Ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc
Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan:
Di antara malapetaka yang tersembunyi namun banyak menyebar adalah keberadaan seorang hamba pada sebuah kenikmatan yang Allah Subhanahu wata’ala karuniakan kepadanya dan Allah Subhanahu wata’ala pilihkan
untuknya, lalu hamba tersebut merasa bosan dengannya dan meminta untuk
beranjak menuju nikmat lain yang dia anggap lebih baik berdasarkan
penilaiannya yang bodoh. Namun Allah Subhanahu wata’ala dengan
kasih sayang-Nya tetap belum mengeluarkannya dari nikmat tersebut dan
masih memaafkannya atas kebodohannya serta kejelekan pilihannya untuk
dirinya sendiri.
Sampai nanti ketika dadanya terasa sesak
terhadap nikmat tersebut, merasa marah dan resah dengannya, sehingga
rasa bosan semakin menguat pada dirinya, Allah Subhanahu wata’ala pun
akan mencabut nikmat tersebut dari dirinya. Maka ketika dia berpindah
kepada apa yang dicari dan melihat perbedaan antara nikmat yang ia
berpindah darinya dengan apa yang sekarang ia ada padanya, maka ia
semakin gundah gulana, menyesal dan berharap untuk kembali kepada nikmat
yang ia ada padanya dahulu.
Bila Allah Subhanahu wata’ala menghendaki kebaikan dan kelurusan bagi hamba-Nya, Allah Subhanahu wata’ala akan mempersaksikan kepadanya bahwa apa yang ia sedang berada padanya merupakan salah satu nikmat Allah Subhanahu wata’ala dan merupakan keridhaan Allah Subhanahu wata’ala padanya, sehingga Allah Subhanahu wata’ala
akan mengilhamkan dia untuk bersyukur. Oleh karena itu, manakala dia
ingin berpindah darinya, iapun ber-istikharah kepada-Nya (minta
dipilihkan oleh Allah Subhanahu wata’ala), dengan perasaan bahwa
ia tidak mengetahui maslahat untuk dirinya, merasa lemah terhadapnya,
dan menyerahkan urusannya kepada Allah Subhanahu wata’ala serta meminta-Nya pilihan yang terbaik.
Tidak ada bagi hamba sesuatu yang lebih mencelakakan daripada rasa bosannya terhadap nikmat Allah Subhanahu wata’ala.
Karena, dengan begitu ia tidak melihatnya sebagai suatu nikmat dan ia
pun juga tidak akan mensyukurinya. Ia juga tidak akan merasa senang
dengannya, sehingga ia akan membencinya, mengeluhkannya dan
menganggapnya sebagai musibah. Padahal itu sesungguhnya termasuk nikmat
Allah Subhanahu wata’ala yang terbesar baginya.
Jadi, mayoritas manusia itu adalah musuh-musuh bagi nikmat yang Allah Subhanahu wata’ala bukakan untuk mereka. Mereka tidak merasakan dibukanya nikmat Allah Subhanahu wata’ala untuk
mereka. Justru mereka berusaha menolaknya karena kebodohan dan sifat
zalim mereka. Betapa sering sebuah nikmat berjalan menuju kepadanya
sementara ia berupaya untuk menolaknya dengan kesungguhannya. Betapa
banyak pula nikmat yang telah sampai kepadanya namun dia masih juga
berusaha untuk menolaknya atau menghilangkannya karena kebodohan dan
kezalimannya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
“Yang demikian (siksaan) itu adalah
karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah suatu nikmat
yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah
apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Anfal: 53)
Allah Subhanahu wata’ala berfirman juga:
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Ar-Ra’d: 11)
Sehingga, tidak ada yang lebih memusuhi
nikmat daripada jiwa hamba itu sendiri. Dia bersama musuh dirinya yang
sebenarnya telah membantu untuk melawan dirinya sendiri. (Ibarat)
musuhnya melempar api terhadap nikmat, sementara dia yang meniup-niup
api tersebut. Dia membantu musuhnya untuk melempar api kepadanya
kemudian dia membantunya dengan meniupnya. Bilamana api semakin besar
nyalanya, barulah ia meminta-minta bantuan untuk melawan api tersebut.
Ujungnya adalah tidak ikhlas dalam menerima takdir.
Dan orang yang lemah akalnya akan menyia-nyiakan kesempatannya, Sehingga bila kehilangan sesuatu, ia akan mencela takdir (Al-Fawa’id hal. 201)
As-Sa’di rahimahullah mengatakan: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala tidak akan mengubah suatu nikmat yang Allah Subhanahu wata’ala berikan kepada suatu kaum, baik nikmat agama maupun nikmat duniawi. Bahkan Allah Subhanahu wata’ala akan
menetapkannya dan menambahnya bila ia menambah rasa syukurnya.
(Sehingga merekalah yang mengubah apa yang ada pada diri mereka) dari
ketaatan kepada maksiat, sehingga mereka mengkufuri nikmat Allah dan
menggantinya dengan ingkar. Allah Subhanahu wata’ala pun mencabut
nikmat tersebut dan mengubahnya sebagaimana mereka mengubahnya pada
diri mereka. Hal itu mengandung hikmah dan keadilan Allah Subhanahu wata’ala serta kebaikan-Nya kepada hamba-Nya, di mana Allah Subhanahu wata’ala tidak menghukum mereka melainkan karena kezaliman mereka sendiri.” (Tafsir As-Sa’di, Surat Al-Anfal: 53)
————————————————-
Sumber: Majalah Asy Syariah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar