Minggu, 10 Februari 2013

Pendapat Yang Membolehkan Pajak

Di blog ini telah dituliskan artikel singkat tentang pajak (= orang yang bekerja sebagai pemungut pajak) dan bagaimana syari’at memandangnya.[1] Pada kesempatan ini, saya (abul Jauza)akan coba tuliskan bahasan lain tentang pendapat sebagian ulama yang ‘membolehkan’ pajak dengan syarat-syarat tertentu.

Menurut sebagian ulama, pajak diperbolehkan dalam keadaan darurat apabila pendapatan negara yang sah[2] yang telah ditetapkan tidak mencukupi anggaran belanja (= kas di baitul-maal kosong). Pajak tersebut dipungut dari orang-orang kaya dari sisa kebutuhan pokoknya. Pemungutan pajak bertujuan untuk memelihara keamanan kaum muslimin, mendatangkan maslahat dan menghindarkan mafsadat dari mereka.
Mereka berdalil dengan beberapa nash sebagai berikut :
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu” [QS. An-Nisaa’ : 36].
وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros” [QS. Al-Israa’ : 26].
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan” [QS. Al-Insaan : 8].
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
“Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.” Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya” [QS. Al-Baqarah : 215].
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian” [QS. Adz-Dzariyaat : 19].
Ayat-ayat di atas menjelaskan kewajiban orang-orang yang berharta untuk mencukupi kebutuhan mereka-mereka yang kekurangan dan memerlukan uluran bantuan dengan menginfakkan sebagian harta mereka.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
إِنَّ فِي الْمَالِ حَقًّا سِوَى الزَّكَاةِ
“Sesungguhnya dalam harta itu terdapat kewajiban selain zakat” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 659-660, Ad-Daarimiy no. 1677, Ad-Daaruquthniy no. 2016-2017, Al-Baihaqiy 4/84, Ath-Thabaraaniy 24/403-404 no. 979, Al-Baghawiy 6/68-69 no. 1592, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 2/27 no. 3043 dan dalam Ahkaamul-Qur’aan no. 639, Ath-Thabaraaniy dalam Jaami’ul-Bayaan 3/80, Ibnu Abi Haatim dalam At-Tafsiir no. 1548, Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 5/19 no. 888, dan Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush-Shahaabah hal. 3418 no. 7800; semuanya dari jalan Syariik, dari Abu Hamzah, dari Asy-Sya’biy, dari Faathimah binti Qais, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Syariik mempunyai mutaba’ah dari Hammaad bin Salamah sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 24/404 no. 980].
Hadits ini tidak shahih karena kelemahan Syariik bin ‘Abdillah An-Nakha’iy dan Abu Hamzah Maimuun Al-A’war. Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah melemahkan hadits ini dalam Dla’iif Sunan At-Tirmidziy hal. 70-71 (Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1420 H).
Akan tetapi matan hadits tersebut berkesesuaian dengan ayat :
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat” [QS. Al-Baqarah : 177].
Allah ta’ala telah menyebutkan ketetapan bagi kaum muslimin untuk memberikan (sebagian) harta mereka kepada para kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, musaafir, dan orang-orang yang meminta-minta; sebelum ketetapan zakat.
Para ulama telah sepakat bahwa jika zakat tidak dapat memenuhi kebutuhan kaum muslimin, maka orang-orang kaya wajib mengeluarkan hartanya untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ، حَدَّثَنَا أَبُو الْأَشْهَبِ، عَنْ أَبِي نَضْرَةَ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ فِي سَفَرٍ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَ رَجُلٌ عَلَى رَاحِلَةٍ لَهُ، قَالَ: فَجَعَلَ يَصْرِفُ بَصَرَهُ يَمِينًا وَشِمَالًا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” مَنْ كَانَ مَعَهُ فَضْلُ ظَهْرٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لَا ظَهْرَ لَهُ، وَمَنْ كَانَ لَهُ فَضْلٌ مِنْ زَادٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لَا زَادَ لَهُ “، قَالَ: فَذَكَرَ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ مَا ذَكَرَ حَتَّى رَأَيْنَا أَنَّهُ لَا حَقَّ لِأَحَدٍ مِنَّا فِي فَضْلٍ
Telah menceritakan kepada kami Syaibaan bin Farruukh : Telah menceritakan kepada kami Abul-Asyhab, dari Abu nadlrah, dari Abu Sa’iid Al-Khudriy, ia berkata : “Ketika kami berada di  tengah safar bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, datanglah seorang laki-laki di atas kendaraannya. Ia menolehkan pandangannya ke kanan dan ke kiri. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang padanya ada kelebihan tempat pada kendaraannya, hendaklah ia memberikan kepada orang yang tidak mempunyai kendaraan. Dan barangsiapa yang mempunyai kelebihan bekal, hendaklah ia memberikannya kepada orang yang tidak mempunyai bekal”. Abu Sa’iid berkata : “Lalu beliau menyebutkan macam-macam harta hingga kami memandang bahwa tidak ada seorang pun di antara kami yang mempunyai hak atas kelebihan harta tadi” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1728].
حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا أَبُو عُثْمَانَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ، أَنَّ أَصْحَابَ الصُّفَّةِ كَانُوا أُنَاسًا فُقَرَاءَ، وَأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” مَنْ كَانَ عِنْدَهُ طَعَامُ اثْنَيْنِ فَلْيَذْهَبْ بِثَالِثٍ، وَإِنْ أَرْبَعٌ فَخَامِسٌ أَوْ سَادِسٌ
Telah menceritakan kepada kami Abun-Nu’maan, ia berkata : telah menceritakan kepada kami Mu’tamir bin Sulaimaan, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Utsmaan, dari ‘Abdurrahmaan bin Abi Bakr : Bahwasannya ashhaabush-shuffah itu termasuk orang-orang fakir. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda : “Barangsiapa mempunyai makanan yang cukup untuk dua orang, hendaklah ia pergi mengundang orang yang ketiga; dan barangsiapa mempunyai makanan yang cukup untuk empat orang, hendaklah ia pergi mengundang orang yang kelima atau keenam….” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 602].
Dan di antara alasan lain yang membolehkan pajak saat darurat untuk kemaslahatan kaum muslimin adalah bahwa harta itu hakekatnya milik Allah ta’ala. Dan bagi manusia, ia hanyalah titipan dan amanah yang mesti dikelola sebagaimana mestinya (sebagaimana yang diperintahkan).
أَلا إِنَّ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ أَلا إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لا يَعْلَمُونَ
”Ingatlah, sesungguhnya kepunyaan Allah apa yang ada di langit dan di bumi. Ingatlah, sesungguhnya janji Allah itu benar, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui(nya).” [QS. Yunus : 55].
آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ
”Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman diantara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar” [QS. Al-Hadid : 7].
Dalam hal ini, pemerintah Islam bertanggung jawab atas segala permasalahan rakyatnya, menghindarkan segala kemudlaratan, mendatangkan segala kemaslahatan, dan mewujudkan keadilan. Ini terkait dengan prinsip maslahat mursalah.
Asy-Syaathibiy rahimahullah berkata :
إذا قررنا إماما مطاعا مفتقرا إلى تكثير الجنود لسد الثغور، وحماية الملك المتسع الأقطار، وخلا بيت المال وارتفعت حاجات الجند إلى ما لا يكفيهم ، فللإمام إذا كان عدلاً أن يوظف على الأغنياء ما يراه كافياً لهم في الحال ، إلى أن يظهر مال بيت المال
“Apabila kita menetapkan seorang imam yang ditaati dan saat itu ia sedang membutuhkan penambahan jumlah pasukan untuk menjaga pos-pos perbatasan dan melindungi daerah kekuasaan yang semakin luas; sedangkan baitul-maal kosong dan kebutuhan pasukan (perang) membengkak sehingga kas baitul-maal tidak dapat mencukupi kebutuhan mereka, maka imam – seandainya ia seorang yang ‘adil – hendaknya meminta orang-orang kaya untuk mencukupi kebutuhan tersebut hingga kas baitul-maal terisi kembali…” [Mukhtashar Kitaab Al-I’tishaam oleh ‘Alawiy bin ‘Abdil-Qaadir As-Saqqaaf, hal. 103; Daarul-Hijrah, Cet. 1/1418].
Ibnu Hazm rahimahullah juga mengungkapkan hal senada :
وَفُرِضَ عَلَى الأَغْنِيَاءِ مِنْ أَهْلِ كُلِّ بَلَدٍ أَنْ يَقُومُوا بِفُقَرَائِهِمْ, وَيُجْبِرُهُمْ السُّلْطَانُ عَلَى ذَلِكَ, إنْ لَمْ تَقُمْ الزَّكَوَاتُ بِهِمْ,
“Dan diwajibkan bagi orang-orang kaya dari penduduk setiap negeri untuk mencukupi kebutuhan orang-orang fakirnya, dan sulthaan/penguasa dapat memaksa mereka untuk hal tersebut seandainya zakat tidak mampu menanggulanginya…” [Al-Muhallaa, 6/156 no. 725; Daarul-Fikr].
Jika kita cermati penjelasan dan pendalilan yang dipakai, pertanyaan yang muncul kemudian adalah : “Apakah konteks pajak yang diberlakukan secara umum di era sekarang sesuai dengan hal tersebut di atas ? Apakah pajak yang dipungut sekarang tepat dikatakan ‘darurat’ sehingga mencocoki perkataan sebagian fuqahaa’ ?[3] Apakah pajak dipungut dari orang-orang berharta dan kemudian dialokasikan benar-benar untuk kemaslahatan umum yang diakui syari’at ?”. Dan seterusnya dan seterusnya…..
Ini saja yang dapat saya tuliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu ta’ala a’lam.
[Abu Al-Jauzaa’ – ngaglik, sleman, Yogyakarta, 1432 - banyak mengambil faedah dari penjelasan Prof. Dr. Muhammad bin Ahmad Ash-Shaalih dalam bukunya At-Takaaful Al-Ijtimaa'iy fisy-Syarii'atil-Islaamiyyah dengan beberapa tambahan].
Sebagai tambahan referensi, silakan baca :

[2]     Seperti pemasukan/pendapatan dari zakat, infaq, shadaqah, ghanimah, fai’, pengelolaan asset, dan lainnya yang dibenarkan oleh syari’at.
[3]     Dikatakan ‘darurat’ tentu saja jika kondisi ‘tidak darurat’ memang benar-benar telah diusahakan. Contoh mudahnya : Kita diperbolehkan makan daging babi apabila makanan halal lain benar-benar tidak ada, dan kita sudah berusaha mencarinya. Jika kita ‘ujug-ujug’ memilih daging babi tanpa didahului usaha mencari makanan halal secara optimal (bahkan maksimal), apakah layak itu disebut ‘darurat’ ?.