Hati
yang dimiliki setiap insan terkadang ia selembut air, tapi juga
terkadang sekeras batu. Lembutnya hati karena taatnya si pemilik hati
kepada Allah -Azza wa Jalla-. Sebaliknya, kerasnya hati karena
kedurhakaan si pemilik hati kepada Allah Sang Pencipta Allam Semesta.
Seorang
yang lembut hatinya akan mudah menerima kebenaran yang datang dari
Robb-nya, dan mudah menangis saat mengingat kebesaran atau siksaan
Allah, dan segera bertobat saat ia melanggar batasan Allah -Subhanahu wa
Ta’ala-. Adapun orang-orang yang keras hatinya, maka hatinya tertutup
dan susah dalam menerima kebenaran. Karena, kekerasan hatinya, ia susah
menangis saat diingatkan tentang siksaan Allah dan kebesaran-Nya.
Pemilik hati yang keras terus menerus di atas pembangkangan dan
kedurhakaan. Lisannya amat berat mengucapkan kata tobat. Inilah yang
disinyalir oleh Allah -Azza wa Jalla- dalam firman-Nya,
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad : 24)
Orang
yang keras hatinya akan susah menerima kebenaran yang Allah turunkan
melalui kitab-kitab-Nya dan lisan para rasul-Nya. Hatinya bagaikan batu
yang yang tidak ditembus oleh air saat hujan turun. Allah -Ta’ala-
berfirman,
“Kemudian
setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi.
Padahal diantara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai
dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah
mata air dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang meluncur jatuh,
Karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa
yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Baqoroh : 74).
Seorang
muslim ketika sampai kepadanya perintah dan larangan Allah, maka
hendaknya segera melaksanakan perintah Allah, dan menjauhi larangannya
sebelum hatinya membatu bagaikan batu cadas di pegunungan. Allah -Azza
wa Jalla- berfirman,
“Belumkah
datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka
mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka),
dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah
diturunkan Al Kitab kepadanya, Kemudian berlalulah masa yang panjang
atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. dan kebanyakan di antara
mereka adalah orang-orang yang fasik”. (QS. Al-Hadid : 16)
Al-Hafizh
Ibnu Katsir -rahimahullah- dalam tafsirnya berkata, “Allah melarang
kaum mukminin untuk menyerupai orang-orang yang mengemban Al-Kitab
sebelum mereka dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Tatkala telah berlalu
masa yang panjang pada mereka (ahli Kitab), maka mereka mengganti Kitab
Allah yang ada di tangan mereka, memperjualbelikannya dengan harga
murah, membuangnya di balik punggung mereka. Mereka mulai menghadap
kepada pemikiran-pemikiran manusia yang bertentangan, dan ucapan-ucapan
yang simpang siur, mereka membebek buta kepada tokoh-tokoh (pendeta)
dalam urusan agama Allah, dan menjadikan ulama, dan pendeta mereka
sebagai tuhan-tuhan dari selain
Allah. Ketika itulah, hati mereka membatu. Lantaran itu, mereka tak mau
menerima nasihat, serta hati mereka tak mau luluh dengan janji dan
ancaman”. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (8/20)]
Pembaca
yang budiman, adapun kerasnya hati, maka para ulama kita menyebutkan
beberapa diantara sebab-sebab yang membuatnya keras bagaikan batu:
1. Banyak Tertawa
Salah
satu diantara sebab membatunya hati seseorang bagaikan mayat yang sudah
kehilangan ruh adalah memperbanyak tawa. Tertawa adalah perkara yang
boleh saja sepanjang masih dalam batasan syariat, yaitu tidak keseringan
dan bukan menjadi kebiasaan, dan tidak menertawakan kebaikan dan
pelakunya, serta menjaga adab atau citra diri saat tertawa (misalnya,
tidak terbahak atau tidak memukul orang, dan lainnya).
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
وَلَا تُكْثِرْ الضَّحِكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ
“Janganlah
engkau memperbanyak tawa, karena banyak tawa akan mematikan hati”. [HR.
At-Tirmidziy dalam As-Sunan, dan Ahmad dalam Al-Musnad (2/310). Hadits
ini di-hasan-kan oleh Al-Albaniy dalamAsh-Shohihah (no. 930)]
Mengapa
seorang yang banyak tertawa akan mati dan membatu hatinya? Karena,
seorang yang memperbanyak tawa akan sulit menerima nasihat yang berisi
kebenaran. Itulah sebabnya kita sering melihat ada orang yang ketika
dibacakan kepadanya Al-Qur’an, maka ia tertawa dan tidak serius
mendengarkannya. Bahkan terkadang ia memperolok-olokkan Al-Qur’an dan
orang yang membacakannya kepada dirinya. Semua ini adalah tanda bahwa ia
tak mau menerima nasihat dari Allah dan Rasul-Nya.
Selain
itu, banyak tawa adalah tanda hilangnya khosy-yah (takut)nya seorang
hamba kepada Allah. Seorang yang takut kepada Allah akan lunak hatinya
dan mudah menerima nasihat dan kebenaran dari Allah -Azza wa Jalla-.
Itulah
hikmahnya Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- menganjurkan kepada kita
agar sedikit tawanya, dan banyak menangis karena takut kepada Allah
sebagaimana dalam sabdanya,
لَوْ تَعْلَمُونَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيلًا وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيرًا
“Andai
kalian tahu sesuatu yang aku tahu, maka kalian akan sedikit tertawa,
dan banyak menangis”. [HR. At-Tirmidziy. Di-shohih-kan oleh Al-Albaniy
dalam Shohih Fiqh As-Siroh (479)]
Orang
yang banyak tertawa akan susah menangis saat ia diingatkan tentang
neraka, dan siksa Allah -Azza wa Jalla-, baik di dunia, maupun di
akhirat. Dia lebih senang terbawa dalam canda melampaui batas. Banyak
tertawa bukanlah ciri dan tanda orang-orang sholih dari kalangan nabi
dan rasul serta pengikut mereka yang setia. Banyak tawa adalah tanda
orang-orang yang lalai dari Allah dan akhirat. Karenanya kami amat sedih
saat melihat tersebarnya kebiasaan banyak tertawa di kalangan kaum
muslimin, dari anak kecil sampai orang tua beruban. Parahnya lagi, ada
diantara mereka yang menjadikannya sebagai profesi sebagai seorang
pelawak dan tukang banyolan.
2. Banyak Makan
Banyak
makan adalah salah satu sebab hati seseorang akan membatu, sebab banyak
makan akan membuat orang akan malas berbuat. Tak ada yang dipikirkan
oleh orang yang banyak makan, kecuali makanan, cara mendapatkannya,
metode memasaknya, dan aneka ragamnya, sehingga waktunya akan habis
hanya dalam memikirkan perut. Adapun memperbanyak sedekah dan infaq,
maka hal itu jauh dari pikiran dan catatan hidupnya. Tangannya lebih
ringan membeli makanan dibanding berinfaq di jalan Allah.
Orang
yang seperti ini akan rakus, dan kikir, serta malas beramal sholih atau
mengejar kebaikan di sisi Allah. Orang yang seperti ini malas mencari
ilmu dan mempelajarinya di majelis-majelis taklimnya orang-orang
berilmu. Sebaliknya, ia akan banyak bicara dan sok pintar. Inilah yang
pernah disyaratkan oleh Nabiyyullah Muhammad -Shallallahu alaihi wa
sallam- dalam sabdanya saat beliau mengingatkan bahayanya kaum
pengingkar sunnah yang mau berpegang dengan Al-Qur’an, tapi meninggalkan
sunnah,
أَلَا
إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ أَلَا يُوشِكُ رَجُلٌ
شَبْعَانُ عَلَى أَرِيكَتِهِ يَقُولُ عَلَيْكُمْ بِهَذَا الْقُرْآنِ فَمَا
وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَلَالٍ فَأَحِلُّوهُ وَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ
حَرَامٍ فَحَرِّمُوهُ
“Ingatlah
sungguh aku telah diberi Al-Kitab, dan semisalnya bersamanya. Ingatlah,
hampir-hampir akan ada seseorang yang kenyang di atas ranjangnya seraya
berkata, “Berpeganglah saja dengan Al-Qur’an ini. Karenanya, apa saja
yang kalian temukan di dalamnya berupa sesuatu yang halal, maka
halalkan, dan apa saja yang kalian temukan di dalamnya beruapa sesuatu
yang haram, maka haramkanlah”. [HR. Abu Dawud (no.). Hadits ini
di-shohih-kan Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (163)]
Di dalam hadits ini, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- menyebutkan orang yang kenyang.
Ahli
Hadits Negeri India, Al-Imam Syamsul Haqq Al-Azhim Abaadi
-rahimahullah- berkata dalam menjelaskan maknanya, “Ia adalah kinayah
tentang kepandiran, dan pemahaman buruk yang timbul dari kenyangnya
seseorang atau timbul dari kebodohan yang menyertai gaya hidup mewah,
dan ketertipuan dengan harta dan kedudukan”. [Lihat Aunul Ma'bud
(10/124)]
Itulah
akibat banyak makan; ia akan membuat pelakunya malas dan tak mau
menerima kebenaran sebagai tanda kerasnya hati. Seorang ulama salaf,
Bisyr bin Al-Harits -rahimahullah- berkata,
خَصْلَتَانِ تُقْسِيَانِ الْقَلْبَ: كَثْرَةُ الْكَلاَمِ، وَكَثْرَةُ اْلأَكْلِ
“Dua perkara yang akan mengeraskan hati: Banyak bicara, dan banyak makan”. [Lihat Al-Hilyah (4/22) oleh Abu Nu'aim]
Al-Imam
Abu Bakr Al-Marrudziy -rahimahullah- berkata kepada Al-Imam Ahmad bin
Hambal -rahimahullah-, “Apakah seseorang dapat merasakan kehalusan
hatinya dalam keadaan kenyang?” Al-Imam Ahmad -rahimahullah- berkata,
“Saya pandang tidak?” [Lihat Kitab Al-Waro' (hal. 98/no. 323) karya
Al-Marrudziy, , dengan tahqiq Samir bin Amin Az-Zuhairiy, cet. Maktabah
Al-Ma'arif]
Jadi,
tak mungkin akan berkumpul antara lembutnya hati dengan banyaknya
makan, sebab banyak makan akan mewariskan kelalaian dan perasaan malas
dalam melakukan kebaikan dan amal sholih. Selain itu, banyak makan akan
membuat nafsu hewani seseorang bergejolak. Sedang nafsu hewani tersebut
akan mendorong dirinya berbuat keji dan mesum.
3. Banyak Melakukan Dosa
Para
pembaca yang budiman, satu lagi diantara perkara yang akan membuat hati
seseorang membatu adalah banyak melakukan dosa. Dosa yang dilakukan
oleh seseorang (apalagi jika ia dosa besar) akan menyebabkan hati kita
akan tertutupi oleh noda-noda maksiat dan dosa tersebut. Inilah yang
dimaksudkan oleh Allah dalam firman-Nya,
Sekali-kali tidak (demikian), Sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka”.(QS. Al-Muthoffifin:14 ).
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-,
إِنَّ
الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيْئَةً نُكِتَتْ فِيْ قَلْبِهِ نُكْتَةً
سَوْدَاءَ, فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ
وَإِنْ عَادَ زِيْدَ فِيْهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ
“Sesungguhnya
orang yang beriman jika melakukan suatu dosa, maka dosa itu menjadi
titik hitam di dalam hatinya. Jika dia bertaubat dan mencabut serta
berpaling (dari perbuatannya) maka mengkilaplah hatinya. Jika dosa itu
bertambah, maka titik hitam itupun bertambah hingga memenuhi hatinya.”
[HR. At-Tirmidzi dalam Sunan-nya (3334), dan Ibnu Majah Sunan-nya
(4244). Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih
At-Targhib (1620)]
Hati
yang ada pada diri setiap orang, ibarat tubuh seseorang. Tubuh itu
kalau tidak mengenakan apa-apa, maka akan terasa ringan. Demikian pula
hati, kalau sedikit kesalahannya, dan mudah tersentuh sehingga mudah
meneteskan air mata.
Dosa
yang dikerjakan oleh seseorang akan mematikan hati, sedang ketagihan
dengannya akan membuat diri seorang hamba menjadi hina dina. Jika anda
menginginkan hati ini hidup, maka hendaknya meninggalkan dosa, sebab
itulah kehidupan hati. Oleh karena itu, setiap orang menginginkan
hatinya hidup hendaknya ia menjauhi maksiat dengan sejauh-jauhnya,
karena maksiat dan dosa itu seperti api yang akan membakar hati dan
membinasakannya. Sebaliknya, ketaatan kepada Allah -Azza wa Jalla-ibarat
air hujan yang akan menyegarkan tanaman yang ia basahi. [Lihat Jurnal
AKHWAT (vol.1/hal.3)]
4. Melanggar Perjanjian dengan Allah
Melanggar
perjanjian dengan Allah merupakan sebab kerasnya hati seseorang. Dahulu
Bani Isra’il (Yahudi) pernah berjanji kepada Allah dan Rasul-Nya untuk
menegakkan sholat, menunaikan zakat, beriman kepada para rasul (termasuk
Nabi Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-), menolong mereka, dan
berkorban di jalan Allah. Namun mereka menyalahi janji itu sebagaimana
dalam firman-Nya,
“(Tetapi)
karena mereka melanggar janjinya, kami laknat mereka, dan kami jadikan
hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah perkataan (Allah) dari
tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang
mereka telah diperingatkan dengannya. Dan kamu (Muhammad) senantiasa
akan melihat kekhianatan dari mereka, kecuali sedikit diantara mereka
(yang tidak berkhianat). Maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. (QS.
Al-Maa’idah : 13)
Hal
yang serupa banyak terjadi pada kaum muslimin. Mereka bersyahadat
setiap hari, namun masih saja ada diantara mereka yang melakukan
kesyirikan dan bid’ah. Padahal dua kalimat syahadat tersebut yang
diucapkannya setiap hari, melarangnya dari perbuatan syirik dan bid’ah
(mengada-adakan suatu ajaran). Tak heran jika banyak diantara mereka
yang berani menolak kebenaran, karena kerasnya hati mereka.
Bahkan
banyak diantara mereka yang lancang meninggalkan sholat, dan enggan
menunaikan zakat. Demikian karena hatinya tertutup dari kebaikan.
Kalaupun ia melakukan kebaikan, ia lakukan bukan karena mencari wajah
Allah, tapi karena terpaksa atau ingin mencari perhatian dan
popularitas. Nas’alullahal afiyah was salamah min qoswatil quluub.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar