia seperti orang yang menyalakan api
pemanas di musim panas.
Cukuplah hal ini sebagai kesalahan kalau tidak aku katakan sebagai dosa. Sebab, hal itu menyelisihi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak menjadikan beliau sebagai suri teladan. Padahal Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (al-Ahzab: 21)
Pertanyaan ke-2:
Apa hukum
syar’i tentang membantu dan memberikan suara terhadap orang-orang yang
terkait dengan masalah tersebut (calon anggota legislatif)?
Jawaban:
Saya tidak menasihati seorang muslim pun mencalonkan diri supaya terpilih menjadi salah satu wakil di parlemen yang tidak berhukum dengan sesuatu yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala,
walau disebutkan oleh undang-undang dasar bahwa “agama negara adalah
Islam.” Sungguh, hal ini dilakukan untuk melunturkan (idealisme) anggota
parlemen yang masih bagus hati nuraninya!! Sebab, mereka tidak akan
mampu mengubah sedikit pun perundang-undangan yang menyelisihi Islam.
Hal ini sebagaimana yang terjadi di beberapa negara yang undang-undang
dasarnya seperti itu.
Dia justru
akan binasa seiring berjalannya waktu karena membenarkan sebagian hukum
yang menyelisihi Islam dengan anggapan bahwa sekarang ini belum
waktunya untuk mengubahnya. Hal ini bisa kita saksikan di beberapa
negara. Ada anggota parlemen yang mengubah penampilan Islaminya menjadi
penampilan barat. Penampilan itu terus dilakukan, dan dia diikuti oleh
seluruh anggota parlemen lainnya!
Niatnya
masuk parlemen untuk memperbaiki (mewarnai) anggota yang lain, namun ia
justru merusak diri sendiri. Pada awalnya hujan rintik-rintik, kemudian
deras sekali!
Oleh karena itu, kami tidak menyarankan seorang pun untuk mencalonkan diri.
Namun,
saya tidak berpendapat kaum muslimin dilarang apabila ada calon anggota
parlemen yang memusuhi Islam dan ada yang muslim, dari berbagai partai
yang berbeda manhajnya. Kami menasihatkan dalam kondisi yang seperti ini
agar setiap muslim memilih calon yang muslim saja dan yang paling dekat
dengan manhaj ilmu yang shahih sebagaimana telah kami jelaskan di atas.
Inilah pendapatku. Meski demikian, aku tetap yakin bahwa pencalonan anggota parlemen dan pemilu tidak akan dapat merealisasikan tujuan yang diinginkan.
Namun, hal ini termasuk upaya mengurangi kerusakan atau menepis
kerusakan yang besar dengan melakukan kerusakan yang kecil, sebagaimana
pernyataan para ahli fikih.
Pokok Masalah Fatwa Asy-Syaikh Albani yang Mereka Salah Pahami
1.
Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Sesungguhnya, hal yang paling
membahagiakan bagi kaum muslimin di negeri mereka adalah ditinggikannya
kalimat tauhid; dan hukum yang berlaku di dalamnya adalah hukum-hukum
yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Akan
tetapi, kenyataannya, setiap partai saling meninggikan bendera partainya
yang tidak ada simbol tauhid sedikit pun, lebih-lebih di masa kampanye.
Partai yang paling kaya adalah partai yang paling banyak terpasang
benderanya. Bendera-bendera itu dipasang di pinggir jalan, persimpangan,
dan tempat strategis lainnya. Padahal, hukum yang mereka perjuangkan
bukan Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman
para sahabat.
2.
Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Termasuk hal yang tidak diragukan
adalah kaum muslimin semuanya (sesuai dengan kemampuan masing-masing)
wajib berusaha menegakkan negara Islam yang berhukum dengan Kitabullah
dan Sunnah Rasulullah di atas metode pemahaman salaf yang shalih.”
Asy-Syaikh
Muhammad al-Imam berkata, “Syubhat para politikus, ‘Kami mengikuti
pemilu karena ingin menegakkan daulah Islamiyah!’.”
Bagaimana bisa mereka menegakkan daulah Islamiyah dan berhukum dengan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala,
sedangkan hal yang pertama kali harus mereka sepakati (ketika
mencalonkan diri) adalah meninggalkan syariat Islam (dengan mengikuti
demokrasi)? Bukankah pemilu merupakan bagian dari sistem yang diimpor
dari orang-orang kafir?
Kalau saja
mereka jujur akan menegakkan daulah Islamiyah, menurut anggapan mereka,
mengapa mereka tidak memulainya dengan menolak pemilu?
Bagaimana
bisa mereka rela bahwa hukum/aturan yang mengatur mereka adalah aturan
Barat, lalu mereka menyatakan, “Kami akan menegakkan hukum Allah Ta’ala”?
Inti masalahnya adalah slogan-slogan kosong semata. (Tanwir azh-Zhulumat, hlm. 226)
3.
Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Suatu hal yang pasti dan tidak bisa
ditawar lagi, menurut setiap muslim yang cermat, tegaknya negara Islam
tidak mungkin akan terealisasi kecuali dengan dua hal, yaitu ilmu yang
bermanfaat dan amal yang saleh. Golongan pertama yang melakukan hal
tersebut adalah para ulama.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) al-Huda dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” (at-Taubah: 33)
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menerangkan bahwa yang dimaksud dengan al-huda adalah ilmu yang bermanfaat, sedangkan agama yang benar adalah amal saleh. Agama yang Allah Ta’ala utus Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengannya mencakup penjelasan terhadap kebenaran yang akan memisahkannya dari kebatilan, dalam hal nama, sifat, perbuatan Allah Ta’ala,
hukum, dan berita. Agama tersebut mencakup pula perintah terhadap semua
urusan yang bermanfaat bagi hati, ruh, dan badan, berupa keikhlasan
beramal karena Allah Ta’ala semata, mencintai dan beribadah
kepada-Nya. Agama tersebut mencakup pula perintah berakhlak mulia,
berperangai baik, beramal saleh, dan beradab. Selain itu, mencakup pula
larangan dari seluruh hal yang bertentangan dengan semua itu, seperti
akhlak dan amalan jelek, yang akan membahayakan hati dan badan, baik di
dunia maupun di akhirat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa petunjuk (ilmu yang bermanfaat) dan agama yang benar (amal shalih)
agar Dia meninggikannya (memenangkannya) di atas seluruh agama dengan
hujah dan burhan/penjelasan, dengan pedang dan tombak, walaupun orang
musyrik benci, dengki, dan membuat berbagai tipu daya. Sebab, makar yang
jelek tidak akan merugikan selain pelakunya. Allah Ta’ala telah berjanji dan pasti akan menyempurnakannya.
Demokrasi
dan pemilu akan senantiasa menjauhkan umat dari upaya mendapatkan ilmu
yang bermanfaat dan amal saleh; digantikan dengan berbagai kegiatan yang
menyimpang dari syariat, seperti pertemuan (anggota, pengurus,
pimpinan, calon), kampanye, dll. Belum lagi masuknya berbagai syubhat. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Kebaikan mana yang akan mereka dapatkan? Ilmu tidak, amal pun bukan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barang
siapa Allah kehendaki kebaikan baginya, Dia akan memberinya pemahaman
dalam agama.” (Muttafaqun alaih dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu ‘anhu)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
“Yang dapat dipahami dari hadits ini, barang siapa tidak mau
mempelajari kaidah-kaidah Islam dan berbagai hal yang menjadi cabangnya,
dia telah diharamkan dari kebaikan.” (Fathul Bari, 1/165)
Ditambah
lagi tidak ada seorang alim ulama pun yang membimbing dan mengarahkan
mereka, selain tokoh-tokoh mereka yang dilabeli “ulama”.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang salah satu sifat mulia para ulama,
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara para hamba-Nya, hanyalah ulama.” (Fathir: 28)
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah mengatakan bahwa ulama itu ada tiga macam:
- Orang yang berilmu tentang (nama, sifat, dan perbuatan) Allah Subhanahu wa Ta’ala dan takut kepada-Nya, namun dia tidak berilmu tentang syariat-Nya,
- Orang yang berilmu tentang Allah Ta’ala dan syariat-Nya, serta takut kepada Allah Ta’ala. Itulah orang yang berilmu dengan sempurna.
- Orang yang berilmu tentang syariat-Nya, namun tidak berilmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga tidak takut kepada Allah Ta’ala. Itulah orang alim yang jahat. (Sunnan ad-Darimi, 1/114 no. 363)
Peran ulama di tengah umat sangat penting, sebagaimana ucapan al-Hasan al Bashri rahimahullah, “Kalau tidak ada para ulama, sungguh umat manusia akan seperti binatang ternak.” (Mukhtashar Nashihat Ahli Hadits, 162)
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah
berkata, “Amalan yang jelek itu ibarat penyakit, sedangkan para ulama
adalah obatnya. Apabila para ulama rusak (dengan politik dan
semisalnya), siapa lagi yang bisa mengobati penyakit?” (al-Hilyah,
6/361)
4. Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Di antara tujuan syariat yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
adalah melarang tasyabuh terhadap orang kafir, sedangkan demokrasi
membangun cara dan aturan yang selaras dengan sikap taklid dan
adat-istiadat mereka. Di antaranya dalam hal memilih presiden, wakil
presiden, dan anggota legislatif dengan cara pemilu. Sungguh, ini adalah
cara yang selaras dengan kekafiran dan kebodohan mereka.”
Ucapan
asy-Syaikh al-Albani di atas memunculkan pertanyaan, “Apakah orang-orang
yang berkecimpung dalam demokrasi berikut pemilunya meyakini hal ini?
Padahal ini adalah salah satu prinsip Islam yang paling mendasar. Atau
mereka justru menyatakan bahwa demokrasi itu dari Islam dan pemungutan
suara/pemilu itu bagian dari Islam?” Na’udzubillah.
Benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
بَادِرُوا
بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ
مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا
يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنْ الدُّنْيَا
“Bersegeralah
kalian melakukan amalan sebagai upaya menyelamatkan diri kalian dari
berbagai fitnah yang seperti potongan-potongan malam yang gelap (karena
dahsyatnya). Seseorang pada pagi hari dalam keadaan mukmin dan waktu
sore sudah menjadi kafir. Atau, seseorang pada sore hari dalam keadaan
mukmin kemudian masuk waktu pagi menjadi kafir, karena menjual agamanya
demi keuntungan dunia.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah z)
5.
Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Barang siapa benar-benar ingin
menegakkan negara Islam, janganlah ia mengumpulkan dan menyatukan kaum
muslimin di atas perbedaan pemikiran dan tarbiyah (pendidikan) mereka
sebagaimana realitas yang terjadi pada partai Islam sekarang ini. Mereka
harus mempersatukan pemikiran dan pemahaman mereka di atas prinsip
Islam yang sahih, yaitu di atas kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan pemahaman salafus shalih.
Oleh
karena itu, kami tidak menasihatkan kepada seorang pun untuk mencalonkan
diri. Akan tetapi, aku tidak berpendapat rakyat muslim harus dilarang
apabila dalam daftar caleg ada orang yang memusuhi Islam dan ada pula
yang muslim, dari berbagai partai politik yang berbeda manhajnya. Dalam
kondisi seperti ini, kami nasihati setiap muslim untuk memilih calon
yang muslim dan paling dekat dengan manhaj ilmu yang shahih (aqidah
as-shahih) sebagaimana yang telah dijelaskan.
Inilah
pendapat saya. Meski demikian, saya berkeyakinan bahwa pencalonan
anggota legislatif dan pemilu ini tidak dapat mewujudkan tujuan yang
yang dimaksud di atas. Hal ini termasuk upaya meminimalkan kerusakan
(yang akan terjadi) atau termasuk menepis kerusakan yang besar dengan
kerusakan yang kecil, sebagaimana yang dikatakan oleh para ahli fikih.”
Asy-Syaikh
Muhammad al-Imam menjelaskan, “Berkaitan dengan fatwa para ulama, fatwa
itu terkait dengan ketentuan syar’i. Di antaranya ialah maslahat yang
besar tersebut betul-betul akan terwujud, atau kerusakan yang besar
tersebut akan benar-benar tertepis dengan melakukan kerusakan-kerusakan
yang kecil, disertai sekian banyak ketentuan lain yang terkait dengan
kaidah ini. Akan tetapi, orang yang bernafsu untuk berpartisipasi dalam
pemilu tidak memerhatikan ketentuan ini.
Beliau
menjelaskan bahwa syarat yang harus dipenuhi untuk mengambil kaidah,
“Menempuh kerusakan yang kecil dalam rangka menepis kerusakan yang
besar,” adalah sebagai berikut.
a. Kepentingan besar yang diharapkan betul-betul hakiki, bukan hanya angan-angan/kekhawatiran.
Jadi, kita
tidak boleh melakukan kerusakan yang hakiki demi mendapatkan
kepentingan yang berupa angan-angan. Kalau saja aturan demokrasi
betul-betul membantu Islam dan syariatnya, tentu negara Islam seperti
Mesir, Syam, Aljazair, Pakistan, Turki, atau negeri muslim yang lainnya
sudah mendapatkan kemenangan sejak 60 tahun yang lalu.
b.
Kepentingan yang diharapkan lebih besar daripada kerusakan yang
dilakukan, ditimbang oleh para ulama yang mendalam ilmunya tentang
syariat.
Kepentingan tersebut bukan berdasarkan penilaian orang yang tergila-gila dengan partai, gerakan, atau tokoh politiknya.
Barang
siapa memahami kerusakan/kebobrokan demokrasi yang sangat banyak;
seperti (1) hilangnya syariat Islam (karena diganti dengan demokrasi),
(2) para rasul tidak lagi dibutuhkan, karena perkara halal dan haram
ditakar dengan pendapat mayoritas, bukan dengan wahyu yang diberitakan
oleh para rasul, (3) hilangnya al-wala’ dan al-bara’ (loyalitas dan
permusuhan/kebencian) karena agama, (4) tersamarkannya prinsip akidah
yang jelas dengan cara diputarbalikkan, (5) adanya pengambilan keputusan
dengan suara terbanyak, (6) adanya ketentuan-ketentuan parlemen; maka
tidak pantas ia berkata, “Sesungguhnya masuk ke dalam sistem seperti ini
lebih ringan kerusakannya.”
Justru
pendapat yang benar adalah sebaliknya. Seandainya kita terima anggapan
bahwa kadar kerusakan dan kemaslahatannya sama, tetap akan berlaku
kaidah ‘menepis kerusakan lebih didahulukan daripada mendapatkan
kemaslahatan’. (Akan muncul pula pertanyaan), apakah tidak ada jalan
untuk mendapatkan kemaslahatan selain dengan melakukan kerusakan
tersebut?
Jika kita jawab bahwa tidak ada metode yang lain, berarti kita telah menghukumi metode Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak cocok untuk menegakkan hukum Allah Ta’ala di muka bumi ini pada masa yang lainnya.
Adapun
orang yang mengikuti kebenaran meyakini bahwa cara demokrasi dan
kepartaian hanya akan melemahkan umat. Karena itu, musuh-musuh Islam
dari kalangan Yahudi, Nasrani, dan lainnya bersemangat memperjuangkan
dan membela berhala ini (demokrasi). (Tanwir azh-Zhulumat, hlm. 249—250)
(Majalah Asy Syariah edisi 100, hlm. 26—33)
Sumber : miratsul-anbiya.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar