Kamis, 19 Juli 2012

Polemik Seputar Ru'yah dan Hisab

Oleh: Ustadz Shabaruddin bin Muhammad Arif
Pertanyaan:
Dalam menentukan masuknya Ramadhan, ada yang menggunakan cara melihat hilal dan ada pula dengan cara menggunakan hisab. Manakah dari kedua pendapat ini yang benar?

Jawaban:
Pengertian Ru’yah dan Hisab
Makna ru’yah secara bahasa adalah melihat dengan mata kepala, adapaun hilal secara bahasa adalah bulan yang nampak pada malam pertama sampai malam ketiga di setiap bulannya dan setelah itu barulah dikatakan bulan (tidak dikatakan lagi hilal, pent). Lihat Mukhtar Ash-Shihah 290 dan Misbah Al-Munir 639. Dalam bahasa Indonesia hilal dikenal sebagai bulan sabit.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “Hilal secara syar’i terambil dari makna sesuatu yang nampak dan tersebar beritanya, maka jika hilal terdapat pada langit tapi tidak nampak maka tidak dikatakan hilal. Begitu pula bila ada yang melihatnya tapi tidak diumumkan beritanya pada khalayak ramai maka tidak juga dinamakan hilal. (Majmu’ Al-Fatawa 25/109)

Makna hisab secara bahasa adalah menghitung/mengira, dan hisab terbagi menjadi dua:
1. Hisab yang menghitung melalui penanggalan bulan ke bulan lainnya sesuai perjalanan matahari.
2. Hisab yang menghitung dengan melihat perjalanan dan pergerakan bulan, matahari dan bintang. (Lihat Majmu’ Al-Fatawa 25/180-181)

Dalil-dalil yang Menggunakan Ru’yah
Adapun dalil-dalil dari Al-Qur’an antara lain:
1. QS. Al-Baqarah: 189
يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَخِّ
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang hilal-hilal, katakanlah hilal-hilal itu adalah merupakan patokan waktu bagi (ibadah-ibadah) manusia dan haji.”

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan hilal sebagai patokan waktu bagi manusia pada segala urusan dan ibadahnya (puasa, zakat, shalat, haji, dll). Adapun Allah Subhanahu wa Ta’ala mengkhususkan penyebutan haji dalam ayat ini adalah untuk membedakannya dari ibadah lainnya karena ibadah haji disaksikan oleh para malaikat dan selainnya. (Majmu’ Al-Fatawa 25/133, Fiqh An-Nawazil 2/191)

Ibnu Katsir rahimahullaahu Ta’ala berkata bahwa pada ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan hilal sebagai penentuan waktu puasa kaum muslimin dan masa iddah bagi para wanita. (Tafsir Ibnu Katsir 1/226)

2. QS. Al-Baqarah: 185
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الْشَهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Artinya: “Bulan Ramadhaan yang padanyalah diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelas berupa petunjuk dan pembeda. Maka barangsiapa dari kalian yang menyaksikannya maka hendaknya dia berpuasa.”

Berkata Ibnu Katsir rahimahullaahu Ta’ala: “Ayat ini sebagai dalil wajibnya berpuasa ketika menyaksikan hilal Ramadhan.” (Tafsir Ibnu Katsir 1/217)
3. QS. At-Taubah: 36
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرً فِي كِتَابِ اللهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ
Artinya: “Sesungguhnya jumlah bulan-bulan di sisi Allah adalah dua belas yang tertulis dalam kitabullah (Al-Lauh Al-Mahfudz) pada hari ketika Allah menciptakan langit dan bumi yang di antara bulan-bulan tersebut empat bulan haram.”

Berkata Ibnu Taimiyah rahimahullaahu Ta’ala: “Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan satu tahun terdiri dari dua belas bulan, dan bulan dimunculkan dengan hilal terlebih dahulu. Ini menunjukkan bahwa setiap bulan ditentukan oleh hilal.” (Majmu’ Al-Fatawa 25/135)

Adapun dalil-dalil dari hadits Rasulullah antara lain:
1. Hadits Abi Hurairah radhiyallaahu ‘anhu: Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((إِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُوْمُوْا ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا)) رواه الشيخان والنسائي
“Kalau kalian melihat hilaal (awal Ramadhan, -pent) maka berpuasalah, dan jika kalian melihatnya (hilal tanda masuk bulan Syawwal) maka berbukalah. Dan jika (pandangan) kalian terhalangi oleh awan, maka berpuasalah tiga puluh hari.” (Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, Muslim dan An-Nasa’i)

Dan jalan yang lain, dari hadits Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأفْطِرُوْا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوْا لَهُ. رواه الشيخان وفي لفظ مسلم: فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوْا ثَلاَثِيْنَ
“Jika kalian melihatnya (hilal) maka berpuasalah dan jika kalian melihatnya (lagi) maka berbukalah. Dan jika (pandangan) kalian terhalangi oleh awan maka genapkanlah.” (Diriwayatkan oleh Imam Bukagri dan Muslim. Dalam lafazh Imam Muslim: “Jika (pandangan) kalian terhalangi oleh awan maka genapkanlah (puasa kalian) tiga puluh (hari).”

Berkata Imam Nawawi: “Hadits ini menunjukkan tidak bolehnya berpuasa Ramadhan kecuali dengan melihat hilal.” (Syarh Muhadzab 6/275). Juga menunjukkan wajibnya berpuasa Ramadhan dan meninggalkannya dengan melihat hilal. Hal ini sebagaimana judul bab yang beliau sebutkan ketika menyebutkan hadits ini yakni bab tentang wajibnya berpuasa dan meninggalkan puasa dengan melihat hilal. (Syarh Muslim 7/154)

Dengan hadits ini, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada umatnya cara menentukan permulaan puasa Ramadhan yaitu dengan melihat hilal atau menyempurnakan bulan Sya’ban sebanyak 30 hari bila tidak melihatnya. (Majmu’ Al-Fatawa 25/146)

Sebabnya karena 2 cara ini adalah cara atau jalan yang paling mudah dan jalan yang tidak didapatkan kesalahan di dalamnya. Adapun selain dua cara/jalan ini tentunya merupakan jalan yang sulit ditempuh dan dipahami serta banyak terdapat kesalahan di dalamnya. (Fiqh An-Nawazil 2/196)

2. Hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وعلى آله وسلم ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ: لاَ تَصُوْمُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوْا حَتَّى تَرَوْا الْهِلاَلَ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاكْمِلُوْا الْعِدَّة ثَلاَثِيْنَ. رواه أبو داود والترمذي والنسائي وأخرجه مسلم نحوه من حديث أبي هريرة
“Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebut Ramadhan beliau bersabda: ‘Janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal dan janganlah kalian berbuka sampai kalian melihat hilal, jika ditutupi atas kalian (pandangan terhalang awan dan semisalnya) maka sempurnakanlah jumlah (bulan Ramadhan) 30 (hari, -pent).’”

Dan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma menjelaskan pula haramnya berpuasa dan meninggalkan puasa Ramadhan sebelum melihat hilal. (Syarh Muhadzab 6/275)

Imam Ibnu ‘Abdil Bar berkata: “Dari hadits Ibnu ‘Abbas dan dari hadits sebelumnya, dan yang juga merupakan pendapat jumhur ulama dinyatakan bahwa tidak boleh berpuasa Ramadhan kecuali yakin sudah keluar dari bulan Sya’ban dan yakinnya hal tersebut dengan cara melihat hilal atau menyempurnakan Sya’ban sebanyak 30 hari, demikian pula tidak dinyatakan keluar dari Ramadhan kecuali dengan keyakinan yang semisalnya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الْشَهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Artinya: “Maka barangsiapa dari kalian yang menyaksikan hilal maka hendaknya dia berpuasa.”

Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menginginkan -wallaahu a’lam- siapa di antara kalian yang mengetahui bulan Ramadhan dengan ilmu maka berpuasalah, dan ilmu yakin yang dimaksud adalah dengan melihat hilal dengan nyata atau dengan cara menyempurnakan bulan Sya’ban tersebut. (Al-Idztidzkar 3/160-161)

Dan beliau menambahkan perkataannya: “Hadits Ibnu ‘Abbas menjelaskan pula bahwa sesungguhnya seluruh hukum tidaklah dinyatakan wajib kecuali dengan keyakinan bukan dengan keraguan, ini adalah perkara yang sangat pokok bahwa kita tidak boleh meninggalkan sesuatu yang yakin kepada hal lain kecuali dengan keyakinan pula.” (Fiqh An-Nawazil 2/196-197)

3. Hadits Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma:
((عَنِ النَّبِيِّ الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم قَالَ: إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَةُ لاَنَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ، الشَّهْرُ هَكَذَا هَكَذَا)) رواه البجاري
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sesungguhnya kami adalah umat yang ummiyah, tidak (bisa) menulis dan tidak (bisa) menghitung, bulan adalah begini dan begini. (HR. Bukhari)
Hadits ini sangat jelas membantah orang-orang yang menggunakan hisab. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Karena makna لاَ نَحْسُبُ adalah kami tidak dapat menghitung bulan dan perjalanannya, dan hadits ini juga mengisyaratkan penentuan Ramadhan hanyalah dengan melihat hilal tanpa menggunakan hisab. (Al-Fath 4/153)

4. Hadits ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha:
كَانَ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وعلى آله وسلم يَحْفَظُ مِنْ هِلاَلِ شَعْبَانٍ مَالاَ يَحْفَظُ مِنْ غَيْرِهِ ثُمَّ يَصُومُ لِرُأيَتِهِ
“Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berjaga-jaga dengan sangat dari hilal Sya’ban, apa-apa yang belum tidak terjaga-jaga dari selainnya kemudian berpuasa karena melihatnya.”
Berkata Ibnu Qayyim rahimahullaahu Ta’ala: “Hadits ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha menjelaskan bahwa perbuatan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang terus menerus beliau lakukan adalah beliau tidak berpuasa di bulan Ramadhan kecuali dengan melihat hilal. (Zaadul Ma’aad 2/36)

Adapun dalil ijma’
Kaum muslimin bersepakat atas wajibnya melihat hilal atau dengan menyempurnakan 30 hari dalam bulan Sya’ban dalam menentukan Ramadhan, hal ini berlangsung dari dulu hingga sekarang dan tidak diketahui terjadi khilaf (perselisihan) di kalangan para shahabat dalam hal ini. Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menukil kesepakatan di antara para shahabat dan juga dinukil oleh Al-Mahdy dalam kitab Al-Bahr dan madzhab imam yang empat juga sepakat dalam masalah ini.
Imam Malik rahimahullaahu Ta’ala berkata: “Sesungguhnya siapa yang berpuasa dengan pendapat hisab tidak diperhitungkan puasanya.”

Berkata Ibnu ‘Arafah: “Saya tidak mengetahui adanya khilaf di antara kalangan Malikiyah bahkan dinukil kesepakatan oleh ulama dahulu dan sekarang di antaranya Ibnu Mundzir dalam Al-Asyraf, Al-Bajiy, Ibnu Rusyd, Al-Qurthuby, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Al-Hafizh Ibnu Hajar, As-Subkiy, Al-’Ainiy, Ibnu ‘Abidin, Al-Imam Asy-Syaukany, Ash-Shan’any, Ash-Shidiq, Hasan Khan dan Mulla’Ali Qariy. Berkata Syaikh Ahmad Syakir: “Bersepakat pernyataan para ulama akan wajibnya hilal dan menyempurnakan Sya’ban.” (Lihat Fiqh An-Nawazil 2/199-200, Al-Ifshah 3/89, Majmu’ Al-Fatawa 25/132, 179, 207, Fathul Bary 4/159, Subulus Salam 2/242)

Kita cukupkan nukilan ijma’ dengan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
“Sesungguhnya kita ketahui secara yakin dari agama Islam ini bahwa beramal dengan melihat hilal untuk menentukan puasa, haji, masa iddah atau amalan-amalan lainnya yang berhubungan dengan penentuan waktu. Dan pengkhabaran hisab tidak boleh dijadikan sandaran dan nash-nash yang menjelaskannya sangat banyak dan masyhur dan kaum muslimin bersepakat atasnya dan tidak didapatkan pula di kalangan ulama dahulu dan sekarang kecuali di kalangan fuqaha setelah kurun ketiga yang menyangka jika hilal terhalang maka boleh menggunakan hisab jika perhitungannya dapat menentukan hilal kalau tidak maka tidak berpuasa.”

Kesalahan orang-orang yang menisbahkan khilaf di tiga kurun
- Terhadap Imam Asy-Syafi’i. Berkata Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid: “Ibnu Suraij menukil dari Imam Asy-Syafi’i di antara madzhabnya adalah menggunakan hisab pergerakan bulan dan bintang dan ini dibantah oleh beberapa ulama Asy-Syafi’iyyah bahwa nukilan Ibnu Suraij ini adalah salah, dan yang betul dari Imam Asy-Syafi’i beliau menentang hisab. (Lihat Fiqh An-Nawazil 2/202)
Dan di antara ulama lainnya yang mengingkari nukilan Ibnu Suraij ke Imam Asy-Syafi’i adalah Ibnu ‘Abdil Bar (Lihat Al-Idztidzkar 3/162). Al-Hafizh Ibnu Hajar (Fathul Bary 4/154) beliau berkata yang ma’ruf dari Imam Asy-Syafi’i adalah penggunaan ru’yah sebagaimana pendapat dari jumhur.
- Terhadap Mutharif bin ‘Abdillah Asy-Syikkhir (meninggal tahun 87 Hijriyah), beliau dari kibar tabi’in. Ibnu ‘Abdil Bar menafikan pernyataan hisab darinya, beliau berkata: “Diriwayatkan dari Mutharif bin ‘Abdillah Asy-Syikkhir nukilan ini tidak shahih. Seandainya shahih maka tidak wajib mengikuti pendapatnya karena menyelisihi ijma’ dan nash-nash dari Al-Qur’an dan hadits.” (Lihat Al-Idztidzkar 3/162)
- Ibnu Qutaibah (‘Abdullah bin Muslim bin Qutaibah Ad-Dainury). Berkata Ibnu ‘Abdil Bar: “Hisab bukan pendapat atau pemikiran Ibnu Qutaibah dan bukan dari orang-orang yang mendukung masalah ini.” (Al-Idztidzkar 3/162)
- Muhammad bin Muqatil Ar-Razy
Namun orangnya lemah di kalangan para imam. Berkata Adz-Dzahabay dalam Al-Mughny dan Adh-Dhu’afa: “Riwayat Muhammad bin Muqatil Ar-Razy dari Waki’ adalah lemah. Dalam Al-Mizan: “Dia meriwayatkan dari Waki’, orang yang ada kesalahan dan ditinggalkan haditsnya.”

Sesungguhnya asal mula munculnya khilaf adalah dari Ibnu Suraij (Abu ‘Abbas Ahmad Ibnu Suraij Asy-Syafi’i, wafat tahun 306 Hijriyah). Beliau berpendapat bolehnya menggunkan hisab bila hilal terhalangi dan tidak ada yang melihat sebelumnya namun para ulama di kalangan pengikut Imam Asy-Syafi’i telah membantahnya begitu pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebagaimana yang disebutkan oleh beliau dalam nukilan ijma’nya di Majmu’ Al-Fatawa (jilid 25/132) yang telah lewat penyebutannya. Maka kesepakatan para ulama telah ada dan menjadi hujjah, adapun khilaf terjadi setelah tiga masa yang dimuliakan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Dalil-dalil yang Menggunkan Hisab dan Bantahannya

1. Riwayat فَاقْدِرُوْا لَهُ, mereka maknakan: Tentukan dengan hisab (perhitungan bulan). Dan ini dikhususkan kepada orang yang mempunyai ilmu hisab, dan kata sempurnakan bulan tersebut, ini ditujukan untuk semua manusia.

Bantahannya:
Berkata Imam Malik, Asy-Syafi’i dan jumhur salaf dan khalaf bahwa makna فَاقْدِرُوْا لَهُ adalah sempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Hal ini ditafsirkan pada riwayat Muslim:
فَقْدِرُوْا ثَلاَثِيْنَ، فَاقْدِرُوْا ثَلاَثِيْنَ، فَصُوْمُوْا ثَلاَثِيْنَ وفي رواية البخاري فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ
“Maka takdirkan (cukupkan) 30 (hari), (cukupkan) 30 hari, maka berpuasalah 30 (hari).” Dalam riwayat Imam Al-Bukhari: “Maka sempurnakanlah jumlah (hitungan) bulan Sya’ban 30 (hari).”
(Lihat I’lam bi Fawaidil Umdah: 5/174)

Dan hadits yang menyatakan فَاقْدِرُوْا لَهُ dengan makna sempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim (91/423) dan dalam As-Sunan Al-Kubra Al-Baihaqy (4/204) dengan sanad yang shahih dari Ibnu ‘Umar, bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى جَعَلَ الأَهِلَّةِ مَوَاقِيْتَ فَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأفْطِرُوْا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوْا لَهُ أتَمُوهُ ثَلاَثِيْنَ
“Sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan hilal-hilal, waktu-waktu, maka jika kalian melihatnya (hilal, -pent) maka berpuasalah dan jika kalian melihatnya maka berbukalah. Jika tertutup atas kalian maka cukuplah baginya (bulan) dan sempurnakanlah (Sya’ban, -pent) 30 (hari).”

Dan inilah yang dipahami penafsirannya dari ahlul hadits yang mengeluarkan hadits-hadits tentang ru’yah seperti Imam Al-Bukhary sebagaimana disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bary 4/120, dan Imam Malik sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu ‘Abdil Bar dalam At-Tahmid (2/39-40). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Rusaknya pendapat yang menyatakan hisab karena mereka berhujjah dengan hadits Ibnu ‘Umar sedangkan Ibnu ‘Umar juga meriwayatkan hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَةُ لاَنَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ، الْهِلاَلُ هَكَذَا هَكَذَا
“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummiyah, tidak (bisa) menulis dan tidak (bisa) menghitung, hilaal adalah begini dan begini.”

Mereka berkata: Perintah menggunakan ru’yah disebabkan karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyatakan kita adalah umat yang tidak dapat menulis dan menghitung. Dan hukum itu berlaku atau tidak ditentukan oleh ada atau tidaknya sebab itu. Maka jika umat sudah mampu menghitung dan menulis, ru’yah dan hisab bisa digunakan kedua-duanya dalam menentukan arah bulan.

Bantahannya:
Sesungguhnya hikmah dan sebab disyariatkannya melihat hilal adalah karena mudahnya dan bisa diketahui oleh seluruh manusia, yang mana dua hal ini menyebabkan umat bersatu dan terhindar dari perpecahan dan perselisihan. Sebagaimana hal ini disebutkan oleh Ibnu Taimiyah (Majmu’ Al-Fatawa jilid 25), Ibnu Al-Araby dalam Aaridhatul Ahwadzi, Ibnu Hajar dalam Al-Fath 4/122.

Berkata Ibnu Bathal dalam Irsyadul Ahlil Millah: “Kami tidak dibebankan dalam mengetahui waktu-waktu puasa dan ibadah melalui perhitungan dan penulisan, sesungguhnya ibadah kami ditandai dengan alamat-alamat yang jelas dan perkara-perkara yang mudah.”

Berkata As-Subky dalam ‘Ilmu Mansyur hal. 9: “Perkataan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: ‘Bulan ini jumlahnya begini dan begini.’ Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberi isyarat dengan tangannya. Di sini beliau memberi isyarat penentuan bulan adalah perkara yang sangat dimudahkan dan meniadakan penggunaan hisab yang menyulikan.”

Berkata Adz-Dzahaby dalam Siyar A’lam An-Nubala 14/191-192:
“Perkataan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan:
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَةُ لاَنَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ، الْهِلاَلُ هَكَذَا هَكَذَا
“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummiyah, tidak (bisa) menulis dan tidak (bisa) menghitung, hilaal adalah begini dan begini.”

Di sini beliau menafikan penulisan dan hisab dari umatnya menurut kebanyakannya, karena sesungguhnya ada di antara mereka yang mampu menghitung sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَلِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابِ
Artinya: “Supaya kalian tahu jumlah tahun dan perhitungannya.”

Di antara mereka ada yang pandai ilmu warisan yang membutuhkan ilmu hisab, dan tapi tetap saja Rasulullah nafikan hal itu dari umatnya. Ini tidak lain untuk menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang mudah dan memudahkan dalam seluruh pelaksanaan syariat.

3. Dalil Qiyas terhadap shalat yang ditentukan dengan hisab
Qiyas ini asalnya bathil sebab shalat yang ditentukan waktunya dengan hisab tidak didasari dengan dalil Al-Qur’an, Sunnah, maupun dalil Ijma’. Dan syarat dalil qiyas apabila hal yang diqiyaskan kepadanya bersandar kepada Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Dan seandainya shalat yang ditentukan dengan hisab adalah betul maka terjadi qiyas ma’al-fariq (antara pengkiasan shalat dan puasa Ramadhan terdapat perbedaan). Karena shalat ditentukan waktunya dengan mengetahui tanda masuk waktunya apakah dengan melihat langsung atau dengan mengetahui tanda-tandanya yang menunjukkan waktu shalat telah masuk, kalau Ramadhan tidak ditentukan dengan keluar atau datangnya hilal tetapi Ramadhan hanya ditentukan dengan melihat hilal dan bila tidak melihat maka disempurnakan Sya’ban menjadi 30 hari sebagaimana hal ini dinyatakan oleh Rasulullah dalam hadits. (Lihat Fiqh An-Nawazil 2/214-215)

Penyelisihan Hisab terhadap Syari’at
- Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menetapkan waktu, setiap bulannya dengan 29 hari dan paling banyaknya 30 hari sebagaimana sabda beliau:
((الشَّهْرُ يَكُوْنُ تِسْعًا وَعِشْرِيْنَ وَيَكُوْنُ ثَلاَثِيْنَ)) رواه البخاري ومسلم والنسائى
“Bulan Kadang 29 (hari) dan kadang 30 (hari).” (HR. Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i)

Sedangkan perhitungan hisab, paling cepatnya bulan ditentukan dengan jumlah 29 hari,12 jam dan 44 menit.
- Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyatakan penetapan bulan Ramadhan dengan melihat hilal atau menyempurnakan Sya’ban menjadi 30 hari bila hilal terhalang oleh kabut dan atau awan. Adapun ahli hisab menyatakan jika perhitungan menyatakan hilal muncul di hari ke-29, baik itu hilalnya terlihat atau tidak maka sudah dapat ditetapkan bahwa bulan Ramadhan telah masuk.

- Syariat menyatakan penentuan bulan adalah perkara yang sangat mudah, bisa diketahui oleh semua manusia dan tidak menyusahkan dalam menentukan datangnya. Sebagaimana yang diketahui bahwa pelaksanaan syari’at dan ibadah dalam Islam adalah mudah dan bisa dilaksanakan oleh semua orang. Adapun hisab sebaliknya, hanya diketahui sebagian orang dan pelaksanaannya sulit.
(Lihat Majmu’ Al-Fatawa 25/134-136, 139-141)

Celaan-celaan Ulama terhadap Hisab
- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Rusaknya hujjah yang menyatakan tentang hisab, terlihat ketika mereka berdalilkan dengan hadits Ibnu ‘Umar yang berbunyi فَاقْدِرُوْالَهُ dengan tafsirannya taqdirkanlah/tentukanlah dengan hisab. Sedangkan Ibnu ‘Umar meriwayatkan hadits yang membantah adanya hisab melalui hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَةُ لاَنَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ، الْهِلاَلُ هَكَذَا هَكَذَا
“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummiyah, tidak (bisa) menulis dan tidak (bisa) menghitung, hilaal adalah begini dan begini.”

Maka tidak mungkin hadits Ibnu ‘Umar yang berbunyi فَاقْدِرُوْا لَهُ ditafsirkan dengan hisab.” (Majmu’ Al-Fatawa 25/182)
- Para ulama memasukkan orang yang menggunakan hisab sebagai orang-orang yang mengambil tuntunan agama bukan dari Rasulullah, mereka itu sama dengan ahlul bid’ah kelompok Syi’ah bahkan mereka sama dengan bid’ahnya ahlul kitab dari ahlu so’bah yang hanya menggunakan hisab tanpa menggunakan ru’yah. (Majmu’ Al-Fatawa 25/179)

- Berkata Ibnu Bazizah: “Hisab adalah madzhab batil karena sesungguhnya syari’at telah melarang berkecimpung dalam ilmu perbintangan (ilmu hisab) karena ilmu tersebut didasari dengan dugaan dan perkiraan bukan dengan hal yang pasti atau dugaan yang kuat.” (Lihat Al-Fath 4/159, Subulus Salam 2/242)

- Berkata Ibnu Mulaqqin: “Hisab adalah pendapat yang sangat lemah dan sesungguhnya manusia bila dibebankan dengan cara ini tentu akan memberatkan mereka karena hisab tidak diketahui kecuali oleh sebagian kecil dari mereka. Dan syari’at yang diberlakukan kepada mereka adalah mudah dipahami dan diamalkan oleh seluruh manusia. Dan juga ilmu perhitungan hisab itu berbeda-beda pada setiap tempat dan negara maka ini akan menyebabkan perpecahan di antara mereka.” (Lihat Al-I’lam bi Fawaidil Umdah Al-Ahkam 5/176-177)

- Berkata Ibnu Al-Araby: “Madzhab hisab adalah madzhab yang jauh dari pemahaman orang-orang yang pandai maka terlebih lagi dari pemahaman para ulama.” (Lihat Al-Qabs 2/483 dan Al-Aridhah 3/208)
Kesimpulan
Dari uraian dalil Al-Qur’an dan hadits serta ijma’ kaum muslimin menjelaskan bahwa untuk menentukan bulan Ramadhan hanya dengan melihat hilal atau menyempurnakan Sya’ban menjadi 30 hari. Juga sekaligus menjelaskan batilnya pendapat yang menyatakan tentang hisab, yang juga merupakan perkara bid’ah dalam agama.
Wallaahu a’lam bishshawaab
(Dinukil dari Majalah An-Nashihah Vol. 07 Th. 1/ 1425H/2004M, judul: Polemik Seputar Ru’yah dan Hisab, hal. 19-23, untuk http://akhwat.web.id)