Minggu, 21 April 2013

Pemilu – Satu Pilihan yang Ekstra Sulit


Beberapa waktu lalu (dan juga sampai sekarang), bahasan partisipasi kaum muslimin dalam Pemilu sempat menghangat. Menghangat karena memunculkan satu hal yang dianggap ‘baru’ – walau sebenarnya tidak baru – yang ‘dianggap’ berlawanan dengan mayoritas sikap kaum muslimin (salafiyyun) tanah air yang memutuskan untuk tidak turut berpartisipasi dalam Pemilu. Dimunculkanlah beberapa fatwa yang kurang ‘populer’ dari para ulama Ahlus-Sunnah. Padahal, fatwa-fatwa tersebut benar adanya dan punya landasan yang layak untuk dipertimbangkan. Tidak perlu hati ini bergegas angkat bicara kontra. Taruhlah misal Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimin, Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzan, ataupun para ulama yang tergabung dalam Lajnah Daaimah Saudi Arabia yang memang memfatwakan kebolehan berpartisipasi dalam Pemilu. Sedangkan di sisi lain, Asy-Syaikh Al-Albani, Asy-Syaikh Muqbil, Asy-Syaikh Rabi’, dan yang lainnya berlainan pendapat dengan para ulama tersebut.
Berbicara tentang Pemilu, saya pikir tidak akan lepas dari pembicaraan mengenai demokrasi. Pemilu merupakan salah satu produk utama sistem demokrasi yang meletakkan rakyat sebagai satu kekuatan utama dalam proses pengambilan keputusan dengan prinsip mayoritas-minoritas. Demokrasi sangat bertentangan dengan Tauhid Rububiyyah dalam hal hukum dimana Allah adalah satu-satunya Dzat yang berhak membuat dan menetapkan hukum (syari’at). Allah ta’ala telah berfirman :
إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ
“Keputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah” [QS. Yusuf : 40].
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” [QS. Al-Maaidah : 44].

Saya yakin kita semua sepakat dengan bathilnya sistem demokrasi menurut kaca mata syari’at jika ditilik dari sisi ini. Pun jika kita lihat dari Pemilu itu sendiri, tidak akan jauh berbeda dari demokrasi. Pemilu adalah satu mekanisme dalam memilih wakil-wakil rakyat yang akan merumuskan beberapa hukum dan peraturan yang akan diterapkan terhadap warga negara.
Jika kita telah sepakat bahwa demokrasi itu haram, maka segala wasilah (perantara) yang dapat mewujudkannya pun otomatis dihukumi haram. Bukankah kaidah telah mengatakan “hukum sarana itu sesuai dengan hukum tujuan”. Belum lagi prinsip mayoritas-minoritas yang menjadikan semua manusia dalam satu kedudukan yang sama, bertentangan dengan ‘aql (akal), apalagi naql (dalil). Pemilu (dan juga demokrasi) telah menyamakan semua golongan dalam satu kedudukan, apakah ia seorang laki-laki, wanita, ‘alim, jahil, shalih, atau fajir.
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridlai” [QS. Al-Baqarah : 282].
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الألْبَابِ
“Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran” [QS. Az-Zumar : 9].
أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا لا يَسْتَوُونَ
“Maka apakah orang yang beriman seperti orang yang fasik (kafir)? Mereka tidak sama” [QS. As-Sajdah : 18].
Ketika ‘suara’ dari orang-oang tersebut dikumpulkan, diumumkanlah pemenang berdasarkan suara terbanyak. Apabila suara preman lebih banyak, jadilah ia pemimpin dan apa yang ia tetapkan dapat menjadi hukum yang berlaku bagi manusia. Jarang rasanya didapatkan – dari pengalaman yang ada – bahwa suara seorang ‘alim (ulama) itu menang dalam sistem mayoritas-minoritas, karena Allah telah menjelaskan kehendak kauniy-nya bahwa secara kuantitas, orang-orang beriman itu lebih sedikit daripada orang-orang yang tidak beriman.
إِنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يُؤْمِنُونَ
”Sesungguhnya (Al Qur'an) itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman” [QS. Huud : 17].
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah” [QS. Al-An’am : 116].
Bathilnya Pemilu hampir bisa ditetapkan secara aklamasi. Tidak lain karena faktor yang menjelaskan kebathilannya sudah sedemikian terang.
Namun perkaranya menjadi ‘panjang’ (untuk didiskusikan) ketika pendapat yang menyatakan kebolehan ikut Pemilu adalah dengan alasan memilih mafsadat yang paling ringan di antara dua mafsadat. Mafsadat yang dianggap lebih ringan adalah keikutsertaan dalam Pemilu, dan mafsadat yang lebih berat adalah terwujudnya peraturan hukum yang tidak sesuai dengan syari’at Islam atau terpilih seorang pemimpin kuffar. Dengan kata lain, ikut serta dalam Pemilu adalah sebuah alasan yang bersifat dlaruriy.
Jika semua umat Islam golput, lantas siapa yang akan memperjuangkan nilai-nilai Islam di legislatif. Bukankah jika demikian, kaum kuffar akan semakin leluasa membuat peraturan perundangan yang menguntungkan mereka dan merugikan umat Islam ? Bukankah satu titik cahaya itu lebih baik daripada gelap gulita sama sekali ? Atau,….. jika semua umat Islam golput, bukankah ada kemungkinan kita akan dipimpin oleh penguasa kafir ?
Inilah barangkali pertanyaan yang menggelayuti pihak yang membolehkan Pemilu. Dan pertanyaan seperti di atas pun tidak mudah untuk segera dijawab oleh pihak yang kontra Pemilu. Sama halnya ketika Asy-Syaikh Shaalih As-Suhaimi hafidhahullah ber-tawaquf (abstain) ketika ditanya pertanyaan serupa, sebagaimana pernah saya dengar dalam sesi satu tanya-jawab dalam sebuah siaran radio. Di sini ada satu mafsadat yang berputar pada sisi yang berbeda. Pertanyaan di atas lahir akibat adanya penerapan sistem demokrasi. Ketika kita masuk atau ‘menyepakati’ sistem tersebut, maka secara spontan pertanyaan di atas pun lahir.
Celakanya, itu merupakan realitas yang disepakati oleh mayoritas penduduk Indonesia.
Obrolan punya obrolan,…. mungkin ada beberapa musykilat yang menyertai pendapat ini. Jika ada seorang yang beralasan bahwa keikutsertaan kita adalah sebagai perwujudan kaidah memilih mafsadat yang paling ringan di antara dua mafsadat; bukankah ada kaidah lain yang juga patut kita perhatikan bahwa kerusakan/bahaya itu wajib untuk dihilangkan (الضرر يزال). Jika kita menyadari bahwa Pemilu itu pada asalnya adalah satu mafsadat dan kemudian kita memutuskan untuk mengambil mafsadat tersebut dengan alasan dlarurat, tentu saja kita harus berusaha sekuat tenaga untuk segera keluar dari hal yang kita anggap dlarurat itu. Dlarurat itu harus segera dihilangkan, bukannya malah dilanggengkan. Kita gunakan hal mafsadat tersebut sekedarnya saja, seperti halnya kita terpaksa memakan bangkai. Kita memakannya dengan penuh keengganan dan kebencian, dan kemudian terus berusaha mencari jalan mendapatkan makanan halal. Kalau kita lihat kenyataan yang ada, banyak orang yang berkecimpung dalam Pemilu justru menjadi lupa. Bahasa tubuh mereka seolah-olah menyiratkan bahwa apa yang mereka lakukan adalah mubah (atau bahkan disyari’atkan) secara asal. Perkataan bahwa mereka melakukannya dengan alasan dlarurat, mengambil mafsadat yang paling ringan diantara dua mafsadat hanya sebagai penghias bibir dan bahan debat ketika berhadapan dengan orang yang berseberangan dengannya. Iya apa iya ? Tentu saja ini di luar yang dikehendaki para ulama. Ini sudah keluar pakem menurut saya.
Taruhlah kita terima bahwa kita mengambil pendapat untuk ikut serta pada kancah Pemilu adalah untuk mengambil mafsadat yang paling ringan diantara dua mafsadat dalam kerangka dlarurat – yang bersamaan dengan itu kita tetap berusaha keluar dari sistem bathil tersebut; inipun juga mustahil bisa terwujud. Mengapa ? Ketika kita ikut serta dalam Pemilu, maka dengan itu kita telah berpartisipasi untuk melestarikan sistem yang bathil tersebut. Betapa tidak ? Suara yang kita berikan tersebut akan menghasilkan seseorang yang duduk badan legislatif yang di situ poros demokrasi hukum dilaksanakan. Mewujudkan seorang perwakilan di badan legislatif berarti kita ‘setuju’ dengan segala aturan main di dalamnya. Tentu saja ikhwah semua menyadari bahwa dalam demokrasi, semua paham dan pendapat itu diperbolehkan, kecuali ketidaksepakatan akan demokrasi itu sendiri. Keberadaan ‘wakil rakyat’ pilihan kita itu saja sudah merupakan kemustahilan untuk melenyapkan sistem demokrasi dengan segala turunannya. Keberadaannya justru merupakan satu upaya legal terhadap kelanggengan sistem demokrasi.
Tentu saja pertanyaan menjadi : “Bagaimana kita bisa menghilangkan kemudlaratan sedangkan di sisi lain kita sepakat untuk melestarikan kemudlaratan itu ?”. Padahal demokrasi itu satu kemunkaran yang sangat besar di sisi syari’at.
Ingat ikhwah,…. di majelis tersebut tercampur juga Yahudi, Nashrani, atheis, penyembah berhala, filosof, sosialis, dan yang lainnya. Bisakah nilai-nilai Islam diperjuangkan dan nilai-nilai kekufuran dihilangkan di majelis demokrasi tersebut ? Merembet-merembetnya juga akhirnya ke masalah Pemilu juga kan ?
Kembali ke pertanyaan sebelumnya :
Jika semua umat Islam golput, lantas siapa yang akan memperjuangkan nilai-nilai Islam di legislatif. Bukankah jika demikian, kaum kuffar akan semakin leluasa membuat peraturan perundangan yang menguntungkan mereka dan merugikan umat Islam ? Bukankah satu titik cahaya itu lebih baik daripada gelap gulita sama sekali ? Atau,….. jika semua umat Islam golput, bukankah ada kemungkinan kita akan dipimpin oleh penguasa kafir ?
Jika kita berpikir on the spot, maka kita akan paham fatwa sebagian ulama yang membolehkan berpartisipasi dalam Pemilu beresensi amar ma’ruf nahi munkar atau memilih mafsadat terkecil di antara dua mafsadat. Satu fatwa yang lahir untuk menyikapi kenyataan yang berlaku di banyak negara Islam akibat kebodohan manusia di dalamnya dimana mereka menerapkan atau menyepakati satu sistem yang salah. Namun, ini juga tidaklah mutlak berlaku dalam semua keadaan.
Jikalau saja partai yang ada hanya ada dua, yaitu partai Islam dan partai Kafir; tentu opsi ini bisa lebih mudah dipertimbangkan. Atau kasus serupa, jika ada dua calon pemimpin, yang satu muslim, dan yang lain kafir. Tapi kenyataan yang ada kan tidak seperti itu kan ? Apalagi ditambah track-record dari para wakil rakyat yang terpilih melalui Pemilu/demokrasi yang tidak bisa dikatakan bagus, menambah semakin rumit dan kompleksnya pembahasan ini.
Adapun sebagian ulama yang tidak membolehkannya, mereka melihat asal hukum dan kemustahilan dihilangkannya mafsadat ketika kita sudah berkecimpung di dalamnya.
Sebenarnya pembahasan mengenai ini tidaklah seringkas dan sesederhana di atas. Banyak saling-silang pendapat, bantahan sana dan sini, sebagaimana yang telah beredar di banyak buku dan halaman web. Saya tidak hendak menambah runyam perselisihan yang ada. Bagi ikhwah yang mengikuti pendapat sebagian ulama yang membolehkan mengikuti Pemilu, saya harap antum jangan tinggalkan peringatan kepada umat bahwa demokrasi dan pemilu itu adalah bathil. Peringatkan pula penyakit yang lazim menyertai hal ini, yaitu : tahazzub dan ta’ashub. Silakan dijelaskan dengan seterang-terangnya sehingga tidak membuat orang terlena dengan menganggap hal itu sebagai satu hal yang mubah secara asal. Dan bagi ikhwah yang mengikuti pendapat tidak bolehnya ikut serta dalam Pemilu, maka satu saat – jika ada maslahat yang benar-benar jelas dan nyata (bukan hanya sekedar dugaan tanpa melihat pengalaman dan realitas yang telah terjadi, berdasarkan keterangan dari para ulama) – pendapat (ijtihad) yang membolehkan Pemilu dapat dipertimbangkan sebagai satu pilihan.
Adapun saya – melihat kondisi dan realitas sosial politik serta orang-orang yang telah berkecimpung di dalamnya – rasanya lebih nyaman untuk tidak ikut Pemilu. Minimal untuk sementara waktu ini.
Akhirnya,……… tidak diperbolehkan adanya perpecahan dan sikap saling cela kepada orang yang berseberangan, karena permasalahan ini adalah permasalahan ijtihadiyyah yang membuka ruang perbedaan pendapat.
Wallaahu a’lam.
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/03/pemilu-satu-pilihan-yang-ekstra-sulit.html