Kamis, 10 Mei 2012

Betulkah Imam Asy-Syafi’i Menyatakan Adanya Bid’ah Hasanah?

Soal:
Assalamu’alaikum.

Afwan y ustadz, apakah benar imam Syafi’i tdk pernah berpendapat bhw bid’ah itu dibagi dua? Karena yg saya tahu dari kitab2 klasik banyak yg menerangkan tentang itu. Tapi setelah saya dengar dari ustadz bhw itu hanya kesalahfahaman maka saya pun kaget. Benarkah itu hanya mengada ada atau bgmana? Tolong sampaikan amanat ilmiah yg sejujurnya. wassalamu’alaikum wr wb. dari sofiudin
khaeruljafar@yahoo.com


Jawaban:

Waalaikumussalam warahmatullah.

Memang betul, pembagian bid’ah menjadi dua ini diriwayatkan dari Imam Asy-Syafi’i rahimahullah. Hanya saja seperti yang kami katakan bahwa itu merupakan kesalahahpahaman.

Berikut penjelasan ringkasnya yang kami kutip dari buku kami yang berjudul ‘Studi Kritis Perayaan Maulid Nabi shallallahu alaihi wasallam’ hal. 63-65, ketika kami membawakan dalil-dalil mereka yang berpendapat adanya bid’ah hasanah. Kami berkata pada dalil mereka yang kelima:

Mereka berdalilkan dengan perkataan Imam Asy-Syafi’i -rahimahullah-:

اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ : بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ, فَمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَذْمُوْمٌ

“Bid’ah itu ada dua: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Semua yang sesuai dengan sunnah, maka itu adalah terpuji, dan semua yang menyelisihi sunnah, maka itu adalah tercela.” (Riwayat Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (9/113))

Semakna dengannya, apa yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Manaqib Asy-Syafi’i (1/469) bahwa beliau berkata:

اَلْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ : مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثَرًا أَوْ إِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضَّلاَلِ, وَمَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ

“Perkara yang baru ada dua bentuk: (Pertama) Apa yang diada-adakan dan menyelisihi kitab atau sunnah atau atsar atau ijma’, inilah bid’ah yang sesat. Dan (yang kedua) apa yang diada-adakan berupa kebaikan yang tidak menyelisihi sesuatupun dari hal tersebut, maka inilah perkara baru yang tidak tercela”.

Ini dijawab dari tiga sisi:

1. Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi -hafizhahullah- dalam ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 121 mengomentari kedua perkataan Asy-Syafi’i di atas, “Di dalam sanad-sanadnya terdapat rawi-rawi yang majhul (tidak diketahui)”.

Hal ini karena di dalam sanad Abu Nu’aim terdapat rawi yang bernama Abdullah bin Muhammad Al-Athasi. Al-Khathib dalam Tarikh Baghdad dan As-Sam’ani dalam Al-Ansab menyebutkan biografi orang ini dan keduanya tidak menyebutkan adanya pujian ataupun kritikan terhadapnya sehingga dia dihukumi sebagai rawi yang majhul. Adapun dalam sanad Al-Baihaqi, ada Muhammad bin Musa bin Al-Fadhl yang tidak didapati biografinya. Ini disebutkan oleh Syaikh Salim Al-Hilali dalam Al-Bida’ wa Atsaruhas Sayyi` alal Ummah hal. 63.

2. Andaikan ucapan di atas shahih (benar) datangnya dari Imam Asy-Syafi’i, maka maksud dari perkataan beliau -rahimahullah- [“bid’ah yang terpuji”] adalah bid’ah secara bahasa bukan menurut syar’i. Karena beliau memberikan definisi bid’ah yang terpuji dengan perkataan beliau [“semua yang sesuai dengan sunnah”] dan [“apa yang diada-adakan berupa kebaikan yang tidak menyelisihi sesuatupun dari hal tersebut”] sedangkan semua bid’ah dalam syari’at adalah menyelisihi sunnah. Ini disebutkan oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ul Ulum wal Hikam (hal. 233).

Ini lebih diperkuat dengan contoh yang dibawakan oleh Imam Asy-Syafi’i -rahimahullah- untuk bid’ah yang terpuji -yang beliau maksudkan-, yakni seperti penulisan hadits dan shalat Tarwih. Sedang kedua hal ini boleh digunakan padanya kata ‘bid’ah’, tapi bid’ah menurut bahasa karena belum pernah terjadi sebelumnya. Akan tetapi kalau dikatakan “bid’ah” menurut syari’at, maka ini tidak benar karena kedua amalan ini memiliki asal dalam syari’at.

3. Tidak mungkin beliau menginginkan dengan perkataan beliau ini akan bolehnya atau adanya bid’ah hasanah, karena beliau sendiri yang telah berkata, [“Barangsiapa yang menganggap baik (suatu bid’ah) maka berarti dia telah membuat syari’at”].

4. Sekali lagi anggaplah ketiga jawaban sebelumnya tidak bisa diterima, maka perkataan Imam Asy-Syafi’i rahimahullah ini tidak boleh diterima karena menyelisihi hadits-hadits yang telah berlalu penyebutannya dari Nabi shallallahu alaihi wasallam yang menjelaskan bahwa semua bid’ah -tanpa sedikitpun perkecualian- adalah sesat. (Selesai ucapan kami dalam buku)

[Apalagi Imam Asy-Syafi’i sendiri pernah berkata: “Jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang menyalahi hadits Rasulullah-Shollallahu alaihi wasallam-, maka berpendapatlah (sesuai) dengan hadits itu dan tinggalkan sesuatu yang aku katakan”. Diriwayatkan oleh Al-Harawi dalam Dzammul Kalam (3/47/1) sebagaimana dalam Shifatu Shalati Nabi -Shollallahu alaihi wasallam- karya Al-Albani dan beliau menshahihkannya.]

Ucapan dalam kurung ini berasal dari editor buku, Ust. Abu Faizah Abdul Qadir Lc.

Untuk lebih memahami sanggahan yang kami sebutkan di atas, silakan baca juga perbedaan antara bid’ah secara bahasa dan bid’ah secara istilah dalam artikel ‘Meluruskan Pemahaman Tentang Bid’ah’ dalam blog ini. Semoga penjelasan ringkas ini bisa meluruskan kesalahpahaman yang ada, amin.

Sumber : http://al-atsariyyah.com/betulkah-imam-asy-syafii-menyatakan-adanya-bidah-hasanah.html#more-3527