Shalat Id dilakukan dua rakaat, pada prinsipnya sama dengan
shalat-shalat yang lain. Namun ada sedikit perbedaan yaitu dengan
ditambahnya takbir pada rakaat yang pertama 7 kali, dan pada rakaat yang
kedua tambah 5 kali takbir selain takbiratul intiqal.
Adapun takbir tambahan pada rakaat pertama dan kedua itu tanpa takbir
ruku’, sebagaimana dijelaskan oleh ‘Aisyah dalam riwayatnya:
“Dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah bertakbir para (shalat) Fitri
dan Adha 7 kali dan 5 kali selain 2 takbir ruku’.” (HR. Abu Dawud dalam
Kitabush Shalat Bab At-Takbir fil ’Idain. ‘Aunul Ma’bud, 4/10, Ibnu
Majah no. 1280, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Abani dalam Shahih Sunan
Abu Dawud no. 1149)
Pertanyaan: Apakah pada 5 takbir pada rakaat yang kedua dengan
takbiratul intiqal (takbir perpindahan dari sujud menuju berdiri)?
-Ibnu Abdil Bar menukilkan kesepakat-an para ulama bahwa lima takbir
tersebut selain takbiratul intiqal. (Al-Istidzkar, 7/52 dinukil dari
Tanwirul ‘Ainain)
Pertanyaan: Tentang 7 takbir pertama, apakah termasuk takbiratul ihram atau tidak?
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat:
Pertama: Pendapat Al-Imam Malik, Al-Imam Ahmad, Abu Tsaur dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhu bahwa
7 takbir itu termasuk takbiratul ihram. (lihat Fathul Bari karya Ibnu
Rajab, 6/178, Aunul Ma’bud, 4/6, Istidzkar, 2/396 cet. Darul Kutub
Al-Ilmiyyah)
Kedua: Pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i, bahwa 7 takbir itu tidak
termasuk takbiratul ihram. (Al-Umm, 3/234 cet. Dar Qutaibah dan
referensi sebelumnya)
Nampaknya yang lebih kuat adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i. Hal itu karena ada riwayat yang mendukungnya, yaitu:
“Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir pada 2 hari raya 12 takbir, 7
pada rakaat yang pertama dan 5 pada rakaat yang terakhir, selain 2
takbir shalat.”(Ini lafadz Ath-Thahawi)
Adapun lafadz Ad-Daruquthni:
“Selain takbiratul ihram.” (HR. Ath-Thahawi dalam Ma’ani Al-Atsar,
4/343 no. 6744 cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, Ad-Daruquthni, 2/47-48 no.
20)
Dalam sanad hadits ini ada seorang perawi yang diperselisihkan
bernama Abdullah bin Abdurrahman At-Tha‘ifi. Akan tetapi hadits ini
dishahihkan oleh Al-Imam Ahmad, ‘Ali Ibnul Madini dan Al-Imam Al-Bukhari
sebagaimana dinukilkan oleh At-Tirmidzi. (lihat At-Talkhis, 2/84,
tahqiq As-Sayyid Abdullah Hasyim Al-Yamani, At-Ta’liqul Mughni, 2/18 dan
Tanwirul ‘Ainain, hal. 158)
Adapun bacaan surat pada 2 rakaat tersebut, semua surat yang ada
boleh dan sah untuk dibaca. Akan tetapi dahulu Nabi membaca pada rakaat
yang pertama “Sabbihisma” (Surat Al-A’la) dan pada rakaat yang kedua
“Hal ataaka” (Surat Al-Ghasyiah). Pernah pula pada rakaat yang pertama
Surat Qaf dam kedua Surat Al-Qamar (keduanya riwayat Muslim, lihat Zadul
Ma’ad, 1/427-428)
APAKAH MENGANGKAT TANGAN DI SETIAP TAKBIR TAMBAHAN?
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur ulama berpen-dapat mengangkat tangan.
Sementara salah satu dari pendapat Al-Imam Malik tidak mengangkat
tangan, kecuali takbiratul ihram. Ini dikuatkan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani dalam Tamamul Minnah (hal. 349). Lihat juga Al-Irwa‘ (3/113).
Tidak ada riwayat dari Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih dalam hal ini.
Kapan Membaca Doa Istiftah?
~Al-Imam Asy-Syafi’i dan jumhur ulama berpendapat setelah takbiratul
ihram dan sebelum takbir tambahan. (Al-Umm, 3/234 dan Al-Majmu’, 5/26.
Lihat pula Tanwirul ‘Ainain hal. 149)
KHUTBAH ID
Dahulu Nabi shallallahu alaihi was sallam mendahulukan shalat sebelum khutbah.
“Dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: Aku mengikuti Shalat Id bersama
Rasulullah, Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman maka mereka semua shalat dahulu
sebelum khutbah.” (Shahih, HR Al-Bukhari Kitab ‘Idain Bab Al-Khutbah
Ba’dal Id)
Dalam berkhutbah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan
menghadap manusia tanpa memakai mimbar, mengingatkan mereka untuk
bertakwa kepada Allah Subhanahuwata’ala. Bahkan juga beliau mengingatkan
kaum wanita secara khusus untuk banyak melakukan shadaqah, karena
ternyata kebanyakan penduduk neraka adalah kaum wanita.
Jamaah Id dipersilahkan memilih duduk mendengarkan atau tidak, berda-sarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
-Dari ‘Abdullah bin Saib ia berkata: Aku menyaksikan bersama
Rasulullah Shalat Id, maka ketika beliau selesai shalat, beliau berkata:
“Kami berkhutbah, barangsiapa yang ingin duduk untuk mendengarkan
khutbah duduklah dan barangsiapa yang ingin pergi maka silahkan.”
(Shahih, HR. Abu Dawud dan An-Nasa`i. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, no. 1155)
Namun alangkah baiknya untuk mendengarkannya bila itu berisi
nasehat-nasehat untuk bertakwa kepada Allah Subhanahuwata’ala dan
berpegang teguh dengan agama dan Sunnah serta menjauhi bid’ah. Berbeda
ke-adaannya bila mimbar Id berubah menjadi ajang kampanye politik atau
mencaci maki pemerintah muslim yang tiada menambah di masyarakat kecuali
kekacauan. Wallahu a’lam.
WANITA YANG HAID
Wanita yang sedang haid tetap mengikuti acara Shalat Id, walaupun
tidak boleh melakukan shalat, bahkan haram dan tidak sah. Ia
diperintahkan untuk menjauh dari tempat shalat sebagaimana hadits yang
lalu dalam pembahasan hukum Shalat Id.
SUTRAH BAGI IMAM
Sutrah adalah benda, bisa berupa tembok, tiang, tongkat atau yang
lain yang diletakkan di depan orang shalat sebagai pembatas shalatnya,
panjangnya kurang lebih 1 hasta. Telah terdapat larangan dari
Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melewati orang yang shalat.
Dengan sutrah ini, seseorang boleh melewati orang yang shalat dari
belakang sutrah dan tidak boleh antara seorang yang shalat dengan
sutrah. Sutrah ini disyariatkan untuk imam dan orang yang shalat
sendirian atau munfarid. Adapun makmum tidak perlu dan boleh lewat di
depan makmum. Ini adalah Sunnah yang mayoritas orang meninggal-kannya.
Oleh karenanya, marilah kita menghidupkan sunnah ini, termasuk dalam
Shalat Id.
“Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu
apabila keluar pada hari Id, beliau memerintahkan untuk membawa tombak
kecil, lalu ditancapkan di depannya, lalu beliau shalat ke hadapannya,
sedang orang-orang di belakangnya. Beliau melakukan hal itu di safarnya
dan dari situlah para pimpinan melakukannya juga.” (Shahih, HR.
Al-Bukhari Kitabush Shalat Bab Sutratul Imam Sutrah liman Khalfah dan
Kitabul ‘Idain Bab Ash-Shalat Ilal harbah Yaumul Id. Al-Fath, 2/463 dan
Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/136)
BILA MASBUQ (TERTINGGAL) SHALAT ID, APA YANG DILAKUKAN?
-Al-Imam Al-Bukhari membuat bab dalam Shahih-nya berjudul: “Bila
tertinggal shalat Id maka shalat 2 rakaat, demikian pula wanita dan
orang-orang yang di rumah dan desa-desa berdasarkan sabda Nabi: ‘Ini
adalah Id kita pemeluk Islam’.”
Adalah ‘Atha` (tabi’in) bila ketinggalan Shalat Id beliau shalat dua rakaat.
Bagaimana dengan takbirnya? Menurut Al-Hasan, An-Nakha’i, Malik,
Al-Laits, Asy-Syafi’i dan Ahmad dalam satu riwayat, shalat dengan takbir
seperti takbir imam. (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/169)
PULANG DARI SHALAT ID MELALUI RUTE LAIN SAAT BERANGKAT
-Dari Jabir, ia berkata:” Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam apabila
di hari Id, beliau mengambil jalan yang berbeda. (Shahih, HR. Al-Bukhari
Kitab Al-’Idain Bab Man Khalafa Thariq Idza Raja’a…, Fathul Bari karya
Ibnu Hajar, 2/472986, karya Ibnu Rajab, 6/163 no. 986)
Ibnu Rajab berkata: “Banyak ulama menganggap sunnah bagi imam atau
selainnya, bila pergi melalui suatu jalan menuju Shalat Id maka pulang
dari jalan yang lainnya. Dan itu adalah pendapat Al-Imam Malik,
Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i dan Ahmad… Dan seandainya pulang dari jalan itu,
maka tidak dimakruhkan.”
Para ulama menyebutkan beberapa hikmahnya, di antaranya agar lebih
banyak bertemu sesama muslimin untuk memberi salam dan menumbuhkan rasa
cinta. (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/166-167. Lihat pula Zadul Ma’ad,
1/433)
BILA ID BERTEPATAN DENGAN HARI JUM’AT
-Dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syami, ia berkata: Aku menyaksikan
Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dia sedang bertanya kepada Zaid bin Arqam:
“Apakah kamu menyaksikan bersama Rasulullah, dua Id berkumpul dalam satu
hari?” Ia menjawab: “Iya.” Mu’awiyah berkata: “Bagaimana yang beliau
lakukan?” Ia menjawab: “Beliau Shalat Id lalu membe-rikan keringanan
pada Shalat Jumat dan mengatakan: ‘Barangsiapa yang ingin mengerjakan
Shalat Jumat maka shalatlah’.”
-Dari Abu Hurairah, dari Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa
beliau berkata: “Telah berkumpul pada hari kalian ini 2 Id, maka
barangsiapa yang berkehendak, (Shalat Id) telah mencukupinya dari Jum’at
dan sesungguhnya kami tetap melaksanakan Jum’at.” (Keduanya
diriwa-yatkan Abu Dawud dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam
Shahih Sunan Abu Dawud no. 1070 dan 1073)
-Ibnu Taimiyyah berkata: “Pendapat yang ke-3 dan itulah yang benar,
bahwa yang ikut Shalat Id maka gugur darinya kewajiban Shalat Jum’at.
Akan tetapi bagi imam agar tetap melaksanakan Shalat Jum’at, supaya
orang yang ingin mengikuti Shalat Jum’at dan orang yang tidak ikut
Shalat Id bisa mengikutinya. Inilah yang diriwayatkan dari Nabi dan para
shahabatnya.” (Majmu’ Fatawa, 23/211)
Lalu beliau mengatakan juga bahwa yang tidak Shalat Jum’at maka tetap Shalat Dzuhur.
Ada sebagian ulama yang berpendapat tidak Shalat Dzuhur pula, di
antaranya ‘Atha`. Tapi ini pendapat yang lemah dan dibantah oleh para
ulama. (Lihat At-Tamhid, 10/270-271)
UCAPAN SELAMAT SAAT HARI RAYA
Ibnu Hajar mengatakan: “Kami meri-wayatkan dalam Al-Muhamiliyyat
dengan sanad yang hasan dari Jubair bin Nufair bahwa ia berkata: ‘Para
shahabat Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bila bertemu di hari Id,
sebagian mereka mengatakan kepada sebagian yang lain:
“Semoga Allah menerima (amal) dari kami dan dari kamu.” (Lihat pula
masalah ini dalam Ahkamul ‘Idain karya Ali Hasan hal. 61, Majmu’ Fatawa,
24/253, Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/167-168)
Wallahu a’lam.
Catatan Kaki:
1 Id artinya kembali.
2 Karena Nabi tidak memberi contoh demikian dalam ibadah ini. Lain halnya –wallahu a’lam– bila kebersamaan itu tanpa disengaja.
[ditulis oleh : Al-Ustadz Qomar ZA, Lc.|| asysyariah.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar